Share

LELAKI LUMPUH ITU SUAMIKU
LELAKI LUMPUH ITU SUAMIKU
Author: Syarlina

Diminta Pulang

"Pulang Nak, ada yang harus Ayah sampaikan," ucap Ayah di ujung telepon. Tiba-tiba Ayah menghubungiku, biasanya aku yang menghubungi beliau lebih dulu.

"Bilang penting, biar Adel pulang!" Terdengar sayup suara memerintah di seberang sana dan aku tahu itu suara siapa. Itu Ibu Mayang, istri Ayah.

"Penting, Del, pulang ya." Ayah menuruti perintah suara tersebut dan terdengar memelas padaku. Aku tak suka mendengarnya.

"Memangnya kenapa, Yah? Ada masalah apa? Bukannya pernikahan Bella seminggu lagi ya? Ada masalah?" tanyaku mencoba menebak dan memancing agar diberitahu. Setahuku memang bakal ada pernikahan di keluarga kami, pernikahan Bella, adikku. Itu pun terkesan mendadak tiba-tiba kudengar dia dilamar, dan baru diberitahu Ayah seminggu sebelumnya. Namun tak begitu jelas akan menikah dengan siapa dan aku tak ingin membahas lebih dalam juga. Jadi kupikir akan pulang sehari sebelum hari itu terjadi. Aku tak enak harus izin cuti lagi dari pekerjaan karena sebulan lalu sudah ambil cuti. Meskipun kena omelan Ibu karena dianggap meremehkan acara sakral anaknya. Kupikir keberadaanku tidak begitu penting bagi mereka. Mereka hanya butuh tenagaku saja. Aku tahu pulang hanya akan membuat tenagaku terkuras habis karena pasti banyak pekerjaan yang menantiku di sana. Itu sebabnya memilih menunda pulang.

"Nggak usah banyak tanya, suruh pulang. Nanti juga tahu."

Lagi-lagi terdengar suara Ibu menimpali. Terdengar ketus, seperti biasanya kalau bicara terkait denganku.

"Pulang saja ya Nak. Nanti dikasih tahu. Nggak bisa lewat telepon."

Aku menghela napas berat. Lalu mengangguk tanpa sadar.

Aku tidak tahu apa maksud permintaan mereka dan kenapa terdengar memaksa, tapi kelihatannya memang penting sampai mereka menginginkanku untuk pulang.

"Iya, Yah. Nanti Adel pulang. Bagaimana kabar Ayah dan yang lain, sehat?"

"Sudah, tutup teleponnya. Nggak usah berbasa-basi lagi, nanti pulsa Bella habis. Bilangin besok pulang, jangan ditunda-tunda!"

Aku mengurut dada mendengar ucapan Ibu tapi tak bisa membalas. Bagaimanapun juga dia istri Ayah. Ibu sambungku. Entah seperti apa aku harus menjelaskannya. Hubungan kami tak dekat dan bisa dianggap tidak baik. Bukan dariku tapi dari pihak Ibu. Dia membenciku meskipun tidak diungkapkannya dengan kata, tapi tindakannya sudah menjelaskan bagaimana rasanya itu padaku.

"Nak, pulangnya–"

"Tidak bisa besok Yah. Paling tidak dua hari sebelum pernikahan Bella, akan Adel usahakan datang." Kusela cepat ucapan Ayah karena kesal mendengar perintah Ibu padanya.

"Oh, iya, Nak. Kabar Ayah baik. Ayah harap kamu di sana juga dalam keadaan baik. Sudah ya Nak. Ayah nantikan kedatanganmu pulang. Ayah rindu."

Tak ada jawaban dariku karena sambungan telepon dimatikan Ayah sebelum sempat kujawab.

