Share

Ksatria Prabangkara
Ksatria Prabangkara
Penulis: Jin Hanson

Bab 1. Prolog

Konon, dahulu di daratan utama berdiri sebuah kerajaan besar bernama Satwika. Namun perebutan takhta serta konflik di dalam keluarga kerajaan,  menyebabkan terjadi perang saudara yang tak berkesudahan, sehingga membuat rakyat sangat menderita.

Membuat Kerajaan Satwika yang perkasa akhirnya runtuh dan terbagi menjadi sembilan kerajaan baru, yaitu Baruna, Wananta, Srawana, Kanaka, Akasa, Arnawa, Ambarata, Arnata dan Prabangkara.

Namun, alih-alih perdamaian yang tercipta, justru kemunculan sembilan kerajaan itu membawa malapetaka di daratan utama. Perang dengan skala yang lebih besar terjadi antara sembilan kerajaan tersebut, membawa kekacauan di daratan utama.

Menyadari dampak dari perang yang sangat mengerikan serta membawa kesengsaraan bagi rakyat. Ketiga kerajaan yaitu Ambarata, Arnata dan Prabangkara membuat sebuah persekutuan. Mereka sepakat untuk menjalin kerjasama serta menyatukan kekuatan militernya untuk melenyapkan keenam kerajaan yang lain.

Kerjasama tersebut menjadikan ketiga kerajaan itu memiliki kekuatan yang tak tertandingi. Sehingga dalam waktu singkat, berhasil melenyapkan keenam kerajaan lainnya dan membawa kedamaian di daratan utama.

Tetapi seperti kata pepatah, Seluruh Kerajaan Bersatu untuk Bercerai dan Bercerai untuk Bersatu, Demikian pula yang terjadi pada ketiga kerajaan itu. Adalah Maharaja Dhidaka penguasa Kerajaan Arnata, memiliki ambisi untuk menguasai seluruh daratan utama. Terobsesi memenuhi ambisinya, Maharaja Dhidaka menyatakan perang dengan Kerajaan Ambarata dan Kerajaan Prabangkara.

Perang yang maha dahsyat pun berkecamuk antara tiga kerajaan. Para pendekar dengan berbagai kesaktian dari masing-masing kerajaan turut serta dalam perang yang mengerikan tersebut.

Setelah peperangan yang sengit dan memakan banyak korban jiwa, akhirnya Kerajaan Ambarata dan Kerajaan Prabangkara berhasil mengalahkan Kerajaan Artana.

Maharaja Dhidaka bersama para pengikutnya yang kian terdesak, memilih untuk mengakhiri nyawanya daripada harus menyerah kepada Kerajaan Ambarata dan Kerajaan Prabangkara. Sejak saat itu, Kerajaan Arnata dengan segala kejayaan serta kemegahannya terhapus dari sejarah umat manusia.

Meskipun Kerajaan Arnata berhasil dilenyapkan. Namun perdamaian masih sangat jauh dari daratan utama, kedua kerajaan saling memperebutkan wilayah bekas kekuasaan Arnata, sehingga perang antara Kerajaan Ambarata dan Kerajaan Prabangkara tak terelakkan. Perang yang terus terjadi hingga saat ini.

****

Beberapa tahun berselang, di dalam Hutan Wahita yang berada beberapa kilometer di luar tembok Kerajaan Prabangkara. Pasukan Satyawira yang merupakan pasukan khusus Kerajaan Prabangkara, terlihat sedang menunggang kuda dengan sangat cepat.

“Semuanya bersiap. Tugas kita hanya satu, tangkap para tilik sandi itu hidup atau mati,” seru Senopati Pasukan Satyawira sambil terus memacu kuda tunggangannya.

“Target terlihat Senopati,” ucap salah satu pasukan.

“Berpencar menjadi tiga regu. Aditara, Galisaka kalian berdua ikut aku, kita akan menyerang mereka secara langsung. Ekawira, Dutasena kalian pimpin pasukan untuk membentuk barikade, agar dapat membatasi pergerakan mereka,” perintah Sang Senopati Pasukan Satyawira dengan lugas.

“Daulat Senopati,” jawab para anggota Pasukan Satyawira dengan serempak.

Nama Senopati itu adalah Jatiraga. Seorang Senopati yang disegani di seluruh Kerajaan Prabangkara serta merupakan pendekar dengan ilmu silat serta ilmu kanuragan sangat tinggi. Konon kemampuannya setara dengan seluruh Pasukan Satyawira.

