"Apa ini?" tanya seorang wanita dengan nada bergetar. Hatinya sakit seperti disayat oleh belati tajam.
Tidak ada jawaban dari pria yang duduk di depannya. Menatap sang wanita dengan tatapan kosong tanpa tersirat cinta di dalamnya. Naas memang, saat pernikahan mereka yang dua bulan lagi akan genap berusia dua tahun harus berakhir dengan adanya wanita lain dalam rumah tangga mereka.
Aneisha Arshalina, wanita itu kini menundukkan kepalanya dan menyembunyikan gurat kecewa serta sedih menjadi satu. Pria yang begitu ia hormati dan sangat dicintainya dengan mudah membagi hati pada wanita lain.
Kejadian yang mampu mengiris hatinya itu dijejalkan dalam satu waktu. Mendesak, memadatkan pikiran yang terus berkecamuk. Sedih, mungkin kata itu tidak cukup untuk menggambarkan bagaimana gundahnya hati seorang istri yang digugat cerai oleh pria yang dicintai.
"Tanda tangani dan aku akan mengirim gugatannya ke pengadilan agama." Dengan mantap dan tanpa ragu Arsenio Brandon Atmaja mengucapkan kata yang semakin membuat luka hati Neisha menganga.
Harusnya Neisha tidak lagi terkejut dengan kalimat yang keluar dari bibir calon mantan suaminya itu. Sebab sepasang netra indahnya telah memergoki Arsen dengan wanita lain kala mereka tidak sengaja bertemu di pusat perbelanjaan.
"Anak kecil itu apakah anakmu, Mas?" Kali ini Neisha mendongakkan wajahnya menatap Arsen yang masih tidak berkutik dari tempatnya.
Cuaca yang panas dan jalanan kota yang padat tidak membuat Neisha betah berdiam diri di rumah. Wanita cantik itu memutuskan untuk membeli beberapa persediaan makanan yang memang telah habis. Neisha juga berencana untuk mencari hadiah ulang tahun pernikahan untuk suaminya.
Namun, semesta sepertinya tidak berpihak pada kebahagiaannya. Saat kedua netranya berpendar ke segala arah, tanpa sengaja Neisha melihat bagaimana pria yang berstatus sebagai suaminya itu menggandeng tangan seorang gadis kecil dengan senyum yang terpancar di bibirnya.
Sedangkan di sebelah Arsen, seorang wanita dengan rambut panjang dan tubuh langsingnya menatap Arsen dengan tatapan intens. Layaknya sebuah keluarga bahagia yang tengah menikmati waktu bersama.
Tidak ada yang dapat Neisha lakukan, darahnya seolah berhenti berdesir, lidahnya kelu dan kedua kakinya kini tidak mampu lagi menopang berat badannya.
Wanita itu jatuh terduduk di lantai dengan keranjang belanjaan yang masih ia pegang. Seolah hanya benda berwarna merah itulah kini pegangan wanita yang berusia 25 tahun itu.
Di sinilah mereka sekarang, di rumah mewah berlantai dua. Saling berhadapan menyalurkan segala keresahan yang terjadi diantara keduanya.
Neisha yang menunggu kepulangan Arsen sejak kejadian siang tadi, berharap pria itu akan menjelaskan sesuatu yang dapat membuat hatinya tenang. Namun, sepertinya apa yang diharapkan hanya hal semu semata.
Alih-alih membuat hati Neisha tenang dengan penjelasan dari suaminya, pria itu malah datang dengan selembar surat gugatan cerai yang dilayangkan padanya. Miris.
"Jangan sangkut pautkan Melodi dalam permasalahan kita hari ini," tegur Arsen dengan mata menatap tajam Neisha. Jelas tatapan yang dilayangkan Arsen adalah tatapan mengintimidasi untuk wanita yang sebentar lagi akan menyandang status janda itu.
Menatap nanar pada pria di depannya, Neisha kemudian menyadari satu hal. Melihat bagaimana Arsen tidak terima dengan pertanyaannya sudah membuktikan bagaimana pria itu akan menjadi tameng utama untuk mereka.
