Share

Bab 3

Author: Cherryblossom
Setelah mengirim pesan itu, aku menemukan sebuah toko gadai kecil di pinggiran kota. Tanpa banyak bicara, aku masuk dan menjual cincin itu.

Aku masih dapat ratusan juta rupiah, tapi rasanya hambar. Tak ada lagi rasa senang saat uang masuk ke rekeningku.

Ini bukan perang. Ini hidupku. Dan dalam hidup ini, tidak ada pemenang.

Aku lalu memesan kamar hotel kecil di jalur menuju vila Keluarga Pratama.

Aku tidak punya rencana jelas... hanya sebuah harapan.

Mungkin aku masih bisa dapat satu kesempatan terakhir untuk bertemu Dora.

Mungkin aku bisa mencegat mereka, bicara dengannya tanpa Maya di sekitar, sekali saja.

Malam itu aku tak bisa tidur.

Aku duduk di dekat jendela, menatap SUV yang melintas di jalan raya.

Setiap kali ada mobil lewat, aku bertanya-tanya, apakah itu mereka?

Apakah mereka sudah sampai?

Apakah mereka bertanya-tanya di mana aku?

Sepertinya tidak.

Aku bahkan tak ingat sudah berapa jam aku duduk begitu saja.

Sampai akhirnya tubuhku menyerah, dan aku tertidur di kursi dekat jendela, mata setengah terbuka.

Malam berikutnya, saat aku kira pesta reuni sudah berlangsung meriah, aku tak tahan lagi.

Aku menyalakan kembali ponselku.

Begitu layarnya menyala, getarannya tak berhenti, terus menerus.

Ada puluhan panggilan tak terjawab.

Arga. Maya. Nomor-nomor asing yang bahkan tak kukenal.

Kupikir aku akan tenang.

Kupikir aku sudah selesai dengan semua ini.

Tapi saat melihat semua panggilan tak terjawab itu, ada sesuatu di dadaku yang retak.

Kupikir aku sudah siap pergi. Nyatanya belum.

Dan lalu nama Arga kembali muncul.

Sebuah pesan suara masuk.

Suaranya rendah, dia marah.

"Katarina, kau mengecewakan aku. Kau mau cerai? Tidak semudah itu."

Aku menatap layar dengan linglung. Arga masih sama.

Masih saja bertingkah seolah aku perempuan naif yang akan menuruti perintahnya setiap kali ia menjentikkan jari.

Tujuh tahun lalu, dia pernah bilang hal yang hampir sama.

Waktu itu dia meninggalkan pesan setelah aku mencoba menjauh darinya, setelah tahu siapa dia sebenarnya mafia.

Dia berkata, "Kita ditakdirkan bersama. Kau pikir bisa menghindar dariku? Tidak semudah itu."

Saat itu aku justru tersentuh oleh keyakinannya. Aku menyerah. Aku bilang iya.

Dan sejak itu aku masuk ke dunianya, Keluarga Pratama.

Itu pertama kalinya aku melihat Maya.

Aku ingat, aku menatapnya bingung.

Dia mengenakan gaun krem elegan, anting berlian, dan berdiri di ruang tamu seolah itu rumahnya sendiri.

Aku mendekat ke Arga dan bertanya pelan, "Kau tak pernah bilang kau punya saudara perempuan."

Arga menatap Maya dengan senyum hangat, lalu menoleh padaku dan berkata, "Dia bukan saudariku. Dia pembantu kami... atau lebih tepatnya, anak dari pembantu. Maya."

Aku tak mengerti.

Penampilannya seperti bangsawan. Bagaimana mungkin itu seorang pembantu?

Sejak pertama kali melihatnya, aku langsung iri.

Dia begitu luwes di rumah itu, tahu setiap ruangan, setiap orang.

Keluarga menerimanya. Mempercayainya.

Bahkan Fiona, ibu Arga, sering berbisikkan kode sandi ponselnya ke Maya di depanku, seolah itu hal biasa.

