Share

Secret Admirer (part 3)

Mereka meninggalkan Nira sendiri, gadis itu membaringkan tubuhnya dengan kaki yang di masukan kedalam sungi itu, Darrel meliriknya sebentar dan melanjutkan kembali langkahnya.

Segarnya air sungai itu membuat Nira  menyukainya. Sudah sepuluh menit gadis itu melakukan hal itu, dia bangun dan batu licin di pijak kaki kirinya. Ia tergelincir sehingga membuatnya terjatuh.

Pelipis kirinya tergores batu, begitupun kaki kirinya. Tidak ada yang terluka kecuali kedua anggota tubuh itu. Nira bangun dengan hati-hati. Untung saja air sungai yang mengalir itu tidak deras sehingga ia tidak terbawa arus. Gadis itu berjalan dengan memegangi pelipis kirinya, darah segar keluar dari sana dan dia menyeret kaki kirinya. Luka di kakinya lebih parah dari luka pelipisnya, karena itu ia melakukannya. Nira melihat Liza begitupun dengan Liza. 

“Nira!” Liza berteriak, ia berlari kearah Nira dan otomatis pasang-pasang mata itu tertuju pada gadis yang diucapkan namanya. Gadis yang dipanggil namanya itu tersenyum tak lama pengelihatannya kabur, tidak ada yang bisa ia lihat dengan jelas dan akhirnya semuanya menghitam.

“Nira.” Suara yang itu terdengar familiar, gadis itu membuka matanya dengan perlahan. Rasa ngilu terasa di pelipis kirinya yang sudah dibalut perban. Afriya, Liza, Tao, Arka, Darrel, Kakak dan Adiknya Nira. Suara yang didengarnya tadi adalah suara kakaknya, para gadis itu menangis dengan jejak airmata mereka yang tak mereka hapus. 

“Aku ingin pulang.” Nira bangun dengan rasa ngilu itu lagi, hanya saja tidak hanya pelipisnya bahkan kaki kirinya.

“Nira, apa yang kau lakukan?” Naura mencegahnya meskipun ia tau gadis itu tidak akan menggubrisnnya, dan tebakan sang kakak benar gadis itu melakukan apapun yang dia inginkan. Tidak ada yang akan dia dengarkan tanpa kecuali.

“Nira apa kau gila?” Afriya sekarang menambahkan dan Liza memelototi Nira, Nira tetap melakukannya. Nira menatap semua orang yang ada di sana tanpa kecuali. 

“I’ll do what I want. Stop to try to stop it.” Nira melihat sepasang sandal rumah dan memakainya. Gadis itu mencabut selang infus dan keluar. Dia berjalan pincang dan meninggalkan semua orang di ruangan itu. 

“Kak Ni, berhenti keras kepala. Kau sedang tidak baik-baik saja!” sang adik berteriak dengan kerasnya, membuat semua orang menatapnya dan membuat orang yang berlalu lalang menatap kedua kakak beradik itu. Mereka yang berada di ruangan itu, keluar dan berdiri di belakang Serina.

“Apa kau benar-benar menganggapku kakak mu? Apa aku tidak salah dengar? Sejak kapan hah?” Nira membalasnya dengan teriakan juga meskipun suaranya terdengar parau.

“Aku adikmu Kak Ni, dan Kak Naura juga  kakakmu. Kami masih menganggapmu keluarga, kami menyayangimu.” Balas adikknya

“Tapi aku tidak menganggap kalian, jadi berhentilah kalau kalian menganggapku keluarga.” Hardik Nira

“Kalau begitu kembalilah padaku sebagai teman Ra, aku dan Afriya membutuhkanmu.” Ucap Liza

“Maafkan aku Za, aku akan kembali saat aku baik-baik saja. Aku akan kembali lagi tapi tidak sekarang.” Nira meninggalkan mereka dan berjalan menjauhi rumah sakit itu. 

“Aku akan mengejarnya.” Darrel mengeluarkan suaranya, ia berlari menjauhi mereka dan mengikuti Nira dari belakang.