Menggigit bibir bawahnya pelan berharap mengurangi rasa pilu yang terjadi saat ini. Rasa besi menyentuh lidah, Neisha tidak perduli. Ia ingin pria ini tetap untuknya dan menjadi miliknya. Namun, siapa dia? Bahkan sekedar kalimat penenang saja tidak dapat diberikan Arsen untuk Neisha.
"Namanya bagus. Melodi," gumamnya lirih tetapi Arsen masih bisa mendengar suara Neisha.
"Jadi kamu ingin aku menandatangani surat ini, Mas?" imbuh Neisha masih menatap lekat pria yang telah menyakiti hatinya.
Bodoh, jelas Arsen sedari tadi menunggu goresan tinta itu. Mata yang tidak berkedip dan selalu memfokuskan pada jemari mungil Neisha, bukankah itu sebuah keinginan terbesar Arsen saat ini?
Diam, Arsen tidak mau membuang tenaga hanya untuk menjawab pertanyaan yang sudah pasti jawabannya. Arsen cukup tahu jika Neisha adalah wanita pintar dan terpelajar jika hanya untuk sekedar memahami kata dan makna tersirat yang ia katakan sedari tadi.
"Baiklah, aku akan menandatanganinya. Bisakah aku meminta waktumu sebelum kamu benar-benar menggugat aku, Mas?" Bukan sebuah pertanyaan Neisha mengatakan hal itu. Sebuah keinginan yang mungkin saja dapat merubah takdir yang akan mereka jalani saat ini.
"Apa?" Selama menjadi istri Neisha tidak pernah meminta apapun dari Arsen. Tanpa banyak berpikir dan berharap perceraian segera terjadi, Arsen bertanya apa keinginan Neisha.
"Bisakah aku meminta waktu satu bulan sebelum kamu benar-benar menggugat cerai aku, Mas?" Wanita cantik itu sedikit meremas ujung kertas yang sedari tadi ia pegang. Kertas itu kini menjadi kusut sama halnya dengan hati Neisha saat ini.
Arsen mengernyitkan dahinya saat permintaan aneh dari Neisha membuatnya kebingungan. Satu bulan? Itu adalah waktu yang lama dan itu akan membuang waktu Arsen yang berharga.
"Untuk apa?"
"Hanya itu permintaanku, Mas," ujar Neisha menekan dada yang semakin sesak karena ketakutannya jika Arsen benar-benar tidak memberinya kesempatan. Neisha hanya ingin berusaha mengubah takdir di kehidupannya.
***
Angin malam berhembus menyapa kulit wanita yang saat ini terpaku di dekat jendela. Angin yang bertiup itu menerbangkan dan menggoyangkan beberapa daun kering di pepohonan.
Cairan bening dari pelupuk mata Neisha sudah tidak bisa dibendung lagi. Mereka luruh begitu saja tanpa bisa dicegah, tubuhnya bergetar hebat. Matanya mengerjap beberapa kali untuk menyingkirkan pandangan kabur yang disebabkan oleh air mata.
Selama sebulan ini ia akan melakukan hal yang dapat menyelamatkan rumah tangganya. Meski pada awalnya pernikahan mereka hanyalah perjodohan akan tetapi rasa cinta Neisha untuk Arsen datang dengan penuh keajaiban. Neisha tidak akan menyerah!
Tangan mungil itu kini terulur untuk mengusap perut ratanya. Teringat bagaimana Arsen terlihat begitu bahagia saat bersama anak kecil membuat Neisha memikirkan sebuah kehidupan di dalam perutnya.
Seandainya dalam pernikahan yang sebentar lagi akan genap dua tahun itu kehadiran seorang malaikat, akankah Arsen tidak akan mengkhianati pernikahan mereka? Akankah perasaan Neisha terbalas?
"Berjuang Neisha, kamu adalah istrinya dan mereka bukan siapa-siapa. Aku pasti bisa mempertahankan rumah tangga ini," batin Neisha menguatkan dirinya sendiri.
