"Pak, tadi ada yang mencari di luar."
Widi, sekretaris ku masuk setelah mengetuk pintu. Dia mengatakan kalau tadi ada seseorang yang mencariku.
"Siapa?" Selidikku.
"Saudara Pak Andra, katanya."
"Lalu, di mana dia sekarang?" Aku kembali bertanya.
"Sudah pergi. Sepertinya dia sedang terburu-buru," jawab Widi.
"Dan saudara Bapak tadi bilang kalau ...."
"Sudah, kamu keluar sekarang. Selesaikan tugasmu," usirku sebelum Widi menyelesaikan kalimatnya. Gadis itu keluar ruangan dengan tatapan yang entah, terlebih saat dia melihat ke arah Sania yang duduk di sofa sambil menyilangkan kedua tangannya.
Aku menarik napas kasar, lalu membetulkan baju yang sedikit acak-acakan. Sania mendekat dan menarikku hingga kami sama-sama terjatuh ke sofa dengan posisi Sania dia bawah.
"Kamu tidak ingin melanjutkannya?" bisik Sania di telinga.
Perlahan aku berdiri lalu kembali menjatuhkan bobot tubuhku ke atas sofa.
"Tidak bisa kalau sekarang, tapi ... aku akan datang ke rumah kita setelah dari kantor nanti." Aku menjawab.
Tentu saja aku tidak bisa memenuhi keinginan Sania untuk melanjutkan bersenang-senang dengannya di sini, terlebih sangat memalukan jika ada yang mengetahui apa yang kami lakukan. Walau aku yakin, mereka tidak akan berani menegurku. Seperti yang baru saja kulakukan dengan Sania tadi, aku harus berhenti karena ketukan di pintu.
"Pulanglah, aku harus melanjutkan pekerjaanku. Dan persiapkan dirimu untuk malam ini," kataku sambil memberi kode padanya.
Sania berdiri dan membetulkan bajunya, mengambil bra yang sempat kutarik dan kulempar begitu saja di bawah sofa. Dia memandangku dengan tatapan nakal. Susah payah kutahan gairah yang menggebu setiap kali berada di dekatnya.
Sania telah keluar, kuraih ponsel yang ada di atas meja. Memeriksa pesan dan panggilan yang kulewatkan tadi. Ada begitu banyak panggilan tidak terjawab, beberapa di antaranya dari ibu, bahkan nomor ibu mertuaku juga ada. Selain mereka, juga ada beberapa nomor yang tidak kukenal. Kenapa ibu dan mertuaku meneleponku?
Aku menggelengkan kepala, berpikir kalau mereka hanya ingin tahu kabarku saja. Karena sudah cukup lama aku tidak mengunjungi mereka atau berkirim kabar. Pandanganku tertuju pada beberapa pesan yang masuk, namun aku tidak berminat untuk membacanya dan memilih mematikan kembali ponselku lalu menenggelamkan diri dalam pekerjaan.
***
Pagi ini, saat aku sampai di kantor, Rio yang kebetulan berpapasan denganku membuang muka. Dia seolah jijik dan menghindari untuk bersapa denganku.
Bahkan saat makan siang, ketika aku mendatanginya dan ingin bergabung duduk dengannya, dia buru-buru pergi. Meninggalkankan makanannya yang masih separo.
Aku menarik napas kesal, hingga tanpa sadar aku memukul meja dengan keras. Beberapa orang melihatku dengan tatapan yang ... entah.
Ponselku berbunyi, sebuah pesan dari Sania.
"Mas, nanti malam datang ke rumah lagi, kan? Aku sudah kangen," tulisnya.
Pesan dari Sania membuat emosi dan marahku sirna begitu saja. Bahkan aku langsung membayangkan kebersamaanku dengannya mengarungi malam-malam panjang. Ketika kami saling memuji, mengagumi satu sama lain dan memberikan yang terbaik saat berada di atas tempat tidur. Sesuatu yang tidak lagi kurasakan saat bersama Laila sejak dia melahirkan anak kami yang kedua.
Ah, Laila. Aku masih ingat bagaimana menariknya dia ketika aku pertama kali mengenalnya. Dia gadis desa yang lugu, soal kecantikan, dia tidak kalah dengan gadis kota. Aku begitu menyanjung nya, namun entah kenapa, semua berubah secara perlahan-lahan ketika Hanna, anak pertama kami lahir.
Laila tidak lagi memiliki banyak waktu untukku, dia sering menolakku dengan alasan capek. Tidak jarang aku melihatnya ketiduran sambil memangku Hanna , namun bukan berarti dia bisa menolak melayaniku dengan alasan capek. Karena aku juga capek bekerja, mencari nafkah untuknya. Dan hal itu semakin parah saat Laila melahirkan Haikal, anak kedua kami.
