Share

Bab 2

Author: Cherryblossom
Aku mondar-mandir di ruang tamu, seperti binatang terkurung di kandang.

Apa yang bisa kulakukan untuk menghapus senyum puas Maya di Instagram itu?

Mungkin aku bisa menggali foto lama Arga dan aku, sesuatu yang intim, hanya untuk mengingatkan dunia siapa yang sebenarnya dia nikahi.

Tapi kenyataannya?

Tujuh tahun menikah, aku nyaris tidak bisa menemukan satu pun foto kami yang terlihat romantis.

Arga selalu bilang, "Dalam bisnis ini, privasi yang membuat kita tetap hidup."

Lalu coba jelaskan, kalau privasi begitu penting, kenapa dia membiarkan Maya mengunggah wajahnya ke story sesering itu?

Tanganku bergetar saat meraih ponsel.

Kupikir mungkin Maya sudah menghapus postingannya, seperti yang selalu Arga perintahkan padaku.

Tapi tidak.

Sebaliknya, dia baru saja mengunggah lagi, hanya beberapa menit lalu.

Kali ini, dia ada di pantai dengan bikini, warnanya sama persis dengan gaun ketat berkilauan yang dipakainya tadi, tergantung di lengannya.

Dia menggantungkan sebelah hak tingginya dengan santai di jari kelingkingnya.

Lalu dia mencipratkan air ke arah Arga sambil berdiri di ombak.

Dan Arga... tersenyum padanya.

Tersenyum.

Aku terbelalak. 'Siapa yang merekam ini? Putriku? Dora?'

Mereka terlihat seperti keluarga sungguhan. Sempurna.

Dan aku? Aku apa?

Perempuan yang melahirkan Dora setelah kehamilan yang melelahkan, yang tetap diam dan patuh di tengah kekacauan Keluarga Pratama hanya demi menjaga nama baik keluarga?

Perempuan yang masih menunggu di rumah untuk suami yang berjanji, sebentar lagi akan kembali?

Tahu tidak, Arga? Kamu tidak kembali. Kamu hanya pergi.

Aku sudah muak. Benar-benar muak, sampai rasanya jiwa ini hancur tak bersisa.

Aku mengunci layar ponselku, pandanganku mulai buram oleh panas dan amarah.

Jari-jariku menyentuh cincin itu lagi.

Kali ini, aku melepasnya.

Itu tidak berarti apa-apa lagi.

Aku meraih ponsel dan menelpon ibunya, Fiona Laksamana. Tanpa menunggu lama, dia sudah menjawab.

"Ibu," kataku, berusaha menahan suaraku tetap stabil. "Maaf, tapi tahun ini... sepertinya aku tidak bisa hadir di reuni keluarga, karena…"

"Itu tidak bisa diterima, Katarina," potongnya dingin. "Saudara Arga saja bisa terbang dari Calvoria dengan segala urusannya. Tidak ada alasan."

Lalu dia menutup telepon.

Begitu saja. Dingin. Menyisihkan. Sama persis seperti anaknya.

Aku menatap ponsel sejenak, lalu menyelipkan cincin bernilai enam belas miliar itu ke saku.

Aku sudah muak dihancurkan dalam kesunyian.

Kalau aku pergi, aku harus membawa sesuatu bersamaku. Aku ingin pergi bersama putriku.

Mungkin salahku membiarkan Maya begitu dekat dengan Dora.

Aku tidak tahu apa yang dia bisikkan, kebohongan apa yang dia ceritakan hingga membuat anakku berbalik menentangku.

Tapi aku percaya, aku harus percaya, kalau aku bisa menghabiskan waktu bersama Dora, dia akan mengingat siapa aku sebenarnya.

Aku berganti dari pakaian santai ke setelan LV yang rapi.

Tegas. Elegan. Aku terlihat seperti seseorang yang pantas dihargai.

Rumah masih panas, gelap, listrik belum kembali.

Aku tidak peduli lagi.

Aku pergi menuju pantai. Mereka pasti di sana. Semoga saja aku belum terlambat.

Tapi hidupku memang tidak pernah berjalan mulus.

Supir pertama membatalkan karena katanya terlalu jauh.

