POV Hanin. ***"Mas, kayaknya aku udah telat satu bulan, deh."Mas Riky yang sedang memeras kelapa langsung menoleh. Matanya melebar, dia seolah tidak percaya dengan perkataanku barusan. "Serius? Mau periksa sekarang? Biar aku beliin alat tesnya." Dia langsung berdiri, membuatku tersenyum. Ikut duduk di lantai. "Gak harus sekarang. Siapa yang nyuruh? Selesaiin marut kelapa dulu. Nanti, kita beli bareng-bareng."Senyum Mas Riky mengembang. Dia mengangguk mantap, buru-buru melakukan tugasnya kembali. Beberapa hari yang lalu, Ria dan Putra sudah pamit. Aku selalu mendoakannya agar cepat hamil. Doa yang sama untukku, aku berharap agar cepat memberikan keturunan pada Mas Riky. Jujur saja, rasa bersalah itu masih ada di hati dan pikiranku. Di mana Mas Riky harus kehilangan anak kami. Ya, bayi itu sebenarnya bukan anak Mas Riky, tapi dia tetap menyayangi sepenuh hati. Tidak peduli dengan omongan orang. "Aku aja yang masak. Kamu istirahat."Aku menggigit bibir, ketika melihat Mas Riky
[Pesta ulang tahun bayiku yang pertama bakalan mewah banget. Kamu rugi kalau gak datang. Aku tunggu, ya.]Aku tersenyum tipis, melihat pesan yang baru saja masuk. Tentu saja aku akan datang. Kedatanganku nanti, akan menjadi musibah untuk acara anak pertama Hanin—teman kantor suamiku. Bayinya sudah berumur satu tahun sekarang.Hanin. Wanita polos yang penuh misteri. Sayangnya, aku sudah tahu semuanya. Beberapa minggu yang lalu. Wanita itu pelakor. Dia merebut suamiku. Aku justru baru tahu beberapa minggu terakhir. "Sayang, aku berangkat dulu. Kamu cari pakaian yang bagus, buat ke pesta nanti. Jangan malu-maluin.""Mana uangnya, Mas?""Eh?" Mas Riky menoleh ke aku. "Uang apa?""Uang biar gak malu-maluin, Mas. Kamu nyuruh aku dandan, 'kan?"Mas Riky menggaruk rambutnya. Dia kebingungan sendiri. "Pakai uang kamu dulu. Kapan-kapan aku ganti."Aku mengambil tas kerja Mas Riky. Berjalan lebih dulu ke depan rumah. Mengantarnya. "Habis uangku, Mas. Bulan ini kamu cuma kasih setengah dari
"Saya dikhianati. Rumah tangga saya tidak jelas arahnya. Dan wanita ini dengan santainya membuat pesta. Seolah tidak punya rasa bersalah sedikit pun."Semua pandangan tertuju ke arah Hanin. Aku tersenyum tipis. Dengan langkah pelan, aku mendekati Hanin yang dipegangi oleh beberapa tamu undangan. "Itu seriusan? Gak bohongan, 'kan?"Terdengar bisik-bisik tamu. Aku diam sejenak. Berhenti tepat di samping Hanin. Rasanya, aku tidak percaya ketika mengetahui semuanya. Ah, seperti mustahil terjadi. "Ria!"Mendengar panggilan itu, aku langsung menoleh. Mendapati Mas Riky yang berdiri di bawah panggung. Mau apalagi dia?Mas Riky bergegas ke atas panggung. Menggenggam tanganku, mengajak untuk ke tempat lain. Wanita yang menjadi selingkuhannya itu juga ikut. Dia sudah menangis. Malu, karena aku membuat kacau acaranya. "Apa yang barusan kamu lakukan, hah?! Kamu mempermalukan aku di depan umum, Ria!"Aku tertawa mendengarnya. "Itu fakta."Tidak ada gunanya berdebat disini. Aku memilih berdi
"Saya mau bertemu dengan pimpinan perusahaan.""Sebentar, Bu. Saya cek dulu."Sebenarnya, aku sudah mengenal pimpinan perusahaan Mas Riky. Namun, aku akan menemuinya disini sekarang. Beberapa detik menunggu. Akhirnya, aku diperbolehkan menemui pimpinan perusahaan. "Ah, Ria. Apa kabar?"Pria berjas hitam duduk di kursi kebanggaannya. Aku tersenyum tipis, mendekatinya."Baik, Bang. Ada yang mau Ria bicarakan."Bang Cakra—pria dengan wibawa tinggi yang sangat mengenalku. Ini benar-benar kesempatan bagus untuk membujuknya. "Silakan duduk."Meksipun sudah akrab, aku tetap menghormatinya. "Abang tahu apa yang mau kamu bicarakan, Ria."Pasti berita kemarin menyebar dengan cepat. Aku tersenyum kembali, urusanku akan semakin mudah. "Ini yang kamu mau, 'kan?"Bang Cakra menggeser dua lenbsr kertas. Aku langsung membukanya. Membaca dengan cepat. Surat yang benar-benar di luar dugaanku. Sudah aku bilang, urusan ini akan mudah. "Tidak perlu kamu datang kesini. Abang akan memproses semuanya.
