Share

10. Tangis Clarissa

"Sayang, maafkan Mama. Sudah sering bikin kamu kesal. Mama beneran kangen sama kamu." Dengan suara parau Rosita bicara. 

"Nya, saya ambilkan air hangat, ya?" Bu Tirah menyela perkataan Rosita. 

"Iya, Bu. Terima kasih," kata Rosita. 

Bu Tirah beranjak meninggalkan kamar. Dia menyuruh Yenny masuk dan duduk di kursi tak jauh dari pintu. Yenny manut. Clarissa menoleh pada Yenny. Dia melambai. Yenny mendekat, berdiri di sebelah tempat tidur, di dekat Clarissa. 

"Ini Yenny, Ma. Sahabat aku." Clarissa mengenalkan. 

"Yenny, kamu pasti gadis baik. Bisa tahan dengan anak Tante ini." Rosita memandang Yenny. 

"Mama, ihhh," Clarissa manyun. 

"Clarissa, Mama tahu kamu paling kesal kalau Mama pingin bicara. Apalagi soal jodoh." Rosita mengalihkan pandangan pada Clarissa lagi. 

Nah, kan, kondisi sakit juga ngomong soal jodoh. 

"Mama hanya mau kamu dapat pria baik, hidup kamu terjamin. Karena ..." Rosita tidak meneruskan kalimatnya. Dia menarik nafas dalam. Clarissa dan Yenny menunggu. 

"Dokter bilang, sakit Mama sangat sulit sembuh. Dalam waktu beberapa tahun lagi, Mama sangat mungkin ga bisa kerja. Mama sangat takut, nanti kamu akan hidup susah." Air mata Rosita menetes. Dia tidak bisa menahan lagi rasa sesak di dadanya. 

Clarissa dan Yenny berpandangan. Pertanyaan sama muncul di kepala kedua gadis itu. Mama Clarissa sakit apa? 

"Ma, sebenarnya Mama kenapa? Kasih tahu aku. Aku jadi bingung sekarang." Clarissa mendesak Rosita bicara. 

Dengan wajah pucat, mata merah dan mulai berair, Rosita akhirnya bicara. "Lupus. Aku punya teman baru sekarang. Lupus." 

"Ma ..." Mata Clarissa melebar. Genangan air di ujung matanya mulai meluncur. Mamanya menderita sakit Lupus? Benarkah? Salah satu penyakit yang tak bisa sembuh. Pengobatan hanya untuk memperlambat pertumbuhan sakitnya. 

"Sayang ..." Rosita mengusap matanya. "Maafkan Mama."

Clarissa mendekat, dia peluk mamanya. Lama dia tidak melakukan ini. Sudah bertahun-tahun Clarissa merasa kesal dan kecewa pada mamanya. Karena perpisahan dengan papa, karena dia sibuk dengan dunianya, karena Clarissa merasa dia bukan yang terpenting buat orang tuanya. Hari ini, mendengar kabar ini, hati Clarissa sangat pilu. Air mata Rosita membuat Clarissa terenyuh. 

"Mama tidak apa-apa. Mama akan hadapi sakit ini. Dia akan jadi temanku lama. Kamu yang Mama pikir, Sayang. Kamu ..." 

"Mama, maafkan aku." Clarissa terisak-isak. Dia seperti tak mau melepas mamanya.

Bagaimanapun setelah papa pergi, hanya Rosita yang bersama dengannya. Arlon sibuk dengan hidupnya sendiri. Dia harus mengurus keluarga barunya. Dan Clarissa, hanya Rosita yang di sisinya, meski tak sedikit waktu ibu dan anak itu pakai untuk berselisih dan saling ngotot maunya sendiri. 

"Mama yang minta maaf. Kamu mengerti sekarang mengapa Mama ingin segera tahu pria seperti apa yang akan membuat kamu bahagia nanti? Jangan seperti Mama. Kamu harus hidup lebih baik." Rosita mengusap pipi Clarissa. 

Tangis Clarissa tak bisa berhenti rasanya. Yenny pun tak mampu menahan air matanya. Dia menunduk, mengeringkan pipi kiri dan kanan. Sahabatnya ini benar-benar malang. Tak merasa kasih sayang lengkap, hidup hanya diisi kemarahan dan kekecewaan, sekarang mendapati kenyataan mamanya menderita sakit yang berat. 

"Jadi, kamu harus bisa mandiri dan menjaga dirimu. Mama tidak punya banyak waktu dengan kamu. Kalau boleh, pulang. Kamu pulang, Clarissa. Mama tidak minta kamu balik ke rumah terus, Mama cuma pingin dekat kamu sekarang." Rosita meminta pada putrinya agar mereka bisa kembali dekat. 

Clarissa mengangguk. Tanpa bicara, air mata mengucur lagi, Clarissa mengiyakan permintaan mamanya. 

*****

Hingga lebih tiga jam kemudian, Rosita tidur. Clarissa memilih balik ke kos, mengambil barangnya sekalian mengantar Yenny. Clarissa akan tidur di rumah. Dia mau menemani mamanya. Bagaimanapun juga hatinya cemas memikirkan Rosita. 

Yenny menghibur Clarissa agar temannya itu tetap kuat. Dia mengerti Clarissa makin kacau. Dalam kondisi normal saja dia tidak niat belajar, apalagi sekarang. Yenny hanya bisa menatap Clarissa dengan pandangan sendu. 

