Share

BAB 2 Pebinor Menyebalkan (1)

Rumi masih terdiam di tempat. Matanya membelalak, sedang mulutnya masih terbuka tak percaya. Dia semakin yakin untuk menyesal telah membantu. Seharusnya dia biarkan saja Prada yang tidak tahu diri main serong dengan istri orang lain. Tatapan kasihan tadi berubah jadi tatapan marah pada bosnya yang mulai tidak sadarkan diri.

Tak lama dua orang satpam mendekat dengan wajah cemas. Salah satu satpam itu beristigfar kaget melihat penampilan bos mereka yang sekarat.

“Siapa orang-orang tadi?” tanya satpam yang bertubuh lebih kurus dan tua dari satpam yang beristigfar.

Rumi menggeleng. Lebih baik tidak memberikan informasi apapun.

“Bantu saya, Pak. Kita harus membawa Pak Prada ke rumah sakit.”

Mobil Prada masih di tempat yang sama. Sebelah pintu mobil itu terbuka. Kunci mobil pun tergantung manis di tempatnya. Tetapi Rumi tidak bisa menyetir, jadi dia berpikir membawa Prada ke rumah sakit dengan menggunakan taksi. Tidak terpikir bertanya pada salah satu satpam kalau ada yang bisa menyetir diantara mereka.

Namun kepala bos yang dikiranya sudah pingsan ini menggeleng lemah. Mulut itu bergerak mengucapkan sesuatu.

“Bapak mengatakan apa?” tanya Rumi bingung. Sebelum mendengarkan jawaban bosnya, dia beralih pada satpam yang membantu. “Tolong telepon ambulance saja, Pak.”

Belum sempat salah satu satpam itu melaksanakan instruksi Rumi, bos mereka menggeleng lagi dan mengatakan sesuatu. Kali ini lebih jelas walau diucap dengan susah payah. 

“Jangan ... rumah sakit.”

“Tapi, Pak...,” sanggah Rumi.

Keselamatan Prada lebih utama daripada keegoisannya. Rumi memutuskan untuk membangkang.

“Tidak-rumah-sakit.” Prada memotong ucapan Rumi. 

Kalimatnya lemah tetapi tegas. Wajahnya terlihat sangat kesakitan.

Rumi menghela napas. “Baiklah.” Dia kembali beralih pada dua satpam tadi. “Bantu bawa Pak Pradana ke rumah saya, Pak.”

Gadis ini tidak tahu alamat rumah bosnya dan tidak bisa benar-benar berpikir jernih. Dia melupakan restoran sebagai pilihan lain. Selain itu, setelah merasa aman tubuhnya malah lemas dan gemetar. Bahkan sedikit limbung saat berdiri ketika dua satpam tadi menggantikannya memegang bos mereka.

Menarik napas dalam dan menghembuskannya perlahan Rumi mengepalkan tangan kuat-kuat. Mengulang hal yang sama beberapa kali sampai dia merasa cukup tenang dan mampu untuk melangkah.

“Bu Rumi baik-baik saja?” tanya satpam yang lebih kurus dan tua, khawatir melihatnya.

Gadis ini mengangguk. Cepat dia berjalan menuju mobil bos mereka, menyembunyikan wajah lemahnya. Setelah memastikan mobil itu terkunci aman, sekali lagi dia menarik napas dalam sebelum melangkah lebih dulu sebagai penunjuk jalan. 

“Ayo!” ajaknya.

Kedua satpam itu mengikuti Rumi sambil menopang bos mereka. Walau sedikit lebih lama, mereka bisa sampai di depan pintu rumah kontrakan. Gadis ini segera mengambil kunci di dalam tas. Dengan sebelah tangan dia membuka kunci pintu, lalu mendorong pintu sampai terbuka lebar.

Sembari memberikan petunjuk Rumi masuk ke dalam dan berhenti di ruang tengah yang juga berfungsi sebagai ruang tamu. Terdapat satu sofa panjang di sana. 

“Terima kasih, Pak,” ucap Rumi saat bos mereka telah berbaring di sofa. “Kalau bapak-bapak terlambat datang sedetik lagi saja saya tidak tahu apa yang akan terjadi.”

“Bukan apa-apa, Bu. Kalau Bu Rumi tidak menelepon, saya tidak akan tahu dengan kejadian ini,” balas satpam yang beristigfar tadi sopan. “Lagipula saya senang akhirnya mp3 sirene polisi yang saya d******d sejak awal bekerja di Prada ini ada gunanya juga.”

Satpam itu menunjukkan gawai yang dipegangnya. Di dalam layar terlihat music player dengan lagu berjudul Sirene Polisi yang sedang di-pause.

Rumi tertawa mengagumi kecerdikan satpam restoran mereka. “Sekali lagi terima kasih, Pak.”

Kedua satpam itu mengangguk. Mereka tersenyum.

“Masih ada yang perlu kami bantu, Bu?” tanya satpam yang lebih kurus dan tua.

