Share

BAB 3 Pebinor Menyebalkan (2)

Prada membuka mata waktu pintu kamar mandi tertutup. Hembusan napas lelah terdengar. Sekujur tubuhnya sakit. Pasti ada bengkak membiru dimana-mana. Pukulan dua algojo tadi bukan main-main.

“Hidup ini indah...” Dahinya berkerut saat telinga menangkap suara Rumi menyanyikan lagu milik Glenn Fredly yang terdengar jelas dari kamar mandi. “Jika kau tahu ... Jalan mana yang benar...”

Dia mendengus geli. Dia yakin gadis itu tidak sadar kalau suaranya bisa membangunkan orang se-RT. Lalu sedetik kemudian meringis karena daerah perutnya sakit ketika mendengus.

“Harapan ada ... Harapan ada ... Jika kau percaya...”

Bunyi air mengalir jatuh ke lantai terdengar kemudian, menjadi musik latar nyanyian Rumi. Prada sedikit bergeser mencari posisi yang lebih nyaman. Telinganya tetap mendengarkan nyanyian managernya itu sembari memperhatikan langit-langit ruangan.

Rumi ... Gadis itu terlalu santai menanggapi kehadirannya di rumah ini. Seolah tidak menganggap bahwa dirinya seorang laki-laki. Tapi memang begitulah Rumi. Sedikitpun belum pernah telihat binar ketertarikan setiap melihatnya. Dan dia merasa terbantu akan itu.

Lima tahun menjalankan bisnis restoran tidak semudah yang dipikirkan. Selama itu dia sudah mengganti manajer sebanyak enam kali sampai akhirnya mempekerjakan Rumi. Sebagian mengundurkan diri karena tak tahan dengan kecerewetannya. Sebagian lagi dipecat sebab berusaha merayunya. Satu diantara semua malah menyebarkan gosip bahwa dia memiliki penyimpangan orientasi.

Merekrut Rumi sebagai manajer memberi kenyamanan tersendiri. Gadis itu selalu memberikan hasil terbaik dalam bekerja. Tahan banting dengan kecerewetannya. Tegas menyampaikan pendapat. Dia juga profesional. Meskipun secara pribadi terlihat sekali tidak menyukainya, tapi tetap mengerjakan tugas sesempurna mungkin. Bahkan tadi menyelamatkannya.

Prada menarik napas dalam, namun berhenti kemudian. Bagian dadanya sakit. Dia meringis kesekian kali.

Memegangi bagian yang sakit dia mengingat setiap pukulan yang diterima. Kata-kata bengis lelaki tua yang sudah merebut kekasihnya masih terngiang-ngiang. Tangisan Wina ... Emosinya meluap. Tanpa sadar tangannya sudah mencengkram dada.

Dua pesuruh itu dan bosnya ... Mereka telah membuat Wina menangis. Wajah cantik kekasihnya itu tertutup air mata kepedihan.

Wina ... Menyebut nama itu dalam hati menyebabkan nyeri sekaligus melembutkan perasaan, kemudian memunculkan rasa cemas. Dia tidak tahu keadaan Wina sekarang. Apa wanitanya akan disiksa lelaki tua itu?

Br*ngs*k! Kepalan tangannya memukul punggung sofa. Rasa sakit terlupakan. Memikirkan itu membuatnya ingin berlari menemui mereka dan merampas Wina pergi. Tetapi tubuhnya tidak bereaksi sama. Hanya karena tiba-tiba bangun untuk duduk, semua sendi seakan putus dan tulang seolah rontok. Terpaksa dengan susah payah dia berbaring kembali.

Dia menghela napas sebelum memejamkan mata. Sedikit menanggulangi rasa sakit, namun tidak akan pernah nyaman jika terus berbaring di sofa yang lebih pendek dari panjang tubuhnya. Berdecak pelan kembali dia membuka mata.

Sebelah tangannya berpegang pada punggung sofa. Sekali lagi---kali ini lebih hati-hati, dengan susah payah---dia duduk. Pelan dia memutar, melihat ke belakang di mana kamar berada. Senyum licik terlihat di wajahnya.

Dia melirik ke kamar mandi. Guyuran air masih terdengar meskipun nyanyian Rumi sudah terhenti sejak tadi. Gadis itu sepertinya belum akan selesai dalam beberapa menit ke depan. Kesempatan emas untuk menguasai kamar kosong.

Menahan rasa sakit dia menyeret langkah secepat mungkin menuju kamar. Merasa lega setelah memastikan pintu terkunci. Kemudian langsung merebahkan diri ke atas kasur. Memang tidak senyaman dan seluas kasur di rumahnya, tapi lebih baik daripada berbaring di sofa.

