Suara teriakan itu kembali menggema. Mengiris langit-langit pusat rehabilitasi jiwa Serenity Hill yang tenang. Beberapa suster berlari kecil, mencoba masuk ke kamar isolasi bernomor 307, membawa peralatan medis dan obat penenang di tangan.
“AISHA! JANGAN—!”DUK!Bunyi benturan keras terdengar. Kepala Aisha sekali lagi menghantam dinding berlapis busa empuk yang tetap saja tak cukup menahan intensitas amarahnya. Gadis itu menggigil, rambutnya berantakan, mata merah dan sembab. Nafasnya berat, seperti sedang melawan sesuatu yang tak kasat mata.“Aku benci kalian—aku benci kalian semua! Zura mencuri semuanya dari aku!”Dua suster mencoba mendekat.“Aisha, kami akan menyuntik obat penenang, ya? Kamu harus tenang, Nak—”“JANGAN SENTUH AKU!!” teriaknya, mendorong kasar tangan suster hingga wanita paruh baya itu tersungkur.Appa Gio berdiri di balik kaca satu arah, menyaksikan kejadian itu dengan tangan terkepal. RahanLangit malam mulai memeluk kediaman Juhar dengan gemerlap bintang-bintang yang malu-malu. Suara jangkrik bersahutan dari balik semak, dan lampu taman kecil di belakang rumah memancarkan cahaya temaram, menambah syahdu suasana.Zivanya memeluk lengannya sendiri, duduk di bangku besi berlapis putih yang menghadap langsung ke taman belakang. Angin malam berhembus pelan, namun tak cukup membuat hatinya tenang. Saat langkah kaki mendekat, dia menoleh cepat.“Kak Zain,” panggilnya. “Bisa ngobrol sebentar?”Zain mengangguk dan duduk di sebelahnya. “Kamu habis tampar Tante Evelin, ya?”Zivanya memejamkan mata sejenak, lalu tertawa kecut. “Gosip memang lebih cepat dari cahaya.”“Aku tahu dari Mami,” ujar Zain ringan. “Tapi kalau kamu mau klarifikasi—”“Aku nggak nyesel,” potong Zivanya. “Aku cuma khawatir. Kak Zura tadi sempat bilang sesuatu tentang Tante Evelin dan Om Andrian. Katanya dia ingat sebuah rahasia. Tapi dia belum mau cerita d
Langkah kaki Zivanya terdengar tergesa memasuki rumah besarnya. Dingin. Jari-jarinya gemetar. Baru kali ini dia merasakan perasaan seperti ini—marah, kesal, dan bersalah.Sopan santunnya sebagai perempuan muda yang dibesarkan dalam keluarga terhormat seolah menguap begitu saja di hadapan wanita itu. Ini kali pertama dalam hidupnya, Zivanya menampar seseorang. Dan itu bukan sekadar tamparan emosi, melainkan bentuk perlindungan.Perlindungan untuk Zura.Sementara itu, Mami Narumi telah kembali ke dapur. Berulang kali menghela napas panjang kala melihat putrinya berlalu tanpa sepatah kata. Dia memilih kembali meracik bumbu dengan Bibi. Dalam hatinya, dia tahu, ada kalanya yang muda pun harus belajar menyatakan keberanian—bahkan jika itu dengan tangan.Zivanya membuka pintu kamar Zura tanpa mengetuk, langsung melangkah masuk dan menutupnya dengan cepat.Zura yang tengah duduk menyisir rambutnya di sisi tempat tidur, menoleh cepat. “Zivanya?”
