Share

Kusesali Usai Istriku Pergi
Kusesali Usai Istriku Pergi
Penulis: Yani Santoso

1. Berita Duka

"Pak, tadi ada yang mencari di luar."

Widi, sekretaris ku masuk setelah mengetuk pintu. Dia mengatakan kalau tadi ada seseorang yang mencariku.

"Siapa?" Selidikku.

"Saudara Pak Andra, katanya."

"Lalu, di mana dia sekarang?" Aku kembali bertanya.

"Sudah pergi. Sepertinya dia sedang terburu-buru," jawab Widi.

"Dan saudara Bapak tadi bilang kalau ...."

"Sudah, kamu keluar sekarang. Selesaikan tugasmu," usirku sebelum Widi menyelesaikan kalimatnya. Gadis itu keluar ruangan dengan tatapan yang entah, terlebih saat dia melihat ke arah Sania yang duduk di sofa sambil menyilangkan kedua tangannya.

Aku menarik napas kasar, lalu membetulkan baju yang sedikit acak-acakan. Sania mendekat dan menarikku hingga kami sama-sama terjatuh ke sofa dengan posisi Sania dia bawah.

"Kamu tidak ingin melanjutkannya?" bisik Sania di telinga.

Perlahan aku berdiri lalu kembali menjatuhkan bobot tubuhku ke atas sofa.

"Tidak bisa kalau sekarang, tapi ... aku akan datang ke rumah kita setelah dari kantor nanti." Aku menjawab.

Tentu saja aku tidak bisa memenuhi keinginan Sania untuk melanjutkan bersenang-senang dengannya di sini, terlebih sangat memalukan jika ada yang mengetahui apa yang kami lakukan. Walau aku yakin, mereka tidak akan berani menegurku. Seperti yang baru saja kulakukan dengan Sania tadi, aku harus berhenti karena ketukan di pintu. 

"Pulanglah, aku harus melanjutkan pekerjaanku. Dan persiapkan dirimu untuk malam ini," kataku sambil memberi kode padanya.

Sania berdiri dan membetulkan bajunya, mengambil bra yang sempat kutarik dan kulempar begitu saja di bawah sofa. Dia memandangku dengan tatapan nakal. Susah payah kutahan gairah yang menggebu setiap kali berada di dekatnya.

Sania telah keluar, kuraih ponsel yang ada di atas meja. Memeriksa pesan dan panggilan yang kulewatkan tadi. Ada begitu banyak panggilan tidak terjawab, beberapa di antaranya dari ibu, bahkan nomor ibu mertuaku juga ada. Selain mereka, juga ada beberapa nomor yang tidak kukenal. Kenapa ibu dan mertuaku meneleponku?

Aku menggelengkan kepala, berpikir kalau mereka hanya ingin tahu kabarku saja. Karena sudah cukup lama aku tidak mengunjungi mereka atau berkirim kabar. Pandanganku tertuju pada beberapa pesan yang masuk, namun aku tidak berminat untuk membacanya dan memilih mematikan kembali ponselku lalu menenggelamkan diri dalam pekerjaan.

***

Pagi ini, saat aku sampai di kantor, Rio yang kebetulan berpapasan denganku membuang muka. Dia seolah jijik dan menghindari untuk bersapa denganku.

Bahkan saat makan siang, ketika aku mendatanginya dan ingin bergabung duduk dengannya, dia buru-buru pergi. Meninggalkankan makanannya yang masih separo. 

Aku menarik napas kesal, hingga tanpa sadar aku memukul meja dengan keras. Beberapa orang melihatku dengan tatapan yang ... entah.

Ponselku berbunyi, sebuah pesan dari Sania.

"Mas, nanti malam datang ke rumah lagi, kan? Aku sudah kangen," tulisnya.

Pesan dari Sania membuat emosi dan marahku sirna begitu saja. Bahkan aku langsung membayangkan kebersamaanku dengannya mengarungi malam-malam panjang. Ketika kami saling memuji, mengagumi satu sama lain dan memberikan yang terbaik saat berada di atas tempat tidur. Sesuatu yang tidak lagi kurasakan saat bersama Laila sejak dia melahirkan anak kami yang kedua.

Ah, Laila. Aku masih ingat bagaimana menariknya dia ketika aku pertama kali mengenalnya. Dia gadis desa yang lugu, soal kecantikan, dia tidak kalah dengan gadis kota. Aku begitu menyanjung nya, namun entah kenapa, semua berubah secara perlahan-lahan ketika Hanna, anak pertama kami lahir.

