"Sayang, maafkan Mama. Sudah sering bikin kamu kesal. Mama beneran kangen sama kamu." Dengan suara parau Rosita bicara.
"Nya, saya ambilkan air hangat, ya?" Bu Tirah menyela perkataan Rosita.
"Iya, Bu. Terima kasih," kata Rosita.
Bu Tirah beranjak meninggalkan kamar. Dia menyuruh Yenny masuk dan duduk di kursi tak jauh dari pintu. Yenny manut. Clarissa menoleh pada Yenny. Dia melambai. Yenny mendekat, berdiri di sebelah tempat tidur, di dekat Clarissa.
"Ini Yenny, Ma. Sahabat aku." Clarissa mengenalkan.
"Yenny, kamu pasti gadis baik. Bisa tahan dengan anak Tante ini." Rosita memandang Yenny.
"Mama, ihhh," Clarissa manyun.
"Clarissa, Mama tahu kamu paling kesal kalau Mama pingin bicara. Apalagi soal jodoh." Rosita mengalihkan pandangan pada Clarissa lagi.
Nah, kan, kondisi sakit juga ngomong soal jodoh.
"Mama hanya mau kamu dapat pria baik, hidup kamu terjamin. Karena ..." Rosita tidak meneruskan kalimatnya. Dia menarik nafas dalam. Clarissa dan Yenny menunggu.
"Dokter bilang, sakit Mama sangat sulit sembuh. Dalam waktu beberapa tahun lagi, Mama sangat mungkin ga bisa kerja. Mama sangat takut, nanti kamu akan hidup susah." Air mata Rosita menetes. Dia tidak bisa menahan lagi rasa sesak di dadanya.
Clarissa dan Yenny berpandangan. Pertanyaan sama muncul di kepala kedua gadis itu. Mama Clarissa sakit apa?
"Ma, sebenarnya Mama kenapa? Kasih tahu aku. Aku jadi bingung sekarang." Clarissa mendesak Rosita bicara.
Dengan wajah pucat, mata merah dan mulai berair, Rosita akhirnya bicara. "Lupus. Aku punya teman baru sekarang. Lupus."
"Ma ..." Mata Clarissa melebar. Genangan air di ujung matanya mulai meluncur. Mamanya menderita sakit Lupus? Benarkah? Salah satu penyakit yang tak bisa sembuh. Pengobatan hanya untuk memperlambat pertumbuhan sakitnya.
"Sayang ..." Rosita mengusap matanya. "Maafkan Mama."
Clarissa mendekat, dia peluk mamanya. Lama dia tidak melakukan ini. Sudah bertahun-tahun Clarissa merasa kesal dan kecewa pada mamanya. Karena perpisahan dengan papa, karena dia sibuk dengan dunianya, karena Clarissa merasa dia bukan yang terpenting buat orang tuanya. Hari ini, mendengar kabar ini, hati Clarissa sangat pilu. Air mata Rosita membuat Clarissa terenyuh.
"Mama tidak apa-apa. Mama akan hadapi sakit ini. Dia akan jadi temanku lama. Kamu yang Mama pikir, Sayang. Kamu ..."
"Mama, maafkan aku." Clarissa terisak-isak. Dia seperti tak mau melepas mamanya.
Bagaimanapun setelah papa pergi, hanya Rosita yang bersama dengannya. Arlon sibuk dengan hidupnya sendiri. Dia harus mengurus keluarga barunya. Dan Clarissa, hanya Rosita yang di sisinya, meski tak sedikit waktu ibu dan anak itu pakai untuk berselisih dan saling ngotot maunya sendiri.
"Mama yang minta maaf. Kamu mengerti sekarang mengapa Mama ingin segera tahu pria seperti apa yang akan membuat kamu bahagia nanti? Jangan seperti Mama. Kamu harus hidup lebih baik." Rosita mengusap pipi Clarissa.
Tangis Clarissa tak bisa berhenti rasanya. Yenny pun tak mampu menahan air matanya. Dia menunduk, mengeringkan pipi kiri dan kanan. Sahabatnya ini benar-benar malang. Tak merasa kasih sayang lengkap, hidup hanya diisi kemarahan dan kekecewaan, sekarang mendapati kenyataan mamanya menderita sakit yang berat.
