Keesokan harinya, suara pintu pagar otomatis terdengar dari arah depan rumah. Aira sedang melipat pakaian anak-anak di ruang tengah saat ia melihat mobil baru berhenti di halaman.
Mobil Revan, tapi dengan bagasi penuh kantong-kantong belanja dari butik mahal yang logonya berkilat emas.
Tania turun lebih dulu, memakai kacamata hitam besar, mengenakan dress putih ketat dengan sabuk Gucci mencolok di pinggangnya.
Ia membawa empat kantong belanja di tangan kiri, dan tas Hermes di tangan kanan.
Revan turun sambil membawa dua kotak sepatu. Ia bahkan membukakan pintu untuk Tania seperti seorang pelayan pribadi.
“Oh, bawaannya berat banget sih. Harusnya beli koper sekalian tadi,” keluh Tania manja.
“Nanti kita beli, sayang. Kalau butuh, ya ambil aja. Nggak usah ditahan-tahan,” jawab Revan santai, memasukkan kotak-kotak itu ke dalam rumah.
Aira berdiri di ambang pintu ruang tengah. Tangannya masih memegang kaos Raka yang setengah terlipat.
Tania melihatnya dan langsung nyengir lebar. “Eh, Aira. Aku taruh dulu ya belanjaannya di kamar tamu. Aduh, nanti kalau bajuku dicampur sama bajuku yang lama bisa rusak semua kainnya.”
Ia melenggang naik ke atas, menginjak karpet mahal dengan heels merah menyala. Aira hanya menatap punggung Tania tanpa ekspresi.
Revan masuk beberapa langkah ke dalam rumah, melewati Aira tanpa menoleh.
“Kamu bisa bantu taruh makanan kucing di belakang? Tania beli dua karung buat kucing-kucing liar itu. Katanya kasihan kalau kelaparan.”
Aira menahan napas. Kucing liar? Ia bahkan belum sempat membeli vitamin anak-anak minggu ini karena uang belanja yang semakin dipangkas sejak Tania tinggal di rumah itu.
"Revan," suara Aira akhirnya terdengar. Tenang, tapi penuh tekanan yang ditahan. “Uang kita cukup untuk semua ini?”
Revan menoleh singkat. “Kenapa? Kamu khawatir? Gajiku cukup, Ra. Lagipula, Tania cuma sesekali belanja. Dia juga butuh hiburan, jangan disamain kayak kamu yang... ya tahu sendiri, jarang keluar rumah.”
Kalimat itu menampar Aira diam-diam.
Ia tak membalas. Hanya mengangguk pelan dan kembali ke ruang tengah, melipat baju dengan kepala tertunduk. Tapi dari balik jemarinya yang berusaha tetap rapi, dadanya mendidih.
Sore harinya, Tania muncul dengan dress baru dan sandal bulu, memamerkan gelang emas yang bergemerincing setiap kali ia mengangkat tangan.
“Ibu,” katanya sambil duduk di samping ibu Revan yang sedang menonton sinetron. “Tadi aku beli juga bantal sofa baru, lucu banget warnanya. Biar ruangan tamu kita nggak kelihatan kuno. Ibu pasti suka!”
Ibu Revan tersenyum, mengangguk puas. “Iya, Tan. Kamu itu memang pinter banget ngatur rumah. Enak banget ya punya selera kayak kamu.”
Aira yang lewat sambil membawa segelas air untuk anaknya, mendengar percakapan itu dan berhenti sejenak.
Tania menoleh, melihat Aira, lalu berkata manis—tapi dengan nada menusuk, “Kamu suka juga, Ra? Tapi kayaknya model begini agak ‘nggak biasa’ ya, bukan yang kamu pakai biasanya.”
Revan tertawa kecil dari belakang koran.
Aira tak merespons. Tapi saat ia naik ke kamar, ia membuka laci lemari, menghitung amplop uang kecil yang ia sisihkan dari sisa belanja harian. Jumlahnya hanya cukup untuk susu anak seminggu, dan satu pak pembalut.
Ia duduk di ranjang, menatap dinding kosong.
Lalu dari luar kamar terdengar suara Tania memanggil. “Ra, aku pesan bean bag baru ya buat di teras. Biar aku bisa nongkrong sore-sore sama Mas Revan. Kamu nggak keberatan kan? Kan cuma di depan kamar kamu aja.”
