Share

Bab 10

Author: Nisa Khair
last update Last Updated: 2022-07-21 23:56:33

"Coba kamu lihat-lihat ini ya. Biar bisa jadi referensi buat kamu bikin desain."

Pak Hanan menyerahkan setumpuk buku. Bertukar dengan sepuluh desain yang baru saja kubuat. Aku yang baru saja menyerahkan bobot tubuh di kursi di depannya, terhenyak melihat banyaknya tumpukan buku di depanku.

'Nothing to lose' mengalun pelan sekali di ruang ini. Mau ngikutin liriknya, tapi urung, nggak sopan rasanya. Padahal suka sama lagu-lagunya MLTR ini. Pak Hanan langsung sibuk melihat coretanku yang kini berada di tangannya.

"Ini bagus, saya sangat suka. Nanti kita buat masternya, lalu diperbanyak untuk dipasarkan. Bagaimana? Apa Mbak Husna setuju?"

Aku terperangah mendengar ucapan Pak Hanan. Oret-oretan yang kukerjakan di sela menginput data pagi tadi, ternyata disukai, bahkan dihargai. Aku tak bisa berkata-kata lagi.

"Mbak Husna, apa saya salah bicara?"

Kening Pak Hanan mengernyit melihat perubahan yang ia lihat. Aku jadi merasa bersalah. Dihargai seperti ini malah membuatku terharu hingga tanpa sadar kelopak mataku dipenuhi oleh kristal bening.

"Maaf, Pak. Saya terlalu senang mendengar apa yang bapak sampaikan," jawabku kemudian.

"Oh, syukurlah," ujar Pak Hanan, terdengar lega. "Oke, jadi gini. Saya butuh desain yang fresh. Ya, seperti yang Mbak Husna buat. Saya akan beli desain Mbak Husna. Jadi, kira-kira bisa bikin berapa dalam satu hari?"

"Itu, maaf Pak, kalau untuk bikin gambar, biasanya saya tergantung mood, maaf ya, Pak." Duh, jawaban apa ini? Profesional sekali, kerja tergantung mood.

"Oh, seniman sekali anda. Tapi kalau ditarget bisa ya? Seperti tadi pagi, kamu saya minta buat desain, dan sekarang hasilnya bagus, iya kan?"

"I-iya, Pak."

"Oke, gini aja, kapan Mbak Husna punya waktu, bikin saja. Nanti saya pilih. Nah, yang saya pilih itu, nanti ada nilainya tersendiri, di luar gaji kamu. Oke. Ngerti ya, Mbak Husna?"

Kembali aku dibuat tercengang oleh penjelasan Pak Hanan. Sungguh, ini semua di luar dugaanku. Bukankah model perhiasan yang banyak diproduksi di sini juga bagus-bagus semua? Apa sebegitu bagusnya desainku hingga beliau bersedia membeli?

"Mbak Husna ... ?"

"Oh, eh, iya Pak. Maaf."

Kuseka air mata yang luruh begitu saja. Inikah jawaban dari do'aku selama ini, yang ingin hasil karyaku dihargai?

"Oh, maaf, apa saya salah bicara hingga membuat Mbak Husna meneteskan air mata?" tanya Pak Hanan khawatir. Beliau mengulurkan tisu yang segera kusambut. Gegas kuseka air mata yang tak sopan ini.

"Maaf Pak. Bapak tidak bersalah. Saya saja yang berlebihan menanggapi apa yang bapak sampaikan."

"Oh, begitu. Baik, saya rasa sudah cukup ya, Mbak Husna. Dan ini, tolong diterima," ujar Pak Hanan sambil menyerahkan sebuah amplop coklat yang lumayan tebal.

"Ini apa, Pak ?"

"Itu bonus untuk desain Mbak Husna hari ini. Cukup?"

Aku suka gayamu, Pak. Kulihat sekilas isi amplop tersebut. Aku sendiri tak mengerti harga sebuah desain perhiasan, tapi isi amplop ini lebih besar dari gajiku satu bulan bekerja di sini.

