Share

Bab 4

Penulis: Cherryblossom
Aku benar-benar pikir aku bisa lepas darinya.

Tapi aku meremehkan seberapa dalam nama Keluarga Pratama berakar.

Setiap kali aku coba cari pengacara untuk bantu urus perceraian, mereka langsung bungkam begitu aku sebut nama Arga.

Ada yang tiba-tiba gelisah.

Yang lain malah langsung bilang kalau mereka tidak menerima klien baru.

Tapi aku tahu persis apa maksudnya. Tak seorang pun mau melawan Keluarga Pratama.

Dan tepat ketika aku mulai kehabisan cara, Arga meneleponku.

"Besok ulang tahun Dora," katanya santai, seakan sedang membicarakan cuaca. "Dia ingin ketemu ibunya."

Dadaku langsung mengencang. "Dora mau ketemu aku?" Aku berusaha terdengar tenang, tapi suaraku sempat bergetar. "Kamu serius?"

"Kamu pikir aku bakal bohong soal itu?" Lalu aku dengar suara Dora di belakangnya.

"Aku mau ketemu Ibu."

Suara kecil itu menghantamku seperti pukulan tepat di perut.

Mataku berkaca-kaca, aku tahan biar air mataku tidak jatuh. Untuk pertama kalinya dalam berminggu-minggu, aku tersenyum.

"Besok kita ketemu, sayang." Aku jawab cepat, takut dia berubah pikiran.

Aku tanya Arga, "Kita ketemunya di mana?"

"Vila Ratnasari, Jalan Kemuning Indah No. 25."

Vila Ratnasari. Tentu saja. Itu salah satu rumah Keluarga Pratama. Tempat orang tuanya lebih sering tinggal. Bagian itu bikin aku nggak tenang.

"Tunggu," tanyaku. "Ini cuma kita bertiga? Aku, kamu, Dora?"

Tapi sambungan sudah terputus.

Aku punya firasat buruk.

Tetap saja, keesokan harinya aku datang. Aku pakai gaun terbaikku.

Aku bilang pada diriku sendiri, mungkin ini kesempatan terakhir melihat Arga, atau siapa pun dari mereka. Karena begitu Dora ada di tanganku, aku akan pergi.

Aku sudah menabung selama bertahun-tahun, menyimpan uang diam-diam tanpa diketahui siapapun.

Mungkin aku tak bisa cerai secara hukum, tapi aku bisa mulai hidup baru.

Hidup tenang. Hanya aku dan putriku.

Begitu masuk, aroma masakan rumahan langsung menyambutku.

Fiona ternyata sedang memasak di dapur, dan pembantu, ibunya Maya sedang menggantungkan pita hias dan bunga.

Suasananya... hangat.

Arga berdiri di ruang tamu. Saat melihatku, dia menatap seolah sudah bertahun-tahun tak berjumpa.

Bahkan ayahnya pun muncul, diapit dua asistennya yang berjas gelap.

Aku tetap tenang, tersenyum dan mengangguk. "Ayah. Ibu. Senang bertemu kalian."

Fiona membalas senyum, tulus, entah kenapa terasa aneh.

Sementara ayahnya Arga hanya memberi anggukan singkat, sama seperti yang dia berikan pada para pelayan.

Aku beralih ke Arga. "Dora di mana?"

"Dia sedang bersiap," jawabnya sembari menghindari tatapanku.

"Dia sendirian? Aku bisa bantu…"

"Tidak, dia sudah ada yang bantu," potongnya cepat.

Perutku mual. Ada yang bantu? Siapa lagi kalau bukan…

Tak lama kemudian, Maya masuk sambil menggandeng Dora.

Begitu saja, semua harapanku runtuh.

Dora melirikku sekilas, lalu memalingkan wajah, seakan tak ingin berurusan denganku. Sama seperti biasanya. Dingin. Jauh. Seakan aku orang asing.

Fiona langsung menghampiri dengan senyum lebar.

Dia menyerahkan kotak beludru kecil pada Dora.

Sebuah gelang berlian, nilainya mungkin lebih mahal daripada apartemenku.

Lalu dia beralih ke Maya, mengalungkan kalung yang serasi di lehernya, penuh kasih seperti pada anak kandung.

