"Sepertinya, aku pernah lihat ibu, tapi di mana?" Lama aku menatapnya hingga membuatnya salah tingkah."Kayaknya salah orang, deh! Mungkin di pesta malam itu kita pernah berpapasan," jawabnya."Mmm ... Iya juga, tapi ... Aku ingat sekarang! Kalau tidak salah, ibunya Adit kan, salah satu karyawan saya?""Kok, Mas, bisa ingat?""Kan kita satu kompleks tempat tinggalnya. Kalau tidak salah, saya sering melihat ibu diantar Adit lewat di depan rumah.""Hihi ... Iya." Ia tersenyum hingga gigi depannya terlihat.Aku berjalan menghampiri Luna yang lebih dulu meninggalkanku. Kuperhatikan dari sini bagaimana Luna mengajari adik-adiknya menata dan menyiapkan makanan. Aku tak menyangka, ia masih mengingat mereka.Kuurungkan niatku menghampiri mereka. Aku mencari tempat yang aman kemudian duduk- memerhatikan mereka dari sini - tak ingin merusak suasana."Aku tak bisa, tak biasa seperti ini." Rita mengeluh dan melepaskan kembali beberapa bahan yang ia pegang."Gak boleh gitu, Rit. Kau harus bisa. U
"Tapi, Ma. Eka gak suka diperlakukan kayak tadi. Apalagi tadi si Arga, lagaknya kayak Bos. Ka Luna juga ikut-ikutan memerintah segala. Ih, nyebelin!" gerutu Eka. "Ehmm ... Sepertinya, aku mendengar namaku disebut atau aku salah dengar?" Aku menuruni anak tangga. "Ka Ar-ga!" Mereka terperangah dengan kedatanganku. Bisa kulihat jelas wajah mereka menegang. "Ingat waktu kalian hanya sebulan. Kalau kalian tidak siap, ya sudah. Saya melepaskannya kembali rumah ini. Semua pilihan ada di tangan kalian. Saya tidak ingin memaksa, tapi kalian sendiri yang meminta," ucapku, hendak berlalu dari mereka. "Ini hanya salah paham, Ga. Ibu akan lebih tegas lagi sama mereka nanti." "Baiklah!" Aku mendengar suara mobil masuk pekarangan rumah. Kulihat sebentar, dua mobil sedang terparkir. Beberapa wanita keluar dari mobil tersebut dengan dandanan yang sungguh menyilaukan mata. Bila kutaksir usia mereka sekitar hampir lima dan empat puluhan tahun. "Samlaikum ... Sore!" "Iya, sebentar!" Bu Mega memb
Fisal!"Di sini anda rupanya! Ke mana saja selama ini?""Lumayan, banyak urusan." Tatapan tajam itu mulai berubah sayu seperti orang yang sedang putus asa. Ia pun bangkit dan berlalu dari kami."Ke mana, kau tak membantu mereka?" Tak ada jawaban dari Fisal. "Kau harus ikut bertanggungjawab tentang penyitaan rumah itu." Ia hanya berlalu dari kami hingga hilang dari pandangan. Kenapa setiap bertemu dengannya, perasaanku selalu tak enak karena matanya selalu melihat ke Luna. Wajah Luna selalu menoleh ke tempat lain atau menunduk tak pernah melirik ke lelaki tadi. Apa yang sebenarnya terjadi. Atau mungkin perasaanku saja karena melihat foto yang lalu. Entahlah, mengingat foto itu membuat darah ini mendidih dan wajah ini memerah. Luna sudah lebih dulu berjalan meninggalkanku sendiri. Aku pun berjalan menghampiri Rita dan Eka. Wajah mereka terlihat kisut. Tadi kulihat cukup banyak pengunjung yang datang mungkin membuat mereka sedikit kewalahan atau karena tak suka ada kami di sini. Kulihat
"Kalau mereka sulit mengakui, maka aku sarankan paksa mereka mengakuinya atau ancam untuk membayar semua kerugian yang mereka timbulkan," tekanku."Baik, Bos. Atau bila perlu, kami sita semua harta benda mereka dan juga rumahnya kalau mereka belum menyerah untuk memberitahu!" sambung Iwan, meminta pendapatku."Wah, idemu luar biasa! Aku serahkan sepenuhnya sama kalian. Yang penting, aku tunggu info selanjutnya," sambungku. Aku tahu Iwan ikut menyahut untuk menggertak kedua lelaki tersebut agar secepatnya mengakui. "Apakah mereka kerja di tempat yang sama?""Tidak, Bos. Setelah ditelusuri, mereka bekerja di tempat yang berbeda. Joko bekerja di perusahaan cabang dan Radit di sini.""Joko sebagai apa di sana?" tanyaku."Joko bertanggungjawab di bagian teknisi begitu juga Radit.""Bagaimana mereka bisa bekerjasama?""Nanti akan kami tanya, Bos. Mungkin mereka sudah merencanakan sebelumnya atau ada yang menyuruh mereka.""Iya, selidiki semuanya. Jangan sampai ada yang terlewatkan. Saya ju
