Kecelakaan
“Kau sangat cantik Eve. Aro pasti akan menyukai penampilanmu,” puji Stella, Ibunya yang memegang bahu putrinya, lalu mengelus rambut panjangnya yang bergelombang akibat dicurly.1
“Kau sudah menyiapkan hadiah untuk Aro?” tanya Raymond, ayahnya yang bersandar di sisi ambang pintu.
Evelyn Blossom. Gadis berusia 22 tahun itu tampak malu-malu dan enggan untuk menjawab pertanyaan sang Ayah.
Tapi detik berikutnya, ia berkata pelan, “Aku akan memberikannya jika aku sudah bertemu dengannya, Daddy.”
Rona tersipu di pipi Evelyn spontan membuat Stella tertawa. Ia lalu melirik suaminya di pintu yang memandang datar dan tampak tidak peduli, namun samar bisa Stella tangkap ujung bibir suaminya itu sedikit tertarik sebelum menghilang, meninggalkan mereka berdua setelah berkata,
“Ya sudah. Daddy tunggu di bawah. Kita akan berangkat sebentar lagi.”
“Biar Mommy tebak hadiah apa yang akan kau berikan untuk Aro.”
Stella memicingkan mata pada Evelyn membuat Evelyn mengigit bibir dengan kepala agak tertunduk, merona.
“Aku akan memberikannya sesuatu yang tidak akan pernah dilupakannya Mom.”
Evelyn kemudian menggandeng lengan Stella, berbisik pelan, “Dan Mom tidak perlu tahu.”
Stella tertawa. “Kau akan memberikanya sebuah ciuman panas?”
“Mom!” pukul Evelyn pada lengan sang Ibu. Merengut namun rona panas di wajah sudah menjelaskan demikian bahwa itulah hadiahnya.
“Jangan lupa, Mommy melihatmu sedang mempelajari sebuah cara berciuman lewat ponselmu,” usil Stella menggoda putrinya, membuat pipi Evelyn tambah memanas.
Ia menatap Stella,”M-mom memergokiku?”
Stella tertawa lagi. Ia merengkuh putrinya dari samping, membenamkan kepala putrinya itu di dadanya. “Tentu saja.”
Evelyn mendongak ketika jemari Ibunya mengelus pipinya. “Aro pasti akan menyukai hadiahmu sayang.”
Senyum lebar tersungging di bibir Evelyn.
“Ini adalah pertama kali aku melakukannya dengannya Mom.”
Lagi, Evelyn mendekap sang Ibu erat dan bibirnya masih memamerkan senyum,
“Aro berkali-kali hampir menciumku, tapi aku selalu menghindarinya karena aku ingin menyiapkan hadiah ini di hari ulang tahunnya yang ke 26 tahun.”
***
Raymond menyalakan mesin mobilnya. Stella duduk di sebelahnya dan Evelyn duduk di kursi belakang. Setelah itu mobil mulai berjalan. Tampak salju berjatuhan dan Evelyn mendongak menatap langit malam dari kaca mobil. Tidak ada benda-benda indah di atas sana.
Lalu tak berapa lama kemudian suara panik Stella terdengar, “Ada apa sayang?!”
“Remnya tidak berfungsi Stella!”
Pembicaraan itu dan laju mobil membuat Evelyn turut merasakan kepanikan. Ia maju ke depan dan bertanya cemas, “Mom, Dad, apa yang terjadi?!”
“Sial!” umpat Raymond di sela-sela kegusarannya.
Kakinya berkali-kali menekan rem tapi tidak juga berhasil. Terlebih bola matanya membesar kemudian ketika melihat sebuah mobil hitam hendak melintas ke arah mereka.
“Raymond awas!” teriak Stella heboh beradu rasa takut. Disusul jeritan Evelyn, “Daddy!”
Lalu semua terjadi begitu saja. Hanya seperskian detik suara benturan cukup keras terdengar. Mobil Raymond sudah terbalik. Kacanya pecah. Begitu pula dengan mobil hitam. Asap mengepul di sekitar.
Darah merembes dari kepala Raymond yang tidak lagi sadar. Sedangkan Stella matanya terbelalak. Kaca mengenai sebagian wajahnya. Evelyn yang terluka berusaha keluar.
Beruntung pintu itu masih berfungsi.
Ketika tiba di luar dengan merangkak sebisa mungkin, ia berseru sarat rintihan, “To-tolong!”
“Seseorang tolong kami!”