Aira menutup matanya.
Dalam diam, ia tahu, rumah ini sudah bukan tempat yang nyaman. Tapi ia belum akan pergi. Tidak sekarang. Tidak saat Tania merasa sedang menang.
Malam harinya, aroma keju meleleh dan saus tomat panggang memenuhi seluruh rumah. Bunyi kotak pizza dibuka terdengar nyaring dari ruang makan.
Tania menaruh empat boks besar di atas meja, lengkap dengan chicken wings, kentang goreng, dan dua botol soda ukuran besar.
Revan duduk santai di kursi utama, mengenakan kaos dan celana pendek, menyeruput soda sambil memainkan ponsel. Ibu Revan sudah duduk lebih dulu, tangannya sigap mengambil potongan pertama.
“Lho, ini kok wangi banget ya?” gumam ibu Revan sambil tersenyum puas. “Tania, kamu tahu aja selera Ibu!”
Tania tertawa manja. “Aku pesan yang extra cheese sama pepperoni, Bu. Favorit banget deh. Aku pikir kita butuh makan enak dikit setelah hari panjang, ya kan Mas?”
Revan hanya mengangguk sambil menggigit sayap ayam.
Dari balik pintu dapur, Aira sedang menuang bubur hangat ke dalam tiga mangkuk kecil. Bubur sederhana, dari beras yang ia masak sendiri sejak sore tadi.
Tanpa topping apa-apa, hanya kuah kaldu sayur dan sejumput garam. Raka dan Aluna duduk di meja dapur kecil, menunggu.
Aluna mengendus pelan ke arah ruang tengah.
“Ma, baunya enak banget… itu pizza ya?”
Aira tersenyum, mencoba tetap ceria. “Iya, tapi itu punya Ayah dan Tante Tania sama Nenek ya. Kita makan bubur dulu. Ini enak banget, Mama masak spesial.”
Raka ikut bersuara, polos, “Tapi aku mau pizza juga, Ma…”
Aira memegang tangan anaknya, lembut. “Nggak bisa, Nak. Katanya nanti kalau kalian makan itu bisa sakit perut, bisa mencret. Kalian kan pernah sakit perut habis makan keju, inget?”
Aluna mengangguk pelan, walau tatapan matanya tertuju pada suara-suara tawa dari luar yang terdengar semakin ramai.
“Enak banget nih, Tan,” ujar ibu Revan dari ruang makan. “Kalau tiap malam kita makan gini, hidup berasa di villa!”
Tania tertawa riang. “Kapan-kapan kita coba makan sushi, Bu. Tapi yang premium ya, jangan yang murahan.”
Mereka tertawa lagi.
Aira hanya diam, duduk bersama anak-anak, menyendok bubur ke mulutnya sendiri—hambar, tapi ia menelan juga.
Tak satu pun dari mereka di ruang makan memanggil Aira. Tidak ada tawaran, bahkan sekadar basa-basi.
Padahal meja itu dulu adalah tempat ia dan anak-anaknya duduk bersama Revan, sebelum semua berubah.
Beberapa menit kemudian, pintu dapur terbuka. Tania masuk dengan dua potong pizza di tangan.
“Oh, Aira,” ujarnya dengan suara tinggi, seolah baru ingat Aira ada di rumah. “Tadi aku mau tawarin, tapi kamu kan biasanya nggak suka junk food ya? Lagian, kasihan kalau anak-anak sampai mencret. Hehehe.”
Aira menatapnya sejenak, lalu mengangguk. “Benar, jangan dikasih mereka. Mereka terlalu berharga untuk sakit hanya demi rasa enak sesaat.”
Tania tersenyum miring, lalu kembali keluar.
Raka menatap ibunya. “Mama bohong ya tadi… kita nggak mencret kalau makan pizza.”
Aira terdiam. Ia menarik napas pelan, lalu merangkul keduanya.
“Maaf ya, Nak… Kadang Mama harus bilang begitu supaya kalian nggak merasa sedih.”
Aluna memeluk ibunya. “Nggak apa-apa, Ma. Bubur Mama enak kok.”
