LOGIN“Papa.”
Suara si kecil Nabila langsung terdengar ketika Kalandra memasuki ruang rawat inap di mana anaknya berada. Ruang kelas dua ini dihuni oleh empat pasien dan semua bed sudah terisi. Kalandra mendekati ranjang putrinya kemudian mendudukkan diri di samping ranjang. Sebelumnya dia mencium dulu kening anaknya. “Mama mana, sayang?” Hanya gelengan kepala yang diberikan Nabila. Kalandra meraih tangan kecil putrinya. Hatinya miris melihat jarum suntik yang menancap di kedua lengan anaknya. Satu jarum infusan dan satu lag jarum trasfusi darah. Diraihnya tangan Nabila kemudian mengecup punggung tangannya. “Pa, kapan Nabil pulang?” “Nanti kalau Nabil sudah sembuh. Nabil yang sabar ya.” “Nabil kangen sama Puput.” Puput adalah teman main Nabila. Rumahnya hanya berjarak tiga rumah saja dari kediaman Kalandra. Hampir setiap hari Puput juga menanyakan tentang Nabila. “Puput juga kangen sama Nabil. Kalau keadaan Nabil sudah sehat, Nabil bisa pulang dan bermain dengan Puput lagi.” Sebuah senyuman terbit di wajah Nabila. Senyuman penuh harapan kalau dirinya akan secepatnya sembuh dan pulang ke rumah. Bermain bersama temannya lagi. Perbincangan keduanya terhenti ketika dokter yang menangani Nabila masuk bersama dengan seorang perawat mendekati ranjang Nabila. “Halo sayang, bagaimana keadaannya?” sapa dokter Natasha ramah. “Baik, dokter.” Dokter wanita itu memeriksa dulu keadaan Nabila. Kemudian dia melihat catatan medis yang dibawa oleh sang suster. “Teruskan pemberian Hidroksiurea untuknya.” “Baik, dokter.” Selesai memeriksa Nabila, dokter Natasha segera meninggalkan ruangan. Dengan cepat Kalandra menyusul keluar. “Dokter, sampai kapan Nabil harus dirawat?” “Sejauh ini terapi oksigen, cairan dan terapi sel punca berjalan baik. Kita lihat setelah dua kali terapi lagi. Jika kondisinya semakin membaik, dia bisa pulang ke rumah.” “Terima kasih, dokter.” Kelegaan nampak di wajah Kalandra mendengar kondisi anaknya yang semakin membaik. Rasa letihnya bekerja membanting tulang demi kesembuhan sang putri seolah menghilang begitu saja. Pria itu segera kembali ke ruangan untuk menemani anaknya. “Nabil mau makan buah?” “Tadi udah makan puding disuapin Mama.” “Mas.” Kepala Kalandra menoleh ketika mendengar suara sang istri. Pria itu merangkul bahu Alya. Membawanya ke dekat Nabila. “Dokter Natasha sudah ke sini?” “Sudah. Dokter bilang, Nabil harus menjalani dua kali terapi lagi. Kalau kondisinya stabil, sudah boleh pulang.” “Alhamdulillah. Nabil yang semangat ya, sayang. Sebentar lagi Nabil bisa pulang ke rumah.” “Iya, Ma.” “Mas, bisa kita bicara di luar.” Wajah Alya nampak serius ketika mengatakan itu. Pria itu melihat sebentar pada putrinya, seolah tengah meminta ijin, baru kemudian mengikuti langkah Alya. Istrinya itu terus berjalan menuju sudut yang sepi kemudian berhenti. “Mas, dari mana Mas dapat uang untuk pengobatan Nabil.” “Kamu tahu pekerjaan ku, sayang.” “Aku tahu kalau sudah lima hari ini Mas selalu mendepositokan uang sebesar dua juta. Dari mana mas dapat uang itu?” “Aku hanya membantu Bang Heri mengantarkan paket.” “Paket apa, Mas? Narkoba?” Alya mengecilkan suaranya di akhir kalimat sambil menengok ke sekelilingnya. Memastikan tidak ada orang yang mendengar percakapannya. “Mas tidak tahu apa paketnya. Mas tidak pernah membukanya.” “Bohong! Ngga