Share

Kurebut Kembali Suamiku
Kurebut Kembali Suamiku
Penulis: Dwi Yuni Sulastri

Bab 1 Keinginan Berpisah

"Apa ini?" tanya seorang wanita dengan nada bergetar. Hatinya sakit seperti disayat oleh belati tajam.

Tidak ada jawaban dari pria yang duduk di depannya. Menatap sang wanita dengan tatapan kosong tanpa tersirat cinta di dalamnya. Naas memang, saat pernikahan mereka yang dua bulan lagi akan genap berusia dua tahun harus berakhir dengan adanya wanita lain dalam rumah tangga mereka.

Aneisha Arshalina, wanita itu kini menundukkan kepalanya dan menyembunyikan gurat kecewa serta sedih menjadi satu. Pria yang begitu ia hormati dan sangat dicintainya dengan mudah membagi hati pada wanita lain.

Kejadian yang mampu mengiris hatinya itu dijejalkan dalam satu waktu. Mendesak, memadatkan pikiran yang terus berkecamuk. Sedih, mungkin kata itu tidak cukup untuk menggambarkan bagaimana gundahnya hati seorang istri yang digugat cerai oleh pria yang dicintai.

"Tanda tangani dan aku akan mengirim gugatannya ke pengadilan agama." Dengan mantap dan tanpa ragu Arsenio Brandon Atmaja mengucapkan kata yang semakin membuat luka hati Neisha menganga.

Harusnya Neisha tidak lagi terkejut dengan kalimat yang keluar dari bibir calon mantan suaminya itu. Sebab sepasang netra indahnya telah memergoki Arsen dengan wanita lain kala mereka tidak sengaja bertemu di pusat perbelanjaan.

"Anak kecil itu apakah anakmu, Mas?" Kali ini Neisha mendongakkan wajahnya menatap Arsen yang masih tidak berkutik dari tempatnya.

Cuaca yang panas dan jalanan kota yang padat tidak membuat Neisha betah berdiam diri di rumah. Wanita cantik itu memutuskan untuk membeli beberapa persediaan makanan yang memang telah habis. Neisha juga berencana untuk mencari hadiah ulang tahun pernikahan untuk suaminya.

Namun, semesta sepertinya tidak berpihak pada kebahagiaannya. Saat kedua netranya berpendar ke segala arah, tanpa sengaja Neisha melihat bagaimana pria yang berstatus sebagai suaminya itu menggandeng tangan seorang gadis kecil dengan senyum yang terpancar di bibirnya.

Sedangkan di sebelah Arsen, seorang wanita dengan rambut panjang dan tubuh langsingnya menatap Arsen dengan tatapan intens. Layaknya sebuah keluarga bahagia yang tengah menikmati waktu bersama.

Tidak ada yang dapat Neisha lakukan, darahnya seolah berhenti berdesir, lidahnya kelu dan kedua kakinya kini tidak mampu lagi menopang berat badannya.

Wanita itu jatuh terduduk di lantai dengan keranjang belanjaan yang masih ia pegang. Seolah hanya benda berwarna merah itulah kini pegangan wanita yang berusia 25 tahun itu.

Di sinilah mereka sekarang, di rumah mewah berlantai dua. Saling berhadapan menyalurkan segala keresahan yang terjadi diantara keduanya.

Neisha yang menunggu kepulangan Arsen sejak kejadian siang tadi, berharap pria itu akan menjelaskan sesuatu yang dapat membuat hatinya tenang. Namun, sepertinya apa yang diharapkan hanya hal semu semata.

Alih-alih membuat hati Neisha tenang dengan penjelasan dari suaminya, pria itu malah datang dengan selembar surat gugatan cerai yang dilayangkan padanya. Miris.

"Jangan sangkut pautkan Melodi dalam permasalahan kita hari ini," tegur Arsen dengan mata menatap tajam Neisha. Jelas tatapan yang dilayangkan Arsen adalah tatapan mengintimidasi untuk wanita yang sebentar lagi akan menyandang status janda itu.

Menatap nanar pada pria di depannya, Neisha kemudian menyadari satu hal. Melihat bagaimana Arsen tidak terima dengan pertanyaannya sudah membuktikan bagaimana pria itu akan menjadi tameng utama untuk mereka.

Menggigit bibir bawahnya pelan berharap mengurangi rasa pilu yang terjadi saat ini. Rasa besi menyentuh lidah, Neisha tidak perduli. Ia ingin pria ini tetap untuknya dan menjadi miliknya. Namun, siapa dia? Bahkan sekedar kalimat penenang saja tidak dapat diberikan Arsen untuk Neisha.

"Namanya bagus. Melodi," gumamnya lirih tetapi Arsen masih bisa mendengar suara Neisha.

"Jadi kamu ingin aku menandatangani surat ini, Mas?" imbuh Neisha masih menatap lekat pria yang telah menyakiti hatinya.