Tiba-tiba, suara gelas jatuh terdengar dari ruang makan, disusul tawa keras Revan dan Tania. Lalu terdengar ibu Revan berkata, “Untung bukan di karpet! Tapi ya ampun, rame gini tuh bikin rumah kerasa hidup!”
Aira menunduk, matanya memejam sesaat. Bukan karena lapar. Tapi karena perasaan ditolak, dianggap tidak ada, dan diperlakukan seperti bayangan tak berguna di rumah yang dulu ia bangun bersama Revan.
Lalu ia berdiri, mengambil piring kosong anak-anak, mencucinya satu per satu. Tangannya gemetar, bukan karena lelah, tapi karena luka yang tak lagi bisa diseka.
Namun dalam hatinya, pelan-pelan sesuatu mulai tumbuh. Bukan dendam. Tapi tekad.
Kalau mereka berpikir Aira akan hancur karena semua ini… mereka belum tahu seberapa kuat seorang ibu bisa berdiri setelah dihancurkan berkali-kali.
Beberapa menit kemudian, Revan berdiri di dapur. Ia menuang air ke dalam gelas, lalu kembali ke ruang tamu dan menyerahkannya pada Tania yang pura-pura lemas di sofa.Tania menerimanya dengan tangan gemetar. “Makasih, Mas,” bisiknya.Tapi Revan tak menjawab. Matanya menatap kosong ke arah tangga, ke arah pintu kamar yang sudah tertutup rapat.Di ujung meja, ada sisa roti isi dari tadi malam. Bungkusnya masih ada tulisan kecil dengan spidol:"Untuk Mas Revan jaga kesehatan."Tulisan tangan Aira.Tania mengikuti arah pandang Revan, lalu menunduk. Ia tahu sebenci-bencinya Aira wanita itu masih lebih punya tempat di hati Revan, daripada dirinya yang kini sah sebagai istri.Di atas sana, Aira berdiri di balik tirai jendela kamar, menatap halaman depan yang mulai disinari mentari. Ia tersenyum kecil.Keesokan paginyaAira turun dari mobil dengan anggun. Blazer putih elegan membalut tubuh rampingnya, rambut dikuncir rapi, dan riasan wajah yang flawless.Di belakangnya, Tania mengekor, membaw
Aira berdiri di depan mobil SUV hitam yang sudah disiapkan untuk kembali ke Jakarta. Ia mengenakan coat panjang berwarna beige dengan syal wol di lehernya.Sembari menunggu Revan dan Tania mengambil barang, ia mengecek ponselnya ada satu pesan video dari Aluna yang dikirim mertuanya: “Mama cepat pulang Aluna pengen peluk!”Senyum tipis muncul di wajah Aira. Namun sebelum ia sempat membalas, langkah cepat menghampirinya dari arah kiri.“Maaf, Kak Aira?” suara itu datang dari seorang pria muda bersetelan rapi, ia manajer Ezra yaitu Candra.Aira menoleh ramah. “Ya?”Pria itu tersenyum profesional. “Ezra titip pesan. Dia ingin sekali mengundang Kak Aira makan malam sebelum pulang ke Jakarta. Hanya berdua. Katanya, untuk merayakan kerja sama luar biasa hari ini.”Aira terdiam sesaat. Di belakangnya, Revan dan Tania baru tiba sambil menarik koper perlengkapan Aira. Revan menatap ke arah pria itu, waspada.Aira tersenyum sopan, lalu menggeleng halus. “Sampaikan terima kasih untuk Ezra. Tapi
Kantor tempat Aira bekerja hari itu sedang sibuk. Ruang meeting dipenuhi tim produksi dan perwakilan brand luar negeri yang hendak bekerja sama.Di sudut ruangan, Tania duduk dengan gugup, keringat dingin membasahi pelipisnya. Ia baru tiba satu jam lalu, dan Aira belum berbicara sepatah kata pun padanya.Aira melangkah masuk dengan anggun, mengenakan setelan blazer putih bersih dan rok pensil. Makeup-nya flawless. Dia tampak seperti pusat gravitasi ruangan.“Pagi semuanya,” sapanya ramah. “Langsung saja ya, kita mulai.”Tania buru-buru bangkit berdiri, membuka presentasi. Tapi suaranya gemetar. Slide salah. Bahasa Inggrisnya terbata. Semua mata mulai berpaling dengan ekspresi tak nyaman.“Sebentar,” potong Aira halus, meski suaranya menohok. “Tan, kamu upload file yang salah. Itu bukan untuk klien hari ini.”Tania membeku. “Maaf, aku pikir—”“Kamu pikir?” Aira menoleh pada tamu, tersenyum sopan. “Sorry for the inconvenience. My team member is still in training.”Semua tertawa kecil.S