mungkin Mas ngga tahu isi paketnya. Ngga mungkin Mas dibayar mahal hanya untuk mengantar paket. Pasti narkoba kan?” desak Alya. Tak bisa mengelak lagi, Kalandra menganggukkan kepalanya pelan. Walau sudah bisa menebak, namun tak ayal wanita itu terkejut juga. Dia memegangi keningnya sambil berjalan mondar-mandir. “Kamu tenang aja, sayang. Semuanya aman.” “Aman? Apa Mas sadar barang apa itu? Bagaimana bisa Mas dengan entengnya mengatakan aman. Bagaimana kalau sampai tertangkap polisi? Bagaimana kalau Mas sampai di penjara? Apa yang akan terjadi pada Nabil, Mas?” “Sayang, kamu tenang dulu. Pekerjaan ku sejauh ini aman. Kamu tidak perlu khawatir.” “Aku mau Mas berhenti.” “Maaf, sayang. Untuk saat ini aku ngga bisa. Kamu tahu sendiri berapa biaya yang dibutuhkan untuk perawatan Nabil setiap harinya. Ditambah sudah dua kali dia harus mendapatkan sel terapi punca. Dan dokter akan menambah terapi dua kali lagi. Sebelum terpai punca, kita harus mengeluarkan uang satu juta lebih setiap harinya. Ditambah dengan terapi sel punca, bisa sampai empat juta. Dari mana uangnya kalau aku tidak mengambil pekerjaan ini.” “Tapi itu terlalu beresiko, Mas.” “Aku janji, aku akan berhati-hati dan setelah Nabil keluar rumah sakit, aku akan berhenti.” “Berhenti sekarang, Mas.” “Ngga bisa, sayang. Perawatan Nabil masih dua kali lagi. Tolong mengertilah.” Alya hanya diam memandangi suaminya. Kemudian dia meninggalkan Kalandra begitu saja. Memang benar kalau mereka membutuhkan banyak uang. Tapi dengan Kalandra melakukan pekerjaan haram dan berbahaya, tentu saja membuat wanita itu tidak tenang. “Sayang, tunggu.” Kalandra bergegas mengejar Alya. Namun langkahnya terhenti ketika merasakan getaran ponselnya. Dengan cepat pria itu mengambil ponsel di saku celananya. Sebuah pesan dari Heri masuk. [Dua paket lagi harus dikirimkan sekarang. Aku tunggu di rumah ku.] [Oke.] Setelah membalas pesan dari Heri, dengan langkah panjang Kalandra kembali ke ruang rawat anaknya. “Nabil sayang, Papa kerja dulu ya. Nanti Papa ke sini lagi.” “Iya, Pa.” “Mas..” “Aku pergi, sayang. Doakan aku.” Sebuah kecupan diberikan Kalandra di puncak kepala istrinya. kemudian pria itu bergegas meninggalkan ruang rawat inap tersebut. Semakin cepat dia mengantarkan paket, maka semakin cepat dia mendapatkan bayaran. *** Kalandra menghentikan motornya di dekat sebuah taman. Di sinilah dia akan bertemu dengan penerima paket. Heri mengatakan kalau pelanggannya menunggu di dekat Taman Maluku. Kondisi taman ini memang sangat sepi di malam hari. Mata Kalandra memandang sekeliling, mencoba mencari mobil yang dimaksud. Lima menit berselang nampak sebuah mobil sport pabrikan ternama mendekati taman kemudian berhenti tak jauh dari motor Kalandra. Pria itu turun dari motornya kemudian mendekati mobil tersebut. TOK TOK TOK Kalandra mengetuk kaca mobil. Perlahan kaca mobil turun sedikit. “Masuk!” Tepat ketika pria itu berbicara, kaca kembali menutup. Kalandra membuka pintu mobil lalu masuk ke dalamnya. Tanpa banyak bicara Kalandra langsung memberikan paket pada pria di sebelahnya. Sang pria memberikan amplop coklat yang cukup tebal pada Kalandra. Setelah memasukkan amplop ke saku dalam jaketnya, Kalandra segera keluar dari mobil. Hanya tersisa satu paket lagi yang harus diantarkan. Pria itu melajukan