Tapi cara Maya memperlakukanku selalu dingin dan penuh curiga.

Selalu banyak tanya tentang latar belakangku, orang tuaku, pendidikanku.

Setiap kata terasa penuh penilaian terselubung.

Bahkan setelah aku menikah dengan Arga, Fiona tak pernah berhenti membandingkanku dengan Maya.

Maya ini, Maya itu.

Dan Arga, dia satu-satunya yang tidak pernah menyebut nama Maya.

Sampai sekarang.

Karena sekarang, dia juga memilih Maya.

Orang yang dulu pernah memilihku... sudah tak ada lagi.

Telepon kembali berdering.

Arga.

Aku biarkan dua kali, lalu kujawab.

Tapi hening.

Sepertinya dia tak menyangka aku akan mengangkatnya.

Lalu akhirnya ia bicara, lebih pelan dari sebelumnya.

"Ayo kita bicara. Tatap muka. Bagaimana, Katarina?"

Aku tak menjawab, tapi air mata mengalir di pipiku.

Dia pasti mendengarnya dari helaan napasku, karena suaranya melembut.

"Jangan ambil keputusan gegabah. Tolong. Turunlah ke garasi. Aku tahu kau di sini. Aku sudah sampai."

Dia tidak di pesta?

Itu membuatku terkejut.

Aku sempat ragu... tapi akhirnya meraih mantel dan turun.

Garasi itu sepi, remang-remang diterangi lampu. SUVnya ada di sana.

Aku naik ke kursi penumpang.

Aku ingin marah, menuduh, menanyakan semua yang selama ini menggerogoti pikiranku.

Tapi saat melihat wajahnya, rambut berantakan, janggut tipis, mata penuh emosi yang begitu nyata, aku hancur.

Aku menangis.

Dia meraihku, menarikku ke dalam pelukan erat.

"Aku tak sanggup membayangkan bercerai darimu," bisiknya di bahuku. "Hanya memikirkannya saja rasanya sakit sekali."

Aku diam sejenak.

Lalu aku merasakannya, parfum Maya.

Lemah, tapi jelas.

Di kursi. Di kain. Di tubuhnya.

Aku menyingkir. Suaraku terdengar pelan tapi tegas

"Kau tahu kenapa aku ingin bercerai, Arga?"

Dia tak menjawab.

Aku menatapnya lurus-lurus.

"Itu karena Maya. Kau selalu bilang akulah masalahnya. Padahal sejak awal aku benci dia. Dia sudah mengambil segalanya dariku, posisiku di keluarga ini, putriku, bahkan kau. Dan sekarang kau membelanya seolah dia tak tersentuh."

Suaraku pecah, air mata makin deras.

"Aku menyerahkan segalanya untukmu. Dan yang kudapat? Tidak ada."

Wajah Arga berubah. Dia meraih tanganku.

"Maaf, Katarina. Aku benar-benar minta maaf. Aku tak pernah bermaksud mengatakan hal-hal itu padamu..."

Sepertinya dia ingin bicara lebih banyak, tapi ponselnya berdering.

Bukan nada dering biasa, ini khusus. Lebih lembut. Lebih khusus.

Aku tahu. Lebih tepatnya, aku yakin. Hanya satu kemungkinan, Maya.

Arga langsung mengangkat tangannya, memberi isyarat untuk menunda.

"Maaf, aku harus angkat. Ini penting. Boleh aku keluar sebentar? Nanti kita lanjut bicara."

Apa yang bisa kukatakan?

Aku hanya mengangguk, berusaha tenang. "Silakan. Pergilah."

Sebelum aku turun tadi, aku berniat menanyakan kenapa dia membawa Maya ke pantai, kenapa membiarkannya menyuapi di restoran, kenapa Dora sekarang mengaguminya seperti ibu kedua.

Tapi sekarang? Aku tak butuh lagi jawabannya. Karena aku sudah tahu.

Kami berdua sudah berubah.

