Share

Bab 5

 

"Aku juga istrinya Mas Ferdi, tapi kenapa keuangan hanya dikuasai Mbak saja sih, aku juga sama butuh uang untuk kebutuhan," ucap Susan sambil duduk di kursi ruangan staf restoran ini.

 

Semua karyawan memandang Susan dengan tatapan menjijikkan, apalagi rok mini yang memperlihatkan paha putihnya, ditambah dengan tonjolan gunung kembar yang menantang, semua orang menyorot bagian itu.

 

Kuakui tubuh Susan memang sempurna, berkulit putih, tinggi dan juga berisi, didukung dengan wajah mulus tanpa sedikitpun jerawat yang mengotori.

 

"Jangan mentang-mentang Mbak istri pertama dan aku hanya istri siri Mbak bisa seenaknya zalimi aku kaya gini ya."

 

"Aku yakin kalau Mas Ferdi ga sakit mungkin sekarang dia udah marah sama kelakuan Mbak ini, dan bisa saja dia juga langsung menceraikan Mbak."

 

Kubiarkan wanita ini mengoceh sepuasnya, dan aku diam bukan berarti kalah melainkan mencari celah untuk menjatuhkannya.

 

"Lalu apa yang kamu mau hem? Uang?" tanyaku sambil bersilang tangan di dada.

 

"Ya tentu saja semua orang membutuhkan itu, percuma aku nikah sama Mas Ferdi kalau masih harus terus banting tulang."

 

Aku membuang pandangan ke arah lain menghirup napas sekuat tenaga dan mengembuskannya, ini baru awal entah kekacauan apa yang akan diciptakan Susan nantinya.

 

Lekas aku merogoh uang dalam tas lalu melemparkannya ke wajah wanita itu.

 

"Ambil uang itu dan habiskan sesuka hatimu!" tegasku.

 

Wajah Susan terlihat merah dengan mata melotot menatap wajahku penuh emosi.

 

 "Kenapa? Bukankah tujuanmu masuk ke dalam rumah tanggaku demi uang? Ambilah! Lalu pergi dari sini dan bersenang-senang di luar sana dengan para perempuan j*l*ng."

 

Sepertinya emosiku mulai tersulut kali ini, bagaimana emosiku tak meledak, pertama wanita itu sudah mengambil Mas Ferdi, lalu ia menggeser posisiku di istana kami, tak cukup di situ ia juga ingin menguasai harta kami.

 

Susan masih terdiam dengan rahang mengeras, tatapannya tajam menyorot ke arah tembok di belakangku berdiri.

 

"Kenapa ga diambil uangnya hem? Kalau kamu ga mau maka aku akan menyuruh Caca untuk menyapu uang-uang itu dan membuangnya ke tempat sampah."

 

Meski dalam hati aku tak rela uang senilai dua juta dibuang ke tong sampah. Sekilas ia mendelik ke arahku lalu berjongkok dan memunguti uang itu satu persatu.

 

"Kalau kamu mau uang maka harus kerja yang baik dan benar, bukan dengan cara marah-marah."

 

"Dan satu lagi, mulai hari ini Mas Ferdi jadi tanggung jawabmu."

 

Aku berbalik badan lalu melangkah keluar dari ruangan yang terasa panas ini.

 

"Puas kamu, Mbak, sudah merendahkan harga diriku!" teriaknya membuatku menghentikan langkah dan menengok ke belakang.

 

"Bukan aku yang merendahkan dirimu, tapi kamu yang merendahkan diri sendiri."

 

*

 

Semenjak kejadian di restoran hari itu Susan hanya berkutat di dalam rumah, memasak dan mengepel sebagian ruangan, tentu saja ia hanya mengepel area kamarnya dan dapur, sementara ruangan yang lain aku yang membersihkan.

 

Ia pun dengan telaten mengurus Mas Ferdi, menyuapinya makan serta membersihkan kotoran dan mengganti popoknya dua kali sehari, meski awalnya sering kudengar ia mual-mual hendak muntah saat membersihkan kotoran Mas Ferdi.

 

"Hari ini jadwal Mas terapi, semoga cepat sembuh ya, Mas, aku sangat senang jika kamu sembuh," ucap Susan kala aku sedang sarapan di ruang makan.

 

Jarak ruang makan dan kamar mereka memang dekat, dan obrolan apapun pasti terdengar dari ruangan ini.

 

"Apa Mas mau pakai kaos kaki?"

 

"Nah bagus, Mas sudah bisa menganggukkan kepala ya sekarang, berarti tak lama lagi Mas akan sembuh."