Tak lama seluruh anggota Pasukan Satyawira telah berada di posisinya masing-masing sesuai dengan arahan Jatiraga.

“Kakang, mengapa untuk menangkap beberapa tilik sandi harus mengerahkan Pasukan Satyawira, bukankah terlalu berlebihan?” tanya Aditara yang merupakan anggota termuda dari Pasukan Satyawira serta adik seperguruan dari Jatiraga.

“Mereka bukanlah tilik sandi biasa Aditara. Sewaktu melarikan diri, mereka telah membunuh komandan Pasukan Bindiwala dan beberapa anggotanya,” urai Jatiraga sambil terus memacu kuda tunggangannya.

“Begitu rupanya, membunuh komandan Pasukan Bindiwala yang memiliki ilmu silat tinggi. Tak diragukan lagi mereka sangat sesuai untuk mencoba jurus tombak langitku,” ucap Aditara bersemangat sambil tersenyum.

“Jangan gegabah Aditara, kita tidak mengetahui seberapa besar kekuatan para tilik sandi itu, jadi tetap fokus pada tujuan kita,” tegur Jatiraga sambil tetap memacu kuda tunggangannya.

“Apa yang dikatakan Senopati betul Aditara, lagipula bila sesuatu terjadi padamu pasti kakakmu, Adipati Argarota akan memberikan hukuman yang berat pada Senopati Jatiraga,” tambah Galisaka dengan nada menyindir.

Mendengar ucapan Jatiraga dan Galisaka, Aditara terdiam sejenak. “Baiklah… baiklah… aku mengerti,” ucap Aditara patuh.

Beberapa saat kemudian mereka berhasil memangkas jarak dengan para tilik sandi yang melarikan diri.

“Itu mereka Kakang,” ucap Aditara

“Baiklah, Galisaka gunakan panah seribu bintang sekarang,” perintah Jatiraga sambil mempercepat laju kuda tunggangannya.

“Daulat Senopati,” jawab Galisaka sebelum mengarahkan busurnya keatas kemudian menarik anak panahnya.

“Panah Seribu Bintang,” Galisaka melepaskan anak panahnya ke angkasa.

Tak beberapa lama ribuan anak panah turun dari langit layaknya hujan, anak panah tersebut tepat mengarah kepada ketiga tilik sandi yang tengah memacu kuda tunggangannya.

“Aditara giliranmu,” seru Jatiraga

Aditara mengangguk tanda mengerti, lalu ia ambil tombaknya dan melemparkan kearah para tilik sandi tersebut.

“Tombak Aji Bumi,” ucap Aditara dengan lantang

Tombak yang dilemparkan melesat cepat kearah para tilik sandi dan mendarat tepat di depan mereka, kemudian menimbulkan getaran yang sangat hebat hingga membuat tanah terbelah.

Hal itu mengejutkan kuda tunggangan para tilik sandi, sehingga langsung menghentikan lajunya. Tak lama berselang, jurus panah seribu bintang milik Galisaka langsung menghujam deras dari langit, menyebabkan dua tilik sandi terluka parah dan tewas ditempat. Namun entah bagaimana caranya, salah satu tilik sandi berhasil selamat dari serangan tersebut.

Jatiraga yang mengetahui siapa tilik sandi itu, langsung melompat dari kuda tunggangannya menggunakan ilmu meringankan tubuh, secepat kilat ia langsung melesat kearah tilik sandi itu.

Dalam sekejab mata, Sang Senopati sudah berhadapan langsung dengan tilik sandi itu, diikuti dengan Galisaka dan Aditara yang datang beberapa saat kemudian dengan kuda tunggangan mereka.

“Aku tak mengira Kerajaan Ambarata begitu rendah hingga mengirimkan salah satu Senopati terbaiknya hanya untuk memata-matai kami,” ujar Jatiraga dengan satir kepada tilik didepannya.

“Hahaha… kau sungguh lucu Jatiraga, bukankah itu berlaku sebaliknya dengan Kerajaan Prabangkara yang mengirimkan Pasukan Satyawira yang terkenal sangat kuat hanya untuk mengejar kami yang kau bilang rendah,” jawab tilik santi itu sambil tertawa sinis.

“Aku sangat tersanjung atas pujianmu Degasoka, karena itu akan kubiarkan kau hidup jika kau menyerahkan diri. Namun jika melawan, akan kucabut nyawamu saat ini juga,” kata Jatiraga dengan lugas sambil mencabut pedang dari sarungnya.