"Baik, Pak, ini cukup. Terima kasih banyak, Pak." Senyum ini terkembang juga, mendapat tambahan penghasilan yang tak disangka. Alhamdulillah 'ala kulli haal.

"Mbak Husna boleh kembali, dan ini bisa dibawa, buat referensi."

"Baik, Pak, terima kasih banyak. Permisi, Pak."

"Ya, sama-sama."

Alunan lagu yang sejak tadi mengalun di ruang ini, telah berganti dengan lagu Beautiful In White, yang dibawakan oleh Shane Filan, saat kakiku melangkah ke luar. Tanpa sadar bibirku bergerak mengikuti liriknya.

Not sure if you know this

But when we first meet

I got so nervous I couldn't speak

In that very momen

I found the one and

My life had found its missing piece

Kubawa tumpukan buku yang beratnya lebih dari sekilo itu. Wah, bakal kenyang nanti aku cuci mata sama model-model perhiasan. Senyumku terkembang sepanjang jalan kembali ke ruanganku.

"Husna! Habis kesambet kamu?"

Tegur Sinta saat aku kembali ke ruangan. Aku masih nyengir.

"Senyum-senyum sendiri dari tadi. Itu, bawa apa, banyak amat?"

"Bawa brownies, ya bawa bukulah, nona manis."

"Tuh, kan, aneh. Senyum aja terus. Abis ngapain?"

"Abis ngasih oret-oretan buat Pak Hanan, kan? Masak lupa?"

"Ih, kamu mah ngeselin."

"Yah, dia ngambek. Entar aja ceritanya, sekarang lanjutkan dulu ini, inputan belum kelar."

"Iya deh, iya. Eh, tapi ngomong-ngomong, brownies enak juga. Entar mampir beli, ya?"

"Boleh. Bentar ya, aku lanjut kerja dulu."

Sinta masih mengerucutkan bibir.

"Nanti kutraktir," tambahku lagi, sambil melihat kertas penuh angka dan gambar, bergantian dengan layar monitor. Kulirik Sinta, ganti dia yang nyengir sambil kasih jempol dua.

Kami berdua tak bicara lagi hingga jam kerja berakhir. Seperti yang direncanakan sebelumnya, Sinta akan mampir ke rumah untuk mengambil kelapa pemberian Bu Ndari pagi tadi. Jadi kami akan berboncengan berdua menuju ke rumah ibu. Semoga saja tak ada razia helm.

"Aku ke toilet dulu, ya, Sin?" pamitku sebelum kami beranjak ke tempat parkir.

"Oke, kutunggu di depan, ya?"

"Sip," jawabku kemudian bergegas ke toilet di dekat tangga.

Rasanya lega sekali setelah menuntaskan panggilan alam. Aku sudah bersiap ke luar, saat tiba-tiba sebuah tangan menarikku. Belum sempat menyadari apa yang terjadi, saat tanganku ditarik kasar. Di sudut lorong, badanku seperti dihempaskan.

"Kamu jangan coba-coba cari muka, ya, di sini?!"

Sebuah suara yang tak asing, tapi siapa? Apa yang ia inginkan, hingga berbuat sekasar ini? Kulebarkan kedua mata, terlihat wajah yang kukenal.

Seorang senior di bagian pemasaran, kuketahui bernama Misya. Ia salah satu yang ada dalam ruang Bu Lia pagi tadi, tapi tak bersuara. Kedua matanya menatapku tajam, seakan menguliti aku dari ujung kaki hingga ujung kepala.

"Maaf, maksud ibu apa, ya?" tanyaku mencoba tenang, meski degup jantung tak karuan. Duh, kenapa tak ada orang yang lewat, ya? Sepi sekali di sini.

"Tak usah pura-pura polos! Dan jangan sekali-sekali kamu berusaha mendekati Hanan!"

Geramnya tertahan.