Sedangkan Arsen, pria itu berbaring di ranjang kamarnya. Menatap langit-langit kamar yang didominasi warna putih itu. Jika bukan wasiat dari temannya, Arsen tidak akan memiliki hubungan yang dapat menyakiti wanita lain.
Arsen selalu memperlakukan wanita dengan baik. Bahkan pernikahannya dengan Neisha yang hanya didasarkan pada perjodohan tidak membuat Arsen berani menyakiti istrinya. Wanita cantik yang selalu menyiapkan segala kebutuhan Arsen.
Sial, dirinya harus terseret dalam masalah yang runyam ini. Mempertaruhkan rumah tangga yang dibinanya. Jika sang ibu mengetahui sebab perceraiannya nanti bukan tidak mungkin Arsen akan kehilangan hak warisnya sebagai seorang anak.
"Harusnya kamu membiarkan aku yang tertabrak waktu itu," lirih Arsen mengingat kejadian beberapa tahun silam.
Sebuah kecelakaan yang hampir merenggut nyawanya, akan tetapi Arsen beruntung dengan diselamatkan oleh Adipati. Sahabat yang sudah Arsen anggap sebagai saudaranya.
Adipati, pria itu menyerah pada takdir dan juga cintanya. Wanita yang dikasihinya ternyata menyukai sang sahabat sedari lama. Sebuah kenyataan yang memukul hatinya telak.
"Sekarang aku harus bagaimana?" Arsen kini memejamkan matanya. Bayangkan masa lalu saat Adipati menitipkan anak dan istrinya terekam jelas dalam benak Arsen.
Seandainya Arsen tidak terjebak dengan janjinya masa itu, mungkin saja rumah tangga yang ia bina bersama Neisha pasti sekarang akan terasa lebih berwarna. Pria itu hanya takut mengatakan kebenaran pada Neisha.
***
Pagi ini rasanya mentari sedang malu menunjukkan sinarnya. Langit yang mendung dan rintik air hujan membasahi bumi. Seakan mengerti ada hati yang tengah bersedih.
Membuka jendela kamarnya, pias air hujan sedikit mengenai wajah ayu Neisha. Menghela nafas beratnya, Neisha terlihat begitu tidak bersemangat menjalani hari.
Mengingat semalam jemari mungilnya itu telah menari di atas kertas putih menggoreskan tinta hitam di atasnya.
Tok … tok … tok
Sebuah ketukan pintu membuat Neisha menolehkan wajahnya dan berjalan ke arah pintu yang bercat coklat itu. Menetralisir kegundahan hatinya, Neisha mengusap dadanya lembut.
Tidak, ia tidak lupa akan adanya Arsen di rumah ini. Neisha hanya tidak siap untuk bertemu pria tampan itu. Pria yang berhasil memporak-porandakan hatinya.
"Mas," sapa Neisha saat wanita cantik itu telah membuka pintu kamarnya dengan sempurna.
Melihat penampilan suaminya pagi ini membuat Neisha tersenyum sangat tipis hingga tidak disadari oleh Arsen.
Bagaimana mungkin Neisha tidak tersenyum dengan penampilan Arsen pagi ini. Celana pendek berwarna hitam dipadukan dengan kaos lengan pendek berwarna abu membuat ketampanan Arsen benar-benar berlipat ganda.
Selama hampir dua tahun pernikahan mereka, ini adalah kali pertama Neisha melihat suaminya berpenampilan santai seperti ini. Jika biasanya setiap hari libur pria itu selalu beralasan keluar rumah untuk melakukan pekerjaan akan tetapi tidak untuk hari ini.
"Ada yang ingin kamu lakukan? Satu bulannya dihitung mulai hari ini, kan?" tutur Arsen memperhatikan mata Neisha yang terlihat sedikit sembab. Arsen bukan pria bodoh yang tidak mengetahui luka hati Neisha.