"Selamat ulang tahun, dua dewi kecilku!" serunya riang.

Aku membeku.

Mataku menoleh ke dinding.

Di sana, dengan huruf besar berkilau: [Selamat ulang tahun, Dora dan Maya.]

Ulang tahun mereka jatuh di hari yang sama.

Aku merasa pening.

Aku menyelipkan kembali hadiah kecil yang kubawa untuk Dora ke dalam tas.

Tidak mungkin kuberikan sekarang.

Tidak di saat dia bahkan tak sudi menatapku.

Semua orang tersenyum seakan ini hari paling bahagia.

Aku berdiri di sudut, menggenggam erat tasku seakan itu bisa membuatku tetap tegak.

Arga beberapa kali melirikku, seperti ingin bilang dia minta maaf.

Tapi itu tak ada gunanya.

Saat makan malam tiba, dia datang menggandeng tanganku.

"Ayo," katanya lembut. "Duduk bersama kami."

Tatapan Maya terus mengikuti kami menuju meja.

Tanpa berkata apa-apa, raut masamnya sudah menjelaskan segalanya.

Saat makan, Maya mencondongkan badan ke arah Dora dan berbisik manis, "Lihat siapa yang datang merayakan denganmu? Ibumu!"

Dora bahkan tak menoleh padaku. Dia hanya menatap Maya.

"Bilang sesuatu pada ibumu, Dora," kata Arga, jelas menahan amarah.

Dora perlahan menoleh ke arahku. Suaranya gemetar, kecil, tapi menusuk.

"Ibu... tolong jangan sakiti Maya."

Aku terbelalak. "Apa?"

Aku tak percaya apa yang baru saja kudengar. "Kenapa kamu bilang begitu?"

Arga buru-buru menyela dengan tenang. "Dora, ibumu tidak akan menyakiti siapa pun. Dia di sini untukmu, oke?"

Aku menatap Dora. "Kamu yang minta ketemu Ibu, sayang? Kamu benar-benar ingin aku di sini?"

Fiona segera masuk, cepat sekali. "Tidak perlu dibahas sekarang. Ini pesta. Ayo, bersulang!"

Selesai makan, Fiona menarikku ke samping.

Dia memberiku kotak kecil. Di dalamnya ada kalung sama seperti yang dia berikan pada Maya.

Tapi dia tidak mengalungkannya padaku.

Dia hanya tersenyum dan berkata, "Katarina... aku tahu tidak mudah bagimu. Jadi bagian dari keluarga ini... memang bukan untuk semua orang. Tapi terima kasih. Karena sudah membawa Dora ke dalam hidup kami."

Kemudian dia melangkah pergi seakan semuanya baik-baik saja.

Seakan semua waktu yang dia habiskan untuk membuatku menderita tidak pernah ada.

Beberapa saat kemudian, Maya dan ibunya keluar. Akhirnya Dora hanya bersamaku.

Aku duduk di sampingnya di sofa. Dia menegang, tapi tidak seperti biasanya. Setidaknya dia tidak menjauh.

Aku berbisik, "Selamat ulang tahun, Dora."

Dia menoleh menatapku dan jujur saja, itu saja hampir cukup untuk membuat hatiku luluh.

Aku merogoh saku, berniat mengeluarkan hadiah kecil yang sudah lama kusimpan untuknya... tapi dia bicara duluan.

Suaranya dingin. Terlalu dingin untuk anak enam tahun.

"Apakah Ibu sembunyikan Maya dari aku?"

Aku membeku.

"Apa? Tidak, tentu tidak…"

"Kamu ganggu aku," potongnya tajam. "Aku lagi nonton TV."

Itu menghantamku lebih keras dari yang kuduga.

Aku relakan segalanya demi melahirkannya, hampir kehilangan nyawa untuknya.

Dan sekarang dia menyebutku pengganggu?

Saat itu aku tahu, ini bukan waktunya memperbaiki segalanya. Mungkin suatu hari nanti aku bisa meluruskan kebohongan yang mereka tanamkan. Tapi bukan hari ini.

Aku menatap wajah kecilnya dari samping, masih terpaku pada layar.

Perlahan aku berbisik, "Baiklah, Dora. Sampai jumpa. Mungkin lain kali kamu akan ingat siapa ibumu yang sebenarnya."

