Share

Bab 6

 

"Hei, Mbak sudah pulang?"

 

Aku terkesiap tiba-tiba saja Susan keluar dari kamar dan memergokiku yang sedang melamun.

 

"Hem, kelihatannya?"

 

Wanita itu mengukir senyum setenang mungkin, ah sepertinya ia sudah membaca isi hatiku saat ini.

 

"Gimana ngurus restoran? Mbak hepy?" tanyanya sambil mengangkat sebelah alis.

 

"Tentu saja, aku tidak selemah apa yang kamu kira, Susan, lalu bagaimana dengan Mas Ferdi? Perubahan apa yang sudah terjadi selama sebulan ini hem?" tanyaku.

 

"Begitulah, sekarang dia sudah bisa bicara walau masih terbata, dan aku yakin barusan Mbak mendengarnya 'kan?" Wanita itu menyeringai lebar hingga deretan giginya terlihat jelas.

 

Jelas ia sangat bangga mendengar kata cinta yang terlontar dari mulut Mas Ferdi, dan karena hali itu ia merasa bisa mengalahkan aku.

 

Menghirup napas perlahan, mengusir debar cemburu yang merasuki hatiku, sebesar apapun rasa benci terhadap Mas Ferdi tetap saja aku belum bisa menerima kemesraan mereka di hadapan mata, aku lebih suka melihat mereka sengsara.

 

"Bagus kalau gitu. Oh ya, terapi selanjutnya biar aku saja yang temani."

 

Tentu saja aku memiliki tujuan lain saat ini, takkan kubiarkan kalian berbahagia di atas rasa sakitku.

 

"Wow, tumben tiba-tiba Mbak mau mengurus Mas Ferdi?" Lagi-lagi ia menyeringai lebar.

 

"Susan Susan, kamu fikir selama ini aku ga mau mengurus Mas Ferdi, aku fokus mengurus usahanya bukan berarti membiarkannya terlantar bersamamu."

 

Kali ini aku yang menyeringai lebar.

 

"Coba pikirkan jika kamu yang mengurus restoran, sedangkan kamu tidak memiliki kemampuan mengelola usaha, bagaimana mengatur keuangan, karyawan, pemasukan dan pengeluaran, bisa-bisa usaha Mas Ferdi bangkrut."

 

"Dan kalau sampai bangkrut lalu bagaimana dengan nasibnya? Tentu dia tak bisa terapi, dan kamu sudah pasti tidak bisa tidur nyenyak dan makan enak di rumah ini."

 

"Maka dari itu aku menyuruhmu mengurus Mas Ferdi, karena kemampuanmu hanya itu, Susan."

 

Kutatap wajahnya yang memerah dengan seringai lebar, sehebat apapun perang kata-kata dengannya tentu aku takkan kalah.

 

"Permisi, aku mau menemui suamiku, besok adalah anniversary pernikahan kami, tak seru rasanya jika tak mengadakan acara di rumah ini." Aku tersenyum kecil.

 

Lalu melangkah melewati tubuhnya yang masih diam meratapi kekalahannya.

 

"Hai, Mas, bagaimana keadaanmu?"

 

Aku duduk di sisinya sambil tersenyum, ia tak membalas hanya memejamkan mata dan menganggukkan kepala 

 

"Kata Susan kamu sudah bisa bicara ya, aku senang kamu ada perubahan." Kutatap wajahnya sambil mengukir senyum palsu.

 

Padahal hatiku berkata lain, aku lebih suka melihatnya terbaring lemah dan Susan bersusah payah mengurusnya setiap hari.

 

Lagi-lagi ia hanya memejamkan mata dan mengangguk perlahan.

 

"Oh ya, besok hari anniversary kita yang ke sebelas, Mas, aku mau buat acara tapi bukan besok melainkan satu Minggu lagi karena aku juga membutuhkan persiapan untuk mengadakan acara spesial kita."

 

Bibir Mas Ferdi terbuka perlahan, lihatlah sekarang bahkan untuk mengucap satu kata saja ia kepayahan, aku senang melihatmu seperti ini, Mas.

 

"Ac ara ... a pa?"

 

Aku mengulum senyum menahan tawa, melihat Mas Ferdi susah adalah hiburan untuk hatiku, lagi pula aku berubah menjadi jahat karena ulahnya.