Arsen, pria itu benar-benar pandai bertutur kata dan menyakiti hati Neisha. Tidak bisakah ia berpura-pura bertanya hal lain lebih dulu? Jadi ini alasan Arsen tidak keluar rumah hari ini? Ia ingin segera melakukan permintaan Neisha dan berharap semua segera berakhir?
Kejam!
"Ah, iya." Neisha menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Tapi hari ini hujan turun. Kita tidak bisa pergi kemana pun," sambung Neisha.
"Kita bisa menghabiskan waktu di rumah," celetuk Arsen yang membuat Neisha dengan cepat menatap wajah rupawan suaminya itu.
Jika kalimat itu diucapkan oleh Arsen yang dulu, maka sekarang Neisha sudah berlari ke pelukan Arsen dan memberikan beberapa kecupan karena rasa bahagianya. Namun, kini sudah berbeda.
"Baiklah. Aku akan mencuci muka dan membuat sarapan." Tanpa menunggu jawaban dari Arsen, Neisha kemudian menutup pintu kamarnya rapat.
Wanita itu terperosot ke lantai dengan kedua kaki yang ditekuk. Kedua tangan mungilnya ia gunakan untuk menutupi wajah ayunya. Sungguh, bertatapan dengan Arsen pagi ini mampu mengoyak kembali hati yang sudah Neisha tata semalam.
Badannya bergetar hebat, tangisnya kini pecah. Menghadapi kesulitan ini sendirian tanpa sebuah penopang dalam hidupnya menjadikan Neisha hancur.
Meski hujan telah reda akan tetapi mendung masih setia pada langitnya. Awan hitam itu tidak mau beranjak.
Neisha sudah bersikukuh akan mempertahankan rumah tangganya, meski berat dan sulit ia akan berusaha. Walau tangis selalu menghampiri dirinya, Neisha akan berjuang sekuat tenaga.
Suara dentingan sendok dan garpu menemani dua orang yang sedang menyantap sarapan pagi dengan diam. Tidak ada lisan yang terucap dari keduanya. Hingga sebuah dering telepon membuyarkan lamunan sepasang suami istri itu.
Arsen, pria itu mengambil ponselnya dan akan menjawab panggilan telepon. Namun, sebelum pria itu menjawabnya Neisha lebih dulu berkata, "Kamu bilang akan memulainya hari ini, jadi tidak ada yang boleh mengganggu waktu kita mulai hari ini jika sedang bersama, Mas."
Arsen menyipitkan matanya, dia tidak pernah mendapati Neisha yang melarang apapun yang dia lakukan. Namun, kini wanita itu …?
"Mungkin mereka membutuhkan bantuanku," kelit Arsen masih dengan memegang garpu di tangan kirinya.Mendengar Arsen masih mencoba memberikan pembelaan pada wanita lain membuat Neisha mendengus tidak suka. Apa benar tidak ada ruang di hati suaminya untuk Neisha? Tangan Neisha mengepal semakin erat di sisi tubuhnya. Ketika hatinya kembali berdenyut nyeri, udara dingin yang terasa seolah terhempas ke tubuh menurunkan suhunya."Apa aku tidak? Menikah denganku selama dua tahun tapi waktumu selalu untuk mereka. Apa aku tidak bisa meminta waktumu satu bulan saja?" Tidak ada panggilan 'Mas' yang biasanya terdengar manis dan lembut di telinga Arsen. Hanya nada kepedihan yang jelas menyayat hati pria itu. Sungguh, Arsen tidak ingin menyakiti hati wanita sebaik Neisha. Sialan Adipati! Harusnya dia membiarkan Arsen yang kecelakaan waktu itu."Maafkan aku." Arsen kembali meletakkan benda persegi itu di atas meja. Meski deringnya selalu mengganggu acara makan mereka.Ya, kali ini Neisha harus lebi
