Share

PERLAHAN TAPI PASTI

POV Cahaya

Pertama, aku gigit terus kunyah kopinya, biar ada gambaran suhu air, dan gilingannya seperti apa.

“Aduh, gimana ya? belum pernah bikin kopi kaya gini lagi.”

“Tenang cahaya, pelan-pelan pikirin.”

Aku terus bertengkar dengan logika.

“91… eh 92 deh… bentar takut kurang tinggi… 95 aja deh, sekali kali coba ah, orang ini terang banget kopinya” aku bergugam sendiri, untuk menentukan langkah menyeduh kopi.

Aku langsung menimbang biji kopi di timbangan(scale), memasukkan kopi di grinder, kemudian mengatur tingkat kekasaran ke tingkat medium(menengah) di nomor 3,5 dari 7.

ku giling kopi, lalu ku masukkan ke dalam gelas plastik, tak lupa ku tutup tissue.

Selanjutnya ku ambil air, memanaskan sampai mencapai suhu 95 derajat, menggunakan teko(kettle) dengan suhu digital yang tinggal atur sesuai suhu yang di inginkan.

Ku tunggu hingga suhu tercapai.

POV Brian

Gua memperhatikan cahaya dengan seksama, melihat management waktu nya masih kacau,

“Brian.. Brian.. Brian,” yuli memanggil.

“Kenapa yul?”

“Gua bingung, setau gua kopi ya kopi, item ya item, koq ini rasanya asem ya?”

“Aslinya kopi itu ada beberapa jenis, yang terkenal ada dua arabica sama robusta. Gampangnya arabica itu asam, robusta itu pahit, karakter robusta itu ya rasanya dominan pahit aja, sedangkan arabica banyak rasa yang muncul, kadang-kadang rasa teh, mirip jeruk. Itu memang karakter arabica.”

Yulia menanggapi,”oh gitu, berarti yang cahaya buat itu arabica dong.”

“Yup benar.”

Gua pun menjelaskan apa yang di tanyakan yulia dengan semangat, karena nggak mau mengecewakan dia yang penasaran meskipun dia tidak begitu suka kopi tanpa gula.

Setelah menanyakan itu, yulia langsung mendekati miya, dan alex yang duduk di kursi customer dekat meja bar.

Gua memperhatikan cahaya yang menyeduh kopi, gua lihat dia sangat serius membuat kopi, tatapan tajam dengan rambut terurai panjang tanpa di ikat.

Dia mulai dengan membilas kertas saring yang sudah di letakkan pada dripper v60. Lalu membuang bilasannya, kemudian menuangkan kopi bubuk ke dripper, selanjutnya dia mulai menyeduh ; perlahan tapi pasti.

“Bagus juga cara lu ngajarin dia,”

“Biasa aja lex, gua nggak ngajarin kali, gua juga masih belajar ; belajar bareng-bareng sih tepatnya.”

“Gua aja sebagai sahabatnya belum tentu bisa ngatur cahaya lebih baik, nah elu bisa mengatur hidupnya dia jadi seperti sekarang, dia jadi cewek yang tahan banting loh.”

“Bisa aja lu lex, noh liatin cahaya lagi bikin manualan.”

POV Cahaya

“Anjir, aku kan nggak bisa fokus, kenapa sih pada ngomongin aku,”

“Alex juga dah ngapain lagi pakai bangga-banggain brian yang bisa merubah ku jadi seperti ini.”

“Anjir, lupa nuang kopi, telat lima detik lagi, udah kering kopinya di dripper.”

Aku lanjutkan menuang air ke kopi, ini adalah tuangan terakhir penuangan keempat, kurang lebih kurang satu menit sudah ku sajikan ke mereka semua.

Akhirnya selesai, ku pindahkan dripper ke gelas plastik besar sebagai penampung, ku ambil cangkir untuk di minum mereka, tak lupa ku bilas terlebih dahulu dengan air panas.

Langkah terakhir ku goyang kan server kopi agar semuanya teraduk dengan sempurna.

Ku tuangkan ke cangkir yang sudah di bilas tadi, tak lupa ku ambil sloki untuk ku cicipi.

“Nih buat lu berdua, ngomongin gua di belakang lagi.”

Alex kesal, “gua di depan lu ngomongnya, lu nggak lihat apa kalau kita ada di depan lu, suka ngawur lu kalau ngomong, aneh lu ay”

“Udah, udah jangan ribut, gua icip ya, sendoknya mana ay?”

“Nih, dua buat kalian.”

“Satu aja, si alex sama gua aja sendoknya, iya nggak lex?”

“Terserah, gua mah selow, nggak ribet kek cahaya,” akhiri alex.

Lantai 1

Brian mencicipi dengan suara “Sluuurrp”

“Selow boss kalo nyeruput kopi, keras amat suaranya,” alex sepertinya sedang kesal.

“Diem lu kampret, nih cobain.”

Alex mencicipi kopi buatan cahaya “Sluuuuurrrrrrppp”

Suara lu lebih keras anjir! “Bruk”

Bahu alex tertonjok keras oleh brian, seperti mereka memiliki dendam pribadi satu sama lain.

“Nggak usah pake nonjok kampret, ini lu ngajarin aya gimana sih?

“Model begini mw ikut kompetisi?”

“Yang serius napa brian kalo ngajarin orang.”

Alex benar-benar kecewa dengan seduhannya cahaya.

Cahaya panik sepanik-paniknya mendengar ucapan alex, ia sangat takut kalau kopinya tidak enak.

“Gua udah cobain, nggak seburuk yang lu omongin loh lex. Emang kurang sempurna sih.”

Cahaya membela diri sebisanya.

POV Brian

Gua diam memperhatikan kanan-kiri, dan melihat wajah cahaya. Gua sebenarnya takut salah ngomong, akhirnya gua suruh cahaya bikin kopi lagi.

“Gini aja deh aya, lu apalin yang tadi lu bikin, gilingannya lu naikin setengah skala, terus tuangan air lu di buat lebih stabil jangan amburadul kaya kelakuannya alex.”

Gua bisik-bisik ke alex,”Goblok lo, ini kopinya masih enak cuk, lo ngapain ngomongnya begitu anjir!”

“Yang bilang nggak enak siapa?Kan gw cuman bilang, kopi model begini mau ikut kompetisi, nggak ada yang bilang jelek.”

“Sama aja lo bilang jelek,” akhiri brian.

“Ini kopi sebenernya enak, cuman tuangannya kurang rapi aja sih, gw kaget aja cahaya bisa nyeduh lumayan enak model gini,” lanjut alex dengan berbisik.

“Itu lo tahu, kenapa ngomongnye kaya tadi kampret!” Lagi-lagi brian sedikit kesal sambil berbisik.

“Serah gw lah goblok, mulut gw ini, biar mentalnya makin kuat cok!” Akhiri alex dengan keadaan berbisik.

POV Cahaya

Aku sendiri merasakan kopi ku tadi tidak separah mulutnya alex, tetapi tak apa lah bikin lagi, emang bener sih kurang enak di lidah belakang sampai tenggorokan kaya ada yang mengganggu, yaudah bikin lagi, tinggal giling ulang.

Aku terkejut melihat mereka berdua berbisik, “dua cowo itu ngapain bisik-bisik, kopi gua yang nggak enak atau apa ya?”

“Udah lah, gua harus belajar bodo amat dan pelan-pelan pasti bisa.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status