Dan aku tak tahu, apakah masih ada yang layak dipertahankan.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Lepas dari Cinta yang Telah Retak   Bab 8

    Saat aku melangkah keluar dari klinik, Dora berlari mengejarku."Ibu, tunggu! Aku mau ikut sama Ibu."Dia meraih tanganku, dan aku menatap ke bawah dengan terkejut.Di pergelangan tangannya bukan gelang berlian yang diberikan Fiona, itu gelang yang kubuat sendiri, dengan manik-manik merah muda dan liontin kartun kecil. Tak ada kilau, tak ada kemewahan. Hanya cinta.Aku tersenyum sedikit dan menggenggam tangannya. "Kamu yang pilih pakai ini?"Dia mengangguk. "Ini favoritku."Kami berjalan bersama menyusuri lorong menuju ruang tamu.Saat berbelok, kami bertemu dengan ayahnya Arga, Dirga Pratama, pria tua itu.Dia terlihat lebih tua. Gerakannya lebih lambat. Rambutnya yang disisir ke belakang kini lebih banyak uban daripada yang kuingat. Dia bukan lagi pria berkuasa dengan tangan besi seperti dulu.Dia menatapku dari atas ke bawah, lalu berkata dengan suara dalam dan sulit dibaca, "Aku sudah meremehkanmu, Katarina. Tidak pernah kubayangkan Arga bisa begitu melekat pada seseorang."Aku men

  • Lepas dari Cinta yang Telah Retak   Bab 7

    Aku mematikan ponselku saat ulang tahun pernikahan kami.Tak sanggup lagi menerima telepon, pesan, atau permintaan maaf kosong. Aku cuma butuh bernapas.Daripada pulang ke rumah sewa, aku mulai berjalan. Langkahku menuntunku melewati jalan berliku dan melintasi lembah, dan sebelum kusadari, aku berdiri tak jauh dari rumah lamaku. Rumah orang tuaku. Sudah dijual setelah mereka tiada, dan uangnya membantuku menyewa apartemen di kota serta menemukan pijakan sendiri.Begitu banyak kenangan di rumah itu. Ada yang indah, ada yang menyakitkan, semuanya milikku."Katarina?"Aku menoleh mendengar namaku. Itu Erwin, pria yang menyewakan rumah kayu di lembah ini padaku. Dia berdiri di sana mengenakan jeans dan jaket berkerudung, tangannya terselip di saku. Dia tampak terkejut melihatku."Oh, hai," kataku. "Tidak disangka bisa bertemu denganmu di sini.""Aku tinggal di sekitar sini," katanya sambil melangkah mendekat dengan senyum hangat. "Rumah yang aku sewakan kepadamu itu hanya salah satu prope

  • Lepas dari Cinta yang Telah Retak   Bab 6

    Sejak Dora mulai tinggal dengan Maya, dia jadi aneh, melekat sekali pada Arga.Sumber informasiku di vila Keluarga Pratama memberitahuku apa yang terjadi sehari sebelum ulang tahun pernikahan. Arga akhirnya kembali ke vila setelah beberapa hari urusan bisnis.Saat itu, Maya sudah datang bersama Dora, pura-pura membantu menghias untuk pesta.Begitu Dora melihat Arga, dia langsung lari ke pelukannya, tak menoleh sama sekali ke Maya. Itu mengejutkan Arga. Sebenarnya belakangan ini, Dora jarang menatap matanya. Dia selalu dekat dengan Maya, selalu mengawasi Arga seperti dia orang asing, atau lebih parah... seperti seseorang yang harus ditakuti.Arga tak pernah memaksanya mendekat, rasa bersalah sudah cukup berat. Setelah semua yang dia lakukan, dia tentu tak mau menakuti putrinya sendiri.Tapi hari itu, ketika Dora berlari ke pelukannya, dia merasakan secercah harapan. Dia memeluknya erat, lalu sesuatu di saku Dora menarik perhatiannya."Dora, ini apa?" tanyanya dengan lembut sambil m