"Aduh, ngeselin banget, deh. Pakaian aku basah semua. Aku mau pulang aja. Urusan ganti rugi besok-besok."Hanin langsung mendorong kereta bayinya. Dia sama sekali tidak membayar makanannya.Aku menatap beberapa helai rambut yang ada di dalam plastik. Ya, aku akan melakukan tes DNA. Untuk membuktikan apakah benar bayi itu anak kandung Mas Riky.Ah, aku juga sempat memasukkan perekam suara di kereta bayi. Tersembunyi. Tidak akan ketahuan."Kamu lihat saja. Apa yang akan aku lakukan pada keluargamu nanti."***Sampai di rumah, aku mengernyit ketika melihat mobil Mas Riky terparkir di halaman depan. Mau apalagi dia kesini?"Ria. Ada yang mau aku bicarakan."Aku melirik Mas Riky tanpa minat. "Ada apa, Mas? Mau membahas apa yang sudah berlalu?"Mas Riky melempar kertas ke atas meja. Ah, kertas pemecatannya."Ini semua gara-gara kamu. Kamu yang ngadu ke kantor? Kamu yang buat aku dipecat?"Wajah Mas Riky memerah. Terlihat sekali, dia sedang menahan marah. Aku tersenyum tipis."Kesalahan kamu
"Wow. Ada pelakor rupanya."Aku menceletuk, sambil tertawa pelan. Sedangkan beberapa orang menoleh ke aku. "Serius, Bu Ria? Pelakor?"Kali ini, pandangan Hanin ke arahku. Dia menggeram pelan. Buru-buru mendekatiku. "Iya. Gak malu banget. Saya sampai kesal sendiri lihat orang ini."Tanganku ditarik Hanin. Kami menjauhi kerumunan. Aku menatap Hanin. Melipat kedua tangan di depan dada. Wanita ini benar-benar tidak tahu malu."Kenapa? Malu dibilang pelakor di depan banyak orang? Gimana kalau aku bilang, kamu yang rebut suami aku? Malunya berkali-kali lipat mungkin.""Diam kamu, Ria. Kebanyakan bicara. Awas aja kalau sampai semuanya tahu."Mendengar perkataan Hanin, aku tertawa. Tidak salah dia berkata seperti itu?Sebenarnya, aku juga ingin memberitahukan semuanya. Ah, tapi itu jadi tidak seru. Biarlah mereka tahu sendiri. Sedangkan aku, berjalan dengan rencanaku. "Meskipun aku gak kasih tahu semuanya sekarang, tapi akan ada saatnya semua orang tahu, kalau kamu yang merebut suamiku."
"Ngapain, sih, malam-malam nyuruh kesini? Kurang kerjaan?"Aku mendongak, mendapati Mas Riky. Pria itu melipat kedua tangan di depan dada. Pandanganku beralih ke meja Hanin. Eh? Kemana mereka? "Malah diam. Ngapain, Ria?" tanya Mas Riky kembali.Hanin dan pria itu tidak ada lagi. Padahal, aku hanya mengalihkan pandangan beberapa menit. "Gak jadi."Ah, ini benar-benar aneh. Tiba-tiba saja mereka menghilang. Atau—Hanin sudah tahu, kalau aku datang?Setelah membayar pesanan, aku menyuruh Mas Riky membawa barang-barang. "Kok banyak banget belanjanya? Kamu pakai uang siapa?"Aku menoleh ke pria itu. "Bukan urusan kamu."Masalah tadi, membuatku kesal. Harusnya, Mas Riky bisa tahu kelakuan Hanin. "Biar aku yang nyetir. Kalau kamu, lagi kayak gini, ngeri."Mataku membulat mendengarnya. Langsung masuk ke mobil, duduk di kursi penumpang. "Nih, lihat. Kelakuan Hana."Akhirnya, aku memutuskan untuk memberitahukan Mas Riky, meskipun hanya foto. Dia memang harus tahu kelakuan si Hanin.Sebelum
"Kok aku tadi malam gak pulang ke rumah Hanin?"Aku menoleh. Mas Riky sedang mendumal sendirian. "Lupa ingatan kali kamu. Kamu ketiduran tadi malam."Mas Riky bersungut-sungut. Dia tampak sebal sekali. Berjalan meninggalkan dapur. "Ma, Papa mana?" "Udah kerja kayaknya, Sayang. Kamu duduk sini, sarapan." Adel mengangguk. Berjalan ke arahku. "Nanti Mama mau pergi lagi?" Aku terdiam mendengar pertanyaan Adel. Sebelum kasus perselingkuhan Mas Riky ini, aku memang jarang sekali keluar rumah. "Iya. Ada urusan sebentar. Nanti, Adel bareng Oma aja. Mama anterin nanti."Buru-buru aku mengambilkan Adel sarapan. Agar dia tidak banyak bertanya lagi. "Mama lagi ada masalah, ya? Atau berantem sama Papa?"Mendengar pertanyaan Adel, aku sedikit tersentak. Menggigit bibir, berusaha mencari jawaban yang tepat. "Enggak. Mama sama Papa lagi sibuk aja. Gak ada masalah apa-apa, kok."Adel masih menatapku tidak percaya. Dia mengambil piring yang aku sodorkan. Gantian aku menatap Adel. Anak perempu