Kami segera meluncur menuju lokasi kebakaran tersebut. Hatiku benar-benar gundah dan tidak bisa fokus mengingat foto tadi. Apa yang sebenarnya Luna sembunyikan dariku. Arghhh, aku menggenggam kedua kepalaku dengan kuat. Ada apa ini. Kenapa aku tidak mencurigai dari awal gelagat Luna saat bertemu Fisal. Aku bisa merasakannya dulu, tapi aku pikir hal wajar bagi wanita. Sial! Kenapa aku kurang peka. Kusandarkan kepala di jok mobil, mencoba menerawang masa-masa dulu bersama Luna. Tak terasa senyum mengembang dari bibirku. Namun, kini hatiku sangat hancur setelah tahu kenyataan tadi. Aku bertekad akan menanyakannya kembali setelah kunjunganku selesai. Di sebelahku Iwan yang sedang mengendarai mobil. Aku menyuruhnya pergi bersamaku. Sedangkan, mobil miliknya ditinggal di rumah tadi. Ada suruhannya yang akan menjemput.Perjalanan menuju perusahaan cabang yang terletak di kota Bandung cukup jauh, waktu yang ditempuh sekitar dua setengah jam. Belum lagi kalau jalanan macet - apalagi pagi
"Oh, Ka Arga, Bisa tolong ...." Eka melihatku bersama Luna melewati mereka."Maaf, tidak, bisa," jawabku memotong ucapannya. Aku tahu Eka akan memintaku untuk melunasinya. "Sebaiknya, kalian jual kembali tas-tas dan perhiasan yang telah kalian beli itu. Tuh, kalung, cincin, dan gelang di tangan ibu, Rita dan juga kamu, kalau dijual bisa melunasi semua utang kalian," sindirku kemudian melangkah, diikuti Luna."Tunggu, Arga!" seru ibu.Kuhentikan langkahku dan berbalik ke arahnya. "Ada apa lagi, Bu?"Ibu menoleh ke Luna, "Luna, kau juga akan pergi dari sini?""Iya, Ma. Saya harus mengikuti suamiku.""Kau yakin? Bagaimana dengan fotomu, apa kau tidak ...." "Aku sudah jelaskan ke Ka Arga. Akan kami selesaikan sendiri masalah itu nantinya."Senyumku tersimpul dengan jawaban Luna. Setidaknya, aku suka keberaniannya kali ini menjawab pertanyaan ibu dengan tegas."Kamu serius? Apa kau tidak khawatir foto itu akan menyebar?" Ibu mulai memainkan kartunya lagi tapi sayang, aku tak sebodoh yang
"Lun, kita ke rumah ibu dulu ya!""Mau ngapain?""Ada beberapa dokumen penting saya yang kutinggalkan di sana. Takutnya, mereka membuangnya!"**"Ini barang-barang siapa?" tanya Luna.Aku dan Luna keheranan melihat banyak barang yang sudah berhamburan di depan rumah setelah kami tiba. Mataku mencoba menerawang ke dalam. Semua terlihat sangat berantakan. Ada apa ini?"Eka ... Rita! Ini tas dan barang-barang kenapa di luar?"Eka dan Rita belum menjawab dan tidak menoleh sedikitpun ke arah kami. Mereka masih tergugu dengan wajah memilukan. Kami menatap mereka bergantian.Aku dan Luna langsung melangkah ke dalam rumah, ingin melihat apa yang sebenarnya terjadi. "Maaf, Pak. Ini ada apa, ya?" tanyaku pada seorang lelaki dengan seragam lengkap berwarna cokelat."Maaf, Pak. Rumah ini disita sementara," jawabnya."Disita?""Ya, terlilit utang yang sangat banyak." Aku dan Luna saling berpandangan."Ma, apa sebenarnya yang terjadi?" Luna menanyai Bu Mega yang baru keluar dari kamar."Ini semua
"Sepertinya, aku pernah lihat ibu, tapi di mana?" Lama aku menatapnya hingga membuatnya salah tingkah."Kayaknya salah orang, deh! Mungkin di pesta malam itu kita pernah berpapasan," jawabnya."Mmm ... Iya juga, tapi ... Aku ingat sekarang! Kalau tidak salah, ibunya Adit kan, salah satu karyawan saya?""Kok, Mas, bisa ingat?""Kan kita satu kompleks tempat tinggalnya. Kalau tidak salah, saya sering melihat ibu diantar Adit lewat di depan rumah.""Hihi ... Iya." Ia tersenyum hingga gigi depannya terlihat.Aku berjalan menghampiri Luna yang lebih dulu meninggalkanku. Kuperhatikan dari sini bagaimana Luna mengajari adik-adiknya menata dan menyiapkan makanan. Aku tak menyangka, ia masih mengingat mereka.Kuurungkan niatku menghampiri mereka. Aku mencari tempat yang aman kemudian duduk- memerhatikan mereka dari sini - tak ingin merusak suasana."Aku tak bisa, tak biasa seperti ini." Rita mengeluh dan melepaskan kembali beberapa bahan yang ia pegang."Gak boleh gitu, Rit. Kau harus bisa. U
