Share

[1] Empat Tahun Natal

Natal tahun pertama.

"Tadi keluarga Pak Hendrawan kesini."

Aku masih mengetik, membalas satu per satu ucapan natal dari teman temanku. Punya banyak grup chat membuat ponselku tidak berhenti berdering sejak awal hari tadi. Kebanyakan dari mereka mengajak untuk bertemu, berkumpul di rumah salah seorang temanku yang lain.

"Destri, Mama lagi ngomong sama kamu loh."

Aku meletakkan ponselku dan memandang mama, "Iya, Ma?"

"Tadi keluarga Pak Hendrawan kesini."

Aku, tentu saja, langsung mengangkat satu alisku heran. "Terus apa hubungannya sama aku?"

"Mereka bilang anak sulungnya suka sama kamu."

Aku memfokuskan diri kembali ke ponsel, "Terus Mama jawab apa?"

Mama berdeham sebentar sebelum menjawab, "Ya... Mama bilang kalau kamu masih mau fokus studi dulu. Belum waktunya nikah."

"Ha? Gitu banget jawabnya," sahutku, lantas terkekeh. Sudah menjadi kebiasaan Mama untuk menjelaskan sesuatu yang tidak perlu. Contohnya seperti kasus di atas. Alih alih menjawab 'belum waktunya nikah', alangkah lebih baik kalau dijawab 'dia sudah punya pacar'. Toh juga kedatangan mereka bukan bermaksud untuk melamarku, kan.

"Iya, anaknya suka sama kamu terus mau ngelamar kamu katanya."

Seketika mataku melotot. "Aku baru semester dua!"

"Makanya Mama jawab begitu... Kamu masih mau fokus sama studi dulu."

"Baguslah kalau gitu." Aku menghela napas lega, "Siapa nama anaknya?"

"Hmm...," Mama mengawang, mengingat ingat, "Narendra. Narendra Hendrawan."

"Oh."

Natal tahun pertama, saat segala pertanda muncul.

.

Natal tahun kedua.

"Rendra itu ganteng, sayangnya Mama kamu gak suka sama dia," ujar Oma, disela-sela waktu menonton tv-ku yang berharga--bersama dengan setoples kacang mede. Wanita itu tiba tiba saja duduk di sebelahku, ikut memandang televisi yang menunjukkan video para binatang berlarian mengejar mangsa.

Aku hanya bergumam tanpa perlu menjawab. Selama setahun sejak natal tahun lalu, Oma tidak pernah berhenti membicarakan Narendra Hendrawan. Mulai dari sang nenek yang juga teman Oma, ibunya yang juga teman ibuku, dia yang kini sudah bekerja sukses di perusahaan besar, dan sebagainya.

Perbincangan itu selalu berujung dengan, "Memangnya kamu beneran gak suka sama dia?"

Kalau pertanyaan itu muncul, aku pasti akan menjawab, "Ngeliat orangnya aja belum pernah."

Namun hari ini, lain cerita.

Natal tahun lalu aku diselamatkan oleh tubuhku yang sedang PMS--pre menstrual syndrome, kalau kamu tidak tahu. Perutku sakit dan sekujur tubuhku terasa linu. Natal tahun lalu kuhabiskan di tempat tidur, berguling di atas kasur, menggeliat seperti cacing kepanasan.

Oke, tahun ini tidak seperti itu. Untuk pertama kalinya aku bertemu dengan Narendra Hendrawan. Aku sedang melempar kacang medeku ke udara untuk kemudian langsung kudaratkan ke mulutku saat Mama tiba-tiba memanggil, memintaku ke ruang tamu.

Aku kira awalnya tidak ada tamu, karena Oma tidak mungkin duduk santai di sebelahku kalau rumah sedang kedatangan tamu. Akhirnya, sambil membawa segenggam kacang mede di tangan dan mengunyahnya satu per satu, aku menemui Mama.

"Ya ampun, Des. Ganti baju sana."

Aku menelan ludah, malu. Aku membeo selama beberapa menit, mengamati beberapa orang dengan pakaian rapi sebelum kemudian berlari cepat ke kamar, mengganti pakaian santaiku dengan gaun selutut. Kusapukan bedak tipis ke wajah sembari melihat barisan gigiku melalui cermin--memastikan tidak ada kacang yang terselip.

Ketika kurasa aku sudah kelihatan lebih baik, aku langsung menuju ruang tamu, menemui tamu yang kini sedang mengobrol dengan semua keluargaku--Mama, Papa, Oma dan Opa.

Aku membungkukkan badan, memberi hormat pada tamu sebelum akhirnya duduk di sebelah kursi kosong di sebelah mama.

"Destri sudah semester berapa sekarang?"