Ia kemudian menangis histeris di tengah jalanan sepi. Begitu ketakutan melihat segalanya. Terlebih kondisi kedua orangtuanya yang tampak parah. Sudah seperti mayat segar. Tidak ada tanda-tanda kehidupan lagi.
***
“Hentikan mobilmu, darling,” ujar Clara pada lelaki gendut yang menjadi kliennya malam ini. Lantas lelaki mesum itu memberhentikan mobilnya.
Clara menyingkirkan tangan nakal lelaki itu dari pahanya dan keluar. Ia kemudian berseru, “Oh, ya Tuhan.”
Lelaki itu ikut keluar.
Mereka memandang kedua mobil yang terbalik. Satu berwarna hitam, tampak mengenaskan. Satu berwarna silver, jauh lebih mengenaskan. Kedua mobil itu mengepulkan asap. Namun yang mencuri perhatian Clara adalah seorang gadis, kira-kira seusia dengan Putrinya. Tampak terluka parah dengan darah di sekujur tubuh. Merintih juga menangis.
Dalam hitungan detik Clara telah sampai ke depan gadis itu. “Kita harus menyelamatkannya darling.”
Lelaki gendut itu tampak tidak peduli. Ia mendekat dan merengkuh pinggang Clara dari belakang. “Kau tahu ini bukan urusan kita Clara,” bisiknya serak.
Ditambah tangannya kembali menggerayangi paha Clara yang hanya menggenakan dress ketat di atas lutut. Sangat seksi, terbuka dengan warna menyala. Merah terang.
“Kita perlu kembali ke mobil dan segera ke hotel bitch.”
Clara tidak keberatan dengan panggilan itu. Ia sudah biasa sebab itu memang pekerjaan yang selama ini menghidupi dirinya.
“Ayolah, darling,” rayu Clara seksi, menepis tangan lelaki gendut itu. Ia berbalik. Mengalungkan kedua tangannya, lalu mengelus pipi lelaki gendut itu yang tampak menikmati, matanya terpejam.
“Kumohon. Bantulah aku.”
Clara kemudian mengecup bibir lelaki itu, bermaksud menggoda. “Setelahnya, kita bisa menghabiskan malam panjang ini bersama, darling.”
Lelaki gendut itu menggeram. Ia membuka matanya, tersadar dari jemari lentik Clara yang begitu memengaruhinya.
“Oh, baiklah.” Ia kemudian mendekati Evelyn. Setengah berjongkok dan mulai menyelipkan tangannya di paha dan satu tangannya di punggung, lalu mulai mengangkat tubuh Evelyn.
“Terimakasih darling.”
Lalu tepat ketika Clara dan lelaki gendut itu telah memasukkan Evelyn ke jok belakang, tiba-tiba mata Clara agak menyipit, menyadari sebuah benda yang tertempel di mobil silver itu.
Tidak lama kemudian ia mengabaikannya. Masuk ke dalam bersama lelaki gendut itu. Tepat ketika mobil mereka telah mundur sangat jauh, detik itu suara ledakan cukup dahsyat terdengar.
“Shit!” ucap lelaki gendut itu spontan, sementara Clara terkejut.
Mobil silver itu mendadak meledak, persis di depan mata mereka.
***
Suasana pesta malam itu begitu meriah. Banyak tamu-tamu dan kolega dengan pakaian elit menghadiri. Axton Bardrolf. Lelaki itu berulangkali melonggarkan dasinya disertai dengan pandangan yang mengedar ke sekitar. Sesekali ia juga menatap jam rolex di tangan kirinya.
“Aro…” panggil Wella, Ibunya menepuk punggung Axton.
Axton lantas memandang Ibunya. “Mom bisa kita menunda acara sedikit lagi?”
Ibunya menggeleng, menepuk pipi Axton pelan. “Kau menunggu Eve?”
Axton mengerang. Kemudian ia menutup wajah frustasi. “Aku harap ia tidak lupa tentang hari ini.”
Wella tertawa. “Ia tidak akan lupa Aro. Lagipula, kita juga sudah mengundang mereka. Ia mungkin hanya sedikit lama mempersiapkan penampilannya untukmu.”
Axton menurunkan tangannya. “Ya, aku hampir melupakan tentang hal itu.” Kemudian ia tersenyum miring pada Wella. “Eve tidak pernah merias wajahnya Mom.”
“Dan jika ia melakukannya, berarti ia tidak ingin kau kecewa.”
Axton termenung beberapa saat, sebelum ujung bibirnya tertarik ke atas. Apalagi mendengar kalimat Ibunya selanjutnya.
“Eve pasti ingin matamu hanya tertuju padanya. Ia ingin menjadi gadis tercantik malam ini spesial untukmu.”
