Beranda / Romansa / Look At Me! / 9. Mendadak Pulang

Share

9. Mendadak Pulang

Penulis: Ayunina Sharlyn
last update Terakhir Diperbarui: 2021-05-12 17:27:02

Dengan kesal Clarissa masuk ke dalam mobilnya. Kenapa harus Adimasta?! Dia memang tidak tertarik cowok pada itu. Tapi sejauh ini, Adimasta salah satu teman cowok yang cukup menyenangkan buat Clarissa. Setelah Clarissa tahu hati Adimasta padanya, dia hanya ingin menjauh saja. 

Yenny yang duduk di sebelah Clarissa tahu temannya itu benar-benar kesal. Yenny pun sama, tidak menduga jika Adimasta punya rasa buat cewek yang kadang jelas kadang ngacau itu. Di mata Yenny, cowok model Adimasta akan menyukai cewek kalem, tenang, sopan, dan lembut. Tapi ternyata, dia suka Clarissa? Seperti tidak masuk di otak Yenny. 

"Kamu buat apa marah? Itu urusan Adi mau suka atau nggak sama kamu. Selama ini ga bikin ribet hidup kamu, biarin." Yenny menenangkan Clarissa. 

"Tahu, ah. Aku mau kejar Kak Diaz. Pusing amat sama yang lain." Clarissa melajukan mobilnya. Saat berada di dekat gerbang, dia lihat Adimasta di atas motornya. Dia berhenti di pinggir jalan, sedang menelpon seseorang. 

Yenny menepuk bahu Clarissa, memberitahu Adimasta sedang di dekat mereka. Clarissa cuma angkat bahu, dia terus mempercepat kendaraannya. 

Adimasta melihat mobil Clarissa. Dia menatap hingga mobil berwarna merah gelap itu berbelok, tak terlihat lagi. Adimasta sadar, setelah ini Clarissa akan makin ketus padanya. Adimasta akan nenyiapkan hatinya menghadapi Clarissa. 

Sebenarnya ada sisi diri Adimasta yang merasa sedikit bodoh jatuh cinta pada gadis itu. Sikapnya yang angkuh dan semaunya. Suka meremehkan orang lain, tidak peduli waktu, hanya melakukan yang dia suka saja. Apa yang diharapkan dari perempuan seperti itu kalau jadi pendamping? Tapi, hati Adimasta tak bisa beralih. 

Setiap dia melihat Clarissa, ingat masalah gadis itu, latar belakang hidupnya yang buruk, membuat Adimasta ingin menolongnya. Sayang, pintu itu begitu kuat rapat ditutup. Sedikit terbuka, sekarang ditutup lagi, pakai gembok pula. 

"Tuhan, salah ga sih, kamu taruh cinta di hatiku buat Clarissa?" Beberapa kali pertanyaan itu mengulik hati Adimasta. Tidak ada jawaban. Yang pasti rasa sayangnya makin kuat buat Clarissa. 

*****

Sejak pertemuan di taman itu, Clarissa menjaga jarak dengan Adimasta. Biasanya kalau ada cowok suka dengannya, Clarissa akan jahil dan usil. Dia kerjain dulu cowok itu, sok kasih harapan. Setelah puas dengan apa yang dia mau, Clarissa akan tendang dengan seenaknya. Tapi dengan Adimasta, Clarissa tidak bisa lakukan itu. 

Buat Clarissa, Adimasta terlalu baik sebagai ukuran cowok meski bukan tipe Clarissa. Dia tidak mengejar gadis itu dengan terang-terangan. Seandainya buku Adimasta tidak terbawa Clarissa, entah sampai kapan Clarissa tidak akan pernah tahu isi hati Adimasta padanya. Karena itu Clarissa memilih minggir, dengan lagak jual mahal dan sok ketus. 

"Clay, udah siap buat kuis besok?" Yenny bertanya pada Clarissa yang menatap laptop, nonton film. 

"Kuis apa?" Clarissa menoleh sebentar laku balik melotot pada layar laptopnya. 

"Duh, nih cewek. Kalau ga niat kuliah, udah pulang sana. Buang waktu, buang duit. Ga sayang semua sia-sia?" Yenny menggeleng kesal. 

"Orang tuaku bisa kasih duit kapan aja aku mau, ngapain pusing. Hidup dinikmati, Mbakyu." Clarissa menyenggol lengan Yenny. 

"Aihh, sakit!" Yenny mengusuk lengannya. Lalu dia buka catatan dan menunjukkan pada Clarissa bahan kuis untuk besok.

"Ya, mesti baca banyak gitu. Malas abis." Clarissa menepuk kedua pipinya. 

"Terserah. Aku mau bertapa dulu." Yenny meninggalkan Clarissa. Tidak ada gunanya dia mengingatkan  Clarissa, lebih baik dia belajar.

Clarissa berasal dari keluarga mampu. Yenny, orang tuanya pegawai biasa. Dia harus kuliah agar bisa hidup lebih baik di masa depan. Kalau Clarissa, dia tidak mikir begitu, karena uang yang dia dapat dari papa mamanya mengalir tidak pernah habis. Itu yang membuat dia tidak bisa menghargai apa yang dia miliki. 

Clarissa kembali melihat pada layar laptopnya. Lagi seru film yang dia tonton. Belum sepuluh menit, ponselnya berdering. Dia menoleh melihat siapa yang menelpon. Si Mama. Malas. Clarissa membiarkan saja. Kalau mamanya telpon paling urusan perjodohan atau bertanya kapan Clarissa pulang. Dia sudah lelah ribut dengan mamanya. 

Tapi karena telpon terus berdering berulang kali, akhirnya Clarissa pause film di layar, dia raih ponsel dan menerima telpon juga. 

