Share

Bab 3 Direktur Utama Itu ....

Ganis tidak begitu memikirkan kata-kata Mila soal Direktur Utama itu. Baginya yang penting, ia bekerja dengan sangat baik. Bisa menuangkan ide kreatifnya, sesuai dengan yang diinginkan oleh kliennya.

Sudah beberapa kali ia survey ke lapangan. Kadang di temani Mila, untuk mencari mebel yang sesuai dengan konsep gambarnya.

"Mil, sepertinya barang-barang mebel di sini lebih tinggi harganya dibanding di Yogya. Aku punya teman di sana, dia pengrajin mebel yang hasil kerjanya bagus dan bisa dipercaya." katanya kepada Mila, setelah keluar dari toko mebel yang cukup besar.

 

"Itu pasti, Nis. Aku sudah bekerja sama dengan beberapa pengrajin di daerah, dengan pikiran harganya lebih murah dan kita bisa pesan sesuai konsep kita. Namun, kadang terkendala sama waktu dan modal mereka yang tidak begitu memadai. Sehingga, kadang menghambat pekerjaan kita, karena barang yang kita inginkan belum tersedia tepat pada waktunya. Aku sudah mengalaminya beberapa kali. Jadi, aku lebih memilih ambil dari toko walau lebih mahal, tapi pasti." Mila menjelaskan.

"Oh, gitu ya?" renungnya.

"Akan tetapi, kamu boleh coba dulu menjalin kerjasama dengan temanmu itu. Kalau memang lancar, tentu saja tidak akan jadi masalah. Karena rata-rata pengrajin seperti mereka, hanya dikelola oleh perorangan, tapi ada juga yang yang sudah dikelola secara profesional. Aku akan rekomendasikan perusahaan mebel mana yang bisa kita ajak bekerjasama."

"Kamu memang temanku yang sangat baik. Terima kasih." Mila tersenyum. 

"Tapi aku juga suka melihat-lihat ke toko-toko mebel seperti ini loh. Hanya sekedar mencari inspirasi, untuk sekali-kali menyelipkan sesuatu yang beda di desain interiorku."

"Hmm ... boleh juga tuh, Mil. Kita sebagai seorang desainer, tentu punya kebebasan untuk menuangkan ide kreatif kita. Kalau bisa diterima oleh klien, tidak ada masalah, kan?"

"Tentu saja, Nis. Aku sering menyarankan kepada klien, untuk tidak terlalu terpaku pada model yang diinginkan mereka." keduanya tertawa bersama.

 "Yuk, kita cari makan, udah laper nih." Yang diangguki oleh Ganis, tanpa banyak kata lagi. Mereka tiba di kantor, setelah jam makan siang berakhir. 

Setiba di ruangan kerja, Aldy langsung bicara pada Ganis. "Nis, dicari Felix tadi." 

Ganis mengerutkan keningnya. "Ada apa, ya?"

"Aku gak tahu, dia gak ngomong. Hanya suruh ke kantornya aja, bila kamu sudah datang."

"Baiklah, aku akan segera ke sana." 

"Mungkin Felix sudah kangen sama kamu, Nis. Karena sudah dua hari ini, kamu kelayapan terus di luar." canda Mila.

Ganis hanya melirik Mila yang lagi nyengir, lalu melangkah menuju ruangan CEO yang ada di lantai satu.

Setelah mengetuk pintu, ia mendengar suara Felix yang mempersilahkannya masuk. Begitu pintu terbuka, Ganis melihat Felix langsung berdiri dari kursi kebesarannya.

"Akhirnya kamu kembali juga. Bagamana jalan-jalannya, membuahkan hasil?" Felix selalu ramah padanya. Wajahnya yang memang tampan, selalu menarik dengan senyuman dan tatapannya yang simpatik.

"Aku berusaha mendengarkan pendapat dari Mila, yang lebih berpengalaman dalam hal ini. Toko-toko mebel itu juga menarik. Banyak model-model furniture-nya yang inspiratif, bisa diterapkan bila ingin menciptakan sebuah ruangan yang berbeda." ujar Ganis, sambil terus berjalan mendekati mejanya. Wajahnya yang cantik, tidak pudar karena kegiatannya di luar. Tetap segar dan energik.

"Kepalamu selalu punya ide yang bagus, ya? Aku melihatnya ditiap detail desain yang kamu buat." puji Felix, tidak berusaha menyembunyikan rasa kagumnya.

Felix melangkah mendekati, Ganis tersenyum menanggapi omongannya itu. "Aku memang suka menata ruangan. Bukan hanya menjadikan ruangan itu indah, tetapi akan terasa nyaman dan aman bagi yang mendiaminya."

"Kalau begitu, aku akan memperkenalkanmu pada sang penilai paling kritis. Setiap detail tidak akan luput dari mata tajamnya." Ganis membulatkan matanya.

 

"Maksudnya?"

"Pak Direktur Utama kita, sudah pulang dari tugas luarnya. Aku akan memperkenalkannya padamu." Ganis hanya menaikan sudut bibirnya. 'Siapa takut?' batinnya.

"Aku akan mengantarkanmu ke ruangannya." ajak Felix pelan. Berjalan mendahului, yang diikuti oleh Ganis tanpa keraguan.

Gedung perusahaan ini, hanya terdiri dari tiga lantai. Terus terang, Ganis belum begitu mengenal ruangan kerja yang lainnya, selain ruang kerjanya yang ada di lantai dua. Sementara lantai tiga yang ditujunya sekarang, belum pernah sekalipun diinjaknya. 