Aku mencoba mencerna apa yang ia sampaikan. Jadi ini tentang Pak Hanan. Oke, aku harus berpikir jernih. Kulirik sudut lorong, terdapat sebuah kamera CCTV mengarah tepat ke arah kami berdua berada. Apa Bu Misya tak menyadari keberadaan kamera tersebut hingga melaksanakan aksinya di sini? Bahaya kalau sampai ada yang melihat adegan barusan di kamera CCTV.

.

Ikut senang, ya, Husna dapat reward dari Pak Hanan.

Kira-kira, Bu Misya mau ngapain, ya?

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (3)
goodnovel comment avatar
Ajur Lebur
lanjt jangan menyerah.
goodnovel comment avatar
Betty Yuspriatna
mulai seru nih
goodnovel comment avatar
Sarti Patimuan
Mulai punya musuh Husna padahal dia gak bikin yang aneh-aneh
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Kukembalikan Seserahan Calon Suamiku   Ekstra Part 4

    Aku dirujuk ke rumah sakit yang lebih besar, serta memiliki peralatan yang lengkap. Di sana aku mendapat perawatan yang lebih baik."Aku akan cacat, Dam!" raungku, lalu suaraku menggema di ruang pemeriksaan."Kamu pergilah, aku sudah tak pantas lagi untukmu. Sudahlah nggak kunjung hamil, sekarang harapan mata kiriku … ."Ia telah melintangkan telunjuknya di bibirku."Sudah, jangan diteruskan. Aku tak akan ke mana-mana, Mei. Kamu istriku, apa pun kondisimu, aku akan tetap di sisimu. Tetap semangat, ya, nanti aku usahakan cari pengobatan yang terbaik. Kalau perlu kita cari donor mata buat kamu."Tergugu aku dalam dekapannya. Aku hampir putus asa, sebab harapan untuk pulih hanya sedikit. Hal ini tentu berpengaruh besar pada penampilanku nanti.Aku terus bertanya-tanya, kenapa harus menerima ini? Aku menolak takdir, bahwa mata kiriku tak bisa pulih seperti sedia kala.Sementara itu, Husna dan Hanan justru memberikan dukungan

  • Kukembalikan Seserahan Calon Suamiku   Ekstra Part 3

    Masih jam sepuluh pagi, saat kuselesaikan laporan penjualan bulan ini.Seorang office boy memasuki ruanganku dengan membawa kotak nasi. "Dari siapa," tanyaku saat kotak tersebut diletakkan di meja sesuai titahku."Dari Pak Hanan, Bu," jawabnya, lalu pamit ke luar.Dahiku mengernyit, lalu menghirup aroma ayam bakar yang menguar.Kedua mataku membola saat membaca nama yang tertera pada selembar kertas yang menyertai nasi kotak tersebut.Yang berbahagia, Rashida Husna dan Hanan Wijaya.Tanganku meremas kertas tersebut hingga tak berbentuk. Terbayang senyuman Husna atas kelahiran buah hati yang mereka nantikan. Sekali lagi aku kalah olehnya. .Hanan semakin mempesona di mataku, terlebih ia telah memiliki seorang bayi yang lucu. Meski cemburu pada Husna, aku tetap menyapa anak itu setiap kali bertemu.Bagaimana aku bisa melewatkannya, anak itu sungguh menggemaskan. Lehernya hampir tak te

  • Kukembalikan Seserahan Calon Suamiku   Ekstra Part 2

    Hanan kian sering memuji desainnya, serta hasil jadi berupa perhiasan siap pakai yang memang laku keras di pasaran.Kulihat matanya selalu berbinar setiap menyebut nama itu. Karir Husna pun kian bersinar. Hatiku dibakar cemburu. Hanan tak pernah seperti ini sebelumnya. Namun, jauh di lubuk hati, aku tak mengingkari peran Husna di sini. Siapa sangka, perempuan biasa itu memiliki kecerdasan luar biasa, hingga dapat membaca selera pasar dalam waktu singkat. Tak jarang kudapati ia mengenakan beberapa hasil desainnya meski hanya sebentar. Memang dasar mis kin. Kalau pengen kan tinggal beli, ngapain dipakai lalu dilepas lagi.Kesejahteraan karyawan kian ditambah. Setelah kenaikan gaji, kini ganti uang makan yang dinaikkan, bahkan nasi bungkus serta nasi kotak pun sering datang lebih awal, hingga para karyawan tak perlu jauh ke luar saat istirahat.Itu semua imbas dari omset penjualan yang melejit berkat desain Husna, sebab peranku d