Aku mengerjap, tersenyum, "Empat, Tante."

"Wah, pertengahan ya...."

Aku mengangguk pelan. Kalau sudah di depan para tamu begini, aku selalu pencitraan. Bersikap seolah aku adalah gadis pendiam, feminin. Nyatanya, berkebalikan.

"Gak pernah ketemu Rendra, ya?"

Rendra?

Bola mataku menggeser arah ke kiri, ke tempat dimana seorang laki laki yang... kurang lebih nampak seumuran denganku, duduk. Ia tersenyum, aku balas tersenyum.

"Belum. Tahun kemarin waktu kesini, kan, si Destri lagi tidur, Mbak." Mamaku menimpali sembari tertawa kecil.

"Oh iya, ya. Tahun kemarin padahal rame-rame kesini." Seorang pria yang aku yakin orangtua dari Rendra, ikut angkat bicara.

"Iya, adiknya gak ikut ya sekarang?" Papaku bertanya.

"Iya, lagi ada job dia. Kemarin dipanggil buat ngisi acara dimana gitu, saya lupa."

Aku bosan. Serius. Tidak lama setelah mereka bertanya tentangku, obrolan langsung didominasi orang dewasa. Mereka membicarakan pekerjaan, pendidikan, dan lain sebagainya. Aku ingin kembali ke depan tv, mengunyah kacang mede sambil membalas pesan-pesan dari temanku.

Beruntungnya, mamaku mengerti.

Tidak lama setelah itu, Mama menyuruhku untuk ke kamar. Menemani adikku yang kebetulan sedang tidur--dan sebenarnya tidak perlu ditemani juga karena dia sudah besar, dia sudah kelas 3 sekolah dasar.

Aku menurut. Berpamitan, lantas segera berlalu ke kamar adikku.

Sayangnya, di natal tahun kedua itu, aku hanya sekilas melihat wajah Narendra Hendrawan, laki-laki yang kata Mama berniat melamarku.

.

Natal tahun ketiga.

Mama, Papa, beserta kedua adikku, meninggalkanku di rumah, sementara mereka pergi ke rumah kolega papa. Aku terpaksa bertahan di rumah bersama Opa dan Oma karena sedang PMS, lagi.

Seharian aku berbaring di kamar. Perutku melilit dan rasanya mau meledak. Aku mual bukan main, bahkan beberapa kali memuntahkan ludah.

Di sela waktu istirahatku, Oma mengetuk pintu, memintaku untuk keluar karena sedang ada tamu. Kamu tahu sendiri bagaimana sakitnya ketika PMS, jadi aku langsung menggeleng sebagai jawaban.

Oma itu pelupa. Jadi setelah membangunkanku, ia membangunkanku lagi untuk kedua kalinya. Kesal, aku mengganti pakaianku sambil uring uringan.

Masuk ke ruang tamu, aku dapati keluarga Hendrawan--lagi. Mereka berpamitan untuk pulang. Kesadaranku masih setengah, aku hanya bisa mengangguk dan tersenyum tipis, menahan perutku yang melilit parah.

Tidak ada yang spesial setelahnya. Hanya beberapa keluarga dekat yang berdatangan dan langsung kupamiti ke kamar.

Namun malamnya, aku mengingat ingat lagi sosok Narendra.

Aku baru sadar kalau ia menatapku dari atas sampai ke bawah ketika melihatku tadi siang. Ia tersenyum. Jenis senyuman yang bisa langsung kamu kategorikan sebagai senyuman malu-malu. Tipe-tipe senyuman orang jatuh cinta.

Sebegitu sukanya, ya, dia padaku?

Sejujurnya, aku tidak keberatan untuk mengenal dia lebih dekat. Tapi Mama tampaknya tidak terlalu menyukai Rendra. Aku juga tidak tahu apa sebabnya, yang pasti Mama adalah orang yang paling sering mewanti-wantiku untuk berbincang lebih jauh dengan Rendra.

Kalau masalah fisik, meskipun aku tidak terlalu memperhatikan Rendra lebih jauh, aku rasa dia tidak terlalu buruk. Maksudku, kulitnya bersih, ia nampak terawat. Kalau masalah pekerjaan, Rendra pun mengaku ia sudah bekerja.

Jadi, aku tidak tahu alasan kuat mengapa Mama mencegahku untuk mengenal Rendra lebih dekat, kecuali sebuah alasan kalau aku harus fokus dan menamatkan studiku terlebih dahulu.

Natal tahun ketiga, entah kenapa pikiran tentang Narendra tak henti berseliweran di kepalaku.

.

Natal tahun keempat.