Dia hampir tidak mempunyai waktu untukku, waktunya hanya untuk anak-anak. Laila yang cantik dan menarik, lambat lain menjadi Laila yung kucel dan bau ompol. Entah sudah berapa kali aku mengingatnya untuk menjaga penampilannya, namun dia selalu berkilah repot mengurus anak-anak, hingga membuatku begitu kesal dan memutuskan untuk tidak lagi menuntutnya. Bahkan aku tidak lagi pernah membawa Laila ke acara kantor, dan setiap kali ada yang bertanya tentangnya, aku akan mengatakan kalau dia pulang kampung.
Aku menarik napas kasar, bayangan Laila yang tiba-tiba muncul membuat lamunanku tentang Sania hilang. Kembali aku menarik napas kasar.
"Lho, Pak Andra kok masuk kerja? Bukannya masih berduka?" kata Mamat, seorang office boy yang sering kusuruh membeli makanan untukku.
"Jangan ngaco kamu, Mat. Siapa yang sedang berduka?" kataku sambil mengibaskan tangan.
"Kemarin saudara Pak Andra datang ke sini mencari Bapak, dan mengatakan kalau istri Bapak sudah me ...."
Mamat tidak melanjutkan kalimatnya. Dia menatap dengan bingung, sementara aku, menerka-nerka kalimat Mamat selanjutnya.
"Apa yang ingin kamu katakan, Mat?" tanyaku dengan perasaan sedikit tidak enak.
"Saya turut berdukacita Pak, atas meninggalnya istri Bapak. Memang tidak mudah menerima kenyataan kalau orang yang kita cintai meninggalkan kita lebih dulu, dan menganggap nya masih hidup." Mamat berkata lirih.
Kurasakan tubuhku oleng, aku yang awalnya berpikir Mamat sedang bercanda, tiba-tiba merasa takut. Bergegas aku kembali dan mencari Wida, sekretarisku.
"Wida, apa yang dikatakan oleh orang yang mencariku kemarin?" tanyaku saat aku sudah menemukan Wida.
Gadis itu tertegun, dia menatapku sebentar lalu menunduk. Entah apa yang ingin dia katakan, tapi hal itu membuatku semakin gusar.
"Saudara Bapak kemarin mengabarkan kalau Bu Laila meninggal," ucap Wida lirih.
Hampir saja aku terjatuh, kalau saja Rio yang entah sejak kapan berdiri di sebelahku tidak menangkap tubuhku. Rio menarik napas dalam, dan meminta Wida untuk meninggalkan kami.
"Apa yang sudah kamu lakukan saat ini benar-benar keterlaluan, Ndra. Aku tidak menyangka sama sekali," ucap Rio sinis.
"A--apa maksudmu, Rio?"
"Ketika Laila meregang nyawa, dia memanggil namamu. Bahkan sebelum dia mengembuskan napas terakhirnya, dia berharap untuk bertemu denganmu dan meminta maaf padamu sebagai seorang istri. Tapi lihatlah dirimu, kamu bahkan tidak datang saat dia dimakamkan. Padahal kamulah orang yang paling diharapkan maafnya. Kamu tahu, Andra ... kamu tidak pantas menerima permintaan maaf Laila. Tapi kamulah yang berhutang maaf padanya," ucap Rio. Setelah berkata panjang lebar, dia pergi meninggalkanmu.
Aku berjalan limbung menuju ruanganku, dan aku juga mengeluarkan ponsel untuk membaca beberapa pesan yang kuabaikan kemarin.
"Andra, cepat pulang. Laila kritis, dia ingin bertemu denganmu," tulis ibu dalam pesannya.
"Laila sudah meninggal pukul 1 siang, semoga kamu memaafkan semua kesalahannya," tulis ibu mertua.
Aku tidak sanggup lagi untuk meneruskan membaca pesan yang lainnya. Bahkan Rio juga sempat mengirim pesan padamu kalau kedatanganku ditunggu, agar Laila bisa segera dimakamkan. Itulah alasan kenapa Rio bersikap sinis padaku.