"Jadi, kamu harus bisa mandiri dan menjaga dirimu. Mama tidak punya banyak waktu dengan kamu. Kalau boleh, pulang. Kamu pulang, Clarissa. Mama tidak minta kamu balik ke rumah terus, Mama cuma pingin dekat kamu sekarang." Rosita meminta pada putrinya agar mereka bisa kembali dekat.
Clarissa mengangguk. Tanpa bicara, air mata mengucur lagi, Clarissa mengiyakan permintaan mamanya.
*****
Hingga lebih tiga jam kemudian, Rosita tidur. Clarissa memilih balik ke kos, mengambil barangnya sekalian mengantar Yenny. Clarissa akan tidur di rumah. Dia mau menemani mamanya. Bagaimanapun juga hatinya cemas memikirkan Rosita.
Yenny menghibur Clarissa agar temannya itu tetap kuat. Dia mengerti Clarissa makin kacau. Dalam kondisi normal saja dia tidak niat belajar, apalagi sekarang. Yenny hanya bisa menatap Clarissa dengan pandangan sendu.
Clarissa kembali mengendarai roda empat kesayangannya. Hatinya carut marut, tidak bisa dia gambarkan. Ingin sekali Clarissa menangis sekeras-kerasnya. Sepanjang jalan sambil nyetir sesekali Clarissa mengusap matanya yang basah.
Melintasi daerah tempat Diaz kos, seketika Clarissa berbelok, dia ingin menemui dosennya itu. Dengan harapan dia akan bisa bertemu dengan Diaz. Dia butuh tempat menangis sekarang.
Clarissa memarkir mobilnya. Dia turun melangkah ke arah rumah besar di depannya. Tepat saat itu, Diaz datang. Dia baru pulang dari bimbel tempat dia mengajar. Dia agak terkejut melihat Clarissa di teras.
"Clarissa!" panggil Diaz.
Clarissa berbalik. Begitu dia melihat Diaz, tanpa berpikir lagi, Clarissa lari ke arah Diaz dan memeluk Diaz sambil menangis. Tak ayal, Diaz gelagapan. Ada apa ini? Mengapa Clarissa tiba-tiba datang, menangis, tersedu-sedu. Dan gadis itu sekarang memeluk pinggangnya erat.
"Clarissa, ada apa?" Diaz melepas pelukan Clarissa dan memegang kedua bahunya.
Wajah Clarissa penuh derai air mata. Jelas gadis periang yang sekaligus jutek ini sedang sangat bersedih. Diaz mengajak Clarissa duduk di teras rumah itu. Dia tunggu hingga Clarissa tenang, lalu dia minta Clarissa bicara. Dia menceritakan kabar yang mengejutkan tentang mamanya. Begitu gadis itu bicara semua hal keluar dari mulutnya. Rasa sedih, kecewa, kuatir dan segala tanda tanya tentang hidup yang harus dia jalani meluncur dengan lancar di tengah tangisnya yang belum benar-benar berhenti.
Diaz, seperti yang lalu, dengan sabar menunggu hingga Clarissa selesai mengungkapkan semuanya. Dia tidak menyela, tidak bertanya, hanya mendengarkan saja.
"Udah," ucap Clarissa. Tangannya mengusap ujung matanya.
"Aku turut prihatin soal Mama kamu. Ini situasi yang sulit buat dia. Pasti ada kamu di sisinya dia akan lebih tenang. Kamu mengerti tentunya apa yang Mama kamu rasakan." Diaz memandang Clarissa.
Clarissa mengangguk. Karena itu dia mau pulang, setidaknya beberapa hari.
"Hidup yang berat, tidak terduga, tiba-tiba keadaan makin buruk, kita tak pernah tahu itu. Rasanya tidak adil, kenapa harus begini?" Diaz masih melihat Clarissa. Muka gadis itu merah dengan matanya sembab.
Clarissa kembali mengangguk. Itu yang dia rasa. Sejak kecil dia tidak bahagia. Keluarga berantakan, dia tak ada pegangan. Sampai sebesar ini kerinduan akan kasih sayang utuh tak akan bisa dia dapatkan, kini dia diperhadapkan kondisi mamanya yang sakit berat. Tidak adil. Sangat tidak adil.
"Clarissa, Tuhan tidak akan melakukan yang tidak adil. Ini terjadi atas ijin-Nya, artinya ada hal baik yang akan datang. Sakit, penderitaan itu karena dunia sudah rusak akibat dosa. Tapi Tuhan bisa mengubah yang buruk menjadi baik. Aku yakin itu." Diaz mencoba memberi pengertian pada Clarissa.
