"Aku hanya perlu melakukan ini sekali saja," gumamnya, meyakinkan dirinya sendiri. "Setelah itu, aku bisa segera kembali ke Indonesia."
Sanjaya melangkah dengan tekad bulat untuk pergi mencari obat yang bisa membuat Dea tertidur, tanpa menyadari bahwa ia tengah berjalan menuju kehancurannya sendiri, juga kehancuran Dea.
Senja menjelang ketika Meisya kembali menghubungi Sanjaya. Nada suaranya dingin dan tegas, tanda bahwa kesabarannya mulai menipis.
"Jadi?" tanyanya tanpa basa-basi. "Mana obat tidur yang kusuruh kau beli?"
Di seberang telepon, Sanjaya menelan ludah. "Aku... aku belum berhasil mendapatkannya. Obat seperti itu tidak dijual sembarangan, Meisya. Aku sudah mencari di beberapa tempat, tapi..."
"Alasan!" bentak Meisya. "Aku membayar mahal untuk rencana ini, Sanjaya! Kalau kau tidak becus, aku akan mencari orang lain."
"J-jangan!" Sanjaya mengepalkan tangan. Diriny
Dea masih belum sepenuhnya percaya. Namun ketika ketukan berikutnya di pintu kamarnya datang dan yang masuk hanyalah perawat muda dengan wajah ramah—bukan Elsa—ia tahu Frans menepati janjinya."Mudah-mudahan," sahutnya singkat.Frans membelai rambutnya lembut, "Beristirahatlah, Sayang. Aku akan mengunjungimu nanti sesudah memberesi beberapa hal dalam pekerjaanku di kantor."Frans memberikan sebuah kecupan di keningnya dengan penuh kasih sayang.Untuk pertama kalinya, Dea mengizinkan dirinya tersenyum tipis. Ia masih harus berhati-hati, tentu saja. Tapi setidaknya, untuk malam ini, ia bisa tidur tanpa mendengar napas licik dari balik dinding.Pangeran Frans ingin berangkat kerja sesudahnya. Namun, sore yang teduh kembali berubah mendung di mata Dea.Baru saja pria itu hendak berdiri meninggalkan Dea, dan baru saja Dea mulai bernapas sedikit lega setelah mengetahui bahwa Elsa dipindah
Dea langsung bangkit, meski tangannya masih terikat selang infus. “Dan kau pikir aku melakukan ini lagi, Pangeran?” tanyanya, nyaris tak percaya.Frans menatap ke sekeliling. Jus tercecer, pecahan kaca di lantai, dan Elsa yang berdiri di dekat ranjang Dea.“Dea, aku tahu kamu sedang tidak stabil. Mungkin kamu lelah. Tapi tolong, jaga dirimu. Jangan biarkan emosi menguasai.”Wajah Dea pucat. Bukan karena sakit. Tapi karena dihianati—lagi. Dea tertawa miris."Elsa, kamu pikir semua orang itu bodoh ya."Elsa pura-pura menenangkan. “Sudah, sudah. Aku yang salah, Pangeran Frans. Jangan marahi Dea. Dia hanya butuh ketenangan.”Kalimat itu seperti paku terakhir di peti nalar Dea. "Cuih!"“Frans, apakah kamu tidak sadar? Dia sedang membunuhku perlahan dengan kata-kata manis di depan orang lain…”
Dea menatap Frans lama. Bibirnya bergetar. Ingin sekali ia bicara, menjelaskan. Tapi yang keluar hanya satu kalimat lirih:“Saya tidak menyentuhnya.”Elsa langsung menangis lebih keras. “Kalau aku bohong, kenapa aku yang kena sup panas ini, hah?! Aku bahkan hamil, Frans! Bayiku terancam!”"Ahh, luka pasti.... perih Frans!" Elsa merangkul leher Pangeran itu dengan erat dan merintih keras.Dea menggigit bibir. Matanya menatap kosong. Ia tahu ini bukan kesalahan. Ini jebakan. Tapi dengan kondisi tubuh yang masih lemah, siapa yang akan percaya pada ibu hamil yang dianggap setengah sakit jiwa dan setengah depresi seperti dirinya?Frans menoleh ke dokter yang mengikuti langkahnya. “Pastikan janin Elsa baik-baik saja. Segera.”Kemudian ia berpaling ke Dea sekali lagi, kali ini tidak selembut biasanya. Ada sorot curiga dalam tatapannya. “I
