"Wow. Ada pelakor rupanya."
Aku menceletuk, sambil tertawa pelan. Sedangkan beberapa orang menoleh ke aku. "Serius, Bu Ria? Pelakor?"Kali ini, pandangan Hanin ke arahku. Dia menggeram pelan. Buru-buru mendekatiku. "Iya. Gak malu banget. Saya sampai kesal sendiri lihat orang ini."Tanganku ditarik Hanin. Kami menjauhi kerumunan. Aku menatap Hanin. Melipat kedua tangan di depan dada. Wanita ini benar-benar tidak tahu malu. "Kenapa? Malu dibilang pelakor di depan banyak orang? Gimana kalau aku bilang, kamu yang rebut suami aku? Malunya berkali-kali lipat mungkin.""Diam kamu, Ria. Kebanyakan bicara. Awas aja kalau sampai semuanya tahu."Mendengar perkataan Hanin, aku tertawa. Tidak salah dia berkata seperti itu?Sebenarnya, aku juga ingin memberitahukan semuanya. Ah, tapi itu jadi tidak seru. Biarlah mereka tahu sendiri. Sedangkan aku, berjalan dengan rencanaku. "Meskipun aku gak kasih tahu semuanya sekarang, tapi akan ada saatnya semua orang tahu, kalau kamu yang merebut suamiku."***Pulang dari minimarket, aku malah dikejutkan dengan keberadaan Mas Riky di rumah. Dia sedang bersama Adel. Saat aku hendak bicara, Mas Riky langsung menarik tanganku. "Sekarang, kamu pergi dari sini. Untuk apalagi kamu injakin kaki kamu di rumahku? Gak tahu malu?""Aku kesini, karena Adel. Bukan karena kamu."Mendengar itu, aku memalingkan wajah. Sok peduli dengan Adel."Awas aja kalau Adel tahu lebih awal."Aku mengernyit mendengar perkataan Mas Riky. "Adel berhak tahu semuanya.""Fisik Adel lemah, Ria. Jangan kamu korbanin dia."Alasan. Meskipun sebenarnya itu fakta. Beberapa kali Adel masuk rumah sakit. Fisiknya memang sedikit lemah. Tidak bisa mendengar sesuatu yang tidak boleh didengarnya. Sebentar lagi, Adel juga ujian. Tidak mungkin dia sakit. "Pokoknya, persoalan Hanin kita belakangin. Soal perceraian juga. Lagi pula, surat perceraian belum turun. Aku hanya disini sampai malam. Setelah itu, aku kembali ke rumah Hanin."Aku menatap punggung Mas Riky yang berjalan keluar kamar. Dia ke kamar Adel. Baiklah. Ada yang harus aku lakukan. "Dimana, ya," gumamku sambil mengacak-acak tas kerja yang dibawa Mas Riky. Ah, aku mendapatkannya. Dompet Mas Riky ternyata tidak dikantongi. Tidak ada uang di dalamnya, tapi ada Kartu ATM dan kartu kredit Mas Riky. "Bi, saya pergi sebentar, ya. Ada perlu."Pembantuku mengangguk. Tidak perlu izin ke Mas Riky. Bagaimana pun juga, masih ada hakku disini. Daripada diberikan pada Hanin. "Eh, ada Adel. Kamu belanja juga?"Aku tersenyum pada Raya—sahabatku. Dia yang membantu mengumpulkan semua bukti-bukti perselingkuhan Mas Riky. "Iya. Buat kebutuhan bulanan."Tidak mungkin saat itu aku mengumpulkan semua bukti sendirian. "Aku ikut senang, ya. Akhirnya, kamu bisa lepas dari Riky. Jangan lupa cari pendamping lagi."Ah, pendamping lagi?"Yaudah. Aku duluan, ya. Kalau kamu ada perlu, hubungi aku aja."Aku mengangguk. Raya memang sangat baik padaku. Bahkan, video yang sangat sulit aku cari, Raya bisa mengumpulkannya dengan cepat. Setelah membayar belanjaan, aku memutuskan untuk pulang. Lagi pula, kartu kredit Mas Riky sebentar lagi mencapai limit.Langkahku terhenti di sebuah rumah makan. Bukan. Bukan karena ingin makan. Ah, ada yang menarik. Aku buru-buru masuk, memastikan kebenaran yang aku lihat. "Iya. Kamu memang ganteng banget."Aku