Sepanjang tahun setelah natal tahun lalu, Oma selalu mengajakku berbicara tentang Narendra Hendrawan. Dimanapun aku berada, Oma pasti akan tiba-tiba datang dan duduk di sebelahku, lantas mulai bercerita tentang Rendra dan segala bibit bobot bebetnya.

Mamalah yang lantas akan menjadi tameng, melindungiku dari semua nasehat Oma yang terus-terusan diulang. Mama yang kekeh kalau aku harus menamatkan studiku tanpa gangguan dari pihak manapun, dan Oma yang kekeh mengatakan kalau aku masih bisa menamatkan studiku meskipun aku menerima lamaran Rendra.

Ugh.

Untuk urusan ini, aku lebih berpihak ke Mamaku. Akan sulit bagiku untuk menamatkan studi jika fokusku terdistraksi. Aku ingin lekas-lekas wisuda dan mendapatkan pekerjaan, mendapatkan penghasilan sendiri.

"Des, keluarga Pak Hendrawan datang. Sapa sebentar."

Aku melirik pintu, menatap Mama yang berdiri di sana. "Gak perlu ketemu lama-lama, lah. Sapa aja."

Begitulah Mama. Mama tidak tahu kalau aku sebenarnya ingin bercakap-cakap lama bersama dengan mereka. Aku sungguh ingin tahu laki-laki seperti apakah Narendra itu. Dan dengan mendengarnya berbicara, aku yakin aku sudah dapat menilai apakah dia cukup meyakinkan untuk bisa jadi pasanganku.

Malas-malasan aku bangkit dari tempat tidur dan berganti baju begitu mama pergi. Rambutku kugerai, wajahku kuusap dengan bedak tipis.

Keluarga Hendrawan sedang berada di halaman belakang ketika aku datang. Mereka sedang menikmati makanan sambil tertawa.

"Oh, ini Destri."

Aku tersenyum mendengar sapaan Nyonya Hendrawan--sampai sekarang aku tidak tahu harus memanggilnya siapa. Sebelum membungkuk sedikit, mataku menangkap bayangan laki-laki yang belum pernah kulihat sebelumnya.

Aku yakin kalau mereka yang datang semuanya adalah keluarga Hendrawan. Jadi ketika aku berdiri dan melirik laki-laki itu lagi, aku yakin kalau dia adalah adik dari Narendra, laki-laki yang sempat diceritakan oleh mereka pada natal tahun kemarin.

"Kamu belum pernah ketemu dia, ya? Dia adiknya Rendra." Nyonya Hendrawan berujar lagi, "Namanya Raya. Naraya."

Ia berjalan ke arahku, lantas mengulurkan tangan dan mengajakku berkenalan. Dari jarak dekat begini, aku bisa melihat piercing hitam terpasang di kedua telinganya.

Aku menyambut uluran tangan Raya. Ia kemudian tersenyum, menyulut suatu letupan aneh di dalam tubuhku.

Kaku, aku balas tersenyum. Raya lantas berbalik, menjauh dan meninju pelan bahu Rendra yang sedang tersenyum salah tingkah karena digoda oleh adiknya sendiri. Sang adik lantas duduk di sebelah kakaknya, membisikkan entah kata-kata apa. Yang pasti, detik berikutnya Rendra langsung menyikut pelan perut Raya, membuat Raya tertawa lebar.

Alih-alih mengikuti perintah Mama untuk menyapa mereka sebentar, aku duduk dan terus memperhatikan diam-diam kedua kakak beradik di hadapanku.

Terkadang, aku akan mendapati Rendra yang mencuri pandang ke arahku, lantas tersenyum dan menolehkan kepala ke arah lain.

Terkadang, aku akan mendapati Raya yang mencuri pandang ke arahku, lantas menaikkan sudut bibir dan berbisik ke sang kakak.

Beberapa menit sebelum mereka berpamitan pulang, Raya memintaku untuk mengantarkan dia ke toilet--aku sudah menunjukkan arah kepadanya, tapi dia bilang dia buta arah.

Kemudian...

Bukannya masuk ke toilet dan buang air, Raya malah berdiri di depan pintu dan mengeluarkan ponsel.

"Nomormu?"

Aku tergagap sebentar sebelum akhirnya menyebutkan nomor ponselku. Selesai mencatat di ponselnya, ia tersenyum dan mengerling.

"Terima kasih. Ini untuk Kak Rendra. Dia malu buat minta langsung ke kamu."

Aku tersenyum tipis. Mataku tak henti memandangi punggung laki-laki yang bergerak semakin menjauh tersebut.

Menghela napas, aku berjalan pelan untuk kembali ke halaman. Langkahku seketika terhenti ketika suara notifikasi dari ponsel terdengar.

Naraya_ added you by phone number.

Natal tahun keempat... adalah awalnya.

[ ]

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status