Elsa tersenyum samar, lalu menatap Frans dengan mata berair. “Aku hanya ingin kamu tahu… aku ada dan juga sedang mengandung anakmu. Apakah aku salah?”"Elsa-"Sementara itu, Dea kembali ke kamar rawatnya dengan jantung berdebar. Ia tahu ia tak bisa menilai dari apa yang ia dengar saja, tapi... luka lama Yama belum sembuh, dan kini, ada luka baru yang mulai menganga. Frans berselingkuh padahal dia sudah tahu, tapi semua ini terasa begitu menyakitkan baginya.Ia duduk di ranjang dan memeluk lututnya, menatap jendela yang kini mulai dihiasi cahaya jingga petanda senja."Yama... kamu di mana? Apakah kamu tahu hatiku seperti perangkap? Selalu penuh luka, tapi tetap terbuka untukmu.""Apakah benar, kamu sudah menyerahkan semua cinta dan perhatianmu hanya untuk Meisya?"Perlahan, air mata mengalir di pipinya. Tapi untuk pertama kalinya, Dea tidak
Frans mengikut arah pandangnya, tapi begitu ia memutar tubuhnya, siluet itu sudah menghilang. Tidak ada seseorang pun di sana.“Yama? Mana? Siapa?”Dea menggeleng lagi, kali ini dengan lebih kuat, menahan rasa rindu yang tiba-tiba menyesakkan. Air matanya jatuh tanpa suara. Ia tak tahu apakah bayangan itu nyata atau hanya keinginan yang terlalu dalam. Ternyata itu hanya halusinasi.Frans menatapnya dalam diam. Ia tahu tak bisa menggantikan Yama. Tapi ia juga tak bisa membiarkan Dea menunggu seseorang yang mungkin tak pernah kembali.“Kalau kamu mau, aku bisa membawamu ke negara lain,” katanya pelan. “Jauh dari Inggris, dari semuanya. Kita bisa mulai hidup baru. Melupakan semua yang pernah ada. Bagaimana?”Dea menatap perutnya lagi. Ia mengelusnya, dan untuk sesaat, ia merasa sesuatu bergerak. Bukan secara fisik, tapi dalam batinnya. Sebuah bisikan kecil: Ada anak Yama di dalam.“Tidak,” ucap Dea akhirnya. Lirih, tapi tegas. “Aku akan tetap di sini saja."Frans mengangguk, setengah leg
Frans terdiam. Dia tahu persis, Dea merindukan Yama, dan Dea belum melupakannya. Tidak mau makan hanya sebuah alasan yang dibuatnya, tapi ini bukan waktunya membela diri. “Aku tahu salah, aku tahu. Tapi saat ini… yang penting adalah kesehatanmu. Kau dan anak kita. Tolong, makanlah agar gizimu dan sang anak terpenuhi,” bisik Frans, mencium tangan Dea penuh kasih.“Bukan anakmu, ingat?” ujar Dea dengan mata tertutup. “Kau tetap ingin aku hidup… untuk membesarkan anak lelaki lain?”Frans menunduk, air matanya mulai jatuh. “Ya. Karena aku mencintaimu. Karena aku ingin menepati janji yang pernah kuucapkan: mencintaimu dalam keadaan apa pun.”Dea tak menjawab. Tapi airmata hangat jatuh di pipinya, "Dan kamu selalu menghabiskan setiap malam bersama Elsa?"Frans terkejut, dia tercengang karena ternyata Dea sudah mengetahui tentang perselingkuhannya.Frans menyeka wajahnya dengan canggung. Ia meraih sendok kecil, mengambil sedikit bubur dari mangkuk di atas meja, dan menyuapkannya ke bibir De