***
Setelah merasa sedikit tenang, aku berjalan cepat menuju tempat parkir. Yang ada di pikiranku saat itu adalah, ingin secepatnya sampai di rumah dan mencari tahu apa yang sebenarnya telah terjadi. Perjalanan yang biasanya kutempuh selama tiga puluh menit, kini hanya butuh setengah saja. Dan saat mobil perlahan masuk ke halaman rumah, terlihat beberapa orang sedang membongkar tenda dan merapikan beberapa kursi di sana. Bergitu aku turun dari mobil, mereka menatapku dengan pandangan sinis bahkan ada yang mencebik sambil membuang muka.Kulangkahkan kaki ke dalam rumah yang begitu sepi. Hanna, putri pertamaku yang melihat aku datang berlari menyambut dan memelukku, seolah ingin mengatakan sesuatu padaku. Namun bocah perempuan berusia lima tahun ini hanya diam sambil menyembunyikan wajahnya di dada."Hanna, Mama mana?" tanyaku sambil mengusap kepalanya. Namun Hanna hanya diam saja.Dari dalam, terdengar suara orang berjalan. Dan dari ambang pintu antara ruang tengah dan ruang tamu, kulihat
"Andra, tolong bereskan baju-baju Haikal. Ibu akan membantu mertuamu menyiapkan sarapan," kata ibu saat aku baru keluar dari kamar mandi.Aku termangu di depan pintu beberapa saat lamanya. Baju Haikal? Pasti Laila menyimpannya di lemari anak-anak, pikirku .Aku bergegas menuju kamar anak-anak, dan membuka lemari baju bermaksud mengambil baju Haikal, seperti permintaan ibu. Tapi di dalam lemari, aku hanya menemukan beberapa baju bayi yang sudah usang dan beberapa selimut mereka. Kuedarkan pandangan ke laci, lalu membukanya satu per satu. Namun, tidak ada baju Haikal di sana. Hanya ada beberapa mainan mereka yang tertata rapi. Aku mengacak rambut kasar, sambil mendengkus kesal. Karena aku tidak bisa menemukan baju anak bungsuku.Tok tok tok ....Aku menoleh saat pintu diketuk, ibu berdiri di ambang pintu sambil menggendong Haikal, dia memandangku aneh."Sudah kamu siapkan baju Haikal?" tanyanya."Bu ... aku tidak tahu di mana Laila menyimpannya," kataku lirih. Kutundukkan kepala saat i
Saat keluarga Laila membawa Haikal, aku sengaja tidak ingin melihat kepergiannya. Entah kenapa, hatiku begitu sakit ketika melihat mereka membawa Haikal keluar dari rumah. Begitu sakitnya hingga aku memilih untuk menyandarkan tubuh ke dinding dan membiarkannya melorot ke lantai.Aku tidak pernah dekat dengan anak-anak, namun saat aku tidak melihat keberadaan mereka di rumah saat aku pulang kerja, hal itu membuat sesuatu terasa ada yang kurang. Lalu kini, Haikal harus meninggalkan rumah ini karena dia butuh kasih sayang seorang ibu. Ingin sekali aku protes pada keluarga Laila agar tidak membawa anakku bersama mereka, namun kata-kataku hanya sampai sebatas angan-angan saja. Bagiamana bisa, Haikal menganggap Alya sebagai pengganti ibunya, sementara dia sendiri masih seorang pelajar SMA, yang lebih suka menghabiskan waktunya bersama teman-temannya.Aku menarik napas, menutup wajah dengan kedua telapak tangan. Semua yang terjadi di rumah ini begitu cepat da tiba-tiba."Papa ... Hanna mau
"Aku ada urusan kantor sebentar, Bu," jawabku berbohong. Aku tidak ingin ibu bertanya lebih banyak lagi."Tidak bisakah urusannya ditunda sebentar? Kamu kan, masih cuti," ucapnya."Ya tidak bisa, dong Bu. Aku kan pimpinan di sana."Kulihat ibu menarik napas dalam, lalu melihat ke arah Hanna kemudian menggeleng."Andra ... apakah kamu yang memakaikan baju Hanna? Ini terbalik," ujarnya sambil membuka baju Hanna.Aku menepuk jidat. Setelah ibu mambalik bajunya, Hanna tersenyum. Ah, pantesan tadi dia terlihat seperti tercekik lehernya, karena bagian belakang aku taruh di depan."Jadi ... enggak apa-apa kan, Bu, kalau kutinggal sebentar?" pintaku hati-hati."Pergilah. Tapi jangan lama-lama, karena ibu sedang membereskan kamar Hanna. Sebentar lagi dia akan tidur di sini bersama dengan baby sitter nya nanti," ujarnya.Kutinggalkan Hanna bersama ibu. Perasaan terasa begitu lega ketika kakiku telah melangkah keluar rumah. Ah ... tentu saja aku merasa lega, karena tidak lagi harus melihat bayan
