POV Ray
Sampai di sebuah rumah yang terbilang cukup sederhana namun terawat apik. Aku dipersilahkan untuk masuk ke kantor detektif Johan yang berada disebelah pintu masuk utama di rumahnya. Sebuah ruangan kantor yang tak begitu besar, begitu masuk terdapat sebuah sofa besar dan 2 kursi yang berada di depan meja kerja besar, disampingnya jajaran rak buku berisi buku-buku dari berbagai penulis yang melekat ke dinding. Sebuah ruangan kantor yang nyaman namun lebih mirip dengan ruang konsultasi klien. Terdapat juga sebuah mesin pembuat kopi yang di atasnya terdapat tulisan 'Gratis untuk klien'.Aku duduk di sofa, menunggu detektif Johan yang punya kantor jasa ini masuk ke ruangan. Rasa deg-degan membuatku tak bisa berhenti untuk mengedarkan pandanganku ke seluruh ruangan. Di meja yang berlapis kaca, terdapat sebuah asbak bersih ditengahnya, berarti belum banyak klien yang datang ke kantor ini atau mungkin sebuah keberuntungan bahwa semua klien detektif ini tidak merokok sama sekali.
Tak berapa lama kemudian ada seorang pria paruh baya berusia kira-kira empat puluh tahun masuk dari sebuah pintu yang berada di belakang meja kerja detektif yang bertuliskan 'FOR STAF ONLY'. Wajahnya cukup berwibawa, sorot matanya serius ketika melihatku. Saat ini mungkin dia sedang mendeteksi apapun tentang diriku, sebagaimana para penyidik lainnya yang selalu berusaha mencari informasi tentang diriku lebih dari sekedar melihat. Aku menatapnya dan menganggukan kepala sambil berdiri dan mengajaknya bersalaman.
"Kamu yang namanya Ray, katanya mau bicara dengan saya?" tanya detektif Johan sambil duduk di kursi belakang meja kerja besar, lalu dengan isyarat tangan dia memintaku untuk duduk kursi yang ada di depan mejanya.
"Benar, Pak Detektif," jawabku setelah duduk di hadapan detektif Johan.
"Bagus, sekarang silakan kamu ceritakan apa yang menjadi tujuanmu menemui saya," kata detektif Johan sambil matanya menatap lekat ke wajahku.
"Saya langsung saja, sebenarnya sudah lama saya mengetahui tentang bapak, saya harap anda bisa menolong saya untuk memecahkan persoalan yang selama ini selalu menjadi sebuah misteri dalam kehidupan saya."
"Persoalan tentang apa?" tanya detektif Johan, dari tatapan matanya terlihat kalau dia tertarik dan menatap serius ke arahku.
Aku mengambil nafas dalam-dalam, kemudian mulai bercerita.
"Sudah lama saya ingin mengetahui keberadaan kedua orang tua saya, tujuh belas tahun lalu saya ditemukan di depan pintu sebuah panti asuhan, saya diletakkan dalam sebuah keranjang bayi yang hanya selimuti oleh saputangan yang terdapat tulisan 'Ray'," kataku sambil menyerahkan saputangan yang aku sebutkan barusan padanya.
"Di keranjang bayi juga terdapat sebuah tulisan 8 miles, seperti sebuah simbol aneh di sana."
"Maksudnya simbol aneh seperti apa, apa kamu bisa kasih lihat tulisan dan simbolnya?" Tanya detektif Johan
"Bisa pak, nanti saya kirim gambarnya ke bapak dan hal aneh lain adalah cerita dari ibu asuh saya, beliau adalah pemilik panti di mana saya dibesarkan. beliau bercerita kalau sejak saya bayi, setiap bulan selalu ada masuk uang sebesar 20 juta yang hingga kini belum saya pergunakan sama sekali dan tersimpan di rekening atas nama saya, ibu asuh juga menerima dana lain yang cukup besar, tanpa tahu siapa pengirimnya dan tidak bisa dilacak juga. Karena alamat pengirim selalu berubah-ubah, yang ternyata semua palsu."
"Hmm...menarik," kata Detektif Johan. Dia terlihat berpikir keras, sedangkan aku langsung mengambil ponselku dan mengirimkan gambar yang aku ambil dari keranjang bayi milikku. Untuk beberapa saat kami terdiam. Rasa was-was dalam hatiku menunggu reaksi detektif johan. Hingga aku tak sabar menunggu.
"Bagaimana Pak Detektif, apa bisa bantu saya?" tanyaku.