motornya menuju daerah Sukajadi. Kendaraan roda dua Kalandra terus berjalan menembus udara dingin malam. Dia berbelok memasuki jalan Hegarmanah. Hanya tinggal dua ratus meter lagi pria itu akan sampai ke tujuan. Kalandra menghentikan motornya ketika melihat beberapa mobil polisi terparkir di pelataran gedung apartemen. Petugas polisi pun nampak hilir mudik di depan lobi. Beberapa juga ada di trotoar dekat pintu masuk apartemen. Seketika nyali Kalandra menjadi ciut melihat banyak polisi. Apalagi sekarang dia tengah memegang barang haram. Jantung Kalandra berdetak kencang ketika seorang petugas polisi melihat padanya lalu berjalan mendekatinya.“Papa.” Suara si kecil Nabila langsung terdengar ketika Kalandra memasuki ruang rawat inap di mana anaknya berada. Ruang kelas dua ini dihuni oleh empat pasien dan semua bed sudah terisi. Kalandra mendekati ranjang putrinya kemudian mendudukkan diri di samping ranjang. Sebelumnya dia mencium dulu kening anaknya. “Mama mana, sayang?” Hanya gelengan kepala yang diberikan Nabila. Kalandra meraih tangan kecil putrinya. Hatinya miris melihat jarum suntik yang menancap di kedua lengan anaknya. Satu jarum infusan dan satu lag jarum trasfusi darah. Diraihnya tangan Nabila kemudian mengecup punggung tangannya. “Pa, kapan Nabil pulang?” “Nanti kalau Nabil sudah sembuh. Nabil yang sabar ya.” “Nabil kangen sama Puput.” Puput adalah teman main Nabila. Rumahnya hanya berjarak tiga rumah saja dari kediaman Kalandra. Hampir setiap hari Puput juga menanyakan tentang Nabila. “Puput juga kangen sama Nabil. Kalau keadaan Nabil sudah sehat, Nabil bisa pulang dan bermain dengan Puput lagi.” Sebuah
Di halaman belakang rumah mewah dan megah ini, nampak beberapa orang berkumpul bersama. Rupanya Chiko tengah mengadakan pesta di kediamannya. Kembali Kalandra dibuat tak nyaman melihat orang-orang yang hanya mengenakan pakaian minim. Para wanita mengenakan bikini, sementara para pria mengenakan segitiga pengaman saja. Untuk sesaat Kalandra hanya bertahan di tempatnya. Dia tidak tauhu bagaimana rupa Chiko. Orang-orang yang ada di halaman belakang sibuk dengan urusannya masing-masing. Mata Kalandra mencari orang yang bisa ditanya olehnya. Pria itu segera menyingkir ketika dua orang yang tak jauh darinya tengah asik beradu bibir. Bunyi decapan mereka bahkan sampai terdengar ke telinganya. Beruntung ada seorang pelayan melintas di depannya. “Maaf, kalau Pak Chiko di mana?” Pelayan pria itu mengedarkan pandangannya sejenak. Kemudian tangannya menunjuk sebuah kursi santai di mana terdapat sepasang pria dan wanita tengah bercumbu. Kalandra menarik nafas panjang sebelum mendekati kur
GUK! GUK! GUK! Kalandra meloncat ke belakang ketika seekor anjing yang menyambut kedatangannya. Tak lama kemudian seorang pria mengenakan pakaian security bergegas mendekat. “Cari siapa, Mas?” tanyanya dari balik pagar. “Mau antar paket buat Bu Dini, Pak.” “Masuk aja, Mas.” Pria itu segera membukakan pintu gerbang. “Motor saya aman di taruh di sana, Pak?” “Aman. Cepat masuk.” Kalandra berjalan cepat melintasi pekarangan rumah yang lumayan luas. Anjing yang tadi menyambutnya sudah dibawa kembali ke kandangnya. Sesampainya di depan pintu rumah, seorang asisten rumah tangga membukakan pintu untuknya. “Silakan masuk, Mas.” “Bu Dini nya mana?” “Mbak Dini di kamarnya. Mas disuruh langsung ke kamarnya aja.” “Hah? Ngga enak, Bi. Mbak Dini nya suruh keluar aja.” “Ngga apa-apa, Mas. Ngga ada siapa-siapa di rumah ini. Mas langsung naik aja ke lantai dua. Kamarnya yang dekat tangga.” Dengan perasaan kikuk, Kalandra menaiki anak tangga. Langkahnya terasa begitu berat