Gerbang besar kediaman keluarga Juhar terbuka perlahan.Sebuah mobil mewah berhenti di depan pintu utama. Dari dalamnya turun seorang wanita paruh baya dengan pakaian mahal, kacamata hitam besar, dan senyum ramah yang dipaksakan.Tangannya membawa dua kantong besar berisi makanan dari restoran-restoran ternama.“Halo—” ucap Tante Evelin dengan nada tinggi yang dibuat seolah penuh kasih. “Aku datang untuk menjenguk keponakanku, Zura.”Di teras rumah, Mami Narumi berdiri anggun bersama Zivanya. Wajah Mami Narumi tetap tenang, tapi pandangannya tajam seperti belati.“Maaf,” ucap Mami Narumi sopan, tapi dingin. “Tamu tak diundang tidak kami terima hari ini. Apalagi kalau maksud kedatangannya tidak tulus.”Tante Evelin tertawa kecil. “Aduh, jangan begitu. Aku membawa makanan kesukaan Zura. Kasihan dia, pasti bosan makan masakan rumahan terus. Aku juga ingin menghiburnya.”Zivanya melangkah maju, tubuh jenjangnya berdiri tegas
“Zain Virendra Juhar!”Suara berat Papi Barra menggema dari ruang tengah, membuat semua yang ada di ruang makan kediaman Juhar langsung diam. Termasuk Mami Narumi yang sedang menyuapi Zura dengan potongan buah mangga segar.Zain, yang tadi sedang asyik menyelipkan bantal tambahan di kursi roda Zura dengan dalih ‘biar lehernya nggak pegal’, sontak menegakkan badan dan menoleh dengan wajah seperti anak kecil yang ketahuan mencuri coklat.“Pi—” Zain tertawa kaku. “Ada apa?”“Ke ruang kerja sekarang,” kata Papi Barra dengan nada tak bisa dibantah.Zain pun mengangguk cepat, lalu berbisik pada Zura yang mendadak tampak bingung. “Kalau aku nggak balik dalam sepuluh menit, selamatkan aku, ya. Pakai puppy eyes kamu.”Zura mengernyitkan kening. “Memangnya kamu bikin salah?”Zain hanya bisa meringis sambil berjalan menuju ruang kerja Papi Barra. Dan begitu pintu tertutup…“Jadi, kamu pikir Papi nggak lihat?” tanya Papi Barra sambil menyilangkan tangan. Wajahnya tenang, tapi mata tajamnya menata
Suara teriakan itu kembali menggema. Mengiris langit-langit pusat rehabilitasi jiwa Serenity Hill yang tenang. Beberapa suster berlari kecil, mencoba masuk ke kamar isolasi bernomor 307, membawa peralatan medis dan obat penenang di tangan.“AISHA! JANGAN—!”DUK!Bunyi benturan keras terdengar. Kepala Aisha sekali lagi menghantam dinding berlapis busa empuk yang tetap saja tak cukup menahan intensitas amarahnya. Gadis itu menggigil, rambutnya berantakan, mata merah dan sembab. Nafasnya berat, seperti sedang melawan sesuatu yang tak kasat mata.“Aku benci kalian—aku benci kalian semua! Zura mencuri semuanya dari aku!”Dua suster mencoba mendekat.“Aisha, kami akan menyuntik obat penenang, ya? Kamu harus tenang, Nak—”“JANGAN SENTUH AKU!!” teriaknya, mendorong kasar tangan suster hingga wanita paruh baya itu tersungkur.Appa Gio berdiri di balik kaca satu arah, menyaksikan kejadian itu dengan tangan terkepal. Rahan
Angin pegunungan Bandung berhembus lembut, membawa aroma pinus dan tanah basah ke dalam pelataran sebuah villa mewah yang berdiri megah di atas bukit. Dari kejauhan, bangunan itu tampak seperti tempat peristirahatan eksklusif para bangsawan. Tapi siapa sangka, di balik dinding batu abu-abu elegan dan jendela-jendela besar berhias tirai renda putih itu—tersimpan bara dendam yang belum pernah padam.Sebuah mobil hitam berhenti tepat di depan pintu utama.Seorang pria paruh baya, mengenakan jas gelap dan sorot mata tajam turun dari dalam mobil. Langkahnya cepat, rahangnya mengeras. Wajahnya jelas menampakkan beban yang tak main-main.Pintu besar villa itu terbuka pelan, seolah sudah menunggunya.Di baliknya berdiri seorang wanita paruh baya, dengan penampilan anggun dan riasan yang nyaris sempurna. Rambutnya disanggul setengah, mengenakan gaun satin biru tua yang membalut tubuh langsingnya dengan angkuh. Garis wajahnya masih menawan, namun ada kilata