Bodoh, jelas Arsen sedari tadi menunggu goresan tinta itu. Mata yang tidak berkedip dan selalu memfokuskan pada jemari mungil Neisha, bukankah itu sebuah keinginan terbesar Arsen saat ini?

Diam, Arsen tidak mau membuang tenaga hanya untuk menjawab pertanyaan yang sudah pasti jawabannya. Arsen cukup tahu jika Neisha adalah wanita pintar dan terpelajar jika hanya untuk sekedar memahami kata dan makna tersirat yang ia katakan sedari tadi.

"Baiklah, aku akan menandatanganinya. Bisakah aku meminta waktumu sebelum kamu benar-benar menggugat aku, Mas?" Bukan sebuah pertanyaan Neisha mengatakan hal itu. Sebuah keinginan yang mungkin saja dapat merubah takdir yang akan mereka jalani saat ini.

"Apa?" Selama menjadi istri Neisha tidak pernah meminta apapun dari Arsen. Tanpa banyak berpikir dan berharap perceraian segera terjadi, Arsen bertanya apa keinginan Neisha.

"Bisakah aku meminta waktu satu bulan sebelum kamu benar-benar menggugat cerai aku, Mas?" Wanita cantik itu sedikit meremas ujung kertas yang sedari tadi ia pegang. Kertas itu kini menjadi kusut sama halnya dengan hati Neisha saat ini.

Arsen mengernyitkan dahinya saat permintaan aneh dari Neisha membuatnya kebingungan. Satu bulan? Itu adalah waktu yang lama dan itu akan membuang waktu Arsen yang berharga.

"Untuk apa?"

"Hanya itu permintaanku, Mas," ujar Neisha menekan dada yang semakin sesak karena ketakutannya jika Arsen benar-benar tidak memberinya kesempatan. Neisha hanya ingin berusaha mengubah takdir di kehidupannya.

***

Angin malam berhembus menyapa kulit wanita yang saat ini terpaku di dekat jendela. Angin yang bertiup itu menerbangkan dan menggoyangkan beberapa daun kering di pepohonan.

Cairan bening dari pelupuk mata Neisha sudah tidak bisa dibendung lagi. Mereka luruh begitu saja tanpa bisa dicegah, tubuhnya bergetar hebat. Matanya mengerjap beberapa kali untuk menyingkirkan pandangan kabur yang disebabkan oleh air mata.

Selama sebulan ini ia akan melakukan hal yang dapat menyelamatkan rumah tangganya. Meski pada awalnya pernikahan mereka hanyalah perjodohan akan tetapi rasa cinta Neisha untuk Arsen datang dengan penuh keajaiban. Neisha tidak akan menyerah!

Tangan mungil itu kini terulur untuk mengusap perut ratanya. Teringat bagaimana Arsen terlihat begitu bahagia saat bersama anak kecil membuat Neisha memikirkan sebuah kehidupan di dalam perutnya. 

Seandainya dalam pernikahan yang sebentar lagi akan genap dua tahun itu kehadiran seorang malaikat, akankah Arsen tidak akan mengkhianati pernikahan mereka? Akankah perasaan Neisha terbalas?

"Berjuang Neisha, kamu adalah istrinya dan mereka bukan siapa-siapa. Aku pasti bisa mempertahankan rumah tangga ini," batin Neisha menguatkan dirinya sendiri.

Sedangkan Arsen, pria itu berbaring di ranjang kamarnya. Menatap langit-langit kamar yang didominasi warna putih itu. Jika bukan wasiat dari temannya, Arsen tidak akan memiliki hubungan yang dapat menyakiti wanita lain. 

Arsen selalu memperlakukan wanita dengan baik. Bahkan pernikahannya dengan Neisha yang hanya didasarkan pada perjodohan tidak membuat Arsen berani menyakiti istrinya. Wanita cantik yang selalu menyiapkan segala kebutuhan Arsen.

Sial, dirinya harus terseret dalam masalah yang runyam ini. Mempertaruhkan rumah tangga yang dibinanya. Jika sang ibu mengetahui sebab perceraiannya nanti bukan tidak mungkin Arsen akan kehilangan hak warisnya sebagai seorang anak.

"Harusnya kamu membiarkan aku yang tertabrak waktu itu," lirih Arsen mengingat kejadian beberapa tahun silam.

Sebuah kecelakaan yang hampir merenggut nyawanya, akan tetapi Arsen beruntung dengan diselamatkan oleh Adipati. Sahabat yang sudah Arsen anggap sebagai saudaranya.

Adipati, pria itu menyerah pada takdir dan juga cintanya. Wanita yang dikasihinya ternyata menyukai sang sahabat sedari lama. Sebuah kenyataan yang memukul hatinya telak.

"Sekarang aku harus bagaimana?" Arsen kini memejamkan matanya. Bayangkan masa lalu saat Adipati menitipkan anak dan istrinya terekam jelas dalam benak Arsen.