  • Lepas dari Cinta yang Telah Retak   Bab 5

    Keluarga Pratama bukan cuma menguasai kota ini. Di beberapa daerah di negara ini, mereka adalah hukum itu sendiri. Jadi kalau aku benar-benar ingin punya kesempatan untuk bebas, aku harus menghilang ke tempat yang tak akan terpikirkan oleh mereka.Aku mengepak beberapa tas dan menuju lembah tua dekat tempat orang tuaku dulu tinggal, semoga mereka tenang di sisiNya. Tempat itu begitu terpencil sampai GPS pun hampir tak bisa menemukannya. Dan aku tahu, jauh di lubuk hatiku, tak satu pun dari Keluarga Pratama yang bakal terpikir untuk mencariku di sana. Kenapa mereka harus repot? Mereka tak pernah peduli dari mana asalku. Bagi mereka, aku cuma gadis pendiam, bersih, tanpa catatan kriminal, tipe menantu atau istri yang patuh, persis yang mereka butuhkan untuk penampilan semata.Aku masih sangat ingat malam sebelum pernikahanku dengan Arga.Aku tegang setengah mati sampai akhirnya melewatkan makan malam keluarga mewah mereka jam 7 malam.Itu kesalahan besar.Tapi mereka bahkan tidak mengir

  • Lepas dari Cinta yang Telah Retak   Bab 4

    Aku benar-benar pikir aku bisa lepas darinya.Tapi aku meremehkan seberapa dalam nama Keluarga Pratama berakar.Setiap kali aku coba cari pengacara untuk bantu urus perceraian, mereka langsung bungkam begitu aku sebut nama Arga.Ada yang tiba-tiba gelisah.Yang lain malah langsung bilang kalau mereka tidak menerima klien baru.Tapi aku tahu persis apa maksudnya. Tak seorang pun mau melawan Keluarga Pratama.Dan tepat ketika aku mulai kehabisan cara, Arga meneleponku."Besok ulang tahun Dora," katanya santai, seakan sedang membicarakan cuaca. "Dia ingin ketemu ibunya."Dadaku langsung mengencang. "Dora mau ketemu aku?" Aku berusaha terdengar tenang, tapi suaraku sempat bergetar. "Kamu serius?""Kamu pikir aku bakal bohong soal itu?" Lalu aku dengar suara Dora di belakangnya."Aku mau ketemu Ibu."Suara kecil itu menghantamku seperti pukulan tepat di perut.Mataku berkaca-kaca, aku tahan biar air mataku tidak jatuh. Untuk pertama kalinya dalam berminggu-minggu, aku tersenyum."Besok kita

  • Lepas dari Cinta yang Telah Retak   Bab 3

    Setelah mengirim pesan itu, aku menemukan sebuah toko gadai kecil di pinggiran kota. Tanpa banyak bicara, aku masuk dan menjual cincin itu.Aku masih dapat ratusan juta rupiah, tapi rasanya hambar. Tak ada lagi rasa senang saat uang masuk ke rekeningku.Ini bukan perang. Ini hidupku. Dan dalam hidup ini, tidak ada pemenang.Aku lalu memesan kamar hotel kecil di jalur menuju vila Keluarga Pratama.Aku tidak punya rencana jelas... hanya sebuah harapan.Mungkin aku masih bisa dapat satu kesempatan terakhir untuk bertemu Dora.Mungkin aku bisa mencegat mereka, bicara dengannya tanpa Maya di sekitar, sekali saja.Malam itu aku tak bisa tidur.Aku duduk di dekat jendela, menatap SUV yang melintas di jalan raya.Setiap kali ada mobil lewat, aku bertanya-tanya, apakah itu mereka?Apakah mereka sudah sampai?Apakah mereka bertanya-tanya di mana aku?Sepertinya tidak.Aku bahkan tak ingat sudah berapa jam aku duduk begitu saja.Sampai akhirnya tubuhku menyerah, dan aku tertidur di kursi dekat je

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status