duduk di salah satu kursi. Mendengarkan apa yang sedang dibicarakan disana. Tidak lupa, aku merekam dengan jelas. Ini benar-benar menarik. Ah, tidak sabar rasanya melihat reaksi Mas Riky. "Makasih, lho. Kamu itu benar-benar buat aku rindu.""Halo, Ria. Ada apa?""Kamu kesini sekarang, Mas. Ada yang mau aku bicarain." Aku berbisik pelan. "Bicara apa? Gak bisa lewat telepon? Ini udah malam."Aku mengulas senyum tipis, melirik dua orang itu. "Cepat, ya, Mas. Aku tunggu."Ah, dua orang itu. Satu orang wanita. Dia benar-benar aku kenali. Juga seorang pria yang cukup asing. Hanin bersama pria lain!***Jangan lupa like dan komen, yaa.POV Hanin. ***"Mas, kayaknya aku udah telat satu bulan, deh."Mas Riky yang sedang memeras kelapa langsung menoleh. Matanya melebar, dia seolah tidak percaya dengan perkataanku barusan. "Serius? Mau periksa sekarang? Biar aku beliin alat tesnya." Dia langsung berdiri, membuatku tersenyum. Ikut duduk di lantai. "Gak harus sekarang. Siapa yang nyuruh? Selesaiin marut kelapa dulu. Nanti, kita beli bareng-bareng."Senyum Mas Riky mengembang. Dia mengangguk mantap, buru-buru melakukan tugasnya kembali. Beberapa hari yang lalu, Ria dan Putra sudah pamit. Aku selalu mendoakannya agar cepat hamil. Doa yang sama untukku, aku berharap agar cepat memberikan keturunan pada Mas Riky. Jujur saja, rasa bersalah itu masih ada di hati dan pikiranku. Di mana Mas Riky harus kehilangan anak kami. Ya, bayi itu sebenarnya bukan anak Mas Riky, tapi dia tetap menyayangi sepenuh hati. Tidak peduli dengan omongan orang. "Aku aja yang masak. Kamu istirahat."Aku menggigit bibir, ketika melihat Mas Riky
POV Riky"Aku capek gini terus, Mas. Aku mau pisah aja dari kamu!"Bagaikan petir di siang bolong, aku melotot, menatap Hanin. Mulutnya benar-benar tidak bisa dikontrol."Jangan bicara sembarangan, Hanin! Mas gak suka!"Setiap hari kami mempermasalahkan ini. Aku pusing membahasnya. Tidakkah ada yang lain?Apalagi bayi kami sedang di rumah sakit. Butuh biaya banyak. Aku mengusap dagu, pusing dengan omelan Hanin setiap hari. Pembicaraan kami berakhir dengan Hanin yang pergi dari rumah. Aku mengembuskan napas pelan. "Kamu itu kenapa lagi sama Hanin? Berantem terus, gak pernah mau ngalah satu orang.""Kenapa, Ma? Mama yang gak mau minjamin uang ke aku."Ya, Mama tidak pernah mau meminjamkan uangnya. Padahal, aku sedang butuh sekali. Benar-benar menyebalkan. "Loh, kok jadi Mama yang disalahin? Kamu itu yang gimana. Gak becus jadi suami."Tanpa pamit, aku menutup telepon. Pusing berbicara dengan Mama. Sebenarnya, ini salahku. Memilih untuk hidup dengan Hanin, sepertinya adalah pilihan y
"Mas, kita ke tempat Hanin sama Riky lagi, yuk. Main ke rumah mereka."Mas Putra yang baru saja duduk di pinggir tempat tidur menoleh. Ini bulan madu kami hari kedua. Hamir memasuki siang hari. "Besok-besok aja, Sayang. Masa selama kita bulan madu ke sana terus, sih? Gak ada waktu berdua, dong.""Ya, gak gitu juga, Mas. Tapi kita bisa mengenal kembali Hanin dan Riky. Ini kesempatan emas, lho, Mas, untuk berbuat kebaikan ama orang lain."Suamiku itu tidak menanggapi. Dia memilih untuk tiduran, memeluk guling. Tidak menanggapi perkataanku. Tidak biasanya. Mas Putra malas-malasan begini. Apalagi, ini menyangkut masa laluku. Aku mengembuskan napas pelan. Mungkin, Mas Putra sedang lelah. Baiklah, tidak perlu memaksanya. "Kamu kayak gitu bukan karena masih sayang sama Riky lagi, 'kan?"Eh? Langkahku terhenti mendengar pertanyaan Mas Putra. Batal sudah aku mau ke kamar mandi sekarang. Aku tersenyum, jadi ini alasan dia malas-malasan?"Kamu tau, Mas. Meskipun ada orang yang lebih ganteng,
