Share

Le Restaurant de Prada
Le Restaurant de Prada
Penulis: Mumu Rahadi

BAB 1 Menolong Pebinor

“Hidup Anda sepertinya membosankan sekali,” sindir Rumi sekadar memecah kebisuan sambil terus membersihkan luka pada wajah lelaki yang berbaring di sofa, di hadapannya.

Lelaki yang sesekali meringis setiap tekanan kapas beralkohol tujuh puluh lima persen di atas lukanya ini menatap Rumi sebentar sebelum berkata, “Aku tidak melakukan itu karena bosan. Kami saling mencintai.”

Rumi tanpa sadar menyunggingkan senyum mengejek. Tatapan mencela menghilangkan kesopanan dan rasa hormat.

“Berhenti menatapku dengan senyuman seperti itu!” seru lelaki ini pelan, namun penuh aura harus dipatuhi. “Dia baik dan penyayang. Perhatiannya tidak pernah kudapatkan dari wanita manapun.”

Rumi mencibir. Tangannya bergerak tangkas mengganti kapas yang sudah kotor oleh darah dengan yang baru.

“Memangnya ada berapa wanita yang pernah dia kencani?” cetusnya berbisik pada diri sendiri.

Prada termasuk kategori lelaki tampan. Mata tajam berpupil kelam. Hidung runcing bak aktor Bollywood. Wajahnya manis walaupun memiliki kulit kuning langsat. Tinggi layaknya pemain basket. Rambut yang selalu tersisir rapi itu menambah kewibawaan. Rumi mengakui kerupawanan fisik bosnya ini meskipun tak membuatnya tertarik. 

Selama ini banyak gadis cantik dan terawat berusaha mengikat perhatian Prada. Tapi mereka semua harus menelan kekecewaan. Tidak ada respon positif yang menandakan ketertarikan.

“Kamu mengatakan apa?”

Rumi menggelengkan kepala, kemudian berusaha mengalihkan perhatian. “Anda seharusnya ke rumah sakit.”

“Jangan mengalihkan pembicaraan!” bentak lelaki ini setengah berteriak, tapi sedetik kemudian meringis. “Aku mendengarmu mengatakan sesuatu.”

“Mungkin Anda berhalusinasi karena pusing,” jelas Rumi asal sedang tangannya masih bergerak ke sana-sini membersihkan luka.

Prada masih melemparkan tatapan menyelidik sebelum menghela napas dan berkata, “Dia seperti sahabat, kakak, juga ibu. Kelembutannya hampir sama seperti Mama.”

Rumi mencibir lagi sambil meletakkan kapas di atas meja, kemudian meraih obat salep untuk memar. Dioleskannya perlahan pada memar di wajah lelaki ini. 

Mother complex,” celetuknya samar tanpa bisa ditahan.

“Apa?” tanya Prada sembari menepis pelan tangan Rumi karena merasa perih. 

“Anda harus ke rumah sakit.” Rumi mengabaikan pertanyaan lelaki ini. Sekarang tangannya sibuk membereskan kotak P3K. “Luka dan memar Anda tidak mungkin hanya di wajah saja. Siapa tahu juga ada luka dalam. Akan berbahaya jika dibiarkan.”

“Aku tidak suka rumah sakit,” ujar Prada. Dia bergerak sedikit memperbaiki posisi tubuh agar lebih nyaman. Matanya dipejamkan. “Bau tempat itu menyebalkan.”

“Lelaki sekali,” sindir Rumi mencela. “Memangnya berapa usia Anda?”

“Rumiana Dara Priana! Koreksi kalimatmu ketika berbicara,” lelaki ini berkata tajam. Matanya sudah terbuka, menatap tak kalah tajam pada Rumi. “Sekali lagi berkata tidak sopan, aku tidak akan segan-segan memecatmu.”

Rumi hanya menggedik bahu tanpa berniat meminta maaf. Dia mengambil kotak P3K, lalu bergerak bangun; berjalan ke arah dapur menuju tempat kotak itu biasa diletakkan.

Yeah, begitulah! Lelaki ini adalah bosnya. Pemilik restoran Prada dimana Rumi bertugas sebagai manajer, Pradana Herman Wijaya.

Rumi seorang manajer yang patuh dan penurut. Sabar menghadapi keangkuhan bos yang selalu protes dengan apa pun yang dia usahakan. Dia menghormati lelaki ini sebagai atasan. Namun kejadian tadi membuatnya susah untuk berlaku normal.

