Dua bulan telah berlalu sejak perkenalan Karel dengan Profesor Jansen dan orang-orangnya.
Kini ia sibuk beradu laga dengan Instruktur Lennon. Mengembalikan kebugaran tubuh dan membentuk ototnya.Instruktur Lennon meninggalkan arena latihan. Membiarkan Karel mengasah kemampuan bertarungnya seorang diri.Ia ikut duduk di samping Profesor Jansen, yang sedari tadi setia menonton Karel mengikuti sesi latihan."Pemuda malang itu benar-benar seperti pinang dibelah dua dengan putra Anda, Prof!" komentar Instruktur Lennon sambil menyeka peluh di lengannya dengan sehelai handuk kecil.Tatapannya tak lepas dari memandangi sosok Karel yang sedang berlatih bela diri tanpa mengenal lelah.Anak itu bahkan tak peduli dengan sebagian lukanya yang belum sembuh total."Ayo tinggalkan hutan sunyi ini dalam waktu tiga hari!"Sungguh percakapan dua arah dengan saluran yang berbeda."Kenapa mendadak sekali?" Instruktur Lennon mengernyit."Anak itu harus kembali ke bangku kuliah!""Apa?! Yang benar saja, Prof? Apa Anda menyerah untuk menyelamatkan nyawa putra Anda setelah bertemu dengan kembaran palsunya?"Instruktur Lennon tak percaya lelaki secerdas Profesor Jansen akan mengambil keputusan yang begitu gegabah."Sudah saatnya aku menerima takdir dengan ikhlas.""Apa maksud Anda, Prof?"Profesor Jansen mengerjap, menahan semburan air panas yang mendadak menggenangi mata tuanya."Sebagai dokter, aku sudah tahu anakku tak dapat lagi diselamatkan. Anakku ...." Profesor Jansen tergugu dengan bahu berguncang. "Dia ... sudah lama kembali pada Sang Pemilik jiwa."Instruktur Lennon ternganga. "Jadi ... penelitian ini—""Ya! Aku yang gila! Aku hanya tidak bisa menerima takdir dengan lapang dada," potong Profesor Jansen. "Aku mencoba menemukan terobosan untuk mengembalikan putraku, tapi bagaimana mungkin aku menghidupkan kembali seseorang yang sudah mati? Mustahil!"Allah telah menunjukkan kasih sayang-Nya padaku. Dia mengirimkan anak malang itu kepadaku. Maka, nikmat Tuhan yang mana lagi yang kudustakan?"Profesor Jansen bangkit. "Aku akan membereskan peralatan penelitianku."Instruktur Lennon mengejar Profesor Jansen. "Prof, Anda akan menggunakan identitas putra Anda untuk anak itu?""Ya! Bukankah nama mereka hampir sama persis? Dia Karel Jaffan, putraku memakai nama Karel J. pada kartu identitasnya."Tidak akan ada yang mempertanyakannya selama Anda serta yang lainnya bisa menutup mulut dengan rapat dan bersikap buta atas fakta yang sebenarnya.""Sungguh sebuah kebetulan yang berpihak pada Anda, Prof!""Ya! Bahkan, tanggal lahir mereka hanya selisih sehari."Profesor Jansen berbalik, tersenyum lebar pada sosok Karel yang baru saja mengempaskan pantat di atas tanah.Dalam mimpi sekalipun, ia tak pernah berpikir bahwa kekerasan hatinya untuk menyingkat nama putranya, demi menyembunyikan statusnya sebagai anak seorang profesor ternama, akan mendatangan suatu keuntungan besar suatu hari nanti."Aku akan bekerja keras untuk membimbingnya, agar pengetahuan medisnya tidak tertinggal dari putra kandungku."Instruktur Lennon ikut melempar pandang pada Karel. Anak itu telah tegak, melanjutkan sesi latihannya dengan sungguh-sungguh."Dia seorang pekerja keras. Dia juga memiliki kemampuan yang cepat dalam menyerap dan memahami instruksi. Aku yakin usaha Anda akan berhasil dengan gemilang, Prof!""Profesooor! Profesooor!"Jeritan Mark mencuri perhatian Profesor Jansen.Mark berlari ke arah Profesor Jansen sambil mengacungkan kantong plastik putih yang dipenuhi dengan dedaunan beserta sebatang anakan."Lihat! Dave dan aku berhasil menemukan tanaman langka ini, Prof!""Betul, Prof! Mark hampir saja jatuh ke sungai saat mengambil anaknya dari bibir tebing."Profesor Jansen menepuk pundak Mark dan Dave. "Kalian luar biasa! Tidak sia-sia aku membawa kalian bersamaku."Wajah Mark dan Dave semringah. Walau tubuh mereka dipenuhi luka akibat goresan duri dari tanaman yang mereka lewati, hasilnya sepadan dengan pujian yang mereka dapatkan dari Profesor Jansen."Ayo kumpulkan dan susun semua tanaman hasil temuan kalian! Kita