Dia tak bergeming.

Aku menyelipkan hadiah itu di balik bantal sofa, tak tega membawanya kembali, tapi juga tak sanggup memberikannya langsung, lalu berjalan lurus ke pintu.

Kali ini, tak ada yang bisa menghentikanku.

Semuanya sudah kusiapkan. Dokumen, tiket, mobil yang menunggu di luar.

Kalau memang Maya yang mereka semua inginkan...

Ya sudah. Aku akan lenyap dari dunia mereka.

Aku tidak mau berurusan lagi dengan Keluarga Pratama.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Lepas dari Cinta yang Telah Retak   Bab 8

    Saat aku melangkah keluar dari klinik, Dora berlari mengejarku."Ibu, tunggu! Aku mau ikut sama Ibu."Dia meraih tanganku, dan aku menatap ke bawah dengan terkejut.Di pergelangan tangannya bukan gelang berlian yang diberikan Fiona, itu gelang yang kubuat sendiri, dengan manik-manik merah muda dan liontin kartun kecil. Tak ada kilau, tak ada kemewahan. Hanya cinta.Aku tersenyum sedikit dan menggenggam tangannya. "Kamu yang pilih pakai ini?"Dia mengangguk. "Ini favoritku."Kami berjalan bersama menyusuri lorong menuju ruang tamu.Saat berbelok, kami bertemu dengan ayahnya Arga, Dirga Pratama, pria tua itu.Dia terlihat lebih tua. Gerakannya lebih lambat. Rambutnya yang disisir ke belakang kini lebih banyak uban daripada yang kuingat. Dia bukan lagi pria berkuasa dengan tangan besi seperti dulu.Dia menatapku dari atas ke bawah, lalu berkata dengan suara dalam dan sulit dibaca, "Aku sudah meremehkanmu, Katarina. Tidak pernah kubayangkan Arga bisa begitu melekat pada seseorang."Aku men

  • Lepas dari Cinta yang Telah Retak   Bab 7

    Aku mematikan ponselku saat ulang tahun pernikahan kami.Tak sanggup lagi menerima telepon, pesan, atau permintaan maaf kosong. Aku cuma butuh bernapas.Daripada pulang ke rumah sewa, aku mulai berjalan. Langkahku menuntunku melewati jalan berliku dan melintasi lembah, dan sebelum kusadari, aku berdiri tak jauh dari rumah lamaku. Rumah orang tuaku. Sudah dijual setelah mereka tiada, dan uangnya membantuku menyewa apartemen di kota serta menemukan pijakan sendiri.Begitu banyak kenangan di rumah itu. Ada yang indah, ada yang menyakitkan, semuanya milikku."Katarina?"Aku menoleh mendengar namaku. Itu Erwin, pria yang menyewakan rumah kayu di lembah ini padaku. Dia berdiri di sana mengenakan jeans dan jaket berkerudung, tangannya terselip di saku. Dia tampak terkejut melihatku."Oh, hai," kataku. "Tidak disangka bisa bertemu denganmu di sini.""Aku tinggal di sekitar sini," katanya sambil melangkah mendekat dengan senyum hangat. "Rumah yang aku sewakan kepadamu itu hanya salah satu prope

  • Lepas dari Cinta yang Telah Retak   Bab 6

    Sejak Dora mulai tinggal dengan Maya, dia jadi aneh, melekat sekali pada Arga.Sumber informasiku di vila Keluarga Pratama memberitahuku apa yang terjadi sehari sebelum ulang tahun pernikahan. Arga akhirnya kembali ke vila setelah beberapa hari urusan bisnis.Saat itu, Maya sudah datang bersama Dora, pura-pura membantu menghias untuk pesta.Begitu Dora melihat Arga, dia langsung lari ke pelukannya, tak menoleh sama sekali ke Maya. Itu mengejutkan Arga. Sebenarnya belakangan ini, Dora jarang menatap matanya. Dia selalu dekat dengan Maya, selalu mengawasi Arga seperti dia orang asing, atau lebih parah... seperti seseorang yang harus ditakuti.Arga tak pernah memaksanya mendekat, rasa bersalah sudah cukup berat. Setelah semua yang dia lakukan, dia tentu tak mau menakuti putrinya sendiri.Tapi hari itu, ketika Dora berlari ke pelukannya, dia merasakan secercah harapan. Dia memeluknya erat, lalu sesuatu di saku Dora menarik perhatiannya."Dora, ini apa?" tanyanya dengan lembut sambil m

