Angin berderu dengan dahsyatnya, datang dari dua sosok pria yang saling berlawanan tanpa adanya suatu gerakan tubuh sama sekali.
Pepohonan dan semak belukar ikut bergolak hebat, hingga daun-daun serta ranting-ranting banyak yang patah akibat serangan badai angin kekuatan gaib tersebut. Semua benda ringan beterbangan, berbenturan dan terus berputar-putar tanpa henti. Tentu saja, perang kekuatan gaib tingkat tinggi itu juga membuat para hewan di Hutan Sawo Alas juga menjadi sangat terkejut dan panik. Mereka pun lari tunggang langgang bagaikan sedang dikejar oleh sepasukan hantu jahat yang siap menerkam dan melumat hingga hancur menjadi debu dan abu. "Anak muda ini memiliki darah yang sangat istimewa, akan tetapi juga seperti sudah tercemar oleh darah dari mahluk kegelapan." Pria berjubah ungu tuan terus mengerahkan kekuatannya untuk menekan kekuatan anak muda di hadapannya yang ternyata masih belum bisa sepenuhnya menggunakan kekuatan tenaga dalam bawaan lahirnya. "Sepertinya, anak muda ini adalah sesuatu yang sedang dijadikan bahan percobaan oleh pihak lain." "Gila! Kekuatan orang ini ternyata jauh di atasku!" Jatayu merasakan tubuhnya mulai sedikit melemah akibat terus menerus mengerahkan kekuatannya untuk menahan tekanan dari lelaki berjubah ungu. "Aku tidak bisa melawan kekuatan yang hampir sama dengan kekuatan Paman Hei Kun!" "Cukup!"Jatayu tidak bisa lagi menahan diri dari serangan badai angin dari lawan yang memiliki kemampuan di atasnya. Pemuda berjubah putih yang juga mengenakan topi untuk menutupi rambut dan wajahnya akhirnya jatuh berlutut. "Aku menyerah sekarang!" "Menyerah?" Lelaki berjubah ungu terlihat menarik kekuatannya sedikit demi sedikit hingga mereda. "Kalau begitu, cepat berikan anak muda itu kepadaku!" Jatayu menggelengkan kepala, pertanda tidak menyetujui perintah orang tua berjubah ungu yang tampaknya sangat memaksa agar dirinya menyerahkan anak muda tersebut. Sebuah seringaian menghiasi bibir Jatayu yang saat ini berlutut sambil masih memanggul tubuh Langit. Dirinya telah bertekad untuk tidak akan melepaskan anak lelaki yang sudah lama menjadi incarannya. Jatayu berucap dalam hati. 'Aku sudah berusaha keras agar anak ini bisa keluar dengan sendirinya dari ruang kaca pelindung itu. Jadi, tidak mungkin aku akan memberikan anak ini pada orang itu. Tidak akan pernah, atau ayah akan menghukumku karena kegagalanku.' "Bagaimana, Anak Muda?" Pria berjubah ungu berkata sembari berjalan mendekati Jatayu hingga jarak mereka hanya tinggal lima kaki jauhnya. "Kamu tinggalkan anak itu bersamaku dan kamu bisa segera kembali ke tempat asalmu tanpa segores pun luka yang akan berjejak di kulitmu." "Maaf, Tuan! Aku tidak bisa menyerahkan anak ini kepada seseorng yang tidak aku kenal. Maka aku, Jatayu ini akan tetap mempertahankan demi keselamatannya!" Jatayu berkata sembari bersiap-siap hendak melawan pria berjubah ungu yang bersikeras meminta Langit darinya. Bagi seorang Jatayu, Langit sudah dia anggap menjadi bagian dari keberhasilannya. Dia harus tetap mempertahankan anak itu dari siapa saja yang ingin merebutnya. Bahkan ia bertekad akan melawan orang tua ini hingga titik darah penghabisan. Pria muda itu kemudian bangkit dan meletakkan tubuh pemuda yang masih dalam keadaan pulas tertidur akibat terkena mantra penidur. Sebelum kembali ke arena tempur, Jatayu melepaskan mantra pelindung gaib di sekitar tubuh Langit untuk mengurung anak tersebut dalam sebuah lingkup ruang yang tidak bisa dijangkau oleh orang lain. "Hmm ... anak muda ini sangat berhati-hati sekali rupanya," pikir pria berjubah ungu sambil terus memperhatikan gerak-gerik pria muda yang diperkirakan usianya masih berada di bawah tujuh belas tahun. "Dia bahkan memasang ruang pelindung demi anak ini." "Selesai!" seru Jatayu