Hana Sakit ****Kutinggalkan begitu saja mi yang sedang kumakan dan bergegas mencari kunci mobil. Yang ada di kepalaku saat itu, aku harus secepatnya pulang agar kejadian yang menimpa Laila tidak terulang.Kutatap Sania yang masih tertidur pulas, rasanya tidak tega untuk membangunkannya serta memberi tahu kalau aku akan pulang dan memilih meninggalkan sebuah pesan yang kutulis dalam selembar kertas lalu meninggalkannya di atas meja.Jalanan kota masih cukup ramai, karena belum terlalu malam. Masih sekitar pukul 11 malam, mungkin aku tadi yang tidur terlalu awal, hingga merasa waktu berjalan lambat. Ketika mobil memasuki halaman rumah, terlihat ibu mondar-mandir di teras sambil menggendong Hanna."Bu, bagaimana keadaan Hanna?" tanyaku sambil memegang keningnya. Terasa sangat panas."Panasnya belum turun, malah makin tinggi. Kamu kenapa baru mengangkat telepon, padahal ibu sudah menghubungimu sejak sore tadi," oceh ibu dengan nada panik."Bu, kita bahas nanti saja. Sekarang, kita ba
Mencari Babysitter ****"Laila." Aku kembali memanggil namanya berharap dia akan mendatangiku seperti yang selalu dilakukan setiap kali aku memanggilnya.Akan tetapi, jangankan mendatangiku, Laila bahkan sama sekali tidak menoleh. Dia terus berjalan lurus seolah menembus dinding."Laila!" Aku kembali meneriakkan nama Laila."Andra, sadar ... Laila sudah meninggal. Apa yang kamu lakukan di sini?"Aku tergagap, buru-buru menoleh ke belakang dan kudapati ibu telah berdiri di belakangku sambil menepuk pundakku. Ibu memandangku dengan tatapan aneh. Atau mungkin berpikir kalau aku sedang bermimpi sambil berjalan."Ibu, Laila ... dia ke sana," kataku sambil menunjuk ke arah Laila menghilang.Ibu menarik napas dalam, dan kembali menepuk-nepuk pundakku. "Apakah kamu bermimpi bertemu Laila?" tanyanya. Benar sekali dugaanku, ternyata ibu mengira aku bermimpi."Entahlah, Bu," ujarku lirih. Kuusap wajahku kasar, lalu mengedarkan pandangan ke sekeliling. Hening. Hanya denting jam di dinding yang
Kami tiba di rumah sakit di mana Rahma dirawat. Saat kami datang, hanya ada bapak yang duduk di luar, beliau tertidur sambil menyandarkan punggungnya di tembok."Pak, Pak ...." Ibu menepuk pundak bapak pelan. Tergagap, beliau terbangun sambil mengucek matanya."Rahma mana, bagaimana keadaannya?" tanya ibu lagi saat kesadarannya sudah terkumpul penuh."Dia baru saja tertidur, dokter baru saja memberinya obat.""Lalu, keadaannya bagaimana? Apakah lukanya serius?" cecar ibu lagi.Bapak menarik napas sebelum beliau menjawab pertanyaan ibu."Rahma hanya luka ringan dan patah tulang. Dia tadi menghindari anak kecil yang tiba-tiba menyeberang, lalu dia membelokkan motornya mendadak hingga dia masuk ke dalam selokan." Bapak menjelaskan."Astaghfirullah ...." ucap ibu. Setelah itu beliau mendorong pelan pintu ruangan di mana Rahma dirawat. Di atas tempat tidur, Rahma tampak tertidur pulas, sementara kaki kirinya diperban.Bapak meletakkan bobot tubuhnya di atas kursi yang ada di sebelahku, sem
Setelah membuka gerbang, aku menggendong Hanna untuk masuk. Dan di sinilah aku, berdiri mematung di depan pintu. Sementara di dalam, terlihat begitu sepi. Kuangkat tangan untuk mengetuk pintu, namun kuurungkan. Kenapa aku harus mengetuk pintu? Ini rumahku sendiri dan aku mempunyai kunci serepnya.Klek!Pintu telah kubuka, pelan kudorong agar terbuka lebar."Kamu siapa?!" Tanyaku dengan suara tinggi saat kulihat seorang pria yang sedang duduk membelakangiku bangkit dari duduknya dan melihat ke arahku dengan wajah kaget."Aku bertanya padamu, apa yang kamu lakukan di rumahku?!" Kembali aku bertanya dengan menahan amarah.Entah kenapa, melihat seorang laki-laki yang tidak kukenal berada di rumahku di saat aku tidak bersama Sania, membuat darahku mendidih. Pikiran negatif langsung memenuhi kepala. Sementara dia, lelaki muda yang mungkin umurnya tidak lebih dari 25 tahun, berdiri dengan gugup. Wajahnya terlihat cemas, dan hal itu bisa kulihat dengan jelas saat dia beberapa kali melempar pa