Share

VI. Nuansa Alam

Eka berjalan ke arahku, ia menenteng termos ditangannya. Perempuan itu ingin menyeduh dua gelas kopi yang berada di atas meja, untuk teman kami berbicara.

Rasanya baru kemarin aku bertemu dengannya tapi sekarang sudah terasa sedikit asing.

Siang tadi Eka mengundangku ke apartemennya lewat sebuah pesan singkat. Awalnya aku tidak menanggapi pesan itu secara serius, maka aku menolaknya. Namun Eka memintaku lagi dan sedikit memaksa.

Ya, alasan aku menolaknya karena tidak seharusnya aku melibatkan Eka lagi dalam hidupku, sama halnya seperti Yunanda, secara bersamaan Eka juga kuanggap tak penting lagi.

Tetapi aku teringat akan keramahan Eka padaku selama aku mengenalnya, meski kami jarang bertemu, aku cukup akrab dengannya. Jadi, bagaimana mungkin aku memiliki lebih banyak alasan untuk mengabaikan Eka daripada memenuhi undangannya?

Walau Eka adalah akses utama dari Yunanda, kurasa sebuah obrolan ringan sambil minum kopi bukan sesuatu yang perlu kutakutkan.

"Sebenarnya aku sudah tak lagi bekerja untuk Pak Yunanda," ucapnya setelah menuangkan air panas ke dalam gelas berisikan kopi.

Aku mengerutkan kedua alisku penuh tanya. "Kenapa?"

"Selama ini aku mendapatkan uang dari Pak Yunanda untuk pekerjaan yang bersifat rahasia. Kira-kita aku ini apa ya. Apakah bandar, detektif, asisten tersembunyi, pembantu? Selama dua tahun aku mendapat uang untuk pekerjaan yang tidak jelas, bahkan yang terkhir hanya untuk membersihkan debu jendela," tuturnya sambil tersenyum kecil.

"Bukankah menyenangkan memiliki pekerjaan," ujarku.

Eka menggeleng kuat, "Tidak juga. Orang-orang bertanya mengenai pekerjaanku, terkadang aku bilang bahwa aku seorang asisten manager, terkadang juga aku bilang bahwa aku salah satu karyawan di neo group. Tapi mereka sadar bahwa itu tak mungkin karena aku lebih sering berdiam diri di rumah. Memang menyenangkan ketika uang mengalir begitu saja ke rekeningku padahal yang kukerjakan sangat sederhana, tapi gunjingan dari orang-orang sekitar sangat tak semenyenangkan," lanjutnya.

"Jadi sekarang kau hanya menganggur?" tanyaku penasaran.

"Tentu saja tidak, sebelum memutuskan kerjasama dengan Pak Yunanda, aku sudah mencoba melamar ke berbagai tempat hingga akhirnya diterima," Dia menyeruput kopinya sebelum kembali berbicara. "Aku bekerja disalah satu perusahaan IT yang baru diresmikan."

"Luar biasa. Selamat Eka."

"Apa kau mau ikut bekerja juga? Di sana sedang membuka lowongan, banyak tempat yang masih tersedia."

"Aku---"

Obrolan kami terjeda saat seseorang memukul-mukul pintu, minta dibuka-kan. Aku tahu siapa orangnya. Eka melirik ke arahku, aku pun segera menghampiri sumber suara. Ini bukan pertama kalinya dia membuat berisik selama waktu yang singkat, sebelumnya ia juga mengetuk-ngetuk pintu, ya walau tidak sekeras dan sebising yang ini.

Itu Immanuel. Laki-laki yang mengantarku ke apartemen Eka menggunakan motor Sportnya. Immanuel terlihat mendengus kesal ketika aku muncul dihadapannya.

"Lama!" keluhnya.

"Ini baru setengah jam!" pekikku.

"Memangnya butuh berapa lama hingga selesai? Kaki-ku keram karena terus berdiri," cicitnya.

"Itu salahmu, kau yang menawarkan diri untuk mengantarku kemari, dan sekarang kau malah mengeluh. Padahal bukan aku yang memintamu mengantarku kemari!" balasku.

"Ada apa ini?" Sela Eka yang baru saja hadir diantar kami, "Kenapa tidak diajak masuk?" tanyanya padaku.

"Dia tidak cocok dengan obrolan kita, pemikirannya pasti kurang rasional. Eka, kupikir aku harus pulang sekarang," ucapku.

"Buru-buru sekali. Kita baru saja masuk ke pembicaraan inti," ujarnya.

"Kita bisa bicarakan itu besok lagi," singkatku.

"Baiklah. Hati-hati ya," putusnya.