Axton tertawa rendah. “Kuharap itu benar Mom. Karena aku tidak sabar ingin bertemu dengannya malam ini.”
Wella kemudian menepuk pundak Axton sebelum berlalu karena menerima sebuah panggilan. Dan dari jauh Axton mengamati ekspresi Ibunya itu. Tampak serius juga shock secara bersamaan.
Entah siapa yang menelpon, tapi itu sukses membuat Axton diliputi rasa penasaran. Hingga ia bertanya usai Wella menyudahi percakapan.
“Mom, ada apa?”
“Aro… Mommy tahu kau sangat menunggu Eve. Tapi sepertinya gadis itu tidak akan datang.”
“Apa maksudmu Mom?”
“Eve… ia dan keluarganya…”
PermulaanTiga bulan kemudian…Clara membuka pintu rumah itu, mempersilahkan seorang gadis yang ia tidak sengaja temukan di jalanan pada malam dimana butiran salju turun. “Masuklah.”Gadis itu mengamati seluruh penjuru ruangan itu. Terlihat sangat sederhana. Perabotannya pun tidak terlalu banyak. Seperti baru saja pindah. Cahaya pagi menelusup di balik tirai jendela. Ia kemudian menatap Clara dengan bingung.“Mulai sekarang ini adalah rumahmu. Kau akan tinggal bersamaku di sini.”Namun detik berikutnya Clara tersadar saat menyadari dahi gadis itu mengernyit. Ia segera meralat ucapannya. Tangannya merapikan beberapa helai rambut yang menjuntai, menutupi wajah gadis itu. Menyelipkannya di telinga.“Maksudku, ini adalah rumah baru kita. Mommy baru saja menyewa tempat ini karena suasana di sini jauh lebih nyaman dari pada temp
Sebuah Dendam“Apa yang kau lakukan Otis?!” jerit Wella ketika mendapati suaminya itu bertelanjang dada dan bercumbu dengan seorang wanita di atas sofa. Otis yang tadi sedang menindih dan mengemut buah dada wanita itu mendongak.Istrinya tengah membekap mulut. Diikuti linangan air mata. “Kau… selingkuh dariku?”Otis menyeringai. Ia meremas buah dada wanita itu, membuah desahan seksi itu lolos dari bibir wanita itu, lalu menjawab pertanyaan istrinya.“Kau bisa keluar jika kau tidak suka melihatku Wella.”“Otis…”1“Dengar Wella…” Otis menarik wanita yang telah tidak berbusana itu agar beranjak bersamanya. Lalu memeluk pinggang wanita itu dari belakang, memasukkan jemarinya di inti wanita itu hingga pekikan erotis terdengar. Dan tanpa malu wanita itu bergoyang sambil mengalungkan ta
Detik-Detik KematianDua hari kemudian, Axton hendak mengetuk pintu rumahnya. Tapi suara desahan dan lenguhan menelusup di indera pendengarannya. Apalagi ketika ia mendorong pintu itu, nyatanya tidak terkunci.Suasana malam di rumahnya gelap. Namun erangan demi desahan itu makin jelas tergiang di pendengarannya. Ia mendekat dengan wajah menahan amarah."Dad," ucap Axton datar waktu menyalakan lampu dan mendapati Ayahnya bertelanjang dada dan sedang memangku seorang wanita tanpa busana. Terlihat menikmati menghisap buah dada wanita itu sementara tangan wanita itu meremas rambut Ayahnya."Kau...""Sudah pulang hm?"Axton bergeming selama sesaat.Sedangkan Otis di sela permainan panasnya mengulum diiringi desahan nikmat Clara, berkata lagi, "Kau tidak tahan hidup tanpa sepeser uang maka kau kembali pada Daddy." Ada senyum miring terbit di bibir Ayahnya. Lidah Ayahnya menelusuri puting wanita itu."Ah Otis...""Ya, honey. Se
PembunuhanAxton duduk di sisi ranjang yang ditaburi mawar-mawar indah. Ia berada di sebuah hotel megah di Los Angeles. Sengaja wajahnya ia tutup menggunakan topeng silver. Ketika pintu terbuka, kepalanya langsung menoleh.Clara Kincaid.Wanita yang pernah dilihatnya bercumbu liar bersama Ayahnya. Lewat topengnya itu Axton mengamati penampilan wanita itu dari atas sampai bawah. Dress ketat yang sukses mempertontonkan keseluruhan lekuk tubuh. Juga hampir tidak bisa menutupi bokong.“Kau suka honey?” Clara menggoda dengan suara merdunya.Axton tidak menjawab hanya menyeringai.Clara kemudian mendekatinya. Duduk di sebelahnya, memangku satu kakinya, menampakkan paha mulusnya. Axton sempat meliriknya sekilas tanpa minat.Ia masih waras. Ia tidak suka dan tidak tertarik pada wanita berumur. Lagi pula saat ini ia sedang menyamar men
