Home / Rumah Tangga / Ku Tentukan Takdirku / Bab 3 – Malam Penuh Pengkhianatan

Share

Bab 3 – Malam Penuh Pengkhianatan

Author: Mommy Sea
last update Last Updated: 2025-09-26 00:03:39

Sore itu, langit Jakarta terlihat lebih kelabu dari biasanya. Awan menggantung rendah, seakan menandai sesuatu yang buruk akan terjadi. Namun Alya justru melangkah keluar dari kantornya dengan senyum di wajah. Di tangannya, ia membawa kantong kertas berisi makanan favorit Raka: nasi goreng kambing yang sudah lama tak sempat mereka nikmati bersama.

“Dia pasti senang,” gumam Alya, membayangkan ekspresi Raka ketika melihat kejutan kecil itu.

Meski sempat diliputi curiga sejak insiden sepatu dan pesan singkat, hari itu Alya memilih menyingkirkan rasa waswasnya. Ia ingin percaya bahwa rumah tangganya baik-baik saja. Bahwa Selina hanya salah waktu. Bahwa Raka tetaplah suami yang ia kenal, penuh perhatian dan cinta.

Mobilnya berhenti di halaman rumah. Dari luar, lampu ruang kerja menyala terang. Alya mengerutkan kening. Biasanya jam segini, Raka sudah beristirahat di ruang tamu atau kamar.

Ia melangkah perlahan, menenteng kantong makanan dengan hati riang yang bercampur ragu. Namun, begitu mendekati pintu, suara tawa samar terdengar. Tawa itu jelas berasal dari dua orang: Raka dan… Selina.

Jantung Alya langsung berdegup kencang.

Tangannya bergetar saat menyentuh gagang pintu. Sejenak ia berpikir untuk mundur, memberi waktu bagi dirinya agar tak langsung terhantam kenyataan. Tapi dorongan rasa ingin tahu mengalahkan ketakutan. Ia mendorong pintu dengan hati-hati.

Suara tawa semakin jelas. Ia menapaki koridor pelan-pelan, langkahnya nyaris tanpa suara. Hingga akhirnya ia berdiri di ambang pintu ruang kerja.

Pemandangan di depan matanya membuat napasnya tercekat.

Raka duduk bersandar di kursi, sementara Selina berdiri di sampingnya, menatap tumpukan dokumen di meja. Di antara mereka, ada map tebal berisi sertifikat tanah, surat warisan dari orang tua Alya, serta dokumen rekening.

“Alya terlalu polos,” suara Selina terdengar jelas, penuh sindiran. “Dia bahkan nggak tahu betapa berharganya aset yang dia pegang.”

Raka tertawa kecil, mengangguk. “Makanya aku harus main cantik. Tiga tahun cukup untuk bikin dia percaya kalau aku suami yang sempurna. Setelah itu, semua ini jadi milikku.”

Darah Alya berdesir deras. Kata-kata itu menancap tajam, lebih menyakitkan dari pisau. Tangannya refleks meremas kantong kertas yang ia bawa, hingga terdengar suara kusut.

Raka menoleh, dan mata mereka bertemu. Seketika tawa itu menguap, berganti keheningan mencekam. Selina pun tersentak, wajahnya berubah pucat, lalu cepat-cepat menutup map dokumen.

“Alya…” suara Raka berat, seolah mencari alasan. “Ini—bukan seperti yang kamu lihat.”

Namun Alya sudah melangkah masuk dengan gemetar, wajahnya pucat pasi. “Bukan seperti yang aku lihat? Aku baru saja dengar kalian berdua merencanakan sesuatu… tentang harta orang tuaku. Tentang… aku.”

“Alya, kamu nggak ngerti,” Raka bangkit, berusaha mendekat. “Semua yang kulakukan ini… demi kita juga.”

“Demi kita?” Alya menatapnya dengan mata berkaca-kaca. “Atau demi ambisimu sendiri?”

Selina ikut angkat bicara, suaranya dingin. “Alya, kamu terlalu lugu. Dunia ini bukan cuma tentang cinta dan kesetiaan. Raka butuh lebih dari itu. Dan jujur saja… kamu hanya penghalang.”

Jantung Alya terasa diremas. Kata-kata sahabat yang ia percaya seumur hidup kini berubah jadi pisau yang menusuk tanpa ampun.