dalam hati sambil memperhatikan keadaan Langit. "Tetaplah di sini, Langit. Kakak akan menghadapi orang itu." "Bagaimanapun caranya, aku harus bisa segera keluar dari hutan ini!" bisik Jatayu dalam hati sambil membelakangi orang tua yang terlihat tenang namun memiliki aura kuat yang hampir saja membuatnya kewalahan. "Tuan, silakan langkahi dulu mayat Jatayu ini, jika Tuan ingin mengambilnya!" Jatayu berkata sambil membalikkan tubuhnya tanpa sedikit pun memperlihatkan wajah kepada pria berjubah ungu. "Ooh, jadi namamu adalah Jatayu? Baguslah! Dengan begitu aku bisa mengingatnya." Pria berjubah ungu tetap terlihat tenang. Raut wajahnya bahkan tanpa ekspresi apa pun dan tidak ada kegentaran barang sedikit jua. "Sekarang aku minta padamu sekali lagi. Cepat serahkan anak itu!"Secara perlahan namun pasti, sosok bayangan jiwa transparan bercahaya pelangi membuka sepasang kelopak matanya yang teduh dan sayu, seolah menahan beban yang teramat berat. Pandangan itu memperlihatkan kelelahan, tetapi tetap memancarkan aura keagungan seorang raja naga yang pernah berkuasa di masa lalu. Ketika ia mendesah, udara di sekitarnya seakan ikut bergetar, mengirimkan fluktuasi lembut yang membuat ruang jiwa itu seakan bergejolak dengan kelembutan yang samar.Yin Long bahkan bisa merasakan getarannya yang langsung menyentuh ruang terdalam hingga kalbunya ikut tersentuh. 'Benar-benar agung rajaku ini,' bisiknya, dalam hati. "Jenderaku terkasih." Caihong Xue akhirnya membuka suara, bergema dalam namun tenang. "Baguslah. Akhirnya kamu datang."Yin Long mengangguk. "Ya. Yang Mulia memanggil hamba, tentu saja hamba dengan senang hati akan memenuhi panggilan Anda." Untuk sejenak, ia menyadari jikalau sang raja sedang gelisah. "Ada gerangan apakah yang membuat Anda terlihat tidak
Yin Long sampai mengerutkan kening karena orang yang memanggilnya tidak kunjung muncul juga. Ia mulai merasa ada yang tidak beres dengan pendengarannya. "Senior Zi," bisik Yin Long, suaranya terdengar sedikit parau, gemetar menahan kegelisahan yang merayap di dadanya. "Apakah Senior mendengar seseorang memanggilku?" Yin Long mengedarkan pandangan, bola matanya bergerak ke segenap arah, seperti tengah memindai alam sekitarnya. Ia berharap suara misterius itu datang lagi. Zi Wu menggeleng sambil menyeruput arak hangat dari cawan. "Tidak. Tidak ada suara lain selain hanya ada suara kita berdua." "Jadi, Anda benar-benar tidak mendengarnya?" Yin Long merasa heran. "Bagaimana Mungkin suara sekeras itu Senior Zi tidak mendengarnya?" "Ataukah mungkin anak itu sudah sadar dan dia memanggilmu?" tanya Zi Wu sambil melihat ke arah pintu. Yin Long mengikuti arah pandangan Zi Wu, lalu ia menggeleng. "Kurasa bukan dia. Ah Xian tidak pernah menyebutku dengan sebutan namaku. Tapi kali ini y
Kedua kekuatan itu saling berbenturan dengan dahsyat. Tornado perak beradu dengan naga-naga ungu dalam pertarungan yang membuat seluruh halaman bergetar. Tanah di bawah kaki mereka retak-retak, pohon-pohon di sekitar melengkung karena tertiup angin kencang. Untunglah tempat itu sudah dilapisi pagar pelindung gaib yang mampu meredam suara-suara dari dalam dan tak akan didengar oleh orang lain, terlebih lagi manusia biasa. Pagar pelindung itu sesekali berkilat dengan cahaya ungu dan perak yang saling bertabrakan, menyerap sebagian besar energi yang terlepas dari pertarungan mereka. "Apakah Senior di pihak mereka dan terus akan menghalangiku?" tanya Yin Long dengan nada marah sambil menyerang Zi Wu dengan jurus lain. "Jika iya, maka Anda juga adalah musuhku!" Kipas Phoenix-nya berubah menjadi pedang cahaya perak yang panjang. Pedang itu berkilat dengan intensitas yang menyilaukan, setiap ayunannya meninggalkan jejak cahaya di udara. "Jurus Pedang Phoenix, Seribu Tebasan Kilat!"