Aku tersandar di kursi tempatku bekerja. Kebetulan Sudah larut malam dan keadaan sekitar sudah sepi. Aku terkena shift malam. Sudah setahun ini aku merantau ke kota lain mencari pekerjaan, meskipun yang kudapat hanya jadi kasir sebuah retail terkenal yang cabangnya ada dimana-mana. Tak apa asalkan terbebas dari mereka yang kusebut keluarga. Meskipun yang kuakui hanya Ayah seorang.

***

"Assalamu'alaikum." Aku mengucap salam saat berada di depan pintu sebuah rumah sederhana milik orangtuaku. Akhirnya aku pulang. Untung saja manager tempatku bekerja mengizinkan, dengan konsekuensi tak ada lagi hari libur untukku di bulan ini. Tidak apa. Itu sudah resikonya jadi karyawan. Meskipun didesak harus pulang cepat, aku memutuskan pulang di tiga hari sebelum pernikahan Bella dilangsungkan.

"Waalaikumsalam."

Aku tersenyum karena suara Ayah yang menjawab salamku. Dengan cepat masuk ke dalam rumah karena pintunya memang tidak dikunci.

"Adel. Alhamdulillah kamu pulang, Nak," ucap Ayah setelah aku mengecup takzim tangannya.

"Pulang juga Kak. Syukurlah. Aku sudah ketakutan Kak Adel nggak mau pulang." Bella merangsek memelukku. Hal yang tidak pernah dilakukannya. Perempuan yang kusebut adik ini tidak pernah memelukku sehangat ini.

"Bagus lah kamu pulang."

Ibu muncul tiba-tiba dan berjalan menuju kursi tamu.

"Bu." Dengan cepat aku meraih tangannya mencium takzim sama seperti Ayah. Masih ada rasa hormat untuknya meskipun aku tidak pernah dianggapnya. Bagi Ibu, anaknya cuma Bella, dan aku paham dengan sikapnya tersebut.

"Del, duduk dulu di sini. Ada yang harus kita bicarakan." Ibu melirik ke arah kursi di dekatnya.

Aku yang berencana ingin ke kamar terpaksa urung karena perkataannya barusan.

"Bel, ambilkan minuman untuk kakakmu, Adel pasti lelah."

Tampak keterkejutan di wajah Bella begitupun diriku. Ibu seperti mengigau menyuruh anaknya mengambilkan minum untukku.

"Iya." Tatapan tajam Ibu memaksa Bella mengangguk dan berlalu pergi.

Aku diam menyaksikan hal yang tak umum terjadi di rumah ini. Aku mendekat, dan duduk di sebelah Ayah. Memeluknya sekaligus menanyakan bagaimana kabarnya.

"Del, ada yang mau kami bicarakan."

Aku yang dalam posisi memeluk Ayah terpaksa mengurai dekapanku dan beralih menatap Ibu yang sedang bicara. Bella sudah datang membawakanku segelas air putih dan memilih duduk di kursi seberangku. Menatap dengan pandangan yang … aku tak mengerti. Aneh. Sebenarnya ada apa ini? Batinku jadi bertanya-tanya melihat sikap mereka yang tidak biasanya.

"Del, kamu tahu bukan, tiga hari lagi pernikahan Bella." Ibu menjeda ucapannya menatapku lekat. Aku diam menyimak.

"Tapi ada masalah. Bella tidak ingin menikah, dia ingin tetap melanjutkan kuliahnya."

Sampai di sini ucapan Ibu menambah kerutan di keningku dan aku tetap diam dengan mulut terkunci menerka kemana arah perkataannya. Ibu menatapku lalu bergantian menatap Ayah dan Bella seolah meminta persetujuan akan melanjutkan ucapannya.

"Tapi pernikahannya tidak bisa dibatalkan. Harus tetap dilangsungkan. Jadi …."

Lagi-lagi Ibu bicara terjeda. Membuatku dilanda penasaran akan apa yang sebenarnya ingin diucapkannya.

"Kamu yang harus menggantikannya."

Apa? Aku? Kok ...?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status