Detektif Johan masih terdiam, sesaat kemudian dia melangkah ke tumpukan arsip yang ada disebelah mejanya. Keningnya berkerut seakan sedang berpikir keras. Aku hanya bisa menunggu tanpa bicara sepatah katapun lagi hingga dia kembali duduk dan menatapku.
"Ray, saya akan usahakan untuk membantu kamu. Mungkin ini agak sulit karena tak ada petunjuk lain selain ini," kata Detektif Johan sambil menimang-nimang sapu tangan dariku.
"Kalau ada cerita yang terlewatkan oleh saya, bapak bisa datang berkunjung ke panti asuhan dan bicara langsung dengan ibu asuh saya. Untuk urusan biaya penyelidikan, berapapun yang bapak minta akan saya berikan, yang penting saya bisa menemukan keberadaan kedua orang tua saya," kataku dengan percaya diri.
Wajah Detektif Johan kembali berkerut menatap wajahku, mungkin aku terlalu sombong dengan perkataanku, tapi sungguh uang yang ada di rekeningku saat ini, tak jadi masalah bila kupakai untuk membayar jasa detektif Johan. menurutku uang 4 milyar itu sangat luar biasa kalau untuk dihabiskan oleh seorang anak remaja seperti aku.
"Baiklah Ray, saya akan berusaha mencari informasi tentang kedua orang tuamu. Mungkin besok saya akan datang ke panti asuhan di mana kamu tinggal sekarang. jadi, Kamu bisa temui saya kan?" tanya detektif Johan.
"Baik pak, saya tak pernah ke mana-mana setiap pulang sekolah," jawabku sambil menganggukan kepalaku.
"Bagus, kamu anak baik, tak berbeda dengan anakku Maria. Baiklah, saya akan atur jadwal untuk besok. Berarti kita ketemu jam lima sore," Tegas Detektif Johan, yang sempat membuatku sedikit tersanjung dengan pujiannya.
"Baik pak, saya tunggu," kataku sambil langsung menjabat tangannya dan berniat mau langsung pamit pulang. Belum sempat beranjak dari kursi, Maria masuk ruangan dengan tampilan cantik yang membuatku terpaku memandangnya.
"Lho, kok udahan?" tanya Maria sambil menatapku dan detektif Johan bergantian.
"Iya, kami sudah selesai," jawab detektif Johan lalu menatap sekilas ke arahku
"Iya Mar, Ayahmu sudah mau bantu aku, jadi sekarang aku pamit pulang," jawabku sambil tersenyum, entah kenapa mataku tak lepas menatap wajah Maria yang polos tapi menyegarkan.
"Baiklah Ray, nanti saya kabari kamu ya," kata sang detektif membuyarkan pandanganku pad Maria.
"Makasih Tuan Johan," jawabku sambil sedikit merendahkan bahu lalu berjalan ke pintu dan membukanya, setelah sebelumnya menatap Maria untuk pamitan.
"Eh ..., Ray jaketmu, tunggu aku ambil dulu sebentar ya!" Seru Maria sambil akan berbalik kembali ke dalam rumah.
"Bawa besok saja nggak apa-apa," kataku dengan cepat.
"Oh, ya udah," kata Maria.
Aku berjalan keluar kantor detektif Johan, perasaanku sedikit lega dan berharap bisa secepatnya mendapat info atas keberadaan kedua orang tuaku. Sebenarnya tadi aku sempat merasa ragu saat meminta bantuan pada detektif Johan, selama ini aku jarang sekali berhubungan dengan orang-orang di sekitarku kecuali ibu asuh dan penghuni panti. teman-teman di sekolahpun melabelin diriku sebagai siswa yang dingin, padahal di luar yang mereka ketahui aku selalu berusaha peduli pada semuanya, hanya saja aku tak ingin membuat mereka dalam bahaya bila dekat dengan diriku.