Clarissa menyimpan yang Diaz katakan. Apakah benar begitu? Kapan semua akan baik? Kapan dia akan bahagia, sesungguhnya bahagia, bukan tampak bahagia semata?
"Yang penting bagian kita adalah melakukan yang terbaik dengan hidup kita, maka hal-hal baik akan muncul pada saatnya." Lagi, Diaz menasihati mahasiswanya itu.
"Kak, makasih karena mau jadi tempat aku tumpahkan semuanya. Kalau Kak Diaz ga ada, aku ga tahu mau gimana." Clarissa memandang Diaz.
Diaz tersenyum. "Sekarang baliklah. Mama kamu menunggu. Dan jadilah kuat."
"Iya. Thank you sekali lagi." Clarissa berdiri, dia mendekati Diaz dan memeluknya.
"Clarissa?!" Diaz kembali terkejut. Saat datang tadi dengan kondisi kalau, Clarissa memeluknya, Diaz bisa paham. Tapi saat pamitan ini, Clarissa sudah baikan, dia masih memeluknya lagi?
"Sorry. Aku cuma mau bilang terima kasih." Clarissa melepas pelukannya dan meninggalkan Diaz.
"Clarissa ... Kamu makin berani." Diaz merasa situasi dia dengan Clarissa akan tidak baik jika berlanjut. Tujuannya menolong Clarissa, tapi jika Clarissa seperti ini, dia tidak akan berhasil, justru hubungan yang tak semestinya akan terjadi.
*
*
Pak Diaz, kenapa ga buka hati sih?
Clarissa kembali memperhatikan Cori. Wajahnya sedikit pucat, bibirnya mulai biru. "Cori, kamu beneran ga apa-apa?" tanya Clarissa. "Ga apa-apa. Cuma geli, tadi. Ikannya pada ngerubung kakiku." Cori memeluk lengannya, mulai kedinginan. "Bawa dia mandi, Clay." Adimasta sudah di belakang Clarissa. Clarissa membawa Cori ke kamar mandi dan membersihkan diri. Sedang Adimasta, bersama Calvin, akhirnya dibantu Diaz mulai membereskan pancingan. Lalu ikan hasil Calvin dan Cori memancing mereka berikan pada pelayan untuk diolah menjadi lauk makan siang. Sambil menunggu makanan siap, Adimasta, ikut bergabung dengan keluarga yang lain. Hari yang sangat menyenangkan memang. Saat liburan sekolah, tepat hari ulang tahun pernikahan mama dan papa Adimasta, mereka pergi ke tempat pemancingan di pinggiran kota. Calvin datang liburan kenaikan kelas dan ikut bersama mereka. Yang menyenangkan, Rosita pun bisa bersama mereka. Kondisinya cukup baik
Suara gemericik air mengalir terasa menenangkan jiwa. Desau tiupan angin membuat daun-daun beradu, berguguran di sekitar batang pohon yang besar. Di antara suara alam terdengar tawa dan celotehan gadis kecil di pinggir kolam yang cukup luas, bersama seorang anak yang mulai beranjak remaja. "Om, itu! Goyang! Lihat! Om, dapat lagi!!" Teriakan kegirangan terdengar memecah di antara suara alam yang sejuk. Anak lelaki di sisi gadis yang berteriak gembira itu dengan cepat menarik pancingnya dan benar, ikan mujair lumayan besar tersangkut pada mata kail. "Keren!! Om pintar juga memancing!" Gadis kecil dengan ekor kuda di belakang kepalanya itu melompat-lompat dengan senyum lebar. Dia cepat mengambil kaleng tempat menaruh hasil pancingan mereka.Lalu dengan senyum masih di bibirnya, gadis kecil itu berlari kecil menuju pondok tidak jauh dari kolam pemancingan. Di pondok bambu, duduk sepasang pasutri yang sedang menikmati indahnya alam di sekitar mereka.