“Membunuhku, kau memang sangat lucu Jatiraga. Aku tak menyangka pemimpin Pasukan Satyawira seorang yang memiliki selera humor yang tinggi,” ucap Degasoka sambil tersenyum.

"Jaga mulutmu Degasoka, untuk membunuhmu tak perlu Kakang Jatiraga turun tangan. Cukup aku Aditara yang akan mengantarkan kematian padamu." Tiba-tiba Aditara melompat dari kudanya sambil mengeluarkan jurusnya. Membuat tombak yang sebelumnya tertancap segera kembali ke genggamannya.

"Baiklah bocah, aku akan sedikit ‘bermain-main’ denganmu." Degasoka tersenyum mencibir,  kemudian ia memasang kuda-kuda bersiap menerima serangan Aditara.

"Kurang ajar, akan aku tutup mulut besarmu itu." Termakan provokasi, Aditara langsung menyerang dengan sekuat tenaga.

Aditara menghunuskan tombaknya ke arah Degasoka, sambil mengeluarkan aura membunuh.

"Jurus tombak langit." Aditara menerjang cepat ke arah Degasoka.

Degasoka tampak tenang menghadapi serangan mematikan Aditara. Dia mencabut pedangnya, lalu dengan mudah menangkis jurus tombak Aditara.

Sedikit menggerakkan tubuhnya, Degasoka membalas dengan pukulan telak di dada Aditara. Membuat tubuh prajurit muda itu terhempas cukup jauh kemudian tersungkur di tanah.

"Pedang Pencabut Sukma." Degasoka melesat cepat sambil mengayunkan pedang ke arah Aditara yang tak berdaya.

Tetapi jurus pedang dari Degasoka dengan cepat ditangkis oleh Jatiraga sebelum sempat mengenai Aditara. Merasakan Aura Membunuh yang dikeluarkan oleh Jatiraga, Degasoka memilih untuk menjauh beberapa hasta.

"Bukankah kau tadi hanya mau ‘bermain-main’ dengannya Degasoka. Lagipula tak elok menyerang orang yang sedang terluka," ujar Jatiraga sambil menyarungkan pedangnya.

"Senopati," ucap Galisaka sembari menghampiri Jatiraga.

"Galisaka segera periksa keadaan Aditara," perintah Jatiraga sambil menoleh ke arah Galisaka.

"Baik Senopati," jawab Galisaka sebelum ia menuju ke tempat Aditara yang sedang tak sadarkan diri.

Sementara itu Degasoka yang sempat dikejutkan dengan dengan serangan cepat Jatiraga, kembali mengangkat pedangnya.

"Hahaha, kau sungguh munafik Jatiraga, bukankah lebih tak pantas bagi seorang pendekar ikut campur dalam pertarungan pendekar lain," ucap Degasoka sambil tersenyum sinis.

"Maafkan kelancanganku Degasoka. Tetapi aku tak menyangka serangan kecilku tadi dapat membuatmu ketakutan," cibir Jatiraga bermaksud mengalihkan perhatian Degasoka.

"Ketakutan katamu akan kutunjukkan apa itu ketakutan." Degasoka Kembali mengayunkan pedangnya, kali ini aura yang mengerikan terpancar dari tubuhnya.

Melihat hal tersebut, raut serius mulai tersirat di wajah Jatiraga, “Bagaimana keadaan Aditara?” Menatap Galisaka.

“Sangat buruk Senopati, beruntung serangan tadi tidak melukai organ vitalnya. Saya akan mencoba mengalirkan tenaga dalam untuk mengembalikan kesadarannya,” jelas Galisaka.

“Lakukan yang terbaik Galisaka, aku akan mengatasi Degasoka.” Jatiraga memasang kuda-kuda sesaat setelah selesai berkata kepada Galisaka.

“Galisaka saat aku berikan isyarat segera perintahkan regu pendukung untuk membuat formasi Kunjara Api,” jelas Jatiraga sebelum mengeluarkan aura membunuh yang sangat mengerikan dari tubuhnya.

“Ba… baik Senopati,” jawab Galisaka terbata, hal tersebut sangatlah wajar karena aura membunuh yang keluar dari tubuh Jatiraga dapat membuat siapa pun didekatnya ketakutan.

Galisaka tak menyangka Jatiraga akan seserius itu menghadapi Degasoka.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status