Tangisan KehilanganKelopak mata Milly terbuka. Hari sudah pagi, itu terlihat dari cahaya yang menelusup di balik tirai di ruangan keluarga. Ia tertidur di sofa, menunggu kepulangan Clara. Merenggangkan tangannya ke atas, ia kemudian beranjak.Matanya menatap di setiap penjuru rumah, tampak sepi. Sepertinya semalam Ibunya tidak pulang.“Mom sepertinya kau telah lupa padaku,” gumam Milly cemberut.Lalu tanpa merasa keanehan apapun ia menjalankan aktifitasnya seperti biasa. Menarik nafas singkat dan menuju dapur. Membuka lemari kecil di atas, mengambil sekotak sereal, juga mangkok kemudian meletakkannya di meja bar.Namun tidak lama suara ketukan pintu mengagetkannya, sangat heboh. “Milly. Apa kau ada di dalam?” Itu adalah suara Bibi Rachel, terdengar rentan dan rapuh.Bergegas, Milly melangkah menuju pintu, tapi sebelum itu ia menggeser
KericuhanSeminggu kemudian…“Kemana Elena?” tanya Fernandez kepada gadis yang melayaninya. Bola mata gadis itu terasa familiar di matanya, tapi ia tidak yakin mirip siapa hingga tidak terlalu memusingkan. Terlebih wajahnya sebagian tertutup masker.“Elena?” suara gadis itu agak teredam karena masker yang dikenakannya. Ekspresinya tampak bingung. Ekor matanya sekilas melirik ke arah pintu yang tertutup tidak jauh dari posisinya berdiri, tepat di sebelah kanan.“Ya. Ia bekerja di sini dan hanya ia yang tahu jelas seperti apa pesananku.” Alis Fernandez terangkat sebelah dan kedua tangannya berada di saku.“Aku ingin ia yang berdiri di depanku sekarang.”“Untuk sementara kau bisa—” Kalimat gadis itu tidak selesai karena pintu itu terbuka lebar dan memunculkan sosok Elena Corrigan yang beruraian air mata.
Sebuah KesepakatanHal pertama yang didapati Milly ketika pintu itu telah terbuka adalah penampilan Elena yang tampak agak berantakan. Rambutnya dicepol sembarangan. Blouse pinknya terlihat compang-camping. Muka temannya itu memerah.“Maaf aku baru bisa membuka pintu sekarang. Tadi aku sedikit mengatasi sesuatu hal,” jelas Elena ngos-ngosan, membuat Milly mengernyit.“Apa kau terjatuh?”Elena tertawa. “Tidak Milly.”“Aku mendengar suara-”“Tidak. Tidak ada apa-apa Milly,” potong Elena cepat. Kemudian melebarkan pintunya dan mempersilahkan Milly.“Masuklah.”Milly pun masuk ke dalam aparteman sederhana Elena. Ia lalu bertanya pada Elena. “Jadi untuk apa kau memanggilku?” Pandangannya kemudian berhenti pada satu titik. Kepada lelaki yang tadi dilihatn
Mawar Merah“Hei, Mom,” sapa Axton kepada Wella yang hanya duduk mematung di tepi kasur. Tatapannya kosong dan tampak sedang melamunkan sesuatu.Axton membuang nafas lelah. Tapi ia berusaha mengukir senyum dan menutup pintu kamar. Kemudian berjalan ke arah jendela. Melirik kebun kecil mawar merah di bawah sana. Suasana musim semi pagi ini membuat bunga-bunga itu tampak mekar dengan indah.Ia tahu betul bahwa Ibunya suka bercengkraman dengan bunga-bunga itu—sebelum pengkhianatan Ayahnya terjadi dan merusak momen kebersamaan mereka selama ini. Bunga-bunga itu bahkan dulu menjadi saksi bisu setiap aktifitas keluarga mereka di pagi hari.Kecupan mesra yang diberikan Ayahnya kepada Ibunya…Elusan lembut di puncak kepalanya sebagai bukti kasih sayang seorang Ayah untuknya…Dan Axton tidak akan membiarkan bunga-bunga itu mati. Ia tidak ingin Ayahnya tertawa dan