akan meninggalkan tempat ini dalam waktu tiga hari.""Apa?! Petualangan kita berakhir, Prof?"Mark kaget. Ia sangat terobsesi dengan perburuan tanaman herbal, tapi kini Profesor Jansen mengajak mereka semua untuk pulang."Yaaah, padahal aku mulai jatuh cinta pada kemisteriusan hutan ini," keluh Dave, sama kecewanya dengan Mark."Dia harus melanjutkan hidup dan kembali ke kampus," tegas Profesor Jansen, melirik Karel yang masih sibuk berlatih bela diri."Karena dia?" Mark dan Dave kehabisan kata untuk mendebat Profesor Jansen.Di tengah area bersih yang tak begitu luas, Karel seperti orang kesetanan memukuli Mok Yan Jong.Pukulan demi pukulan seakan merupakan pelampiasan dari kemarahannya yang terpendam.Semakin jelas bayang wajah Tuan De Groot bercokol pada puncak Mok Yan Jong itu, bertambah besar pula tenaga yang ia kerahkan pada pukulannya."Hiyaaa!"Tanpa diduga, seseorang menyergap Karel dari belakang.Bugh!"Aaakh!"Karel menggaruk kepalanya setelah sang penyergap mendarat di tanah. Rasa bersalah menggulung jiwanya melihat Dave terkapar."Maaf! Aku tidak tahu itu kau." Ka
"Aku berubah pikiran, Mark!" tegas Profesor Jansen. "Karel harus mempersiapkan masa depannya. Ben juga membutuhkan pemeriksaan kesehatan lebih lanjut."Semua mata tertuju pada kaki Ben. Lelaki berusia dua puluh delapan tahun itu mendapatkan cedera yang lumayan parah saat berhadapan dengan beruang demi menyelamatkan Dave. Jalannya sekarang sedikit pincang.Karel mendekati Ben, meremas pundaknya dengan hangat. "Aku tidak akan melupakan pengorbananmu, Ben. Kalau bukan karena Dave dan Mark ingin menyelamatkan nyawaku, kau tidak akan menjadi cacat."Utang emas bisa diganti, tapi utang budi dibawa mati. Seumur hidup ia berutang nyawa pada murid Profesor Jansen dan Instruktur Lennon.Karel telah membuat dan menyimpan catatan khusus dalam hatinya. Enam orang pria yang saat ini bersamanya adalah orang-orang penting yang akan menjadi prioritas hidupnya kelak.Tak peduli sesibuk apa pun dia setelah sukses nanti, dia akan selalu meluangkan waktu jika ada di antara mereka yang membutuhkan bantuanny
"Tempat apa ini, Ayah?"Karel mengedarkan pandangan, menyapu setiap sudut ruang bawah tanah kediaman Profesor Jansen dengan rasa ingin tahu tingkat dewa."Ini laboratorium pribadiku. Tempat di mana aku melakukan berbagai penelitian rahasia dan mengembangkan penemuan baru.""Pasti membutuhkan biaya yang tidak sedikit.""Memang, tapi hasilnya sebanding dengan keuntungan dan kepuasan yang akan kau dapatkan jika penelitianmu berhasil."Profesor Jansen terus menggiring Karel ke sudut yang lain. Memasuki sebuah ruangan yang lebih kecil.Begitu Profesor Jansen menekan tombol remot di genggamannya, tirai yang menggantung di tengah ruangan terangkat. Tampak sebuah peti kaca.Sesosok tubuh terbaring kaku di dalam kotak kaca itu. Berselimutkan gumpalan kabut putih.Bagai ditarik oleh sebuah magnet berkekuatan besar, kaki Karel bergerak maju.Ia mengucek mata berulang kali setelah melihat rupa sosok yang terbujur kaku itu."A–Ayah, s–siapa dia? K–kenapa d–dia sangat mirip denganku?"Kerongkongan
Pasak bumi kokoh menjulang di kejauhan. Memamerkan puncak runcing yang mulai berselimut kabut musim semi.Terik mentari perlahan kehilangan kegarangannya seiring dengan jarak senja yang kian mendekat.Tok! Tok!Pintu kamar Karel diketuk hati-hati, seakan si pengetuk merasa takut suara ketukannya akan mengganggu sang penghuni kamar."Masuk!"Karel berteriak tanpa mengalihkan pandangan dari keyboard macbook, di mana jemarinya masih terbuai dengan tarian sibuk.Pintu kamar itu tak dikunci. Seorang lelaki berusia awal tiga puluhan melangkah masuk. Ia langsung duduk di atas sofa yang berada di sisi kiri Karel. Meletakkan berkas yang dibawanya di atas meja."Kepulanganmu membuatku terlihat buruk," keluh lelaki itu, menyilangkan kaki sembari bersandar, seakan-akan pundaknya berisi beban berat.Karel menjauhkan tangannya dari keyboard. "Aku tahu kau sangat sibuk. Aku tidak ingin mengganggumu.""Cih, seperti orang lain saja!" Lelaki itu menurunkan kakinya, duduk lurus. "Karel, tak peduli hujan