Setelah mendapatkan posisi ternyaman, dia memaksa diri untuk terlelap. Melepaskan lelah tubuh dan hati seharian ini. ***

Rumi duduk di kursi kecil khusus untuk di kamar mandi. Air yang keluar dari shower terus membasahi kepala dan punggung. Tangannya menggosok sela-sela kaki. Lupa kalau sudah 15 menit melakukan itu. Pikirannya melayang pada kejadian pengeroyokan bosnya satu jam lalu.

Sebenarnya dia bukan orang yang peduli dengan masalah orang lain. Apalagi harus sibuk mencari tahu urusan mereka. Tapi apa yang Prada alami mampu membuatnya tidak dapat berhenti berpikir 'mengapa'.

Mulai dari mengapa bosnya menyukai wanita yang lebih tua? Mengapa bosnya menjalin hubungan asmara dengan istri orang lain? Mengapa bisa ketahuan? Mengapa dia harus melihat kejadian itu? Mengapa dia masuk dalam masalah ini?

Kemudian diikuti pertanyaan yang diawali dengan 'bagaimana'. Bagaimana kalau penjahat itu menyerang kembali? Bagaimana kalau mereka mengingat wajahnya, lalu menjadikannya target baru? Hidupnya akan dalam bahaya!

Terbawa pikiran, tanpa sadar digosoknya permukaan kaki kuat-kuat. Rasa geram muncul tiba-tiba. Ini semua karena Prada.

Arggg ... Kuingin kau matiii~saja ... Kuingin kau matiii~saja...” Lagu milik Souljah ini diteriakkan sepenuh hati. Dia tidak berpikir lagi tentang tetangga yang mungkin terganggu mendengar nyanyian gila dini hari.

Puas mengekspresikan diri, Rumi memutuskan untuk menyudahi sesi ini. Terlebih kulitnya sudah mengkerut karena terlalu lama disiram air. Sekarang giliran kasur yang menari-nari dipikiran.

Sudah terbayang lembutnya bantal dan hangatnya selimut. Jadi setelah mengelap diri dan memakai piyama, dia keluar dari kamar mandi. Langkahnya ringan menuju kamar tanpa perlu menoleh ke sofa. Tapi ...

“Terkunci?” Dia bingung mendapati pintu kamar yang tidak bisa dibuka.

Sekali lagi dia mencoba mendorong pintu. Tetap tidak bisa. Berkali-kali pun mencoba hasilnya sama saja.

Setengah depresi dia melirik ke arah sofa ... Kosong! Bosnya tidak ada di sana. Grrr!

“Pak Pradana, buka pintunya.” Dia menggedor pintu kesal.

Senyap ... Tak ada respon dari dalam. “Pak Pradana!” Kembali menggedor. “Pak!”

Usaha sia-sia. Bosnya itu menulikan diri dari keributan yang dia buat.

"Pak Pradana, Anda tidak boleh begini. Ini rumah saya!" pantang menyerah dia masih berusaha.

Kamar ini miliknya. Haknya untuk tidur di dalam sana. Menikmati empuk kasur yang nyaman.

"Pak Pradana!" gedornya geram.

Tindakan yang lebih heboh daripada sebelumnya. Tidak memperdulikan lagi jika ada bapak-bapak yang sedang ronda mendengar kericuhan ini. Malah lebih baik. Dibantu bapak-bapak itu dia bisa mengusir Prada. Beruntung lagi jika mampu menyeret bosnya itu ke rumah sakit.

"Arggg!" memukul daun pintu sekali dengan sekuat tenaga diikuti hentakan kaki yang geram, akhirnya dia berjalan menuju sofa.

Duduk menyerah di sana. Matanya memandang tajam pintu yang tak bersalah. Selanjutnya mulut itu mengeluarkan sampah makian yang selama ini diketahui.

Arggg!” Bosnya itu sudah keterlaluan.

Tadi membuatnya susah; merepotkannya di luar jam kerja. Saat ini malah mengambil ruang pribadinya. Mungkin memang bukan seorang bos kalau tidak menyulitkan pegawai.

“Lihat saja, aku akan membuat perhitungan yang pantas.”

Dia sedikit melupakan kekesalan memikirkan rencana ini. Senyum kepuasan muncul di wajahnya. “Pegawai bekerja untuk dibayar—meskipun di luar jam kerja. Tapi ...”

Dia memandang tak rela pada sofa yang diduduki. Dia harus tidur di sini.

Arggg ...” Digigitnya handuk kuat-kuat. ***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status