“Hati-hati.” Teriak Tao

“Tapi Kak Naura, ada apa dengannya? kenapa dia terlihat berbeda.” Tanya Liza

“Karena dia memang berbeda Liza, gadis itu akan melakukan apapun yang dia inginkan. Tak akan ada orang yang bisa menghentikannya, kalian sudah melihatnya sendiri.” Balas Naura

 “Apa ada sesuatu yang terjadi?” tanya Afriya

“Semuanya sangat panjang Afriya dan semuanya bermulai dari kesalah pahaman.” Balas Naura

“Maksudnya?” Tanya Afriya

“Kalian akan tahu nanti.” Balasnya lagi

Nira masih berjalan dengan Darrel dibelakannya. 

 Apa kau tidak lelah? kau bahkan sedang sakit Ra.” Tanya Darrel

“Kita tidak sedekat itu.” Balas Nira

“Bukankah kita sudah berteman.” Ucap Darrel menjelaskan

“Berhenti mengangguku dan pergilah!” Nira kokoh dengan pendiriannya meskipun ia berjalan pincang, meskipun pengelihatannya tidak jelas dia tetap berjalan karena dia kuat. Batu kecil di injaknya dan ia akan terjatuh jika pingganya tak segera dirangkul oleh Darrel. Pria itu jongkok di depan si gadis.

“Aku tahu kau tidak baik-baik saja, naiklah.” Ucap Darrel

“Tidak.” 

“ Naik.”

“ Tidak.” Darrel menarik tangan Nira dan mengharuskan gadis itu berada di punggungnya. Darrel bangkit dengan Nira di punggungnya

“Apa yang akan kau lakukan sekarang?” tanya Darrel

“Bawa aku ke teman bermain.” Balas Nira

“Apa kau yakin?” tanya Darrel menyelidik

“Tentu saja.” Butuh waktu lama untuk sampai ke tempat itu, Nira menyenderkan kepalanya akibat pusing yang menyerangnya. Gadis itu menutup matanya, bau green tea menusuk indra penciumannya.

“Apa aku akan menyukai wangi ini? apa aku akan merindukan wangi ini?” Nira berbicara dalam hati.

“Kita sampai.” Nira membuka matanya dan turun dari gendongan Darrel. Gadis itu berjalan menuju ayunan dan duduk. Darrel duduk di sebelahnya.

“Apa aku boleh tahu apa yang terjadi?” tanya Darrel

“Tidak.”

“Apa kau baik-baik saja?” 

“Tidak.”

“Apa kau lapar?”

“Tidak.”

“Apa kau ingin ice-cream?”

“Tidak.”

“Apa kau ingin boneka?”

“Tidak.”

“Apa kau ingin payung?”

“Tidak, tidak, tidak. Berhenti mengangguku kumohon, cukup mereka saja. Kumohon pergilah, kumohon.” Nira menumpahkan airmatanya, di depan Darrel. Pria yang beberapa hari lalu menyita perhatiannya, pria yang beberapa hari lalu menggetarkan hatinya dan pria yang ia sukai. Dia berdiri di hadapan Nira dan merangkul pundaknya agar menangis di dadanya. 

“Aku tahu kau tidak baik-baik saja Ra, menangislah. Menangislah sampai kau benar-benar tenang.” Nira menangis tanpa suara, gadis itu meluapkannya. 30 menit berlalu gadis itu berhenti dan mendongakan kepalanya.

“Aku lapar.” Nira menatap Darrel

“Tunggu sebentar, aku akan membelikanmu makanan. Apa yang kau suka?”

“Aku ingin ice-cream.”

“Apa kau gila? kau sedang sakit Ra, mana bisa orang sakit makan itu.” Tegas Darrel

“Kau yang menawariku duluan bodoh.” Balas Nira tidak terima

“Baiklah, tunggu disini.” Ucap Darrel

“Okay.” Nira menunggu Darrel, pelipisnya sakit. Gadis itu menyenderkan pelipis kanannya pada besi ayunan, rasa ngilu itu menyerang pelipis kirinya lagi, lagi dan lagi. Dia menutup matanya dan tersungkur di depan ayunan yang beberapa menit lalu didudukinya. Darrel berjalan dengan keresek hitam jinjingnya. 

“Nira.” Darrel berteriak dan berlari ke arahnya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status