Laila tidak lagi memiliki banyak waktu untukku, dia sering menolakku dengan alasan capek. Tidak jarang aku melihatnya ketiduran sambil memangku Hanna , namun bukan berarti dia bisa menolak melayaniku dengan alasan capek. Karena aku juga capek bekerja, mencari nafkah untuknya. Dan hal itu semakin parah saat Laila melahirkan Haikal, anak kedua kami. 

Dia hampir tidak mempunyai waktu untukku, waktunya hanya untuk anak-anak. Laila yang cantik dan menarik, lambat lain menjadi Laila yung kucel dan bau ompol. Entah sudah berapa kali aku mengingatnya untuk menjaga penampilannya, namun dia selalu berkilah repot mengurus anak-anak, hingga membuatku begitu kesal dan memutuskan untuk tidak lagi menuntutnya. Bahkan aku tidak lagi pernah membawa Laila ke acara kantor, dan setiap kali ada yang bertanya tentangnya, aku akan mengatakan kalau dia pulang kampung.

Aku menarik napas kasar, bayangan Laila yang tiba-tiba muncul membuat lamunanku tentang Sania hilang. Kembali aku menarik napas kasar.

"Lho, Pak Andra kok masuk kerja? Bukannya masih berduka?" kata Mamat, seorang office boy yang sering kusuruh membeli makanan untukku.

"Jangan ngaco kamu, Mat. Siapa yang sedang berduka?" kataku sambil mengibaskan tangan.

"Kemarin saudara Pak Andra datang ke sini mencari Bapak, dan mengatakan kalau istri Bapak sudah me ...."

 Mamat tidak melanjutkan kalimatnya. Dia menatap dengan bingung, sementara aku, menerka-nerka kalimat Mamat selanjutnya.

"Apa yang ingin kamu katakan, Mat?" tanyaku dengan perasaan sedikit tidak enak.

"Saya turut berdukacita Pak, atas meninggalnya istri Bapak. Memang tidak mudah menerima kenyataan kalau orang yang kita cintai meninggalkan kita lebih dulu, dan menganggap nya masih hidup." Mamat berkata lirih.

Kurasakan tubuhku oleng, aku yang awalnya berpikir Mamat sedang bercanda, tiba-tiba merasa takut. Bergegas aku kembali dan mencari Wida, sekretarisku.

"Wida, apa yang dikatakan oleh orang yang mencariku kemarin?" tanyaku saat aku sudah menemukan Wida.

Gadis itu tertegun, dia menatapku sebentar lalu menunduk. Entah apa yang ingin dia katakan, tapi hal itu membuatku semakin gusar.

"Saudara Bapak kemarin mengabarkan kalau Bu Laila meninggal," ucap Wida lirih.

Hampir saja aku terjatuh, kalau saja Rio yang entah sejak kapan berdiri di sebelahku tidak menangkap tubuhku. Rio menarik napas dalam, dan meminta Wida untuk meninggalkan kami.

"Apa yang sudah kamu lakukan saat ini benar-benar keterlaluan, Ndra. Aku tidak menyangka sama sekali," ucap Rio sinis.

"A--apa maksudmu, Rio?" 

"Ketika Laila meregang nyawa, dia memanggil namamu. Bahkan sebelum dia mengembuskan napas terakhirnya, dia berharap untuk bertemu denganmu dan meminta maaf padamu sebagai seorang istri. Tapi lihatlah dirimu, kamu bahkan tidak datang saat dia dimakamkan. Padahal kamulah orang yang paling diharapkan maafnya. Kamu tahu, Andra ... kamu tidak pantas menerima permintaan maaf Laila. Tapi kamulah yang berhutang maaf padanya," ucap Rio. Setelah berkata panjang lebar, dia pergi meninggalkanmu.

Aku berjalan limbung menuju ruanganku, dan aku juga mengeluarkan ponsel untuk membaca beberapa pesan yang kuabaikan kemarin.

"Andra, cepat pulang. Laila kritis, dia ingin bertemu denganmu," tulis ibu dalam pesannya.

"Laila sudah meninggal pukul 1 siang, semoga kamu memaafkan semua kesalahannya," tulis ibu mertua.

Aku tidak sanggup lagi untuk meneruskan membaca pesan yang lainnya. Bahkan Rio juga sempat mengirim pesan padamu kalau kedatanganku ditunggu, agar Laila bisa segera dimakamkan. Itulah alasan kenapa Rio bersikap sinis padaku. 

***

Komen (1)
goodnovel comment avatar
wahidin nuraini
Benar2 lelaki menuakkan
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status