Hari Senin datang dengan beban baru.
Ayla melangkah ke kantor pusat Dirgantara Group mengenakan blouse putih dan rok panjang abu-abu. Tampilan formal, sederhana, dan aman. Ia mulai terbiasa dengan ritme kantor, tapi tidak dengan bisik-bisik tentang “staf cantik yang sering masuk ruangan CEO.” Meski statusnya sebagai istri Arka masih rahasia, gerak-geriknya tetap jadi sorotan. Begitu duduk di mejanya, ia langsung merasa ada yang tak biasa. Cynthia sekretaris pribadi Arka yang dikenal galak dan setia berdiri di depan ruang CEO. Elegan, rapi, dan menatap Ayla seolah sedang menilai barang dagangan. “Pagi,” sapa Ayla sopan. Cynthia melirik dari ujung kepala hingga kaki. “Staf baru, ya? Di divisi mana?” Ayla tersenyum kecil. “Administrasi.” “Tapi kamu sering banget masuk ruangan Pak Arka. Lebih sering dari staf lain.” “Saya hanya antar dokumen.” “Hm.” Nada tidak percaya itu begitu jelas. Belum sempat Ayla menjawab lagi, pintu ruangan CEO terbuka. Arka muncul. “Cynthia, ikut saya. Ayla, siapkan laporan kehadiran minggu lalu. Kirim hari ini juga.” “Siap, Pak,” sahut Ayla. Cynthia melirik tajam ke arah Ayla sebelum masuk ke dalam ruangan. Pagi itu jadi lebih berat dari biasanya. Ketika Ayla menuju pantry, dua staf senior terdengar bergosip di dekat mesin fotokopi. “Katanya Ayla deket banget sama Pak Arka.” “Iya, sering masuk ruangannya. Gak heran Cynthia mulai gak suka.” Ayla pura-pura tak mendengar, tapi dadanya sesak. Ia hanya ingin bekerja, tapi terus menjadi bahan gunjingan. Sampai pesan tak dikenal masuk ke ponselnya. "Aku tahu siapa kamu sebenarnya. Waktumu nggak lama lagi." Jantung Ayla berdegup kencang. Tangannya dingin. Belum sempat mencerna, seorang pria tiba-tiba muncul di depan mejanya. “Eh, kamu Ayla ya?” Ayla mengangkat wajah. Wajah itu familiar Kevin, sepupu Arka. Ia hadir saat pertemuan keluarga beberapa hari lalu. “Aku Kevin. Kita sempat ketemu di rumah Oma.” “Iya, ingat,” jawab Ayla datar. Kevin duduk di depannya tanpa diundang. “Tumben Arka bawa ‘tamu istimewa’ ke acara keluarga. Kamu pasti bukan staf biasa, kan?” Ayla berdiri. “Maaf, saya sedang kerja.” Kevin ikut berdiri, senyum miringnya menempel. “Santai aja. Kita bakal sering ketemu. Aku bantuin proyek baru Arka. Dan aku suka tahu urusan orang.” Ayla menggenggam tangannya erat. Ancaman datang dari segala arah. Siang itu, Ayla dipanggil ke ruang Arka. “Sudah kukirim laporannya,” kata Ayla pelan setelah duduk. “Aku dengar kamu sempat kedatangan Kevin.” Ayla mengangkat alis. “Dari mana Bapak tahu?” “Aku tahu banyak hal di kantor ini,” jawab Arka tenang. “Dia mengganggumu?” Ayla ragu. “Tidak secara langsung. Tapi... cukup membuatku tidak nyaman.” “Jangan terlalu dipikirkan. Di sini, kekuatan bukan pilihan, tapi kebutuhan. Terutama untukmu.” Kata-katanya menampar. Tapi Ayla hanya mengangguk dan pergi. Di lorong, Tania staf legal menyusul. “Hati-hati sama Cynthia,” bisiknya. Ayla menoleh cepat. “Kenapa?” “Barusan dia ke bagian audit minta data absen kamu. Katanya untuk evaluasi, tapi... semua orang tahu dia nyari alasan buat jatuhin kamu.” Ayla mengatup rahang. “Denger-denger kamu mau dipindah ke cabang luar kota,” lanjut Tania. “Soal profesionalisme, katanya.” Ayla menelan ludah. Tapi ia tersenyum tipis. “Terima kasih udah bilang.” Tania balas tersenyum. “Kamu bukan cewek biasa. Banyak yang tahu itu.” Hari Jumat pagi, Ayla mendapat email dari HRD Undangan Klarifikasi Personalia. Degup jantungnya makin cepat saat duduk di depan Bu Hesti dari HRD. “Ada laporan soal hubungan personal kamu dan Pak Arka Dirgantara,” ujar Bu Hesti hati-hati. “Kami butuh klarifikasi.” Ayla berusaha tenang. “Saya hanya menjalankan tugas. Semua bisa dicek