  • Kukembalikan Seserahan Calon Suamiku   Ekstra Part 1

    POV MeisyaAku telah sangat percaya diri, bahwa mudah bagiku menaklukan seorang Hanan. Desakan sebab usia menjadi salah satu sebabnya.Akulah perempuan di ambang usia tiga puluh. Usia yang menjadi momok bagi perempuan untuk segera mengakhiri masa lajang.Demikian halnya dengan aku. Orang tuaku telah semakin gelisah memikirkan jodoh untukku. Sementara aku tak ambil pusing, kecuali saat satu kata dilontarkan, yakni perjodohan.Aku mulai mencari seseorang yang tepat, setidaknya, sebelum usiaku genap tiga puluh, aku telah memiliki calon ke jenjang pernikahan. Karirku bagus, penjualan tak pernah turun sejak kupegang. Wajahku pun terhitung menarik, tubuhku juga ramping. Tak ada yang kurang di hidupku, kecuali satu, pasangan hidup. Bukan karena aku tak laku, hanya saja aku pemilih. Beberapa kali aku menjalin hubungan, sebanyak itu pula harus kuakhiri sebab aku merasa lebih tinggi.Berbeda dengan Hanan. Ia tak seperti lelaki k

  • Kukembalikan Seserahan Calon Suamiku   Bab 166 (Ending)

    Ia menepati ucapannya untuk membawa kami jalan-jalan, tepat setelah bukan kembar pulang sekolah.Ia membayar waktunya dengan membawa aku ke salon untuk perawatan seluruh badan. Sementara itu, anak-anak ia bawa ke arena bermain, tak jauh dari salon ini berada. Aku segera menyusul begitu selesai dan kembali merasa rileks."Masya Allah, cantiknya istriku," sambutnya, begitu aku telah sampai. Aku tersipu, lantas mengucapkan terima kasih. Si bungsu segera kuambil alih, untuk kuberi ASI. Kedua kakaknya melanjutkan bermain.Setelah menghabiskan waktu seharian, kami dibawa ke rumah orang tuaku. Rumah ibu kian riuh dengan suara anak-anakku, juga anak-anak Mas Dika.Wahyu dan Fajar terlihat antusias saat Mas Dika mengajari gerakan membela diri. Ya, meski mereka telah dimasukkan ke kegiatan yang sama di dekat tempat kami tinggal, tetap saja mereka terkesan dengan gerakan baru dari Mas Dika."Na, mumpung kamu di sini, ibu mau kasih kabar," ujar Ibu, saat aku s

  • Kukembalikan Seserahan Calon Suamiku   Bab 165

    Tangan kecil itu membingkai wajahku, lalu menghujani wajah dengan kecupan tanpa henti."Aku sayang Ibu. I love you, Ibu," cetusnya lagi.Mata kukerjapkan beberapa kali, saat kurasai telapak tangan yang menempel di pundak."Mbak Husna, bangun, Mbak."Suara Bu Ratna mengiringi gerakan tangannya yang terhenti.Terlihat di depanku, Fajar yang sedang terlelap. Sebuah buku yang terbuka di atas selimut yang menutupi sebagian tubuhnya, menandakan aktifitas sebelum ia benar-benar memejamkan mata.Jika ia sedang terlelap sedamai ini, lalu ulah siapa beberapa saat tadi?"Mbak, pindah ke kamar, ya. Tidur sambil duduk begini, Mbak Husna bisa capek, nanti," ujar Bu Ratna lagi.Kuamati diri sendiri. Duduk bertumpu di lantai, dengan tangan bersandar pada sisi ranjang di samping Fajar. Kurasai kalau lututku mulai terasa sulit digerakkan.Di seberang tempatku duduk, Wahyu pun terlihat tak jauh berbeda dengan sang kakak.