Seandainya Arsen tidak terjebak dengan janjinya masa itu, mungkin saja rumah tangga yang ia bina bersama Neisha pasti sekarang akan terasa lebih berwarna. Pria itu hanya takut mengatakan kebenaran pada Neisha.

***

Pagi ini rasanya mentari sedang malu menunjukkan sinarnya. Langit yang mendung dan rintik air hujan membasahi bumi. Seakan mengerti ada hati yang tengah bersedih.

Membuka jendela kamarnya, pias air hujan sedikit mengenai wajah ayu Neisha. Menghela nafas beratnya, Neisha terlihat begitu tidak bersemangat menjalani hari.

Mengingat semalam jemari mungilnya itu telah menari di atas kertas putih menggoreskan tinta hitam di atasnya.

Tok … tok … tok

Sebuah ketukan pintu membuat Neisha menolehkan wajahnya dan berjalan ke arah pintu yang bercat coklat itu. Menetralisir kegundahan hatinya, Neisha mengusap dadanya lembut.

Tidak, ia tidak lupa akan adanya Arsen di rumah ini. Neisha hanya tidak siap untuk bertemu pria tampan itu. Pria yang berhasil memporak-porandakan hatinya.

"Mas," sapa Neisha saat wanita cantik itu telah membuka pintu kamarnya dengan sempurna.

Melihat penampilan suaminya pagi ini membuat Neisha tersenyum sangat tipis hingga tidak disadari oleh Arsen.

Bagaimana mungkin Neisha tidak tersenyum dengan penampilan Arsen pagi ini. Celana pendek berwarna hitam dipadukan dengan kaos lengan pendek berwarna abu membuat ketampanan Arsen benar-benar berlipat ganda.

Selama hampir dua tahun pernikahan mereka, ini adalah kali pertama Neisha melihat suaminya berpenampilan santai seperti ini. Jika biasanya setiap hari libur pria itu selalu beralasan keluar rumah untuk melakukan pekerjaan akan tetapi tidak untuk hari ini.

"Ada yang ingin kamu lakukan? Satu bulannya dihitung mulai hari ini, kan?" tutur Arsen memperhatikan mata Neisha yang terlihat sedikit sembab. Arsen bukan pria bodoh yang tidak mengetahui luka hati Neisha.

Arsen, pria itu benar-benar pandai bertutur kata dan menyakiti hati Neisha. Tidak bisakah ia berpura-pura bertanya hal lain lebih dulu? Jadi ini alasan Arsen tidak keluar rumah hari ini? Ia ingin segera melakukan permintaan Neisha dan berharap semua segera berakhir?

Kejam!

"Ah, iya." Neisha menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Tapi hari ini hujan turun. Kita tidak bisa pergi kemana pun," sambung Neisha.

"Kita bisa menghabiskan waktu di rumah," celetuk Arsen yang membuat Neisha dengan cepat menatap wajah rupawan suaminya itu.

Jika kalimat itu diucapkan oleh Arsen yang dulu, maka sekarang Neisha sudah berlari ke pelukan Arsen dan memberikan beberapa kecupan karena rasa bahagianya. Namun, kini sudah berbeda.

"Baiklah. Aku akan mencuci muka dan membuat sarapan." Tanpa menunggu jawaban dari Arsen, Neisha kemudian menutup pintu kamarnya rapat.

Wanita itu terperosot ke lantai dengan kedua kaki yang ditekuk. Kedua tangan mungilnya ia gunakan untuk menutupi wajah ayunya. Sungguh, bertatapan dengan Arsen pagi ini mampu mengoyak kembali hati yang sudah Neisha tata semalam.

Badannya bergetar hebat, tangisnya kini pecah. Menghadapi kesulitan ini sendirian tanpa sebuah penopang dalam hidupnya menjadikan Neisha hancur.

Meski hujan telah reda akan tetapi mendung masih setia pada langitnya. Awan hitam itu tidak mau beranjak.

Neisha sudah bersikukuh akan mempertahankan rumah tangganya, meski berat dan sulit ia akan berusaha. Walau tangis selalu menghampiri dirinya, Neisha akan berjuang sekuat tenaga.

Suara dentingan sendok dan garpu menemani dua orang yang sedang menyantap sarapan pagi dengan diam. Tidak ada lisan yang terucap dari keduanya. Hingga sebuah dering telepon membuyarkan lamunan sepasang suami istri itu.

Arsen, pria itu mengambil ponselnya dan akan menjawab panggilan telepon. Namun, sebelum pria itu menjawabnya Neisha lebih dulu berkata, "Kamu bilang akan memulainya hari ini, jadi tidak ada yang boleh mengganggu waktu kita mulai hari ini jika sedang bersama, Mas."

Arsen menyipitkan matanya, dia tidak pernah mendapati Neisha yang melarang apapun yang dia lakukan. Namun, kini wanita itu …?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status