POV RAYAku berlari menghampiri Azazel yang masih berlutut di depan kursi kebesarannya. Tanpa banyak berkata lagi aku menerjang dengan pukuran dan tendangan yang yang bertubi-tubi. Dia sekarang tak lebih dari seorang manusia pengguna elemen, kekuatan yang ada pada tubuh Thomas hanya kekuatan milik Thomas saja.DUESH!Azazel beberapakalu terpelanting, walau begitu dia masih bisa bertahan dengan kekuatan elemen milik Thomas. Azazel pun berusaha untuk balik menyerangku dengan mengeluarkan elemen tanah dan membentuk sebuah palu besar, lalu diayunkan palu itu ke arahku sambil melompat. Aku bersiap menunggunya dengan membentuk palu yang lebih besar dari milik Azazel. Begitu serangan palu Azazel mendekat, dengan kekuatan palu yang aku buat, aku hancurkan dengan sekali hantaman paluku.Azazel bergerak secepat kilat dengan elemen petir, melontarkan panah-panah petir yang dengan mudah aku tangkis. Dia pun berusaha untuk lari, tapi aku tak akan melepas
POV RAY Ruangan sekarang menjadi terang lagi. Dengan susah payah aku berdiri sambil memegangi dadaku yang terluka. Mataku mulai berkunang-kunang. Darah sudah banyak yang keluar sepertinya. Tapi aku masih harus berdiri. "Creator?" kata Thomas. Tidak. Ia bukan Thomas. Dia Azrael yang telah mengambil alih tubuh Thomas. "Azrael?! Kenapa kamu tidak menjadi tubuhmu saja yang besar itu?" tanyaku. "Justru wujud manusia adalah wujud yang paling sempurna menurutku. Aku cukup menjadikan tubuhnya sebagai vesel untuk kebangkitanku. Segar sekali rasanya setelah lama terkurung di kegelapan oleh lima creator terkutuk itu selama ribuan tahun. Dan aku tak perlu membunuh mereka karena mereka sudah mati. Hahahahahah," kata Azrael. "Ugh!" rasa sakit didadaku. Ah...darah. Darah itu elemen air bukan? Aku terpaksa melakukannya. Obati lukaku siapa namamu? Dia tidak bernama. Tolonglah. Ahh...aku tertolong. Lukaku mulai tertutup.
POV ANDRE Pertarunganku dan Puri melawan laki-laki bernama Hund semakin seru, kami berusaha keras mengalahkan dia, walau beberapa kali kami harus berusaha menghindari semua serangan Hund yang tentu saja pengalaman bertarungnya jauh diatas kami berdua. Sering kali aku kewalahan dan hampir terkena sabetan-sabetan pedang besinya yang super tajam. Tapi beruntung aku terlindungi dengan kayu-kayu yang muncul dari penggabungan jolt yang aku pakai. Namun pertarungan kami mendadak terhenti, perlahan tapi pasti suasana menjadi gelap. Aku dan Puri saling pandang. Begitupun Alex dan teman-teman lainnya. Ada rasa panik yang aku rasakan dan mungkin juga Alex dan yang lainnya juga merasakan. "Puri, apa ini sudah saatnya terjadi gerhana?" Tanyaku sambil mendekati Puri. Puri yang terlihat kelelahan hanya menatapku sendu, lalu mengangguk pelan. "Puri, kita masih belum kalah, kita harus terus bertarung" bisikku sambil
POV BALANCER Aku kembali berhadapan dengan Robert. lelaki yang telah membunuh adikku satu-satunya. Aku tak dapat melupakan kejadian itu walau sesaatpun, jasad William yang dilemparkannya ke bawah jembatan. William yang berusaha melindungiku dan anakku dari orang-orang biadab ini. Dia tak dapat mengimbangi serangan-serangan yang diterimanya dari para agen SDI yang mengeroyoknya. Sedangkan aku, Ketika itu baru saja melahirkan. Dalam kondisi yang masih lemah Thomas yang sudah mengetahui keberadaanku, memerintahkan untuk membunuh ku juga William. "Balancer, akhirnya kita selesaikan pertarungan kita yang tertunda," kata Robert. Aku yang malas meladeni ucapannya, lalu memanggil kekuatan elemenku, besi. Seperti biasa, aku dengan kuku-kuku besiku sudah siap mencabik-cabik Robert. Aku langsung menerjangnya, melancarkan serangan-serangan untuk bisa cepat mencabik dan membunuhnya. Robert dengan memakai kekuatan joltnya, dia pun m