Felix membawanya kesebuah ruangan, yang dirasa Ganis memiliki aura yang berbeda dari ruangan yang lainnya. Sebuah aura dingin, dari interiornya yang bernuansa monokrom hitam putih.  Ornamen yang ada di sekitarnya, nampak elegan. Mungkin AC ruangan ini yang terlalu dingin, pikirnya.

Mereka melewati meja sekretaris yang cantik, Felix hanya mengangguk sambil tersenyum padanya. Tangannya mengetuk pintu besar dari kayu yang berat, tanpa menunggu jawaban dari dalam, Felix membukanya sendiri.

"Masuklah, Nis. Aku ingatkan jangan terlalu terpaku pada penampilannya, ya? Dia tidak akan menggigitmu." kata Felix masih dengan nada guraunya. Dia belum sadar, kalau orang yang ada di belakang punggungnya itu, sudah memucat seperti mayat hidup.

Ya! Ganis sudah melihat orang yang ada di balik meja bertuliskan Direktur Utama itu. 'Prana Guntara'. Yang tiada lain adalah, orang yang paling ingin dihindarinya selama ini. 

Suami yang telah dengan kejam, mengusir dirinya tanpa memberi kesempatan untuk membela diri. Tuduhan yang sudah dilontarkan, tidak main-main. 'Istri yang berselingkuh!' Suatu tuduhan yang tanpa dasar, menurut Ganis.

Ingin saja Ganis membalikkan badannya, berlari menghindari laki-laki itu. Namun, terlanjur Prana melihat kehadirannya.

Ekspresi terkejut ditunjukkan bukan hanya oleh Ganis, hal yang sama juga terlihat di wajahnya yang dingin.  Candaan Felix tidak berpengaruh sama sekali pada keduanya.

Apakah kamu baik-baik saja, Nis? Wajahmu pucat sekali." tanya Felix khawatir. Tangannya menyentuh wajah Ganis, yang masih terpaku diam seperti patung. 

'Mengapa Prana ada di perusahaan ini? Bukankah aturan pemerintah tidak memperbolehkan orang militer ikut terlibat dalam bisnis apapun? Apakah Prana melepas kemiliterannya?' Rentetan pertanyaan muncul di kepala Ganis yang sama sekali tidak habis pikir. 

Ia sangat tahu, Prana sangat mencintai karier militernya itu dengan sepenuh hati dan jiwa raganya. Namun, kenapa ia malah jadi Direktur Utama di perusahaan ini?

"Nis." Felix kembali memanggil namanya. Tangannya menepuk-nepuk lembut pipinya yang masih pucat.

Ganis baru sadar, otaknya kembali waras. Ia melihat Felix, kulit wajahnya yang halus mulai berwarna lagi.  

Bagaimanapun, ia harus menghadapinya. Ganis bertekad, bahwa tidak mau lagi diperlakukan dengan sewenang-wenang, oleh laki-laki yang tidak punya hati ini.

Matanya perlahan berapi, lalu masuk melewati Felix yang masih tampak kebingungan.

Raut Prana sudah kembali ke semula, wajah terkejutnya sudah hilang. Dia menatap Ganis yang berjalan mendekati ke arah meja kerjanya.

Tubuh perempuan itu tidak ada perubahan. Bentuknya tetap bagus, tetap ramping. Rambutnya yang hitam, lebih panjang dari terakhir dia melihatnya.

Rasa marah itu masih ada, tapi mengapa dia tidak bisa melupakannya? Wanita penghianat ini, malah terlihat semakin menawan. Sialan! umpatnya dalam hati.

"Fe, tolong siapkan. Setengah jam lagi, kita akan mengadakan rapat bersama Divisi Site Engineer." katanya langsung. Saat melihat sahabatnya itu mengikuti Ganis memasuki ruangan kantornya.

"Dadakan? belum tentu mereka siap." dalih Felix.

"Siap gak siap, rapat tetap diadakan." kata Prana tegas, tidak mau dibantah. Tatapannya sangat dingin.

"Ok, siap!" Felix tidak berani membantah, segera akan keluar lagi dari ruangan.

"Maaf, Nis. Aku harus segera melaksanakan tugasku." sesalnya. Menghampiri Ganis sebelum pergi meninggalkannya sendirian.

 

Ganis hanya menganggukan kepalanya, tanda mengerti. Pikirnya, Prana memang sangat disegani oleh siapa saja, termasuk Felix yang sekarang ia tahu sebagai sahabat terdekatnya.

Felix sendiri sedikit merasa heran, melihat sikap Prana yang tidak terlihat seperti biasanya. Dia menangkap ketegangan di wajahnya yang kaku. 

Felix belum sempat memperkenalkan Ganis pada Prana, sudah buru-buru terusir karena perintahnya. 

Sikap Ganis pun, membuatnya heran. Sakitkah Ganis? Kenapa tiba-tiba wajahnya memucat? Atau, Jangan-jangan mereka sudah saling mengenal? Tapi tidak mungkin, seorang Prana yang ia tahu laki-laki dingin dan tidak pernah tertarik pada wanita itu, mengenal Ganis.

 

Banyak pertanyaan muncul di kepala Felix, tetapi banyak juga penyangkalannya. Karena dia tidak percaya akan adanya hubungan antara Ganis dan Prana. 

Sepertinya, yang satu dari kutub utara dan yang satunya lagi dari kutub Selatan. Sungguh! Tidak mungkin.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status