"Sayang! Kamu ngapain, sih, lama banget. Nanti ketinggalan pesawat, lho." Aku sejak tadi berteriak, menyuruh Mas Putra cepat-cepat. Dia mandi saja lama sekali. Tanganku cekatan memasukkan barang-barang Mas Putra ke dalam tas. "Santai, Sayang. Kalau telat, kita booking lagi." Dasar. Dia sukanya menghamburkan uang. Kalau bisa, aku cubit dia sekarang. Terdengar ketukan pintu di depan. Aku menyuruh Mas Putra membukakan, tapi dia malah tiduran di kasur. Seperti tidak peduli. "Buka pintunya sana." Aku memukul kaki Mas Putra pelan. Dia nyengir, kemudian beranjak."Aduh, menantu Mama yang cantik ini lagi siap-siap, ya. Kalian kayaknya heboh dari tadi."Aku tersenyum menoleh ke arah Mamanya Mas Putra. Hari ini, kami akan bulan madu ke Bali. Aku sudah menentukan tempatnya. Mas Putra hanya mengangguk-angguk setuju. Lalu menghubungi pihak sana. "Udah selesai, Mas."Mas Putra mengangguk. Dia membawakan beberapa koper ke depan. Saat perjalanan ke bandara, aku teringat sesuatu. Aduh, lupa dib
"Nih, siap-siap." Eh? Aku yang sedang melipat pakaian langsung menoleh, mataku tak lepas menatap kotak berwarna biru yang diletakkan Bang Ridwan di atas kasur. Bang Ridwan mengambilkan handuk, melemparnya padaku. Dia mau ngapain, sih? "Cepetan mandi. Pakai gaun yang ada di dalam kotak ini, terus dandan. Keluar kamar. Oke?" Aku tidak menanggapi, kembali sibuk dengan pakaian. Memangnya mau kemana, sih? Pakai gaun segala. Aneh banget. "Kamu denger, gak, Ria?" Bang Ridwan melemparku dengan tutup kotak. Untung tidak kena. Aku melotot padanya, mengusap lengan yang kemerahan. "Nyebelin banget, sih. Memangnya mau ngapain lagi? Males banget disuruh-suruh." "Cepat mandi. Jam tujuh harus udah selesai." Pandanganku berpindah ke jam weker. Sudah pukul setengah tujuh malam. Aku langsung melotot. "Kok Abang nyebelin banget, sih?!" Saat aku menoleh kembali, Bang Ridwan sudah tidak ada. Aku mendengkus pelan, sebal dengannya. *** Selesai berdandan, aku keluar dari kamar. Terdengar sua
"Heh, udah nyampe. Malah tidur lagi. Keenakan banget kayaknya tidur di mobil ini."Aku mengerjapkan mata. Hampir berteriak, ketika melihat wajah Putra dari dekat. Kenapa dia dekat sekali, sih? Aku memundurkan wajahnya dengan telunjuk."Udah sampai rumah, ya?""Belum. Kita sampai di rumah makan. Cepetan turun, ini udah malam. Aku mau pulang, tidur. Capek.""Kok tega banget nurunin di rumah makan, sih? Aku mau pulang, cepet turunin.""Ini orang buat emosi terus kayaknya. Turun gak? Ini udah di rumah kamu. Sana."Aku mengernyit. Putra tahu darimana rumahku? Setelah nyawaku terkumpul semua dan kantuk ini hilang. Ternyata memang benar, sudah sampai di rumahku."Kamu tahu darimana rumahku?" tanyaku di kaca mobil yang terbuka.Putra melirikku. "Sejak kamu pindah aku udah tahu. Mau kamu pergi ke ujung dunia juga, aku tahu alamat lengkap kamu."Wajahku memerah mendengarnya. Putra langsung mengendarai mobil, meninggalkanku sendiri.Entah perasaan apa ini. Aku seperti merasa ada yang berbeda."L