POV RAY Aku mengakui kekuatan Thomas, dia sangat kuat. Walaunsejauh ini aku dapat mengimbangi kekuatannya. Aku yang seorang Creator dapat mengimbangi cara bertarung Thomas, yang tak beda jauh dengan cara bertarungku. Aku berdiri di atas platform yang terbuat dari es, ketika aku mengimbangi dia membentuk golem raksasa bersenjatakan tombak bertarung dengan golem raksasa yang dia buat dengan bersenjatakan pedang. Pertarungan kami cukup aneh sekali, kami tidak melakukan pertarungan langsung. Kami saling melemparkan elemen dan menciptakan berbagai bentuk makhluk yang kamu gerakkan dari jauh. Seandainya ada yang melihat pasti mereka seperti melihat dua orang yang bermain mainan remote control untuk saling mengalahkan. Aku bisa mengimbangi cara bertarung seperti itu. Kalau ada kesempatan baru aku menyerangnya secara langsung dengan melemparkan sesuatu untuk melukainya, begitupun dengan Thomas. Dan Sial. Dia Kuat sekali, tak ada satup
POV ANDREAku, Puri, Alek, Tobi, dan para elemental lainnya, kini berhadapan dengan tiga anggota SDI. Mereka yang masing-masing menggunakan sarung tangan jolt, menyeringai ke arah kami. Senyum merendahkan pun tersungging di wajah mereka. Dengan sangat angkuh mereka mendekat ke arah kami."Halo kalian tikus-tikus elemen, kenalkan namaku John. Ada baiknya bukan, jika sebelum mati kalian mengetahui nama siapa yang sudah membunuh kalian, hahaha..." kata orang pertama sambil tertawa mengejek."Aku Scarlet," kata orang kedua, seorang cewek dengan dandanan layaknya laki-laki."Hahaha..., dan Hund, bersiaplah kalian untuk mati," katanya."Kalian tak lihat apa, jumlah kami banyak. Apa sanggup kalian melawan kami?" tanya Alex dengan lagaknya seperti biasa."Hahaha..., lihat teman-teman. Dia meragukan kita!" Kata John sambil melirik kedua temannya."Hahaha...., mereka memang cari mati John! Hai bocah sebanyak apapu
Pov RayAku dan sang Balancer ibuku memimpin para pengguna elemen menuju senayan, dimana bangunan aneh berada. Kami sudah berada di depan bangunan besar yang menjulang yang mengelilingi Tugu Monas. Menurut ramalan tepat jam dua belas siang nanti akan terjadi gerhana matahari, dimana seluruh planet berada pada satu garis lurus.Sebelum itu terjadi, kami harus bisa mengalahkan Thomas dan menghalanginya untuk menjadi wadah dari kekuatan Azazel. Walau kami tahu, itu tidak akan mudah. Tapi kami pantang untuk menyerah, demi kedamaian di dunia ini.Semua bangunan ini sudah dipersiapkan oleh Thomas. Bagunan yang dibuat dengan menggunakan elemen tanah, besi dan elemen es untuk atapnya."Ray cepat temukan Thomas, Kita tak punya banyak waktu lagi. Sebelum terjadi gerhana Matahari, terlambat saja, kita sudah dapat dipastikan akan binasa," kata Ibuku dengan tegas padaku."Iya Ibu, Ray tahu hal itu," jawabku sambil terus melangkah.
POV Ray (6 jam sebelum gerhana)."Sebuah bangunan megah yang aneh tiba-tiba saja muncul dari dalam tanah, kemunculan bangunan itu disertai dengan terjadinya gempa dahsyat. Gempa yang bukan saja terjadi di sekitar kemunculan bagunan aneh itu, tapi hingga melanda keseluruh kota Jakarta."Sebuah headline dari berita yang muncul di beberapa stasiun televisi nasional, yang tentu saja membuat geger seluruh warga. Apalagi peristiwa gempa telah membuat orang-orang menjadi panik, kaca-kaca gedung pecah. Bahkan sebagian bangunan milik warga ada yang rubuh, hingga ada juga yang rata dengan tanah.Seluruh stasiun televisi menyiarkan fenomena aneh ini. Aparat dari kepolisian dan militer pun mensterilkan sekitar Senayan. Hanya pihak pemberitaan yang bisa mendekati lokasi, walau area yang diliput di batasi. Tapi semua lapisan masyarakat bisa melihat bangunan megah itu dari jauh.Bangunan besar, menyerupai sebuah istana raja-raja. Yang tiba-tiba saja ter
POV MariaLelaki berambut abu-abu itu berdiri si depan kami, senyumnya tersungging. Namun aku tak merasakan keramahan dari senyuman itu, tapi kengerian yang mulai menjalar ke seluruh tubuhku."Halo Keponakanku, apa kabar?" sapa lelaki itu."Ahhh...., ponakan!" Pikirku."Thomas....," gumam Ray, dia berdiri dengan posisi waspada.Aku heran siapa laki-laki ini, meski menyebut Ray dengan kata keponakan, tapi Ray terlihat tak bergeming dari tempatnya. Sepertinya ada percakapan batin dari kedua orang ini, yang tak bisa aku dengar."Aku hanya ingin menyapa saja, tak apa kan," kata Thomas."Kenapa?""Wajar bukan seorang paman menyapa keponakannya. Apalagi kalau basa-basi ini diperlukan sebelum kita bertemu lagi dalam pertempuran," kata Thomas. Dia menoleh ke arahku."Sore nona, pacarmu Ray?""Thomas, sudahi semua ini. Kamu tahu siapa Azazel bukan?""Aku tahu Ray, hanya saja aku lebih