sistem.” “Kami mengerti. Tapi di tempat ini, persepsi kadang lebih berbahaya daripada bukti.” Ayla menghela napas. “Persepsi siapa, Bu? Orang yang iri?” Bu Hesti hanya mencatat. “Kami harap kamu lebih berhati-hati ke depan.” Keluar dari ruangan itu, Ayla merasa lututnya lemas. Cynthia terlihat di ujung lorong, tersenyum tipis seperti menang. Di kantin, Tania langsung menghampirinya. “HRD?” Ayla mengangguk. “Aku... cape juga, ternyata.” Tania menatapnya serius. “Tapi kamu kuat. Jangan biarin mereka hancurin kamu.” Menjelang pulang, Arka mengirim pesan “Rooftop. Sekarang.” Ayla menaiki lift ke lantai 17. Arka sudah menunggu di sana, berdiri menatap langit Jakarta yang mulai jingga. “Aku dengar soal HRD,” ujarnya tanpa menoleh. Ayla terdiam. “Aku memang minta itu ditindaklanjuti. Bukan untuk menjatuhkanmu. Tapi untuk tahu seberapa parah gosip yang menyebar.” Ayla menatapnya tajam. “Dan biarkan aku dihujat sendirian?” “Aku melindungimu... dengan caraku,” balas Arka. “Kalau aku membelamu terang-terangan, mereka akan menuduh lebih buruk.” Ayla memalingkan wajah. “Bapak menyuruhku berdiri sendirian di tengah hujan.” “Kadang, satu-satunya cara melihat siapa yang tetap bertahan di sisimu... adalah saat kamu berdiri sendiri.” Ayla terdiam. Tak tahu harus berkata apa. Malam itu di apartemen, ia menatap pantulan wajahnya di cermin. Matanya lelah. Tapi ada cahaya kecil. Seperti nyala api yang mulai menyala pelan-pelan di tengah badai. Ia belum kalah. Dan ia tidak akan kalah.Pagi berikutnya, Arka memasuki ruang rapat utama Dirgantara Group dengan langkah mantap. Rautnya tegas, tapi di matanya ada sedikit kelelahan yang tak bisa ia sembunyikan. Ia tahu, agenda rapat kali ini akan menguras energi pembahasan lanjutan pasca-merger, sekaligus menanggapi rumor yang sedang beredar.Begitu ia duduk di kursi ujung meja, beberapa direksi langsung saling bertukar pandang. Ada yang menatapnya penuh harap, ada juga yang ragu-ragu. Arka bisa merasakan suhu ruangan yang lebih dingin dari biasanya bukan karena AC, tapi karena ketidakpercayaan yang diam-diam menular.“Baik, kita mulai,” ucap Arka singkat. Suaranya jernih, tak memberi ruang untuk spekulasi.Sementara itu, di rumah, Ayla kembali menatap deretan email yang masuk. Beberapa dari mereka berisi permintaan konfirmasi dari media, tapi ada satu yang membuat napasnya tercekat undangan talkshow nasional dengan tema ‘Wanita di Balik Sukses Seorang CEO’.Ia membaca ulang pesan itu. Kata-katanya manis, menawarkan panggu
Pagi itu, ruang pantry kantor Dirgantara Group ramai seperti biasa. Tapi kali ini bukan karena kopi pagi atau sarapan roti dari vendor langganan. Suasana justru dipenuhi dengan bisik-bisik pelan, tatapan sinis, dan tawa setengah teredam saat Ayla lewat membawa map di tangannya."Katanya sih gara-gara dekat sama CEO, bisa langsung naik jabatan," bisik salah satu karyawan perempuan yang berdiri dekat dispenser air."Ya gimana enggak? Lihat aja, cantik, lembut, gampang dikendalikan CEO pasti seneng yang kayak gitu," timpal yang lain dengan senyum penuh sindiran.Ayla mendengar semuanya, tapi langkahnya tetap tenang. Ia hanya menunduk sedikit, menghela napas dalam, lalu terus berjalan tanpa menoleh. Tapi jauh di dalam, hatinya mulai terasa sesak.Rasanya seperti kembali ke masa SMA ketika kabar tentang keluarganya mulai tersebar dan ia jadi bahan gosip. Tapi sekarang jauh lebih rumit, karena bukan hanya harga dirinya yang dipertaruhkan… melainkan karier dan masa depannya juga.Sesampainya