Aku menunggu dua puluh menit lagi sampai akhirnya dapat tumpangan.

Saat aku tiba di pantai, matahari sudah terbenam.

Mereka sudah tidak ada.

Aku membuka Instagram Maya lagi.

Untung saja, sepuluh menit lalu dia mengunggah story baru, kali ini di restoran dekat pantai.

Aku buru-buru ke sana.

Dan apa yang kulihat begitu masuk?

Maya sedang menyuapi Arga dengan sup. Sendok yang sama. Sambil tersenyum. Seakan-akan dia memang pantas ada di sana.

Dan Dora? Dia duduk di samping mereka, sibuk bermain game di ponsel, seolah semuanya wajar.

Aku tidak tahan.

Aku langsung melangkah cepat, mengangkat Dora ke dalam pelukanku.

Dia terperanjat, menatapku seperti aku orang asing.

Lalu dia mendorongku.

"Jangan sentuh aku, Katarina!"

Katarina. Bukan Mama. Bukan Ibu.

Maya buru-buru berdiri berlagak prihatin. "Dora, tidak apa-apa..."

Tapi aku menghalangi langkahnya.

"Dia putriku," kataku tajam. "Kamu sebaiknya ingat itu. Artinya, kamu tidak berhak ikut campur. Kamu cuma pembantu."

Dora melepaskan diri dariku, lari ke arah Maya.

Dia menggenggam tangan Maya seolah menggenggam nyawa.

"Kamu yang tidak punya hak!" bentaknya padaku. "Maya bisa melakukan apa pun yang dia mau!"

Aku tidak bisa bicara. Rasanya hatiku patah jadi dua.

Suaraku keluar lirih. "Dora, sayang... apa salahku? Kenapa kamu menjauh dariku? Kenapa kamu membela seorang pembantu?"

Dora menyilangkan tangan. "Kamu meremehkan Maya. Tapi bagiku, Maya bukan cuma pembantu."

"Lalu siapa dia buat kamu?" Suaraku bergetar hampir hancur.

Sebelum dia sempat menjawab, Arga berdiri, suaranya sedingin es. "Cukup, Katarina. Aku sudah bilang tunggu. Apa yang kamu lakukan di sini?"

"Apa yang kulakukan di sini?" Aku tertawa getir. "Arga, aku tidak akan menunggu sampai besok seperti orang bodoh!"

Maya kembali maju, pura-pura peduli. "Maaf, Katarina. Aku tidak bermaksud membuatmu marah. Kami hanya ingin Dora merasa aman. Mungkin sebaiknya kita pergi sekarang. Orang-orang lagi lihat kita, ini bisa membahayakan Arga."

Arga melihat sekeliling, memeriksa kerumunan.

"Dia benar," gumamnya. "Katarina, hentikan dramamu. Duduk dan makan sesuatu. Atau tunggu di mobil."

Drama?

Sekarang aku disebut drama?

Aku menatap Dora sekali lagi. Dia melihatku seakan aku benar-benar orang asing.

Aku menoleh pada Arga, suaraku rendah. "Bisa kita bicara di luar? Hanya sebentar."

Dia mendesah kesal, tapi akhirnya mengangguk.

Di luar, malam sudah benar-benar menyelimuti. Lampu jalan berdengung di atas kepala.

Aku menatap lelaki yang dulu kucintai.

"Arga, bisakah kamu meminta Maya menjauh sebentar? Biarkan aku bicara dengan Dora tanpa dia di sana. Aku yakin Dora akan lebih terbuka kalau Maya tidak selalu menghalangi."

Dia menggeleng. "Katarina, ini bukan masalah Maya. Masalahnya di kamu. Kamu yang harus hadapi itu. Kita tidak punya waktu. Aku masih harus menyetir tiga jam lagi."

"Oh, jadi kamu punya waktu untuk main air di pantai, tapi sekarang tiba-tiba terburu-buru?"

Dia mengernyit. "Kamu menguntit kami sekarang?"

"Emang aku ada pilihan lain?"

"Kamu sudah berubah, Katarina."

"Kamu juga," kataku pelan.

Dia tidak menjawab. Hanya berbalik masuk ke restoran.