Di bawah langit gelap dengan dihiaskan ribuan bintang dan sang rembulan. Cahaya lampu dari jalanan kota menemani sepasang suami istri yang sedang berjalan beriringan.Terlihat romantis dan membahagiakan, tetapi siapa yang tahu jika hati mereka kini sedang diporak porandakan oleh sesuatu yang bernama cinta dan penghianatan."Malam semakin dingin, kita pulang saja," ajak Arsen yang kini berjalan mendahului Neisha.Wanita itu masih terdiam di tempatnya, menatap punggung lebar nan kokoh yang berjalan menjauhinya, Neisha meratapi nasibnya.Beberapa menit yang lalu mereka masih berjalan beriringan dengan tangan yang saling menggenggam. Namun, kini punggung kokoh itu pergi meninggalkan Neisha seorang diri.***Baru juga menginjakkan kaki dan masuk ke dalam rumah, ponsel milik Arsen yang ia letakkan di atas meja berdering. Saat menikmati malam bersama dengan Neisha, Arsen sengaja meninggalkan benda pipih itu di rumah.Neisha yang melihat Arsen segera mengambil ponselnya pun menggigit bibir ba
Seketika lidah merasa kelu dan desir darah seolah berhenti mengalir dari tubuhnya. Sungguh, pernyataan yang baru saja Neisha dengar menghujam jantungnya. "Jadi siapa Melodi?" tanya Neisha menatap manik hitam Arsen yang juga menatapnya dengan keputusasaan. Arsen tahu jika dirinya memberikan luka pada wanita yang kini masih berstatus sebagai istrinya itu. Namun, janjinya pada Adipati tidak bisa ia abaikan begitu saja. "Aurel dan Melodi adalah anak dan istri dari temanku. Dia meninggal karena menyelamatkan aku," jelas Arsen. "Lalu kamu menceraikan aku untuk bersama mereka?" cecar Neisha. Kali ini tidak ada getaran dalam suara wanita cantik itu. Ia sudah bertekad semalam untuk menjadi kuat. "Mereka membutuhkan aku …." "Aku juga!" potong Neisha menyela kalimat Arsen. "Mereka tidak mempunyai sandaran hidup." "Orang tuaku meninggal dan suamiku akan menceraikan aku. Apa aku punya sandaran?" cibir Neisha yang membuat Arsen tidak dapat membalas kalimat sang istri. Sebab Neisha hanya hid
Aroma masakan yang begitu menggugah selera telah tersaji rapi di atas meja makan. Neisha memasak dengan rasa bahagia karena hari ini suaminya berjanji untuk pulang sebelum makan malam. Senyum manis terukir dari bibir tipis Neisha. Fokusnya pada makanan yang baru saja ia buat kini teralihkan pada ponsel yang bergetar. Benda pipih itu menampilkan sebuah notifikasi pesan dari nomor yang tidak Neisha ketahui. Neisha menyipitkan matanya kala nomor itu mengirimkan sebuah foto. Rasa penasaran dan rasa ingin tahu menjadi satu, Neisha menekan gambar foto kemudian menampilkan seorang pria yang sangat ia kenali. Hatinya kembali sakit layaknya disayat oleh belati tajam. Bibir tipis Neisha membentuk kata 'mas Arsen' tanpa suara. Menutup mulutnya dengan tangan yang gemetar, Neisha bahkan sudah melambungkan harapan tinggi pada perubahan sifat Arsen padanya. Apakah akan sia-sia? Saat Neisha meratapi cinta yang kian sulit untuk ia raih, sebuah pesan kembali mengusik Neisha dan memaksa wanita itu
Lain kali? Lain kali yang seperti apa yang dimaksud oleh Arsen? Ini bahkan sudah yang kesekian kalinya pria itu tidak menepati janji yang ia buat."Sayang jika harus dibuang, kan, Mas?" gumam Neisha menatap aneka makanan di atas meja.Arsen tidak dapat berkata apapun lagi, ini memang salahnya. Lara hati begitu menyiksa hingga tidak dapat lagi berkata. Menyembunyikan perihal luka tidaklah mudah, tetapi Neisha berusaha menutupnya agar tidak kembali menganga."Mandilah dan tidur, Mas." Neisha melepaskan genggaman tangan mereka yang bertaut kemudian terulur menyentuh rahang tegas milik suaminya, "kamu pasti lelah." Neisha kemudian berbalik dan merapikan makanan yang bahkan belum ia sentuh sedikitpun.***Ruangan dengan penerangan yang minim, tetapi Arsen masih dapat melihat dengan jelas jika bahu Neisha kini bergetar. Sudah berapa kali pria itu membuat istrinya terluka?"Nes," panggil Arsen menyentuh bahu Neisha dengan lembut."Hm." Ah, seperti sebuah Dejavu bagi Arsen. Jika dulu Arsen ya