  • Kukembalikan Seserahan Calon Suamiku   Bab 164

    "Ibu, gendong."Semakin dekat dengan hari persalinan, semakin bertambah juga kemanjaan kedua anakku.Bergantian mereka berdua mengulurkan kedua tangan meminta aku menggendongnya.Aku pun tak bisa menolak, selain menuruti keinginan mereka. Kapan lagi bisa kugendong, sedangkan mereka sudah tumbuh semakin besar."Gendong sama ayah, ya, Nak, kasihan dong, adik kegencet, kamu kan sudah besar sekarang," tawar sang ayah, jika kebetulan melihat dan mendengar permintaan sang anak."Nggak mau, mau sama ibu aja," jawabnya selalu. "Nggak papa, Yah," jawabku, mencoba menenangkan. Mereka baru mau lepas setelah lama dibujuk.Pagi selepas Subuh, persis seperti saat kelahiran Fajar, bayi itu lahir dengan persalinan normal.Ia bergegas mengadzankan anak itu, dengan suara parau. Lantas kecupan penuh cinta ia labuhkan di kening bayi suci tersebut, sebelum akhirnya diletakkan di dadaku, untuk menikmati ASI pertama."Alhamd

  • Kukembalikan Seserahan Calon Suamiku   Bab 163

    Berkunjung ke rumah Mama, artinya membuka kenangan lama. Tiba-tiba saja aku rindu, melihat kelebat kenangan yang hadir tanpa permisi.Foto pernikahanku terdahulu, bahkan masih terpajang di ruang keluarga rumah ini."Tante kecil," ujar Wahyu. Tangannya telah mulai beraksi, hendak menyentuh pipi dan hidung bayi mungil itu.Melihat bayi Mama yang tengah terlelap, justru menghadirkan kenangan saat Fajar baru hadir di kehidupan kami.Ia telah melakukan banyak sekali hal baik selama hidup bersamaku, tapi, kenapa kenangan buruk itu yang justru muncul di sini?Kutepis pikiran yang hadir, dengan ikut membaur pada kedua anakku yang sibuk dengan Tante barunya. "Iya, Sayang. Hati-hati pegangnya, ya. Coba tanya Oma, siapa nama Tante yang cantik ini?" "Oma, siapa nama Tante kecil ini?" tanyanya patuh."Tante Hapsari, Sayang," jawab Mama, lalu dielus-elusnya kepala Wahyu.Nama yang cantik, untuk bayi dengan wajah bu

  • Kukembalikan Seserahan Calon Suamiku   Bab 162

    "Heh? Serius ngidam pizzanya Bu Lisa?" tanyaku tak percaya.Bukannya apa, selama ini ia paling anti makanan dari olahan tepung. Banyak sekali alasannya, yang susah dicerna lah, yang bikin perut begah lah, dan masih banyak lagi.Sampai kucoret daftar rerotian dari daftar belanja kalau kami sedang ke luar. Semua itu menjadi pengecualian kalau si kembar minta, baru ada menu roti, itu pun tak boleh banyak."Iya, dua rius, Kak. Ada cabangnya yang deket sini apa nggak, ya?"Melihat raut serius di wajahnya, membuat aku mengambil ponsel, lantas menghubungi nomer Bu Lisa."Waduh, maaf belum sampai sana Mas Dirga," jawab Mbak Lisa dari seberang telepon. Kulihat wajah ratuku, ia terlihat tak sabar menunggu jawaban."Ya udah, makasih ya, Mbak. Nggak papa, ada yang ngidam ini."Dan akhirnya sambungan telepon itu pun terputus, sebab ada suara yang memanggil Mbak Lisa."Gimana, Kak?"Tuh, kan, nggak sabar dia. Ba

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status