Hari ini Rumi pulang larut seperti biasa. Mengecek segalanya dengan cermat sebelum melangkah pergi dari restoran. Berjalan santai menyeberangi jalanan sepi Kota Baru, Jogja, pukul 11:30 malam tanpa takut. Dia selalu melakukan ini. Rumah sederhana yang disewanya tidak terlalu jauh dari tempat kerja, sekitar lima menit berjalan kaki.

Ketika jarak rumah hanya tinggal beberapa meter, dia melihat kejadian yang tidak seharusnya terlihat. Di situ—sekitar lima puluh meter di depan sana—Prada, bosnya biasa disapa, meringkuk di atas aspal dekat mobil pribadinya dalam keadaan sedang dipukuli dua orang lelaki. Di hadapan bosnya itu berdiri angkuh seorang lelaki lain dan seorang wanita cantik di usia empat puluh tahun. Wanita tersebut terlihat khawatir sambil memohon pada lelaki angkuh tadi. Bahkan wajah itu sudah penuh dengan linangan air mata.

Terdapat dua mobil lagi. Satunya di belakang lelaki angkuh dan si wanita. Sedangkan yang satu lagi menghadang mobil Prada.

Sebenarnya, Rumi tidak ingin ikut campur. Tapi memikirkan kemungkinan akan kehilangan pekerjaan tanpa persiapan kalau pemilik restoran ini meninggal karena pembantaian, terpaksa dia harus melakukan sesuatu.

Menyadari kalau tidak bisa menghadapi tiga lelaki sekaligus, awalnya Rumi ingin berlari kembali ke restoran dan meminta pertolongan satpam yang berjaga. Tapi bosnya itu bisa saja segera meninggal kalau tidak cepat ditolong. Jadi, hati-hati dia menelepon satpam agar tidak menarik perhatian pelaku. Meminta agar satpam itu segera datang ke lokasi.

Tidak sempat terpikir untuk menghubungi polisi karena kondisi bosnya semakin mengenaskan. Dia harus bertindak. Minimal menghentikan pukulan, juga memberi jeda sampai bantuan datang.

Rumi segera melepas ikatan rambut dan mengacaknya sedikit. Lalu memasang wajah secemas mungkin sebelum berlari kencang mendekati tempat kejadian perkara. 

“Sayang!” teriaknya histeris.

Sedikit gila dan receh, tapi hanya itu yang dapat Rumi pikirkan. Salahkan drama alay yang sesekali di tonton tatkala senggang.

“Apa yang kalian lakukan pada pacarku?” teriaknya berlagak marah sembari berdoa tidak ada orang yang dikenal melihat adegan ini.

Rumi mendorong dua orang tukang pukul itu menjauh sebelum mendekap tubuh Prada yang babak belur agar pukulan terhenti sementara. “Say... Astagaaa!”

Wajah bosnya ini sudah lebam sana-sini. Setengah hatinya ingin tertawa, setengah lagi merasa kasihan. Keangkuhan Prada yang biasa hilang tertelan lebam dan luka.

“Aku akan menuntut kalian!” ancamnya dengan wajah dibuat penuh dendam pada para pelaku pemukulan.

Lelaki angkuh yang berdiri tadi sempat heran beberapa detik, kemudian memandang dengan tatapan mencemooh. Sedangkan wanita yang berdiri di samping si lelaki menatap penuh tanda tanya.

“Kalian berdua akan mati sebelum sempat menuntut,” ucap lelaki angkuh itu sombong sembari memberi kode pada dua bawahannya tadi.

Dua lelaki tukang pukul itu kembali mendekat. Rumi memeluk Prada semakin erat. Menyesal telah berbuat nekat dan membahayakan nyawa sendiri. Dalam hati berdoa semoga pertolongan cepat datang. Tidak rela usianya dihabiskan begini saja. Masih dalam hati, mengutuki bosnya yang menjadi biang masalah dan bersumpah akan membuat perhitungan di dalam kubur kalau sampai ikut terbunuh.

Dua lelaki itu sudah siap memukul lagi. Suara geraman a la algojo yang mereka perdengarkan membuat Rumi semakin khawatir. Menarik napas dalam gadis ini menyiapkan diri menerima pukulan ketika terdengar suara sirene mobil polisi mendekat.

“Sial!” lelaki angkuh tadi memaki sedang Rumi bersyukur lega dalam hati. “Dengar! Peringatkan pacarmu agar jangan pernah mendekati istriku lagi atau dia akan mati!”

Setelah mengancam, lelaki itu menarik wanita yang disebut istrinya itu masuk kedalam mobil. Kedua algojo tadi mengikuti, masuk ke dalam mobil yang menghadang mobil Prada. Lalu mobil mereka pun melaju pergi. Meninggalkan Rumi yang bengong.

“Istriii!?” ***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status