Rumi menggeleng. “Tidak, Pak.”

“Kalau begitu kami permisi, Bu.” Sopan satpam itu pamit diikuti satpam yang beristigfar.

Membiarkan bos mereka sementara, Rumi mengantar mereka ke depan pintu.

“Permisi, Bu,” pamit satpam yang lebih kurus dan tua itu sekali lagi.

“Assalamu'alaikum ...” Satpam yang beristigfar menambahkan.

Rumi mengangguk, lalu membalas salam. Dia berdiam sebentar sampai kedua satpam itu menghilang dari pandangan sebelum menutup pintu. ***

“Aku akan menginap,” ujar Prada sembari terpejam sekembali Rumi dari menaruh kotak P3K.

Rumi terdiam beberapa detik. Segelas air putih yang dibawa dari dapur masih menggantung di tangan. Dahinya berkerut.

“Di sini hanya ada satu kamar,” responnya kemudian sekaligus meletakkan gelas berisi air putih itu ke atas meja. “Lagipula Anda perlu ke rumah sakit.”

“Tunjukkan kamarmu.” Prada mengabaikan kalimatnya. “Aku akan tidur di sana.” Sebelum ada protes darinya, lelaki ini melanjutkan lagi. “Kamu tidur saja di sofa.”

“Anda harus ke rumah sakit.” Rumi balas mengabaikan celotehan bosnya ini. “Saya membawa Anda ke sini agar bisa melakukan pertolongan pertama saja.”

“Yang kubutuhkan itu tidur,” bantah Prada.

“Setidaknya Anda harus diperiksa.” Rumi tak mau kalah. “Mungkin tidak akan ada dokter yang mau datang kemari, tapi Anda orang kaya, 'kan? Keluarga Anda pasti punya dokter pribadi.”

“Aku hanya butuh tidur. Tunjukkan kamarmu!”

Rumi menghela napas. “Baiklah jika Anda memaksa. Anda bisa tidur di sini ... Di sofa.”

Pupil Prada melebar. “Aku ini bos sekaligus tamu, jadi kamu yang harus tidur di sofa.”

“Maaf bos yang terhormat, ini rumah—kontrakan—saya. Jika tidak terima Anda boleh pergi. Itupun kalau Anda mampu berjalan sendiri. Pintu keluar ada di sebelah sana.” Rumi menunjuk arah pintu keluar. “Itu kunci mobil Anda.” Gadis ini kemudian menunjuk ke atas meja. “Selamat malam.” 

Setelah mengucapkan itu dia pun masuk ke dalam kamar. Menutup pintu rapat-rapat dan menguncinya.

Terdengar makian dari luar, namun Rumi tidak peduli. Dia sudah cukup lelah bekerja. Cukup letih menghadapi Prada di tempat kerja. Tidak berminat menambah beban hidup dengan meladeni keegoisan lelaki itu di tempat tinggalnya juga.

Gadis ini menghempaskan pinggulnya ke atas kasur. Melepas blazer dan melemparnya ke sisi kiri sebelum melenturkan leher yang kaku. Inginnya segera berbaring dan tidur, tapi dia perlu mandi. Memanjakan diri dengan segarnya air dan wangi sabun.

Diambilnya handuk, piyama, dan perlengkapan lain untuk ganti. Lantas sedetik kemudian berdecak dan kembali duduk di atas kasur.

Hanya ada satu kamar mandi di sini, di dekat dapur. Berpikir akan melihat bosnya di ruang tengah membuat malas untuk bergerak. Tapi keinginan untuk membasuh badan sangat besar. Lagipula mandi diperlukan agar tidurnya lebih nyaman juga nyenyak.

Pelan Rumi berjingkat ke dekat pintu meninggalkan handuk dan piyama tergeletak di atas kasur. Telinganya ditempelkan ke daun pintu, mencoba mendengar suara dari luar.

Sunyi. Tidak terdengar suara makian atau sekedar gerakan pelan.

Sebuah cengiran terlihat di wajah gadis ini. Dia pikir lelaki itu sudah tertidur atau ... Panik, buru-buru diambilnya handuk dan baju mandi namun tidak mengurangi kewaspadaan.

Pelan dan hati-hati dibukanya pintu kamar. Kepalanya menyembul ke luar lebih dulu. Lehernya dipanjangkan, berharap bisa memastikan bosnya terbaring di sofa dengan mata yang terbuka. Sayang yang dapat dilihat hanya ujung kaki.

Rumi keluar kamar. Berjalan dengan kaki berjinjit agar tak mengeluarkan bunyi mendekati sofa. Dia harus melihat sendiri kalau bosnya itu hanya terlelap, bukan meninggal dunia.

Dia lega mendapati napas teratur dan mata tertutup Prada. Kali ini 100% yakin bosnya hanya tertidur saja. 

Tersenyum kecil, dia merasa tenang. Yakin lelaki ini tidak akan terbangun, dia melenggang santai ke kamar mandi sambil berdendang kecil. ***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status