Clarissa kembali mengendarai roda empat kesayangannya. Hatinya carut marut, tidak bisa dia gambarkan. Ingin sekali Clarissa menangis sekeras-kerasnya. Sepanjang jalan sambil nyetir sesekali Clarissa mengusap matanya yang basah. 

Melintasi daerah tempat Diaz kos, seketika Clarissa berbelok, dia ingin menemui dosennya itu. Dengan harapan dia akan bisa bertemu dengan Diaz. Dia butuh tempat menangis sekarang. 

Clarissa memarkir mobilnya. Dia turun melangkah ke arah rumah besar di depannya. Tepat saat itu, Diaz datang. Dia baru pulang dari bimbel tempat dia mengajar. Dia agak terkejut melihat Clarissa di teras. 

"Clarissa!" panggil Diaz. 

Clarissa berbalik. Begitu dia melihat Diaz, tanpa berpikir lagi, Clarissa lari ke arah Diaz dan memeluk Diaz sambil menangis. Tak ayal, Diaz gelagapan. Ada apa ini? Mengapa Clarissa tiba-tiba datang, menangis, tersedu-sedu. Dan gadis itu sekarang memeluk pinggangnya erat. 

"Clarissa, ada apa?" Diaz melepas pelukan Clarissa dan memegang kedua bahunya. 

Wajah Clarissa penuh derai air mata. Jelas gadis periang yang sekaligus jutek ini sedang sangat bersedih. Diaz mengajak Clarissa duduk di teras rumah itu. Dia tunggu hingga Clarissa tenang, lalu dia minta Clarissa bicara. Dia menceritakan kabar yang mengejutkan tentang mamanya. Begitu gadis itu bicara semua hal keluar dari mulutnya. Rasa sedih, kecewa, kuatir  dan segala tanda tanya tentang hidup yang harus dia jalani meluncur dengan lancar di tengah tangisnya yang belum benar-benar berhenti. 

Diaz, seperti yang lalu, dengan sabar menunggu hingga Clarissa selesai mengungkapkan semuanya. Dia tidak menyela, tidak bertanya, hanya mendengarkan saja. 

"Udah," ucap Clarissa. Tangannya mengusap ujung matanya. 

"Aku turut prihatin soal Mama kamu. Ini situasi yang sulit buat dia. Pasti ada kamu di sisinya dia akan lebih tenang. Kamu mengerti tentunya apa yang Mama kamu rasakan." Diaz memandang Clarissa. 

Clarissa mengangguk. Karena itu dia mau pulang, setidaknya beberapa hari. 

"Hidup yang berat, tidak terduga, tiba-tiba keadaan makin buruk, kita tak pernah tahu itu. Rasanya tidak adil, kenapa harus begini?" Diaz masih melihat Clarissa. Muka gadis itu merah dengan matanya sembab. 

Clarissa kembali mengangguk. Itu yang dia rasa. Sejak kecil dia tidak bahagia. Keluarga berantakan, dia tak ada pegangan. Sampai sebesar ini kerinduan akan kasih sayang utuh tak akan bisa dia dapatkan, kini dia diperhadapkan kondisi mamanya yang sakit berat. Tidak adil. Sangat tidak adil. 

"Clarissa, Tuhan tidak akan melakukan yang tidak adil. Ini terjadi atas ijin-Nya, artinya ada hal baik yang akan datang. Sakit, penderitaan itu karena dunia sudah rusak akibat dosa. Tapi Tuhan bisa mengubah yang buruk menjadi baik. Aku yakin itu." Diaz mencoba memberi pengertian pada Clarissa. 

Clarissa menyimpan yang Diaz katakan. Apakah benar begitu? Kapan semua akan baik? Kapan dia akan bahagia, sesungguhnya bahagia, bukan tampak bahagia semata? 

"Yang penting bagian kita adalah melakukan yang terbaik dengan hidup kita, maka hal-hal baik akan muncul pada saatnya." Lagi, Diaz menasihati mahasiswanya itu. 

"Kak, makasih karena mau jadi tempat aku tumpahkan semuanya. Kalau Kak Diaz ga ada, aku ga tahu mau gimana." Clarissa memandang Diaz. 

Diaz tersenyum. "Sekarang baliklah. Mama kamu menunggu. Dan jadilah kuat." 

"Iya. Thank you sekali lagi." Clarissa berdiri, dia mendekati Diaz dan memeluknya. 

"Clarissa?!" Diaz kembali terkejut. Saat datang tadi dengan kondisi kalau, Clarissa memeluknya, Diaz bisa paham. Tapi saat pamitan ini, Clarissa sudah baikan, dia masih memeluknya lagi? 

"Sorry. Aku cuma mau bilang terima kasih." Clarissa melepas pelukannya dan meninggalkan Diaz. 

"Clarissa ... Kamu makin berani." Diaz merasa situasi dia dengan Clarissa akan tidak baik jika berlanjut. Tujuannya menolong Clarissa, tapi jika Clarissa seperti ini, dia tidak akan berhasil, justru hubungan yang tak semestinya akan terjadi. 

*

*

Pak Diaz, kenapa ga buka hati sih? 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status