  • Lepas dari Cinta yang Telah Retak   Bab 5

    Keluarga Pratama bukan cuma menguasai kota ini. Di beberapa daerah di negara ini, mereka adalah hukum itu sendiri. Jadi kalau aku benar-benar ingin punya kesempatan untuk bebas, aku harus menghilang ke tempat yang tak akan terpikirkan oleh mereka.Aku mengepak beberapa tas dan menuju lembah tua dekat tempat orang tuaku dulu tinggal, semoga mereka tenang di sisiNya. Tempat itu begitu terpencil sampai GPS pun hampir tak bisa menemukannya. Dan aku tahu, jauh di lubuk hatiku, tak satu pun dari Keluarga Pratama yang bakal terpikir untuk mencariku di sana. Kenapa mereka harus repot? Mereka tak pernah peduli dari mana asalku. Bagi mereka, aku cuma gadis pendiam, bersih, tanpa catatan kriminal, tipe menantu atau istri yang patuh, persis yang mereka butuhkan untuk penampilan semata.Aku masih sangat ingat malam sebelum pernikahanku dengan Arga.Aku tegang setengah mati sampai akhirnya melewatkan makan malam keluarga mewah mereka jam 7 malam.Itu kesalahan besar.Tapi mereka bahkan tidak mengir

  • Lepas dari Cinta yang Telah Retak   Bab 4

    Aku benar-benar pikir aku bisa lepas darinya.Tapi aku meremehkan seberapa dalam nama Keluarga Pratama berakar.Setiap kali aku coba cari pengacara untuk bantu urus perceraian, mereka langsung bungkam begitu aku sebut nama Arga.Ada yang tiba-tiba gelisah.Yang lain malah langsung bilang kalau mereka tidak menerima klien baru.Tapi aku tahu persis apa maksudnya. Tak seorang pun mau melawan Keluarga Pratama.Dan tepat ketika aku mulai kehabisan cara, Arga meneleponku."Besok ulang tahun Dora," katanya santai, seakan sedang membicarakan cuaca. "Dia ingin ketemu ibunya."Dadaku langsung mengencang. "Dora mau ketemu aku?" Aku berusaha terdengar tenang, tapi suaraku sempat bergetar. "Kamu serius?""Kamu pikir aku bakal bohong soal itu?" Lalu aku dengar suara Dora di belakangnya."Aku mau ketemu Ibu."Suara kecil itu menghantamku seperti pukulan tepat di perut.Mataku berkaca-kaca, aku tahan biar air mataku tidak jatuh. Untuk pertama kalinya dalam berminggu-minggu, aku tersenyum."Besok kita

  • Lepas dari Cinta yang Telah Retak   Bab 3

    Setelah mengirim pesan itu, aku menemukan sebuah toko gadai kecil di pinggiran kota. Tanpa banyak bicara, aku masuk dan menjual cincin itu.Aku masih dapat ratusan juta rupiah, tapi rasanya hambar. Tak ada lagi rasa senang saat uang masuk ke rekeningku.Ini bukan perang. Ini hidupku. Dan dalam hidup ini, tidak ada pemenang.Aku lalu memesan kamar hotel kecil di jalur menuju vila Keluarga Pratama.Aku tidak punya rencana jelas... hanya sebuah harapan.Mungkin aku masih bisa dapat satu kesempatan terakhir untuk bertemu Dora.Mungkin aku bisa mencegat mereka, bicara dengannya tanpa Maya di sekitar, sekali saja.Malam itu aku tak bisa tidur.Aku duduk di dekat jendela, menatap SUV yang melintas di jalan raya.Setiap kali ada mobil lewat, aku bertanya-tanya, apakah itu mereka?Apakah mereka sudah sampai?Apakah mereka bertanya-tanya di mana aku?Sepertinya tidak.Aku bahkan tak ingat sudah berapa jam aku duduk begitu saja.Sampai akhirnya tubuhku menyerah, dan aku tertidur di kursi dekat je

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status