“Kamu siapa?” Sebuah suara lembut menyapa indra pendengaran Kalandra. Pria itu memberanikan diri melihat pada wanita di depannya. “Paket untuk Vicko.” “Sayang.. ada paket untuk mu!” teriak wanita itu sambil melihat ke arah dalam. “Ambil aja, sayang!” terdengar jawaban dari dalam. “Sudah dibayar, Mas?” “Sudah.” Kalandra menyerahkan dus kecil di tangannya. Sepertinya wanita itu tidak tahu kalau paket yang dipesan kekasihnya berisi barang haram. “Terima kasih,” ucap wanita itu seraya melemparkan senyum manis. “Sama-sama.” Kalandra bergegas meninggalkan kamar tersebut. Dia tidak nyaman melihat wanita yang menyambut kedatangannya. Sebagai pria normal, melihat penampilan wanita tadi sunggguh menggoda iman. Usai mengantarkan paket kedua, Kalandra bermaksud kembali dulu ke rumahnya. Dia ingin beristirahat sejenak. Membantu Herlambang tadi cukup menguras tenaganya. Kendaraan roda dua milik Kalandra berbelok memasuki sebuah gang kecil yang tepat berada di samping rumah sakit tempat
“Kamu tidak perlu tahu apa paketnya, yang penting bayarannya besar. Kalau sehari kamu bisa antar empat paket, kamu akan dapat dua juta. Gimana? Tertarik?” Sejenak Kalandra berpikir. Hanya mengantar empat paket, dia mendapat bayaran besar. Tidak butuh otak pintar baginya untuk menebak apa isi paket tersebut. “Kalau kamu bersedia, kamu bisa mengambil jatah ku hari ini. Besok aku akan mencoba mencari slot untuk mu. Gimana?” Ada keraguan dalam benak Kalandra. Uang yang ditawarkan sepadan dengan resiko yang ditanggung. Namun saat ini dirinya juga dalam keadaan terdesak. “Tapi aman kan?” “Aman. Kita mengantarkan ke alamat pemesannya langsung. Bentuknya juga seperti paket biasa, jadi ngga akan ada yang curiga.” “Oke, aku mau.” Walau resikonya sangat besar, namun akhirnya Kalandra memutuskan untuk mengambil pekerjaan tersebut. Jumlah bayarannya yang menjadi bahan pertimbangan. “Kirim paketnya mulai dari siang, satu-satu. Kamu narik aja dulu. Nanti aku kabarin kalau paketnya sudah si
Kalandra berlari mengikuti brankar yang membawa tubuh putrinya. Sang anak segera dilarikan ke IGD rumah sakit ketika mengalami kesulitan bernafas. Alya, sang istri terus saja menangis melihat kondisi anaknya. Mereka dilarang masuk lebih jauh ketika brankar memasuki ruang tindakan. Dari balik kaca pintu, keduanya memandangi dokter yang tengah menangani Nabila. “Mas.. Bila akan baik-baik aja kan?” tanya Alya di tengah isaknya. “Sabar, sayang. Kita berdoa aja.” Sambil terus memeluk bahu istrinya, mata KalanNdra menatap ke ruang tindakan. Nampak dokter tengah memasangkan alat bantu pernafasan pada Nabila. Hatinya merasa tercabik-cabik melihat kondisi putrinya yang baru berusia empat tahun harus berjibaku dengan alat medis. Kalandra, pria berusia 29 tahun itu menikah dengan Alya yang berbeda dua tahun darinya, lima tahun yang lalu. Merasa sudah mapan setelah mendapatkan pekerjaan usai lulus kuliah, Kalandra yang waktu itu berusia 24 tahun menikahi Alya yang baru menyelesaikan kuliah