Dan saat itu, aku melihat Maya mengintip dari jendela.

Dia menyuruhku menunggu lagi. Tapi aku bukan perempuan itu lagi.

Aku pergi meninggalkan restoran, menghentikan taksi, dan begitu masuk, aku langsung mengetik pesan yang tidak pernah kubayangkan akan kukirim:

[Ayo cerai. Aku tidak akan datang ke reuni keluarga.]

Aku tekan kirim.

Lalu kututup ponselku.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Lepas dari Cinta yang Telah Retak   Bab 8

    Saat aku melangkah keluar dari klinik, Dora berlari mengejarku."Ibu, tunggu! Aku mau ikut sama Ibu."Dia meraih tanganku, dan aku menatap ke bawah dengan terkejut.Di pergelangan tangannya bukan gelang berlian yang diberikan Fiona, itu gelang yang kubuat sendiri, dengan manik-manik merah muda dan liontin kartun kecil. Tak ada kilau, tak ada kemewahan. Hanya cinta.Aku tersenyum sedikit dan menggenggam tangannya. "Kamu yang pilih pakai ini?"Dia mengangguk. "Ini favoritku."Kami berjalan bersama menyusuri lorong menuju ruang tamu.Saat berbelok, kami bertemu dengan ayahnya Arga, Dirga Pratama, pria tua itu.Dia terlihat lebih tua. Gerakannya lebih lambat. Rambutnya yang disisir ke belakang kini lebih banyak uban daripada yang kuingat. Dia bukan lagi pria berkuasa dengan tangan besi seperti dulu.Dia menatapku dari atas ke bawah, lalu berkata dengan suara dalam dan sulit dibaca, "Aku sudah meremehkanmu, Katarina. Tidak pernah kubayangkan Arga bisa begitu melekat pada seseorang."Aku men

  • Lepas dari Cinta yang Telah Retak   Bab 7

    Aku mematikan ponselku saat ulang tahun pernikahan kami.Tak sanggup lagi menerima telepon, pesan, atau permintaan maaf kosong. Aku cuma butuh bernapas.Daripada pulang ke rumah sewa, aku mulai berjalan. Langkahku menuntunku melewati jalan berliku dan melintasi lembah, dan sebelum kusadari, aku berdiri tak jauh dari rumah lamaku. Rumah orang tuaku. Sudah dijual setelah mereka tiada, dan uangnya membantuku menyewa apartemen di kota serta menemukan pijakan sendiri.Begitu banyak kenangan di rumah itu. Ada yang indah, ada yang menyakitkan, semuanya milikku."Katarina?"Aku menoleh mendengar namaku. Itu Erwin, pria yang menyewakan rumah kayu di lembah ini padaku. Dia berdiri di sana mengenakan jeans dan jaket berkerudung, tangannya terselip di saku. Dia tampak terkejut melihatku."Oh, hai," kataku. "Tidak disangka bisa bertemu denganmu di sini.""Aku tinggal di sekitar sini," katanya sambil melangkah mendekat dengan senyum hangat. "Rumah yang aku sewakan kepadamu itu hanya salah satu prope

  • Lepas dari Cinta yang Telah Retak   Bab 6

    Sejak Dora mulai tinggal dengan Maya, dia jadi aneh, melekat sekali pada Arga.Sumber informasiku di vila Keluarga Pratama memberitahuku apa yang terjadi sehari sebelum ulang tahun pernikahan. Arga akhirnya kembali ke vila setelah beberapa hari urusan bisnis.Saat itu, Maya sudah datang bersama Dora, pura-pura membantu menghias untuk pesta.Begitu Dora melihat Arga, dia langsung lari ke pelukannya, tak menoleh sama sekali ke Maya. Itu mengejutkan Arga. Sebenarnya belakangan ini, Dora jarang menatap matanya. Dia selalu dekat dengan Maya, selalu mengawasi Arga seperti dia orang asing, atau lebih parah... seperti seseorang yang harus ditakuti.Arga tak pernah memaksanya mendekat, rasa bersalah sudah cukup berat. Setelah semua yang dia lakukan, dia tentu tak mau menakuti putrinya sendiri.Tapi hari itu, ketika Dora berlari ke pelukannya, dia merasakan secercah harapan. Dia memeluknya erat, lalu sesuatu di saku Dora menarik perhatiannya."Dora, ini apa?" tanyanya dengan lembut sambil m