Keesokan paginya, suasana kantor terasa lebih dingin dari biasanya. Sejak pagi, semua mata seolah menatap Ayla dengan bisik-bisik tak kasat mata. Ia tahu, efek dari berita kemarin masih bergema.Ayla melangkah ke mejanya dengan kepala tegak. Ia menyalakan laptop, membuka agenda kerja, dan berusaha bersikap seperti biasa. Tapi tangan dinginnya tak bisa menyembunyikan kegelisahan yang menyelimuti hatinya.“Besty…” Cynthia muncul dengan dua gelas kopi.“Darurat double shot espresso?” Ayla menyambut cangkir itu dengan senyum tipis.Cynthia duduk di kursi sebelahnya. “Aku barusan denger, beberapa orang dari tim merger mulai raguin posisi kamu.”Ayla menoleh cepat. “Siapa?”“Dwi, si analis keuangan, dan satu orang dari legal tim Naira. Mereka ngomongin kamu di pantry tadi. Kayak... mempertanyakan kenapa kamu masih ikut koordinasi merger, padahal posisimu ‘hanya staf’.”Ayla menatap kosong ke depan. Rasanya tak adil, setelah kerja kerasnya, semua diruntuhkan hanya karena satu gosip dan masa
Ayla menatap pantulan wajahnya di cermin kamar mandi kantor. Matanya sedikit sembap, tapi ia memaksa bibirnya tersenyum. Tak ada waktu untuk terlihat rapuh. Terutama setelah semalam Arka menunjukkan bahwa masa lalu betapapun pahitnya selalu punya cara datang kembali.Pagi itu, suasana kantor Dirgantara Group terasa berbeda. Bisik-bisik kecil menyebar cepat, seperti embusan angin yang membawa kabar Investor baru yang cantik itu punya hubungan masa lalu dengan CEO.Ayla melangkah cepat melewati lorong, menolak menanggapi tatapan penasaran dari beberapa karyawan yang dengan sengaja menoleh dua kali saat ia lewat. Ia tidak buta. Ia tahu bagaimana dunia kerja sering kali kejam pada wanita, terutama yang dianggap ‘naik pangkat’ karena koneksi pribadi.Sampai akhirnya suara familiar menghentikannya.“Ayla, sebentar,” ujar Cynthia sambil berjalan menghampiri dengan berkas di tangan.Ayla menoleh. “Ada yang perlu saya tandatangani?”Cynth
Udara Jakarta terasa lebih lembap dari biasanya. Di dalam ruang rapat utama Dirgantara Group, para eksekutif dan staf sudah menempati tempat masing-masing untuk membahas presentasi proyek terbaru proyek yang akan menentukan arah merger strategis ke depan.Ayla duduk di barisan kedua, mencatat sambil sesekali mencuri pandang ke arah Arka yang tengah memimpin rapat. Sikap Arka tetap tenang dan profesional, seolah tidak tergoyahkan oleh berita yang sedang ramai di luar sana tentang kembalinya Naira Maheswari.Namun semua berubah saat pintu ruang rapat terbuka.“Maaf, saya terlambat. Ada sedikit kendala lalu lintas,” ucap suara lembut namun tegas dari arah pintu.Semua mata menoleh.Ayla membeku.Wanita itu melangkah masuk dengan anggun, mengenakan blazer krem dipadukan celana panjang putih dan rambut panjang yang disisir rapi ke belakang. Senyumnya ramah, tapi dingin. Sorot matanya menyapu ruangan, lalu berhenti pada Arka.
Malam itu, apartemen Arka terasa lebih hening dari biasanya. Tak ada suara televisi, tak ada denting gelas dari dapur, hanya detak jam di dinding yang terdengar samar. Ayla duduk di sofa ruang tamu, mengenakan sweater hangat dan rambut digulung seadanya. Matanya sesekali menoleh ke arah pintu, menunggu Arka yang berjanji akan bicara jujur malam ini.Dan ketika suara pintu terbuka, Ayla menegakkan tubuhnya. Arka masuk dengan langkah berat. Wajahnya tampak lelah, tapi lebih dari itu ada semacam tekanan emosional yang tak bisa ia sembunyikan.Tanpa banyak basa-basi, ia meletakkan map kerja di meja dan duduk di seberangnya.“Aku pernah bertunangan,” Arka memulai.Ayla hanya diam, menunggu kelanjutannya.“Namanya Naira Maheswari. Anak tunggal dari salah satu pengusaha properti besar di Jakarta. Kami dijodohkan bukan karena cinta, tapi karena aliansi bisnis antara keluarga Dirgantara dan Maheswari.”Ayla tak kaget, tapi tetap tersentak. Ia menyimak, mencoba tetap netral.“Awalnya aku pikir,