“Selina…” suaranya parau, “aku percaya sama kamu. Aku anggap kamu keluarga.”

Selina tersenyum miring, tatapannya penuh kemenangan. “Dan itu kesalahan terbesarmu.”

Alya berbalik hendak pergi, tapi Raka menahan lengannya. “Kamu nggak bisa keluar begitu saja. Kamu pikir setelah tahu semua ini aku akan biarkan kamu?”

Dengan panik, Alya berusaha melepaskan diri. Mereka saling tarik, hingga tangan Raka tak sengaja menyenggol vas kaca di meja. Vas itu jatuh dan pecah berkeping-keping. Suara pecahan menggema, mengiris udara malam.

Alya terhuyung, salah satu serpihan kaca menghantam lengan dan perutnya. Darah segar langsung mengalir, membuatnya terjatuh.

“Alya!” seru Raka spontan, namun bukan karena panik akan keselamatannya, melainkan kaget oleh darah yang tercecer di lantai.

Alya mencoba bangkit, tubuhnya gemetar hebat. Pandangannya mulai buram, napasnya tersengal.

Sementara itu, Selina menatapnya dengan dingin. Ia mendekat, lalu berbisik di telinga Raka, cukup keras untuk Alya dengar.

“Kalau dia mati… semuanya jadi lebih mudah.”

Alya tergeletak, matanya berusaha tetap terbuka. Suara mereka samar-samar masuk ke telinganya, bercampur dengan rasa sakit yang makin mencekik.

Air mata terakhir jatuh di pipinya, sebelum pandangan itu perlahan tertutup oleh kegelapan.

Dan malam itu… hidup Alya berakhir untuk pertama kalinya.

Darah mengalir deras dari perut dan lengannya, membasahi lantai marmer putih yang dulu ia poles dengan penuh cinta. Ruangan yang biasanya hangat kini terasa asing, dingin, dan kejam.

Alya berusaha merangkak, tangannya meninggalkan jejak merah di lantai. Setiap gerakan membuat luka di perutnya makin terbuka, namun ia tetap berusaha. Di kepalanya hanya ada satu harapan: bertahan hidup.

“Raka…” suaranya lirih, hampir tak terdengar. “Tolong aku…”

Namun lelaki itu berdiri kaku, wajahnya pucat, matanya gelisah. Raka menatap darah di lantai seakan lebih takut pada noda yang ditinggalkan ketimbang nyawa istrinya.

“A-apa yang harus kita lakukan?” Raka berbalik pada Selina, suaranya bergetar.

Selina menatapnya tajam. “Jangan panik. Kalau dia selamat, semua rencana kita hancur. Kamu tahu itu.”

Raka menggigit bibirnya, tangannya mengepal. Pandangannya jatuh pada Alya yang masih mencoba meraih ujung meja untuk bangkit. Ada keraguan dalam sorot matanya—sekilas bayangan kasih sayang yang pernah ada. Tapi detik berikutnya, keraguan itu padam, ditelan ambisi.

“Maafkan aku, Alya…” bisiknya, namun tidak bergerak mendekat.

Alya memandang mereka berdua dengan mata berkaca-kaca. Dadanya sesak, bukan hanya karena darah yang terus mengalir, tetapi juga karena pengkhianatan yang begitu telak. Lelaki yang ia cintai, sahabat yang ia percaya… justru berdiri sebagai algojo yang membiarkannya mati.

Air mata bercampur darah di sudut bibirnya. Ia ingin berteriak, ingin mengutuk mereka berdua, namun hanya erangan lirih yang keluar.

“Aku… percaya sama kalian…”

Selina mendekat, jongkok di samping tubuh Alya. Senyumnya tipis, hampir menyeramkan. “Dan itu kebodohan terbesarmu. Kau terlalu mudah ditipu, Alya.”

Alya ingin menampar wajah itu, namun tubuhnya terlalu lemah. Ia hanya bisa menatap penuh dendam, menyimpan rasa sakit itu jauh ke dalam hatinya.

Detik-detik berlalu terasa abadi. Ruangan berputar, pandangan Alya semakin kabur. Ia mendengar suara detak jam dinding, berdetak perlahan seakan menghitung mundur hidupnya.

“Aku nggak mau mati…” pikirnya, hatinya menjerit. “Aku belum siap… aku belum selesai…”

Namun tubuhnya tak lagi mampu melawan.