  • Lepas dari Cinta yang Telah Retak   Bab 5

    Keluarga Pratama bukan cuma menguasai kota ini. Di beberapa daerah di negara ini, mereka adalah hukum itu sendiri. Jadi kalau aku benar-benar ingin punya kesempatan untuk bebas, aku harus menghilang ke tempat yang tak akan terpikirkan oleh mereka.Aku mengepak beberapa tas dan menuju lembah tua dekat tempat orang tuaku dulu tinggal, semoga mereka tenang di sisiNya. Tempat itu begitu terpencil sampai GPS pun hampir tak bisa menemukannya. Dan aku tahu, jauh di lubuk hatiku, tak satu pun dari Keluarga Pratama yang bakal terpikir untuk mencariku di sana. Kenapa mereka harus repot? Mereka tak pernah peduli dari mana asalku. Bagi mereka, aku cuma gadis pendiam, bersih, tanpa catatan kriminal, tipe menantu atau istri yang patuh, persis yang mereka butuhkan untuk penampilan semata.Aku masih sangat ingat malam sebelum pernikahanku dengan Arga.Aku tegang setengah mati sampai akhirnya melewatkan makan malam keluarga mewah mereka jam 7 malam.Itu kesalahan besar.Tapi mereka bahkan tidak mengir

  • Lepas dari Cinta yang Telah Retak   Bab 4

    Aku benar-benar pikir aku bisa lepas darinya.Tapi aku meremehkan seberapa dalam nama Keluarga Pratama berakar.Setiap kali aku coba cari pengacara untuk bantu urus perceraian, mereka langsung bungkam begitu aku sebut nama Arga.Ada yang tiba-tiba gelisah.Yang lain malah langsung bilang kalau mereka tidak menerima klien baru.Tapi aku tahu persis apa maksudnya. Tak seorang pun mau melawan Keluarga Pratama.Dan tepat ketika aku mulai kehabisan cara, Arga meneleponku."Besok ulang tahun Dora," katanya santai, seakan sedang membicarakan cuaca. "Dia ingin ketemu ibunya."Dadaku langsung mengencang. "Dora mau ketemu aku?" Aku berusaha terdengar tenang, tapi suaraku sempat bergetar. "Kamu serius?""Kamu pikir aku bakal bohong soal itu?" Lalu aku dengar suara Dora di belakangnya."Aku mau ketemu Ibu."Suara kecil itu menghantamku seperti pukulan tepat di perut.Mataku berkaca-kaca, aku tahan biar air mataku tidak jatuh. Untuk pertama kalinya dalam berminggu-minggu, aku tersenyum."Besok kita

  • Lepas dari Cinta yang Telah Retak   Bab 3

    Setelah mengirim pesan itu, aku menemukan sebuah toko gadai kecil di pinggiran kota. Tanpa banyak bicara, aku masuk dan menjual cincin itu.Aku masih dapat ratusan juta rupiah, tapi rasanya hambar. Tak ada lagi rasa senang saat uang masuk ke rekeningku.Ini bukan perang. Ini hidupku. Dan dalam hidup ini, tidak ada pemenang.Aku lalu memesan kamar hotel kecil di jalur menuju vila Keluarga Pratama.Aku tidak punya rencana jelas... hanya sebuah harapan.Mungkin aku masih bisa dapat satu kesempatan terakhir untuk bertemu Dora.Mungkin aku bisa mencegat mereka, bicara dengannya tanpa Maya di sekitar, sekali saja.Malam itu aku tak bisa tidur.Aku duduk di dekat jendela, menatap SUV yang melintas di jalan raya.Setiap kali ada mobil lewat, aku bertanya-tanya, apakah itu mereka?Apakah mereka sudah sampai?Apakah mereka bertanya-tanya di mana aku?Sepertinya tidak.Aku bahkan tak ingat sudah berapa jam aku duduk begitu saja.Sampai akhirnya tubuhku menyerah, dan aku tertidur di kursi dekat je

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status