Di pengujung senja yang bertabur gerimis, Xela pulang dari menikmati liburan bersama teman-temannya. Merayakan kelulusan sekaligus bersiap menyambut status baru sebagai mahasiswa."Anak kurang ajar!" umpat Tuan De Groot, menyeret dengan kasar lengan Xela begitu gadis itu menginjakkan kaki di ruang tamu."Akh! Ayah, sakit!""Kau pantas mendapatkan siksa yang lebih pedih dari ini! Kau mencoreng wajahku!"Plak!Tamparan Tuan De Groot meninggalkan cap lima jari pada pipi Xela yang berkulit cerah, juga jejak luka pada hatinya yang berdenyut perih."A–apa salahku, Ayah? Kenapa Ayah menamparku?""Kau! Masih tidak mengetahui kesalahanmu, hah?!" Tuan De Groot melotot geram. "Aku mengizinkanmu pergi dengan teman-temanmu untuk menikmati liburan, tapi apa yang kau lakukan, hah?! Kau menikah dengan laki-laki tak berguna!"Xela merasakan suhu di ruangan itu turun ke titik minus. Membuat tubuhnya menggigil dan aliran darahnya membeku. Lidahnya mendadak kelu.Tuan De Groot terus menyeret Xela. Mening
"Tuan, ada mobil yang mengikuti kita dari tadi," lapor sopir yang mengendarai kendaraan milik Tuan De Groot.Sorot matanya beriak cemas, melirik spion samping berulang kali."Kau pikir ini jalan pribadiku?" sentak Tuan De Groot, merasa kesal lantaran niatnya untuk memejamkan mata terganggu."Tapi ini mencurigakan, Tuan. Saya telah mengedipkan lampu dan menepi agar mereka bisa mendahului, tapi mereka justru memperlambat setelah berhasil menyejajari kendaraan kita.""John, kau berpikir terlalu jauh. Apa ini untuk pertama kalinya kau menempuh perjalanan jarak jauh?"Sebagai sopir, bukankah seharusnya kau tahu bahwa lebih baik mengurangi kecepatan daripada mengambil risiko beradu kambing dengan lawan dari arah depan?"Sudahlah! Berkendara saja dengan baik! Jangan ganggu aku! Aku ingin istirahat!"Ckiiit!John membanting setir ke kiri dan menginjak pedal rem dengan kuat."John! Kau ingin mati, hah?!"Tuan De Groot meledak. Baru saja ia berpesan pada sang sopir untuk membiarkannya beristira
"Akh! Sial! Tangkap wanita itu! Jangan biarkan dia lolos!" lolong lelaki bergigi tonggos setelah Xela berhasil menggigit lengannya.Xela mencopot sepatu berhak tinggi yang dikenakannya, lalu berlari dengan kecepatan penuh."Terus lari, Xela! Jangan pedulikan aku!" teriak Tuan De Groot, menyemangati putrinya.Dua anak buah lelaki bergigi tonggos memenjarakan dirinya dalam cengkeraman erat mereka.Xela terus berlari menembus malam, menyelamatkan diri dari kejaran lelaki bergigi tonggos dan dua orang anak buahnya.Dugh!Sebuah sepatu menghantam belakang lutut Xela, membuatnya jatuh tersungkur mencium tanah."Hahaha ... mau lari ke mana lagi, Nona?"Xela tak akan membiarkan para pemburu nafsu itu mendapatkan apa yang mereka inginkan dari dirinya.Sambil meringis menahan perih pada wajahnya yang tergores permukaan jalan, Xela kembali bangkit. Berlari dengan tertatih-tatih."Tolooong!"Ckiit!Sebuah motor besar yang melintas menginjak rem, sejengkal sebelum menabrak Xela.Merasa mendapat per
Karel menarik lepas tanda bekas luka yang menempel pada wajah dan punggung tangannya.Ia merendam benda yang terlihat seperti karet itu dalam cairan khusus, kemudian membersihkan wajahnya dari sisa-sisa polesan make-up."Kau keren, Bro! Dulu, aku tidak mengerti kenapa seorang mahasiswa kedokteran mengikuti kursus olah vokal dan program kecantikan."Ck! Ternyata kau menyiapkan senjata untuk balas dendam dari jauh-jauh hari."Kevin setia menunggu Karel menyelesaikan aktivitasnya sambil terus memperhatikan setiap detail gerakan tangan Karel.Apa memang gerakan tangan seorang dokter seluwes itu? Bahkan, saat menyapu wajah dengan perlengkapan kosmetik pun tampak sangat ahli dan lincah."Kevin, sukses itu tidak turun dari langit dalam hitungan hari. Kalau punya tujuan di masa depan, kau harus merintis jalan dengan mempersiapkan rencana yang matang."Aku butuh waktu bertahun-tahun untuk dapat menguasai keterampilan make over dan mengubah suara. Aku tidak ingin bekerja dengan setengah-setenga