Dengan sisa tenaga terakhir, Alya mengangkat wajah, menatap Raka. “Kalau aku pergi… jangan pernah kau kira aku akan diam di alam sana…”

Raka melotot, tidak mengerti apakah itu ancaman atau sekadar halusinasi seorang yang sekarat.

Lalu, napas Alya terhenti sesaat, sebelum keluar dengan bunyi panjang dan berat. Pandangannya jatuh pada Selina yang masih berdiri angkuh di sisinya.

Dan sebelum semuanya gelap, ia mendengar bisikan itu sekali lagi, suara yang akan menghantuinya:

“Kalau dia mati, semuanya jadi lebih mudah.”

Kegelapan menelan Alya.

Tubuhnya terkulai, nyawanya melayang.

Namun jauh di lubuk hatinya yang paling dalam, bara kecil mulai menyala. Bara dendam. Bara yang kelak akan membawanya kembali.

Malam itu, Alya Baskara resmi mati untuk pertama kalinya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Ku Tentukan Takdirku    Bab 84– Cahaya yang Dipilih

    Sudah hampir satu tahun sejak hari ketika salah satu investor menarik diri dan membuat Alya hampir menyerah. Sejak saat itu, hidupnya tidak lagi sekadar bertahan — tapi bertumbuh. Kini, aroma baru mengisi ruang utama Alyara Home: campuran wangi mawar, jeruk, dan sedikit kayu manis. Sebuah aroma yang ia racik sendiri dan dinamainya Serenity — ketenangan. Produk itu menjadi simbol perjalanan panjangnya, sekaligus varian utama untuk peluncuran cabang pertama Alyara Home di pusat kota. Alya berdiri di depan kaca besar butik barunya. Papan bertuliskan “Alyara Home – Soul of Calm” menggantung elegan di atas pintu, dengan huruf timbul berwarna emas lembut. Di bawahnya, etalase menampilkan deretan lilin aromaterapi, sabun alami, dan diffuser yang dikemas dengan desain sederhana tapi menawan. “Siap, Bu?” tanya Nita sambil memegang clipboard. Suaranya terdengar campur antara gugup dan bangga. Alya tersenyum. “Sudah lebih dari siap, Nit. Hari ini bukan hanya peluncuran toko. Hari ini, kita m

  • Ku Tentukan Takdirku    Bab 83– Ujian Terakhir

    Pagi itu, suasana di Alyara Home tidak seperti biasanya. Tidak ada tawa riang di ruang workshop, tidak ada aroma lavender yang menenangkan. Semua orang tampak tegang — bahkan Nita, yang biasanya paling ceria, terlihat gelisah di depan laptop. Alya menatap layar yang menampilkan grafik penjualan dan tabel pengeluaran bulan berjalan. Angkanya tidak buruk, tapi masalahnya bukan di situ. Masalahnya adalah pesan singkat yang baru saja masuk tadi pagi — dari salah satu investor kecil mereka. > “Dengan berat hati, kami harus menarik modal dari Alyara Home mulai akhir bulan ini.” Hanya satu kalimat sederhana, tapi cukup membuat udara di ruangan terasa berat. Investor itu bukan yang terbesar, tapi ia adalah salah satu penopang utama di fase awal. Modal darinya digunakan untuk produksi massal batch pertama lilin aromaterapi, juga untuk membayar sewa tempat tambahan yang kini sedang dipakai tim baru. Alya menghela napas panjang. “Sudah coba hubungi, Nita?” Nita mengangguk lemah. “Sudah, Bu

  • Ku Tentukan Takdirku    Bab 82– Kehidupan yang Tumbuh

    Langit pagi itu berwarna lembut — campuran biru muda dan jingga yang menenangkan. Di halaman depan Alyara Home, Alya berdiri memandangi taman kecil yang mulai dipenuhi bunga lavender dan melati. Aroma lembutnya bercampur dengan wangi minyak esensial yang menguar dari ruang workshop di belakang rumah. Tempat itu dulu hanyalah ruang kosong, tapi kini menjadi sumber kehidupan baru bagi banyak orang — terutama bagi Alya sendiri. Suara tawa pelan terdengar dari dalam. Beberapa perempuan muda tengah sibuk mencampur bahan untuk membuat lilin aromaterapi. Mereka adalah bagian dari tim kecil yang dibentuk Alya — sebagian mantan ibu rumah tangga, sebagian lagi anak muda yang mencari arah hidup. “Bu Alya, ini campuran lavender sama vanilla-nya pas nggak?” tanya salah satu dari mereka, dengan tangan penuh sisa lilin cair. Alya tersenyum, mendekat sambil mengambil sendok kecil dari meja kerja. “Coba sedikit tambahkan vanilla-nya. Wangi lavender yang terlalu kuat bisa bikin kesan dingin. Kita ma