 

Perempuan itu berceloteh sendirian. Sebenarnya ada nyeri yang menyelusup ke dalam hati saat mendengar dan melihat mereka bermesraan, meski tubuh Mas Ferdi tak berdaya tapi tetap saja perlakuan mereka seakan menikamku dengan belati.

 

Kukira setelah Mas Ferdi lumpuh Susan akan menyerah lalu pergi, tapi nyatanya perempuan itu tetap saja bertahan, apakah mungkin ia telah mencintai Mas Ferdi? Bukan mencintai uangnya lagi?

 

Dering ponsel membuatku terhenyak dari lamunan, ternyata Caca yang menelpon.

 

"Bu, Pak Andre sudah datang, apa Ibu sudah siap?"

 

Mulutku menganga, kenapa bisa lupa jika hari ini ada janji dengan lelaki bernama Andre, lelaki itu merupakan investor yang akan menanam saham di restoran.

 

"Iya iya saya jalan sekarang, Ca, bilang saya lagi di jalan."

 

"Baik, Bu."

 

Aku meraih tas yang berada di atas meja lalu masuk dengan tergesa ke kamar Mas Ferdi.

 

"San, ini uang buat terapi, kamu pesan grab aja aku mau pakai mobil hari ini." Kuletakan lembaran uang berwarna merah ke atas meja.

 

"Ya."

 

Seperti itulah keseharian kami, Susan sudah terbiasa patuh pada titahku juga terbiasa kujadikan pesuruh ini itu, sementara Dara selalu kubawa ke mana-mana termasuk ke tempat kerja.

 

Beruntung gadis berumur tiga tahun itu selalu patuh dan tak banyak mengganggu pekerjaanku.

 

*

 

"Adek tunggu di ruangan Kak Caca ya, Mama mau kerja di sana," ucapku pada Dara, di ruang kerjanya Caca sudah menyambut anak bungsuku dengan senyum ceria.

 

"Iya, Ma."

 

"Dara, sini main sama Kakak," sahut Caca sambil mengulurkan sebelah tangan.

 

"Maaf telat, Pak Andre, tadi ada urusan sedikit," ucapku gugup, padahal lelaki jangkung yang sedang berdiri di hadapanku ini sudah tak asing lagi bagiku.

 

Ia tersenyum menampilkan deretan gigi putih dan rapinya.

 

"Tak apa, Yul, lagi pula aku sudah terbiasa menunggu," tuturnya, masih dalam keadaan tersenyum.

 

"Ah Bapak bisa aja." Aku menyeret kursi ke belakang lalu kami duduk berhadapan.

 

"Aku ini teman masa kecilmu, kita sering main petak umpet dulu, aku juga sering ngelap ingusmu ketika kecil, jadi tak usahlah panggil aku dengan sebutan pak." Ia terkekeh.

 

Aku mengulum senyum diingatkan tentang masa kecil yang begitu indah.

 

"Alah tapi 'kan kamu sering jahil juga bikin aku nangis, giliran itu ga diinget." Aku mengerlingkan mata, ia malah tertawa makin lebar.

 

"Udah ah, kita mulai meetingnya sekarang, ngomongin masa lalu terus."

 

"Ok ok, kita serius ya." Ia terlihat berusaha meredam tawanya.

 

"Hem."

 

 

Perjanjian kerja sama telah disepakati, ia mengulurkan tangan mengajak salaman ketika aku selesai menandatangani sejumlah dokumen perjanjian.

 

"Kalau gitu aku pamit ya, Yul, sudah siang." Ia melirik jam tangannya.

 

"Ya hati-hati."

 

Entah kenapa mataku tak ingin berpaling menatap punggungnya yang mulai menjauh, entah kenapa juga menyelusup rasa sesal saat mengingatnya beberapa tahun silam.

 

Aku memejamkan mata sambil menghirup napas, mengusir debaran aneh dalam dada lalu melirik jam tangan, sudah waktunya menjemput Dita.

 

"Aku sudah hapal surat 'Abasa, Ma, keren 'kan?" celoteh putriku sambil membuka pintu rumah.

 

"Waah, pintarnya anak Mama. Kamu masuk ke kamar ya, Mama mau lihat Ayah dulu, ajak Adek juga."

 

 Di depan pintu kamarnya langkahku tiba-tiba terhenti saat mendengar tawa Susan begitu keras.

 

"Ayo, Mas, ayo katakan lagi," ucap Susan begitu gembira.

 

Aku mendekatkan daun telinga ke pintu.

 

"A-aku ... cin ta ka mu."

 

Seketika hatiku nyeri bagai ditikam belati saat mendengar Mas Ferdi tertatih mengatakan hal itu pada Susan.

 

 

 

 

 

 

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
katanya pengusaha restoran tapi menye2. mampuslah kau dg drama mu yulia
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status