Adimasta dan Clarissa kembali ke rumah sakit demi mendengar kabar kepergian Lena. Sungguh mengejutkan, ternyata Lena bahkan lebih cepat pergi dari yang dokter perkirakan. Mama Lena menangis hampir tak bisa berhenti. Begitu pula adik Lena.Lena yang ceria dan penuh semangat, tidak akan ada lagi. Senyum lebar dan tingkahnya yang lincah tidak akan terlihat lagi. Meskipun Adimasta tidak begitu dekat dengan Lena, tetap dia merasa sedih juga dengan kejadian ini. Clarissa bahkan ikut menitikkan air mata melihat ibu dan anak yang menangis karena kehilangan satu anggota keluarga mereka. Apalagi ayah Lena bekerja di luar pulau. Masih perlu menunggu sekian jam untuk bisa datang dan memeluk anak serta istrinya yang sedang berduka. Buatnya pasti juga sangat berat. Berpisah sekian lama, jarang bisa bersama, harus mendapat kabar putrinya meninggal. "Tuhan kenapa ga sembuhin kakak, Ma? Kenapa kakak diambil kayak gini?" Tangisan pilu gadis remaja itu menyayat hati.
Senyum tipis muncul di bibir Lena yang sedikit kering. Dia memandang Clarissa. "Memang benar, ada sesuatu yang kita perjuangkan belum tentu juga akan kita dapatkan. Sakit, kecewa, pasti. Cuma, seperti mama bilang, aku harus punya hati bersih." Lena melanjutkan kalimatnya. Clarissa masih duduk di tempatnya, memandang pada Lena yang bicara dengan suara lebih lemah. "Hidupku akan segera berakhir. Kenapa ... aku harus meninggalkan semua ... dengan luka? Aku mau pergi dengan ... hati bersih." Makin lirih dan pelan kalimat itu keluar dari bibir Lena. "Lena?" Clarissa menyentuh lengan Lena. Kuatir karena suara gadis itu makin jauh, matanya makin redup. "Aku hanya ngantuk ..." ucap Lena. Dia pejamkan matanya. Clarissa menarik nafas lega, Lena terpengaruh obat yang dia minum. Clarissa bangun dari kursinya, berjalan perlahan meninggalkan ruangan itu. Di depan kamar, Adimasta dan mama Lena sedang berbincang. Adimasta menoleh ke arah Clari
Ponsel Adimasta kembali berdering. Mama Lena terus mencoba menghubungi dia. Mata Adimasta juga masih memandang Clarissa. Dia kembali kuatir kalau Clarissa akan mengeluarkan tanduk di kepalanya. "Terima, Di. Pasti penting." Clarissa berkata, tenang, tidak ada marah di sana. "Oh, oke." Adimasta pun menerima telpon dari mama Lena. Suara wanita setengah baya itu cemas, bahkan hampir menangis. Adimasta terkejut. Lena drop, masuk ke rumah sakit. Sejak semalam terus saja minta Adimasta datang. Clarissa memperhatikan Adimasta yang wajahnya berubah tegang."Kenapa, Di?" tanya Clarissa. Dia juga penasaran apa kabar yang Adimasta dapat. Adimasta melihat ke arah Clarissa, tapi belum menjawab, masih mendengar suara dari ponselnya. Clarissa menunggu, hingga Adimasta selesai berbicara dengan mama Lena. "Lena sakit lagi?" tanya Clarissa. Adimasta mengangguk. "Iya. Dia masuk rumah sakit. Dia ingin ketemu aku." Adimasta mengatakan itu tetap
Tangan Adimasta masih sedikit gemetar. Dia pegang kuat kedua tangan Clarissa seakan tidak mau ditinggal sendiri. Dia memandang Clarissa dengan wajah yang sulit digambarkan. "Adi ..." Clarissa mencoba mencari kesasadaran dari tatapan bola mata Adimasta yang campur aduk. "Aku ingat. Aku ingat semuanya ..." Tangis Adimasta mulai terdengar. Dia raih Clarissa dan memeluknya erat. Debaran jantung Clarissa melonjak. Adimasta ingat semuanya? Benarkah? Clarissa masih belum yakin. Adimasta terus saja menangis. Belum pernah Clarissa melihat seorang pria menangis sampai seperti ini. Pelan, Clarissa usap punggung Adimasta, tidak ingin mengatakan apapun. Dia akan tunggu hingga Adimasta tenang, lalu mereka bisa kembali bicara. Sementara di kepala Adimasta, semua kisah muncul dengan jelas. Runtut, semua yang berlubang mulai tertutup. Semua kembali pada tempatnya. Adimasta melepas pelukannya dan memandang Clarissa. Masih campur aduk di dalam hatinya. Seb