POV LunaAku sedang menemani Arga mencari tahu tentang kedua lelaki yang dicurigai sebagai suruhan. Entah siapa dalangnya. Sebuah panggilan tiba-tiba masuk ke gawaiku. Aku meraih benda pipih tersebut yang tersimpan di dalam tas kemudian menjawab, "Halo. Iya, gimana Rit?""$#$&@." Suara di balik telepon."Apa, astagfirullah! Jadi sekarang Mama di mana, Rit?""@#&$#@.""Mungkin dia kecapean, Rit. Ya udah aku akan ke sana sekarang untuk melihat Mama. Kalian lanjutkan aja dulu pekerjaan kalian di situ ntar aku datang."Rita menghubungiku tentang keadaan mama yang tiba-tiba pingsan. Rita dan Eka harus bergantian mengurus Mama dan Kedai. Sepertinya, mereka kewalahan. Mereka memintaku menemani Mama di rumah sakit. Gegas aku bangkit dari tempat dudukku dan izin ke Arga untuk pulang lebih dulu. Setelah menjelaskan maksudku, aku keluar dari ruangan dan beranjak pergi. Arga ingin mengantarkanku, tapi Iwan datang ke ruangannya hendak memberitahu sesuatu. Aku pun pamit meninggalkan mereka.Tak be
"Ka Arga ... Kumohon dengarkan a ....""Diam. Jangan pernah mengikutiku!" bentakku sambil berjalan menuju mobil kemudian menutup pintunya dan tidak memedulikan Luna yang masih mematung di sini.Amarahku belum bisa kuredam. Aku takut kalap dan main hakim sendiri. Tatapanku penuh amarah melihatnya berdiri di sana. Aku meninggalkannya sendiri dan berlalu dengan mobilku. Aku benar-benar ingin sendiri dulu - tak kuat menahan gemuruh di dada ini yang kian membuncah. Dan lelaki itu hanya tersenyum puas melihat kami. Aku tak pernah menyangka Luna bisa berbuat seperti itu. Benar kata Rita dan Eka, aku memang lelaki bodoh yang bisa ditipu dengan diam dan keluguan Luna. Sikap anggun dan tenangnya menutupi keburukannya. Bisa-bisanya aku diperdaya olehnya dengan mudah. Aku memang buta dan bodoh.Kenapa aku terlalu mudah memercayai Luna?Pikiranku terus menerawang kejadian sebelumnya. Masih membekas di ingatanku tentang foto mereka. Saat Luna menikmati juga pelukan itu. Sungguh menjijikkan!Aku mu
Mataku samar-samar melihat orang-orang berdatangan mengelilingiku. Perlahan penglihatanku mulai memudar, memutih kemudian tertutup - tak tahu apa yang terjadi setelahnya.***Aku membuka mata perlahan. Kulihat sekeliling, dinding bercat putih. Ini bukan kamarku. Sebuah selang infus menancap di punggung tanganku. Aku mulai sadar bahwa aku berada di ruang perawatan. Entah, sudah berapa lama aku berada di sini.Ingin sekali aku bangkit, tetapi nyeri kurasakan sakit sekali di pinggangku. Kuusahakan terus untuk bangun, tetap saja tak bisa. Kenapa sakit sekali semua badanku?Aku mulai ingat terakhir kali di Club malam. Oh, aku ditabrak! Kakiku?Aku menoleh, ingin melihat kakiku - ternyata sudah digips. Aku mencoba untuk menggerakkannya. Benarkah tulang kakiku patah.Ouch. Sakit sekali!"Maaf, Pak. Jangan gerakan kaki anda. Tulang kaki anda butuh pemulihan. Mohon tenang ya, Pak! Saat ini anda masih dalam penanganan kami." Seorang perawat menghampiriku dan melarang untuk bergerak. Yang kuden
POV LunaSejak kejadian itu aku sangat sedih dan terpukul. Arga sangat marah hingga tak memedulikan aku yang mengiba padanya. Aku dibiarkan sendiri berdiri seperti orang yang tak punya harapan lagi. Aku tak tahu harus ke mana. Balik ke dalam rumah pun tak mungkin. Atau pergi mengikutinya ke rumah, aku tak berani. Aku takut ia sangat marah padaku kalau bertemu dengannya dalam keadaan seperti ini. Sudah dua hari aku berada di hotel ini. Aku memutuskan tinggal di sini, tempat yang aman bagiku daripada di rumah bersama mereka, saudariku. Apalagi ada lelaki seperti Fisal, ih menakutkan. Untungnya, ATM-ku masih banyak saldonya karena Arga selalu mentransfer sebagian gajinya ke rekeningku. Mungkin ini waktu yang tepat untuk bertemu Arga. Biasanya, amarah seseorang sudah mulai stabil kalau sudah beberapa hari. Aku memutuskan ke rumah menemuinya sekaligus menjelaskan semua masalahnya. Semoga ia menerima penjelasanku."Assalamualaikum, Bi.""Wa'alaikum salam. Dari mana aja, Non. Gak pulang k