Akhirnya aku pergi, mendorong laki-laki tinggi di hadapanku agar dia tidak kembali menggerutu. Aku menyesal menerima tawaran Immanuel untuk mengantarku ke apartemen, laki-laki itu berubah  menjengkelkan.

Kami masuk lift, pergi menuju lantai utama. Sepanjang berada di lift tidak ada sama sekali hal yang kami bicarakan. Immanuel terdiam tanpa wajah bersalah, sementara itu aku mengumpat berkali-kali di dalam hati.

                            *   *   *

Aku benar-benar marah pada Immanuel. Tadi, ia mengeluh saat di apartemen, sekarang bukannya pulang ke rumah dan beristirahat, dia malah membawaku ke perkebunan teh.

"Ada apa dengan wajahmu? Muram sekali," ujarnya.

"Bukankah harusnya kau berada di rumah saja?! Kau sudah mengacaukan urusanku dengan Eka, dan sekarang malah datang kemari," gerutuku.

"Kapan aku mengajak kembali ke rumah? Aku hanya ingin pergi dari apartemen itu," pekiknya.

"Terserah," kesalku.

"Ayo ikut aku."

Immanuel menarik tanganku, dia membawaku memasuki perkebunan teh hijau yang langsung menghipnotisku dengan pemandangannya yang indah.

Seketika hiruk pikuk kehidupan di kota yang dipenuhi gedung tinggi pun menghilang, hampir sepenuhnya yang kujumpai di sini adalah pohon dan dedaunan hijau yang menyegarkan mata.

Nuansa alam tidak pernah gagal. Hanya melihat lukisan alam saja sudah membuatku merasa damai, apalagi disuguhkan secara nyata seperti saat ini.

Immanuel, kau berhasil meluluhkanku dengan pemandangan seindah ini. Sekarang aku tidak marah lagi. "Terima kasih sudah membawaku kemari."

Laki-laki itu hanya mengacungkan kedua jempolnya sebari berekspresi datar, sebuah ciri khasnya.

Pemandangan ini membuatku teringat kejadian 2 tahun lalu saat aku harus bolak-balik psikiater. Ada banyak saran penyembuhan yang diberikan psikiater padaku, salah satu sarannya yang sangat sederhana adalah pergi ke tempat-tempat yang indah semacam ini. Aku menyesal mengapa dulu mengabaikan saran tersebut hanya karena kuanggap sebagai saran yang paling tak penting.

Jika aku sedih lagi, daripada mengurung diri dikamar, memang sebaiknya pergi ke tempat semacam ini.

Jika kebanyakan orang yang tengah berada ditempat seperti ini akan meminta diambilkan fotonya, berbeda dengan Immanuel, dia malah mengambil beberapa gambar langit menggunakan ponsel miliknya. mengambil foto kebun teh, mengambil foto daun teh dari jarak yang sangat dekat. Immanuel tak seperti manusia pada umumnya.

"Tolong ambilkan fotoku," Pintaku  sambil menyerahkan ponsel milikku.

Aku mulai membuat pose kala laki-laki itu bersiap mengambil fotoku, dia menjepret beberapa kali, begitu pula denganku yang merubah pose setiap kali menyadari Immanuel akan mengambil fotoku yang baru. Setelah dirasa selesai, ia menyerahkan kembali ponselku.

Aku pun memeriksa galeriku, semua foto yang diambil Immanuel sangat bagus, tidak ada satu pun yang mines. Mungkin dia memang sudah ahli mengambil foto.

"Buatlah pose, aku akan mengambil gambarmu," titahku.

Bukannya tersenyum lebar ke arah kamera seperti dugaanku, dia malah menghampiriku dan menyandarkan kepalanya dibahuku sambil kedua matanya tertutup.

"Apa-apaan ini?" desisku.

"Ambil fotonya sekarang," katanya.

"Foto bersamaku?" Tanyaku tak yakin.

"Apa kau masih tak paham?" Dia malah balik bertanya padaku.

Tanpa berbicara lebih lanjut, aku pun segera mengambil foto kami. Yang pertama hanya tersenyum ke kamera, pose yang kedua, kami membuat jari kami berbentuk V. Yang terakhir sangat diluar dugaanku, Immanuel mengecup pipiku yang tak sengaja berhasil kujepret. Aku refleks memegangi pipi kiriku tak percaya, seakan yang barusan terjadi adalah sebuah mimpi di siang bolong. Dia sudah mengubah posenya sepihak.

"Itu pose terbaik," katanya.

Ia merenggut ponselku, sepertinya ingin mengirimkan foto tadi ke ponselnya. Lalu apa yang terjadi denganku saat ini? Aku malah berdiam diri, bukannya memarahinya karena mengecup pipiku.

Mengapa aku tak bisa marah?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status