"Nis, jangan terlalu gak peduli gitu. Tante Rini bilang, kalau Prana sudah pulang dari tugasnya, akan segera melamarmu dan langsung akan menentukan tanggal pernikahannya."Ganis meloncat dari tempat duduknya, tanpa sadar matanya melotot pada ibunya."Ibu ... Ini namanya pemaksaan! Ganis gak suka dengan cara ibu seperti ini." katanya bernada tinggi. Dengan air mata yang sudah mengambang di pelupuk mata. Ini klimaks dari kekesalannya selama ini, yang ia sudah merasa disabar-sabarkan."Bukan Ibu yang menentukan, Nduk. Tapi eyang yang sudah memutuskannya. 'Jangan dilama-lamain, mumpung eyang masih sehat,' katanya begitu. Jadi, eyang bisa menyaksikan cucunya menikah. Nanti saat lamaran, mereka akan datang ke sini." Dengan wajah melas, Naning berusaha meredakan rasa marah anak gadisnya. Tangannya masih sibuk melipat baju yang baru diangkat tadi, dari jemuran.Tubuh Ganis kembali dihempaskan ke kursi yang tadi diduduki. Wajahnya masih berurai air mata yang belum sempat dihapus. Terbayang tu
Sudah tiba di acara pernikahan, tidak terdengar lagi protes dari mulut Ganis.Sepertinya Ganis sudah pasrah menerima nasib harus menikah muda, dengan lelaki yang belum begitu dikenalnya. Karena sesudah lamaran pun, Prana tidak pernah menghubungi. Juga, tidak menemui ia secara pribadi.Hanya tante Rini yang sibuk mengatur semua, ibunya hanya tinggal mengiyakan saja.Acara diadakan sederhana tanpa resepsi. Dihadiri hanya oleh beberapa kerabat terdekat. Tidak ada sahabat dari ganis maupun pihak Prana yang hadir untuk menyaksikan pernikahan mereka.Ganis terlihat cantik dengan balutan kebaya pengantin berwarna putih dan Prana terlihat gagah dengan jas tuxedo wedding. Senada dengan warna baju pengantin wanitanya. Kemarin saat melaksanakan pernikahan militer, Ganis juga melihat pakaian dinasnya secara lengkap. Tidak bisa dipungkiri, bahwa laki-laki yang jadi suaminya itu sangat tampan dan penuh kharisma. 'Kharisma gunung es.' batinnya.Herannya, selama prosesi pernikahan militer, sampai p
Ya, ampun. Ia malu, sangat malu. Sepanjang melakukan mandi, Ganis meracau dengan kata 'malu'.Setelah selesai, Ganis baru mengingat kalau bathrobe dan baju tidur masih tersimpan di atas tempat tidur. Lalu ia melihat seputar kamar mandi yang sama mewah dengan ruangan kamar tidur. Ia melihat handuk bertumpuk dengan lipatan yang rapi.Tiba-tiba Ganis mendengar ketukan di pintu kamar mandi. "Aku akan memberikan baju gantimu." mendengar itu, Ganis langsung berada di balik pintu. Segera membuka dan melihat baju ganti di ulurkan oleh Prana. Ganis cepat-cepat mengambilnya. Ia kembali mengatakan 'terima kasih' untuk kedua kali. Ah, ternyata dia mengerti juga tentang kesulitan dirinya. Tanpa di minta pun, memberikan pakaian dan jubah mandi itu.Saat ia keluar dari kamar mandi, Ganis melihat Prana sedang duduk di sofa dengan mengenakan piama. Handuk masih bergelung di atas kepala Ganis, karena baru keramas. Mencoba tenang dan cuek, Ganis berusaha tidak terlalu terintimidasi dengan sikap diam
Tidak seperti bayangan Ganis semula, ternyata ia dapat menikmati kebersamaan dengan Prana. Sudah ada kemajuan, seakan dia telah berusaha keras agar sikap kakunya tidak begitu kentara.Mungkin, Ganis yang harus sedikit membuka diri. Tidak ikut membalas dengan sikap yang sama.Ia mulai melihat Prana tersenyum, saat mereka bergandengan tangan menyusuri tepian pantai."Aku ingin berenang." teriak Ganis, melepaskan genggaman tangan suaminya. Berlari lebih jauh menuju riak ombak, yang sebentar lagi akan berubah jadi gulungan air yang besar. Membuat Prana kembali berlari mengejar, berusaha meraih tubuh Ganis yang sudah basah dan mendekapnya secara posesif."Aku bisa berenang." teriak Ganis. Suaranya hampir tenggelam karena bersaing dengan suara ombak yang sudah mendekat, akan menyapu tubuh mereka tanpa ampun."Jangan main-main, Nis. Di sini terkenal dengan ombak ganasnya. Aku tidak mau pengantinku terseret ombak." Prana berusaha memperingati.Ganis malah menarik tangannya dan jatuh secara b