Aurel menatap frustasi pada wanita yang ada di depannya. Wanita cantik dan anggun itu tidak menyangka jika ia akan menghadapi wanita yang keras kepala dan pandai berdebat.Niat ingin semakin menghancurkan hati dan kepercayaan Neisha pada Arsen, tetapi nyatanya Aurel yang tersentak akan sikap mengintimidasi dari Neisha. Wanita itu sering kali mengeluarkan smirk yang membuat lawan bicara mati kutu."Sudah aku katakan jika aku tidak akan pernah melepaskan suamiku pada orang lain?" Mata Neisha benar-benar mampu membuat Aurel tidak berkutik kala mereka saling bersitatap.Aurel tidak mau kalah, wanita itu akan selalu menyudutkan Neisha hingga ia mau menyerah pada cintanya."Asal kamu tahu, Arsen akan datang begitu Melodi menghubunginya. Suamimu itu sangat menyayangi Melodi," cibir Aurel yang membanggakan cintanya pada Arsen.Jujur saja, Neisha merasa tidak rela dengan apa yang dikatakan oleh Aurel. Wanita itu pasti sedang menertawakannya sekarang. Sebab pernikahan yang hampir dua tahun itu
Mata bulat itu melebar sempurna dengan seseorang yang berdiri tepat di hadapannya. Pria tinggi dengan kulit berwarna tan itu menyapa dengan senyum indahnya."Neisha," sapa pria itu dengan lembut.Sang empunya nama mengernyitkan dahinya seraya mengingat pria yang berada di depannya. Mulutnya terbuka membentuk sebuah huruf O saat ingatannya berjalan dengan baik."Pramudya?" Pria yang bernama Pramudya itu pun mengangguk membenarkan Neisha. Mereka saling menjabat tangan menumpahkan rasa bahagia karena kembali bertemu setelah sekian lama.Neisha yang tadinya sudah beranjak untuk pulang mengurungkan niatnya. Wanita itu kembali duduk di kursi taman dengan desiran angin yang sepoi-sepoi. Menggoyangkan dedaunan yang mengakibatkan beberapa daun itu berguguran."Apa kabar?" tanya Pramudya yang ikut mendudukkan dirinya di samping Neisha dengan jarak beberapa jengkal.Neisha menikahkan wajahnya menatap teman semasa sekolahnya dulu, masih sama dan tetap tampan. Siapa yang tidak kenal Pramudya, pri
Sinar mentari telah menerobos masuk melalui celah jendela sepasang suami istri yang tengah meringkuk di atas ranjang. Selimut yang menutupi keduanya menjadikan mereka enggan untuk bangun.Ya, meski mereka tidur di ranjang yang sama, tetapi Neisha masihlah seorang gadis yang belum dijadikan wanita sepenuhnya oleh sang suami. Ironi memang.Arsen adalah lelaki normal, pria itu menahan mati-matian hasratnya pada sang istri karena tidak ingin semakin menyakiti Neisha. Sebab Arsen yang tidak ingin menyakiti Neisha lebih dari luka yang ia berikan pada wanita cantik itu.Neisha menggeliat karena merasakan sinar mentari yang menyinari sepasang netranya. Mengerjapkan matanya berkali-kali karena cahaya yang begitu terang mengapa di pagi hari.Wanita itu menguap seraya merentangkan kedua tangannya. Badannya terasa lelah karena kemarin ia banyak berjalan setelah bertemu dengan Aurel. Bertemu dengan wanita itu benar-benar membuat Neisha membutuhkan kembali tenaganya yang terkuras habis untuk untuk