  • Ku Tentukan Takdirku    Bab 81 – Jejak Masa Lalu

    Sudah hampir setengah tahun sejak Alyara Home menjadi nama yang mulai dikenal. Bisnisnya stabil, keuangan cukup sehat, dan beberapa media menulis kisah Alya sebagai simbol ketangguhan perempuan. Namun di tengah kesibukan itu, ada sesuatu yang tiba-tiba mengetuk kembali — masa lalu yang selama ini ia biarkan diam di belakang. Sore itu, Alya baru saja selesai melakukan sesi pelatihan dengan beberapa ibu rumah tangga di ruang komunitas kecil miliknya. Mereka tertawa saat membicarakan aroma lilin baru yang sedang dikembangkan, aroma “cempaka dan tanah basah” — wangi yang menenangkan, katanya. Salah satu dari mereka, Sinta, berkata sambil tersenyum, “Bu Alya, wangi ini seperti hujan pertama setelah kemarau. Lembut tapi mengingatkan banyak hal.” Alya mengangguk pelan. “Kadang memang, hal sederhana seperti aroma bisa membawa kita ke masa lalu.” Ia tak tahu, kalimat itu akan menjadi pengantar dari sesuatu yang benar-benar datang dari masa lalunya sendiri. Begitu pelatihan selesai dan r

  • Ku Tentukan Takdirku    Bab 80– Langkah Pertama

    Pagi itu, aroma lavender dan melati bercampur lembut di udara. Alya menatap rak pajangan di ruang produksinya — deretan lilin aromaterapi, sabun alami, dan diffuser dari kayu jati kecil yang tertata rapi dengan label Alyara Home. Setiap produk dibungkus dengan kertas daur ulang berwarna krem, dihiasi pita tipis dan logo bunga sederhana hasil desainnya sendiri. Tiga bulan terakhir terasa seperti mimpi. Pesanan yang awalnya hanya datang dari teman dan tetangga kini mulai meluas ke luar kota. Ia bahkan harus menambah dua karyawan untuk membantu proses pengemasan dan pengiriman. Alya tersenyum kecil, mengingat hari-hari awalnya — saat ia membuat sabun pertama dengan tangan gemetar, takut gagal, takut tak ada yang tertarik. Kini, suara tawa para pegawainya di ruang belakang terdengar seperti musik yang menandai betapa jauh ia sudah melangkah. “Bu Alya, ini pesanan dari toko konsep di Bandung. Mereka minta stok dua kali lipat bulan ini,” ujar Dimas, asistennya yang kini dipercaya menga

  • Ku Tentukan Takdirku    Bab 79– Babak Baru Dimulai

    Sudah hampir satu bulan sejak dunia Alya berubah total — kali ini bukan karena kehancuran, tapi karena kebebasan. Rumah mungilnya di pinggiran kota kini terasa seperti tempat perlindungan. Setiap pagi ia menyeduh teh hangat, membuka jendela, dan membiarkan cahaya matahari masuk tanpa rasa takut apa pun. Tak ada lagi teriakan Raka, tak ada aroma parfum mahal milik Selina yang menempel di dinding rumah. Hanya aroma lavender dan melati dari produk Alyara Home yang menenangkan setiap sudut. Hari itu, Alya baru saja selesai membungkus beberapa pesanan pelanggan ketika ponselnya bergetar. Pesan dari Dimas, asisten mudanya, muncul di layar. > “Bu Alya, lihat berita siang ini. Tentang Pak Raka.” Alya mengerutkan dahi, menekan tautan berita yang dikirimkan. Layar menampilkan wajah Raka — bukan dengan jas rapi seperti dulu, melainkan dengan ekspresi lelah dan pakaian kusut. Judul besar terpampang: “Mantan Direktur PT Gracindo Group Diperiksa Terkait Penggelapan Dana.” Ia membaca perlahan

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status