Lamunan masa lalu Ganis seketika buyar, akibat ada sesuatu yang dirasakan di bagian perut. Ia meringis, tapi berusaha ditahan.Perasaan, di kafe tadi ia tidak menyantap makanan yang akan membuat asam lambungnya naik. 'Jadi kenapa, ya?' batinnya.Ia melirik Felix yang semenjak dari kafe diam saja. Apakah mengira Ganis tertidur? Karena ia selalu memejamkan mata, terlalu larut dalam kenangan masa lalunya.Apakah Ganis sedang datang bulan dan penyakit haidnya kambuh lagi? Akan tetapi, sejak ia melahirkan penyakit ini tidak pernah dirasakan lagi. Rasa sakit itu semakin menusuk-nusuk sekitar perutnya, hingga wajahnya memucat. Beruntung Felix sudah sampai di parkiran kantor, melirik padanya."Nis, kenapa? Kok keringatan begitu, wajah kamu juga pucat sekali?" Ganis sudah tidak bisa menjawab, rasa mencucuk di perutnya sudah tidak bisa ditahan lagi. Walaupun tidak begitu sering, tetapi rasa sakit saat haidnya itu kadang muncul juga. Terutama bila ia sedang mengalami stres karena banyak pikira
"Mami, napa malem cekali puangnya." rengek Gagah, saat ia baru sampai di teras rumah. Bocah cilik itu sudah menunggunya. Ganis berjongkok, mengimbangi tinggi tubuh Gagah. "Iya sayang, Mami lagi banyak kerjaan di kantor. Kenapa Gagah ada di luar, menunggu Mami, ya?" Tangan Ganis terulur mengelus pipinya dengan penuh rasa sayang. Gagah langsung memeluk leher ibunya. "Gagah bocan, nunggu Mami puang." Tubuh bocah kecil itu segera diangkat, meletakkan bokong gempalnya di pinggang, lalu melangkah masuk ke dalam rumah. "Sayang, sudah makan sama eyang, kan?" tanya Ganis. Duduk di ruang tamu menaruh tas di meja. "Udah, Mami." Anak itu menatap maminya."Mami cape, ya?" "Rasa capek Mami ilang kalau sudah liat Gagah cakep begini." Ya! Siapapun yang melihatnya, bila mengenal Prana tentu tidak akan menyangsikan, siapa ayahnya. Wajah Prana tergambar jelas di raut muka Gagah.Dengan penuh sayang, Gagah menciumi maminya. Dari pipi, kening, hidung hingga bibir. Ganis tertawa melihat bibir Gagah y
"Mami … Cini! Temenin Gagah." ajak Gagah, di tengah-tengah bola berwarna-warni. Mereka melanjutkan bermain, selepas dari kolam renang. Ke sebuah tempat bermain anak-anak, di mall yang pernah mereka kunjungi waktu itu.Meski lelah, tapi akhirnya Ganis turun juga. Mengikuti pergerakan anaknya yang tidak pernah bisa diam."Gagah udahan, yuk? Kita makan dulu. Mami udah laper nih." bujuk Ganis."Bental lagi Mami, Gagah macih mau main." teriaknya, masih belum beranjak dari mandi bola."Gagah udah berenang, udah perosotan, lagi mandi bola juga, udah capek. Makan dulu, yuk!" bujuk Ganis lagi."Ah, Mami ... Gagah belum lapel." Gagah malah berlari menjauh."Kalau lagi main pasti gak kerasa laper, maunya main terus." Ganis menghampiri tubuh anaknya, tetapi bocah itu malah berlari lagi sambil tertawa. Banyak anak-anak lain sedang bermain bersamanya."Di cini banyak temen, di lumah hanya cendilian mainnya." Cemberutnya, saat tubuh kecilnya berhasil diambil oleh Ganis."Tapi kalau Mami libur, kan
Sepanjang perjalanan sampai ke rumah, Gagah masih tertidur. Sesudah meletakan tubuh anaknya di tempat tidur, Ganis memperkenalkan Mila pada Naning."Bu, ini Mila yang pernah Ganis ceritakan. Yang memasukan kerja ke perusahaan itu lo, Bu." "Oh, iya. Terima kasih sudah membantu Ganis, ya, Nak Mila." kata Naning sambil bersalaman."Ganis memang terbaik saat di kelas, Bu. Jadi, saat ada perusahaan mencari orang saya keingetan sama Ganis." jawab Mila, tersenyum ramah."Yah, dua tahun terakhir kuliah memang Ganis sepertinya tidak banyak berteman. Tidak ada lagi teman yang diajak ke rumah.""Ganis terlalu fokus sama kuliah, Bu. Tapi bukan temen yang sombong juga kok. Hanya sedikit membatasi diri, mungkin karena keadaan saat itu." bela Mila, sangat pengertian.Ibunya mengangguk. "Silahkan dilanjut ngobrolnya, ibu mau istirahat dulu sebentar mumpung Gagah tertidur." ijin ibu Naning, masuk ke kamar.Mereka duduk di ruang tamu yang sekaligus ruang keluarga. Rumah kontrakan itu tidak begitu be