Tiba-tiba saja, sekelebat cahaya putih muncul dari sabuk ruang penyimpanan milik Yin Long dan langsung berpindah ke tangannya, dia sudah menggenggam kipas Phoenix erat-erat dengan emosi yang mengguncang dadanya.Dada pemuda itu naik turun akibat menahan kemarahan, kilat cahaya dingin ada di matanya begitu tajam siap menghancurkan siapa pun yang ingin ia hancurkan."Ah Yin, sekarang ini kita sedang menikmati Arak Kaisar Muda, tolong janganlah kamu merusak suasana malam yang indah ini hanya karena anak itu!" teriak Zi Wu, mengingatkan."Pestanya memang sudah rusak!" Saat ini, Yin Long lebih seperti sosok pembunuh berdarah dingin. Ekspresi Wajah Yin Long yang selembut puding pun telah berubah menjadi tegas dengan suara tegas menggelegar. Aura kejam seorang jenderal memancar keluar, menguasai tubuh pemuda itu hingga sosoknya saat ini terlihat begitu mengerikan."Jika benar dia adalah orang-orang dari Klan Naga Hitam, maka aku akan membunuhnya sekarang juga!" seru Yin Long dengan geram.
Yin Long menghentikan tiupan serulingnya dan berkata, "Baiklah, Senior. Meski mungkin puisiku tidak seindah seperti karya para penyair terkenal." "Tidak masalah," ucap Zi Wu, santai. Yin Long lantas berseru, "Arak mengalir seperti waktu di lembah seribu kabut. Dingin menyentuh meridian jiwa, hangat membelai takdir. Di dunia yang dimandikan cahaya lilin, setiap teguk adalah dupa yang dipersembahkan untuk bumi yang sabar!" "Bagus! Bagus!" Zi Wu bertepuk tangan dengan wajah senang. "Lanjutkan!" "Terima kasih, Senior." Yin Long tersenyum dan melanjutkan syairnya. "Terima kasih, wahai angin dari empat penjuru mata angin dan alam yang menyimpan kebijaksanaan. Kepada hujan yang membawa berkah dari istana awan yang menawarkan cinta meski iblis mengintai bulan purnama!" "Jika hidup adalah arak dalam guci seribu tahun, maka derita pun harus dituang seperti air terjun di gunung suci, agar manisnya terasa seperti madu yang pekat, seperti malam yang merangkul semua makhluk dengan damai." "D
Yin Long menjawab, "Tak masalah. Tetapi senior jangan kecewa dengan rasanya yang mungkin sedikit berbeda. Aku membuatnya hanya dari beras ketan yang ada di daerah ini. Itupun tidak banyak." Yin Long berjalan tenang ke arah pohon mangga yang ada di samping rumah, dan dengan sebilah potongan kayu ia lalu menggali tanah di bawahnya untuk mengambil dua guci arak yang baru saja dia tanam beberapa hari yang lalu. Setelah membersihkan guci tanah liat dari kotoran-kotoran yang menempel, Yin Long membuka segel penutup guna memeriksa isinya. Dengan gerakan lembut ia mendekatkan lubang guci ke dekat hidungnya, mencium aroma arak beras yang tergolong masih terlalu dini untuk dinikmati. "Cukup harum," gumamnya. "Sebenarnya ini masih tidak bisa disebut arak. Tapi demi sahabatku, maka aku merelakan beberapa guci untuk sajian malam ini," gumam Yin Long sendiri sembari menutup kembali segel guci arak yang berupa selembar kain merah. "Senior, sudah dapat!" teriak Yin Long sambil mengangkat guci dar