Share

Mengambil Rambut Mas Riky

"Ngapain, sih, malam-malam nyuruh kesini? Kurang kerjaan?"

Aku mendongak, mendapati Mas Riky. Pria itu melipat kedua tangan di depan dada. Pandanganku beralih ke meja Hanin. 

Eh? Kemana mereka? 

"Malah diam. Ngapain, Ria?" tanya Mas Riky kembali.

Hanin dan pria itu tidak ada lagi. Padahal, aku hanya mengalihkan pandangan beberapa menit. 

"Gak jadi."

Ah, ini benar-benar aneh. Tiba-tiba saja mereka menghilang. Atau—Hanin sudah tahu, kalau aku datang?

Setelah membayar pesanan, aku menyuruh Mas Riky membawa barang-barang. 

"Kok banyak banget belanjanya? Kamu pakai uang siapa?"

Aku menoleh ke pria itu. "Bukan urusan kamu."

Masalah tadi, membuatku kesal. Harusnya, Mas Riky bisa tahu kelakuan Hanin. 

"Biar aku yang nyetir. Kalau kamu, lagi kayak gini, ngeri."

Mataku membulat mendengarnya. Langsung masuk ke mobil, duduk di kursi penumpang. 

"Nih, lihat. Kelakuan Hana."

Akhirnya, aku memutuskan untuk memberitahukan Mas Riky, meskipun hanya foto. Dia memang harus tahu kelakuan si Hanin.

Sebelum mobil berjalan, Mas Riky sempat memperhatikan ponselku lebih dulu. Dia menlupa like dan komen, yaa.gkat bahu. 

"Yang ngedit hebat banget."

Aku melongo mendengarnya. "Ngedit? Kamu kira ini bohongan, gitu?"

Mas Riky mengangkat bahu. "Kamu masih cinta sama aku? Kok kayaknya memojokkan Hanin?"

Mulutku seperti tersumpal sesuatu mendengarnya. 

Lebih baik diam, daripada dipojokkan kembali. Biar kita lihat, apa yang akan terjadi berikutnya. Aku juga akan berusaha mengumpulkan bukti, agar Mas Riky menyesal. 

Ya. Mas Riky harus menyesal. 

***

"Udah. Aku mau ke rumah Hanin dulu."

Mas Riky meletakkan barang belanjaan ke atas meja. Dia melirik ke jam dinding. Sudah tengah malam. 

"Pa, temenin Adel tidur."

Kami sama-sama menoleh. Mendapati Adel yang sudah memakai piyama. 

"Kok kamu belum tidur? Ini udah malam banget, lho." Aku membuka mulut, menatap Adel.

"Sstt ... aku temenin Adel tidur dulu."

Pria itu berjalan mendekati Adel, kemudian mengajak anakku ke kamar. 

Sebenarnya, ada rasa tidak percaya di dalam hatiku, ketika mengetahui Mas Riky berkhianat. Apalagi, Mas Riky benar-benar sayang pada Adel. 

Ah sayangnya, bukti sudah kuat. Semua tidak bisa diganggu gugat. Aku menggelengkan kepala. Jangan sampai, aku goyah dengan keputusan ini. 

Saat hendak ke kamar, terdengar dering ponsel. Aku menatap ponsel Mas Riky yang tertinggal di atas meja. 

[Kamu kok gak pulang-pulang? Aku kangen. Bayi kita juga.]

Wanita ini benar-benar mirip ulat bulu. 

[Aku gak pulang, Sayang. Di rumah itu katanya banyak yang ganggu. Serem.]

Aku buru-buru menghapus pesan itu. 

[Kamu hati-hati, ya, di rumah malam ini. Awas di jendela ada putih-putih.]

Setelah selesai menakut-nakuti Hanin, aku langsung membuatkan Mas Riky teh. 

Kalian tidak akan bisa bersama malam ini. 

"Aku mau langsung pulang."

"Ini minum dulu tehnya, Mas. Makasih udah mau jagain Adel. Lain kali gak usah."

Mas Riky mengangkat bahu. Menerima minuman yang aku sodorkan. 

"Aku masih papanya. Lagipula, aku juga masih ada hak tinggal disini. Kita belum resmi bercerai. Bahkan, surat perceraian belum turun."

"Terserah kamu sajalah."

Aku kembali ke dapur. Mengangkat mie rebus. 

Beberapa menit, aku mengecek Mas Riky kembali. Dia sudah terlelap. 

"Bagaimana, Mas? Kamu capek?"

Waktunya mengisi perut. Aku menatap wajah Mas Riky. 

Ya. Mas Riky memang masih kaya sekarang. Mama mertuaku kaya. Maka nya, Mas Riky bisa membeli apa pun, meskipun sudah dipecat. 

Besok, aku akan membicarakan masalah ini pada Mama mertua. 

Aku berdiri. Berjalan mendekati Mas Riky. 

Ada kesempatan juga untuk menggunting rambut Mas Riky. Aku menggunting secukupnya. Memasukkan ke dalam plastik. 

"Kamu akan menyesal, kalau hasil tes DNA ini negatif, Mas."

Pandanganku kembali beralih ke Mas Riky. 

"Sekarang, kamu tidur sama nyamuk aja, Mas. Bukan sama Hanin."

***

Jangan lupa like dan komen, yaa.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status