"Tapi, Ma. Eka gak suka diperlakukan kayak tadi. Apalagi tadi si Arga, lagaknya kayak Bos. Ka Luna juga ikut-ikutan memerintah segala. Ih, nyebelin!" gerutu Eka. "Ehmm ... Sepertinya, aku mendengar namaku disebut atau aku salah dengar?" Aku menuruni anak tangga. "Ka Ar-ga!" Mereka terperangah dengan kedatanganku. Bisa kulihat jelas wajah mereka menegang. "Ingat waktu kalian hanya sebulan. Kalau kalian tidak siap, ya sudah. Saya melepaskannya kembali rumah ini. Semua pilihan ada di tangan kalian. Saya tidak ingin memaksa, tapi kalian sendiri yang meminta," ucapku, hendak berlalu dari mereka. "Ini hanya salah paham, Ga. Ibu akan lebih tegas lagi sama mereka nanti." "Baiklah!" Aku mendengar suara mobil masuk pekarangan rumah. Kulihat sebentar, dua mobil sedang terparkir. Beberapa wanita keluar dari mobil tersebut dengan dandanan yang sungguh menyilaukan mata. Bila kutaksir usia mereka sekitar hampir lima dan empat puluhan tahun. "Samlaikum ... Sore!" "Iya, sebentar!" Bu Mega memb
Fisal!"Di sini anda rupanya! Ke mana saja selama ini?""Lumayan, banyak urusan." Tatapan tajam itu mulai berubah sayu seperti orang yang sedang putus asa. Ia pun bangkit dan berlalu dari kami."Ke mana, kau tak membantu mereka?" Tak ada jawaban dari Fisal. "Kau harus ikut bertanggungjawab tentang penyitaan rumah itu." Ia hanya berlalu dari kami hingga hilang dari pandangan. Kenapa setiap bertemu dengannya, perasaanku selalu tak enak karena matanya selalu melihat ke Luna. Wajah Luna selalu menoleh ke tempat lain atau menunduk tak pernah melirik ke lelaki tadi. Apa yang sebenarnya terjadi. Atau mungkin perasaanku saja karena melihat foto yang lalu. Entahlah, mengingat foto itu membuat darah ini mendidih dan wajah ini memerah. Luna sudah lebih dulu berjalan meninggalkanku sendiri. Aku pun berjalan menghampiri Rita dan Eka. Wajah mereka terlihat kisut. Tadi kulihat cukup banyak pengunjung yang datang mungkin membuat mereka sedikit kewalahan atau karena tak suka ada kami di sini. Kulihat
"Kalau mereka sulit mengakui, maka aku sarankan paksa mereka mengakuinya atau ancam untuk membayar semua kerugian yang mereka timbulkan," tekanku."Baik, Bos. Atau bila perlu, kami sita semua harta benda mereka dan juga rumahnya kalau mereka belum menyerah untuk memberitahu!" sambung Iwan, meminta pendapatku."Wah, idemu luar biasa! Aku serahkan sepenuhnya sama kalian. Yang penting, aku tunggu info selanjutnya," sambungku. Aku tahu Iwan ikut menyahut untuk menggertak kedua lelaki tersebut agar secepatnya mengakui. "Apakah mereka kerja di tempat yang sama?""Tidak, Bos. Setelah ditelusuri, mereka bekerja di tempat yang berbeda. Joko bekerja di perusahaan cabang dan Radit di sini.""Joko sebagai apa di sana?" tanyaku."Joko bertanggungjawab di bagian teknisi begitu juga Radit.""Bagaimana mereka bisa bekerjasama?""Nanti akan kami tanya, Bos. Mungkin mereka sudah merencanakan sebelumnya atau ada yang menyuruh mereka.""Iya, selidiki semuanya. Jangan sampai ada yang terlewatkan. Saya ju
POV LunaAku sedang menemani Arga mencari tahu tentang kedua lelaki yang dicurigai sebagai suruhan. Entah siapa dalangnya. Sebuah panggilan tiba-tiba masuk ke gawaiku. Aku meraih benda pipih tersebut yang tersimpan di dalam tas kemudian menjawab, "Halo. Iya, gimana Rit?""$#$&@." Suara di balik telepon."Apa, astagfirullah! Jadi sekarang Mama di mana, Rit?""@#&$#@.""Mungkin dia kecapean, Rit. Ya udah aku akan ke sana sekarang untuk melihat Mama. Kalian lanjutkan aja dulu pekerjaan kalian di situ ntar aku datang."Rita menghubungiku tentang keadaan mama yang tiba-tiba pingsan. Rita dan Eka harus bergantian mengurus Mama dan Kedai. Sepertinya, mereka kewalahan. Mereka memintaku menemani Mama di rumah sakit. Gegas aku bangkit dari tempat dudukku dan izin ke Arga untuk pulang lebih dulu. Setelah menjelaskan maksudku, aku keluar dari ruangan dan beranjak pergi. Arga ingin mengantarkanku, tapi Iwan datang ke ruangannya hendak memberitahu sesuatu. Aku pun pamit meninggalkan mereka.Tak be