Share

Dear Diary (part 1)

Darrel keluar dari toko ice-cream, ia mengeluarkan benda persegi panjangnya yang berwarna putih tulang. Ia memainkannya sebentar.

“Hallo Tao.” Ucap Darrel

“ Ya Darrel, apa kau sudah bersama Nira?” balas pria di seberang sana

“Ya dia bersamaku, aku baru saja membeli ice-cream untuknya. Katakan pada kedua temannya kalau dia baik-baik saja.” Balas Darrel

“Oke.” Setelah terdengar kata oke Darrel mematikan teleponnya dan memasukan kembali kedalam saku celananya. 

Afriya dan Liza kembali ke rumah Liza, mereka berdua membawa perlengkapan yang mereka bawa untuk berkemah. Mereka membereskan baju yang telah dipakai dan yang belum dipakai.

“Kenapa sudah kembali?” entah dari mana datangnya tiba-tiba ibu Liza sudah berdiri di pintu kamarnya.

“Nira mengalami kecelakaan Ma dan sekarang mungkin dia di rumah sakit.” Balas Liza

“Bagaimana bisa mungkin? bukankah kalian juga mengantarnya?” tanya wanita paruh baya itu

“Tentu saja tante tapi tadi ada masalah dan Nira pergi begitu saja dari sana.” Afriya menjawab

“Apa dia sedang ada masalah?” tanya si ibu lagi

“Entahlah Ma, kami pun tidak tahu.” Balas Liza

“Baiklah lanjutkan apa yang sedang kalian lakukan.” Ibu Liza pergi, saat ini mereka berdua sedang membongkar ransel Nira, sebuah buku kecil berwarna cream dengan pena senada yang menggantung di sampingnya.

Mereka membuka perlahan, di sampul pertama tertulis “Dear Diary” dan otomatis ini adalah buku harian milik Nira. Mereka membukanya kembali, “ 21 Mei 2015”. Liza dan Afriya tersenyum bahagia, mereka membuka lembaran yang lain tertulis “23 Mei 2015” senyum merekah mereka sirna. Tidak ada yang tahu kenapa tapi yang pasti ini karena buku harian itu.

Dibukanya lagi “ 24 Mei 2015”, lembaran lain, lain, lain dan yang lainnya sampai mereka meneteskan airmatanya. Alasannya hanya satu, ya buku harian itu. Itulah alasan kenapa mereka menangis sampai segukan sekarang. Afriya menutup kembali buku itu dan menyeka airmatanya. 

“Maaf Ra aku baru tahu jika ini yang terjadi padamu. Aku benar minta maaf, aku tidak tahu jika kau menderita seperti ini.” Airmata itu kembali mengaliri pipinya, ia tidak bisa menghentikan beribu-ribu airmatanya.

“Aku juga Ra, aku juga minta maaf. Aku tidak tahu apa yang terjadi padamu, terimakasih untuk catatan yang kau buat. Aku dan Afriya akan menjadi teman berceritamu apapun yang terjadi. Hiduplah seperti apapun yang kau inginkan aku akan mendukungmu.” Liza menumpahkan airmatanya, segukan mereka masih terdengar. Mata mereka yang memerah menandakan mereka sudah menangis, mereka memasukkan buku harian itu kedalam lemari Liza agar tidak ada yang tahu. 

Ponsel Liza berbunyi menandakan telepon, Liza melirik sebentar siapa orang yang menelepon “Tao” nama yang tertulis disana. Liza menggeser layar dan mengeraskan panggilan itu.

“Ya, hallo Tao.” Ucap Liza

“Hallo, Liza. Aku ingin memberitahumu jika Nira ada bersama Darrel sekarang, dia baik-baik saja. Jangan terlalu menghawatirkannya.” Balas Tao

“Baiklah, terimakasih Tao. Tolong katakan pada Darrel jaga Nira, karena dia membutuhkan seseorang yang bisa mengerti dirinya.” Ucap Liza meminta tolong

“Baiklah, aku akan mengatakannya pada Darrel.” balas Tao

“Oke terimakasih, aku tutup.” Ucap Liza lagi

“Akhirnya, terimakasih Tuhan. Terimakasih banyak.” Ucap Afriya

“Nira.” Darrel berteriak karena melihat Nira yang tersungkur, dia membuang keresek hitam itu dan berlari kearahnya.  

“Nira apa kau baik-baik saja?” 

“Nira apa kau mendengarku?” 

“Nira jawab aku.” Darrel mengguncangkan pundak Nira, gadis membuka matanya. 

“Aku baik-baik saja.” Suara parau khas orang sakit terdengar ditelinga Darrel 

“Kau tidak baik-baik saja, ayo pergi ke rumah sakit.” Darrel menggendong Nira ala bridal

“Aku benci rumah sakit, aku tidak ingin pergi kesana.” Suara parau itu terdengar lagi, mata sayu itu mengeluarkan cairan beningnya.

“Baiklah, sekarang kau ingin pergi kemana? Ke rumahmu?” tanya Darrel

“Jika kau ingin mengajakku ke rumah ataupun ke rumah sakit, tinggalkan aku disini. aku membenci dua tempat itu.” Nira mengatur pernafasannya dan menutup matanya.

“Baiklah, tidurlah sebentar. Aku akan membawamu.” Darrel menggendong Nira dan kemudian memberhentikan taxi. Keduanya masuk dengan Nira yang tetap menutup matanya, keringat dingin mengucur dari pelipis gadis itu. Darrel mengecek suhu si gadis dengan punggung tangannya. Darrel bisa menyimpulkan bahwa Nira terkena demam karena panas tubuhnya berbeda dengan panas tubuh gadis itu. 

“Pak tolong dipercepat.” Ucap Darrel

Sepuluh menit berlalu Darrel masih menggendong Nira, dia masuk kedalam rumahnya dan menidurkan gadis itu di kasur king sizenya. Dia mengambil handuk kecil berserta air dingin. Ia mengambil obat penurun panas dan meminumkannya pada Nira.

Darrel duduk di kursi di samping tempat tidurnya itu, tak lama Nira pun tertidur begitupun dengannya. 

Sang surya menampakan dirinya, cahaya berwarna kuning cerah itu menusuk mata semua orang. Seorang gadis bangun dari tidurnya, dia membuka matanya perlahan dan menetralkan pengelihatannya. Dia melirik ke samping kirinya, ia melihat seorang pria yang sedang tertidur menunduk dengan tangannya yang digunakan sebagai bantal.

“Darrel ..." 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status