 

Teringat saat aku melahirkan Dara anak bungsu kami, setelah operasi pengangkatan rahim, bukannya ia memberi semangat setidaknya dengan kata-kata bijak yang menentramkan.

 

Justru ia malah sebaliknya, merutuk dan  menggerutu karena keinginannya untuk memiliki anak lelaki tak terpenuhi, ia juga menghinaku habis-habisan karena tak lagi bisa memberinya keturunan.

 

"Perempuan lagi perempuan lagi." Ia berdecak.

 

Menyalahkan aku seolah yang memberikan keturunan pada rahim ini bukanlah Tuhan.

 

"Kita sudah punya dua anak perempuan, lalu sekarang perempuan lagi. Ya ampun, Yuli, kalau semua anak kita perempuan dan kamu ga bisa hamil lagi maka di masa tua hidup kita akan susah," ujarnya lagi sambil menatapku jengkel.

 

Saat itu aku hanya bisa menunduk membendung air mata yang terus mencoba menerjang keluar.

 

"Yang namanya anak perempuan pasti akan nikah dan jadi milik suaminya, lalu nanti kita gimana di hari tua? Kalau anak lelaki 'kan enak, walau dia sudah beristri tapi anak lelaki wajib menomor satukan kedua orang tuanya." 

 

Seperti itulah pemikiran Mas Ferdi, selalu menanggapi takdir yang diberikan Tuhan dengan pemikiran bodohnya.

 

Namun, aku selalu bersabar jika ia hanya mengatakan itu saja, kata-kata tajamnya kuanggap sebagai angin lalu, tetapi saat ia berniat menikah lagi lalu menikah siri diam-diam dan membawa istri barunya kemari, hatiku sakit dan tak pernah terobati.

 

Perjuangan dan pengorbanan yang sudah kuberikan untuknya seolah hilang tertiup angin, ia mendadak lupa pada masa ketika kami hanya makan telur dibagi tiga.

 

Aku manusia biasa, memiliki rasa dendam dan benci. Jika aku menuruti nafsu aku tak hanya membuatnya lumpuh, melainkan membunuhnya sekaligus.

 

"Yul."

 

Aku tersentak dari lamunan saat Mas Ferdi kembali bicara.

 

"Ya, Mas. Pokoknya nanti kamu lihat aja ya acaranya, yang jelas acara itu melambangkan cinta kita semua, cinta putri-putri kita kepada kami berdua."

 

"Kamu tahu, sekarang Dara sudah pandai doa mendoakan orang tua, dan setiap kami selesai salat dia selalu mendoakanmu cepat sembuh, begitu pula dengan Dita, ia selalu bertanya bagaimana keadaanmu, hanya saja ia segan sama kamu, ya karena kamu tak pernah mau mengakrabkan diri sama mereka."

 

Wajah Mas Ferdi langsung murung, bola matanya menatap ke bawah dengan wajah sendu.

 

Ayolah, Mas, sesali perbuatan jahatmu pada ketiga anak kita.

 

"Sedangkan Desti semakin hari ia semakin pintar, Mas, nilai ulangannya bagus-bagus, di sekolah pun dia rajin, anak itu juga aktif dalam olahraga voli, kalian memiliki hobi yang sama ya." Aku tersenyum sambil menatap wajahnya.

 

Semoga saja Mas Ferdi sadar jika ketiga putrinya itu berharga.

 

"Hanya saja Desti kecewa sama kamu, Mas. Dia sudah besar dan sudah mengerti apa yang terjadi diantara kita dan Susan."

 

Kulihat Mas Ferdi memejamkan mata lumayan lama sambil menghela napas.

 

Namun, tiba-tiba suara benda jatuh dari arah dapur menjadi perhatian kami berdua, lalu setelah itu terdengar Susan berteriak.

 

"Dasar anak n*kal! Lihat saja akan kupatahkan kakimu itu hei!" teriaknya begitu memekik.

 

Bersambung.

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Louisa Janis
yeeee si JALANG unjuk gigi nanti kena bom baru tahu lo
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
si yulia terlalu banyak drama. daripada menye2 lebih mengamankan aset yg ada
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status