Sejak kejadian itu, hidup Aira perlahan berubah. Mertua yang dulu sinis, kini justru mendadak ramah. Bu Rani mulai sering mengajaknya bicara, bahkan tanpa dipanggil, wanita itu sudah duduk manis di teras setiap Aira pulang kerja.“Wah, tas kamu baru ya, Aira? Elegan sekali,” puji Bu Rani suatu sore.Aira tersenyum tipis. “Oh, ini? Iya, kebetulan koleksi dari brand Prancis yang kerja sama sama aku, Bu. Tapi kalau Ibu suka, aku belikan yang lain ya. Warna pastel lebih cocok buat Ibu, setuju?”Bu Rani tertawa kecil, geli. “Aduh, kamu ini, Nak, makin manis aja sekarang.”Tak hanya itu. Aira kini punya mobil sendiri, sopir pribadi, dan hamper-hamper mewah yang ia bawa pulang nyaris setiap minggu. Perhiasan, tas, baju semuanya ia beli dari hasil endorse dan bisnis yang meroket. Suatu malam, ia menyodorkan sebuah kotak beludru pada Bu Rani.“Ibu pernah bilang suka anting berlian, kan? Aku lihat ini cocok sekali dengan warna kulit Ibu.”Bu Rani terperangah. “Aira... ini mahal.”“Buatku, senyum
Sejak kerja samanya dengan OnGin mulai berjalan lancar kembali, Aira makin sibuk. Ia mulai sering diundang ke studio produksi, mengikuti sesi desain dan fitting, bahkan beberapa kali tampil di media sosial brand tersebut sebagai wajah dari lini “Embrace Real”.Hari-harinya kini padat. Pagi-pagi ia menyiapkan sarapan dan keperluan Aluna, mengantar anaknya sekolah, lalu meluncur ke tempat kerja. Pulang pun sering kali malam, saat Aluna sudah tertidur.Di balik keberhasilan itu, Aira dihantui rasa bersalah. Ia mencoba menyeimbangkan peran sebagai ibu dan pekerja, tapi waktu seperti terus mencuri kebersamaan mereka.Aluna mulai sering sendiri di rumah. Dan di situlah Tania mulai menampakkan warna aslinya.“Aluna sayang, makan sendiri ya. Tante lagi ada hal penting banget,” ujar Tania dengan senyum tipis… sambil men-scroll feed Instagram. Layar ponselnya gelap, tak ada suara apa-apa.Aluna mengangguk kecil, lalu duduk di meja makan sendirian. Nasi mulai dingin, ayam gorengnya keras. Tapi i
Dua minggu setelah kejadian dengan Tania, sebuah video sederhana Aira tengah menjahit sambil menemani Aluna belajar viral di I*******m.Caption-nya singkat:"Kami mungkin tak sempurna. Tapi kami saling menjaga. Aku, dan gadis kecilku."Tak disangka, video itu ditonton puluhan ribu kali dalam sehari. Komentar pujian berdatangan. Banyak perempuan yang merasa terwakili. Ada yang bilang: “Akhirnya ada sosok ibu tangguh yang nyata,” ada juga yang menulis, “Lihat ini bikin aku malu pernah menyerah.”Beberapa hari setelahnya, Aira menerima pesan dari sebuah brand modest fashion lokal yang cukup ternama: OnGin.Mereka ingin bekerja sama: memberi modal bahan, desain eksklusif, dan memasarkan karya Aira lewat platform mereka. Nama Aira akan tercantum sebagai "Creative Artisan."Tangannya gemetar saat membaca email itu. Ia menutup laptopnya, lalu segera berjalan ke arah Revan yang sedang duduk di ruang tengah menatap layar TV kosong.“Van,” katanya dengan suara nyaris bergetar, menahan gejolak an