"Halo, Nyonya Rosita Marsya Setiawan. Nona Clarissa Josephine Lovitta sedang tidur. Ada perlu apa, Nyonya?" Dengan santai Clarissa menyapa mamanya. 

"Clarissa, kenapa lama sekali baru angkat telpon?" Suara Rosita serak terdengar. 

Clarissa menegakkan badan, mengerutkan keningnya. Mamanya tidak seperti biasa. Kalau dia telpon dan tidak segera dijawab, begitu Clarissa menerima panggilannya, dia akan nyerocos dan ribut. Tapi kali ini beda. 

"Sibuk, Ma. Mahasiswa. Kenapa?" Clarissa berkata sedikit ketus. 

"Pulanglah dulu. Ya?" Suara serak masih ada, kali ini sedikit gemetar. 

"Ada apa? Buat apa aku pulang?" Clarissa berpikir. Ini mamanya sedang sakit, atau dia pura-pura biar Clarissa mau pulang dan menuruti kemauannya. 

"Please, Mama ga bisa bilang sekarang. Kamu pulang, nanti Mama beritahu. Clarissa, please ..." Suara Rosita mengecil. Seperti menjauh. 

"Ma ... Ma ... Mama!!" panggil Clarissa. Tidak ada jawaban. 

Panik. Clarissa meletakkan ponsel dan mematikam laptop. Lalu dia memakai celana panjang, meraih ponsel, dan tas slempang di atas meja. Segera dia keluar kamar dan mengetuk pintu kamar Yenny yang ada di sebelah kamarnya. 

"Yenny!!" 

Yenny yang serius belajar terkejut. Dengan cepat dia tinggalkan meja dan menuju ke pintu. Saat dia buka, Clarissa di sana berdiri dengan wajah cemas. 

"Clay, ada apa?" Yenny bingung, pasti ada sesuatu. 

"Temani aku pulang. Sekarang." Clarissa bukan memerintah, lebih pada memohon. 

"Tunggu sebentar." Yenny balik masuk kamar dan segera berganti pakaian. 

Lima menit berikutnya, kedua gadis itu susah di dalam mobil Clarissa, menyusuri jalanan yang padat menuju ke rumah Clarissa. Yenny hanya mendapat cerita ada yang terjadi dengan mama Clarissa tapi apa Clarissa juga tidak tahu. Karena itu dia putuskan pulang. Yenny percaya, karena kalau tidak Clarissa tidak akan mau pulang. 

Tidak sampai setengah jam mereka sampai. Kejutan lain lagi buat Yenny. Rumah Dekat begini, Clarissa memilih kos. Dan rumah ini yang ad di depan Yenny, besar, indah, megah, dan mewah. Tapi Clarissa memilih kos? Ajaib! 

Clarissa cepat masuk ke dalam rumah. Yenny mengekor di belakang. 

"Mama!!" Sedikit berlari, Clarissa naik lantai atas menuju kamar Rosita. 

Sampai di kamar mamanya, tampak wanita itu tergeletak di sana, ditemani seorang pelayan. Clarissa masuk dan melangkah mendekat. 

Rosita tersenyum tipis melihat putrinya. Wajahnya pucat. Bibirnya kering, tampak dia benar-benar sakit. 

"Non ..." Pelayan itu menyapa. 

"Ya, Bu Tirah. Mama kenapa?" Clarissa duduk di sisi ranjang, di dekat mamanya. Semarah apapun melihat wanita yang melahirkannya terbaring tak berdaya, Clarissa merasa sedih juga. 

Yenny berdiri di dekat pintu, melihat ibu dan anak itu dari jauh. 

"Mama kenapa?" Clarissa mengulang pertanyaannya. 

"Kangen kamu." Pelan Rosita menjawab. 

"Jawab aku, Ma. Mama sakit apa?" Clarissa tidak lega dengan jawaban itu. 

"Sakit tua." Rosita menjawab asal. 

"Mama!" Clarissa kesal juga. Di situasi seperti ini, mamanya masih saja mengajak ribut. 

Yenny merasa kasihan menatap Clarissa dan Rosita. Tapi juga merasa lucu. Unik sekali hubungan Clarissa dan mamanya. 

Rosita memegang tangan Clarissa. Dia tatap wajah putrinya yang cantik itu. Putri satu-satunya yang dia sadar, dia tidak mampu menjadi ibu yang baik baginya. 

"Ma, kenapa ga bilang yang bener, sih?" Clarissa memandang mamanya. 

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Look At Me!    97. Yang Kedua Segera Datang

    Clarissa kembali memperhatikan Cori. Wajahnya sedikit pucat, bibirnya mulai biru. "Cori, kamu beneran ga apa-apa?" tanya Clarissa. "Ga apa-apa. Cuma geli, tadi. Ikannya pada ngerubung kakiku." Cori memeluk lengannya, mulai kedinginan. "Bawa dia mandi, Clay." Adimasta sudah di belakang Clarissa. Clarissa membawa Cori ke kamar mandi dan membersihkan diri. Sedang Adimasta, bersama Calvin, akhirnya dibantu Diaz mulai membereskan pancingan. Lalu ikan hasil Calvin dan Cori memancing mereka berikan pada pelayan untuk diolah menjadi lauk makan siang. Sambil menunggu makanan siap, Adimasta, ikut bergabung dengan keluarga yang lain. Hari yang sangat menyenangkan memang. Saat liburan sekolah, tepat hari ulang tahun pernikahan mama dan papa Adimasta, mereka pergi ke tempat pemancingan di pinggiran kota. Calvin datang liburan kenaikan kelas dan ikut bersama mereka. Yang menyenangkan, Rosita pun bisa bersama mereka. Kondisinya cukup baik

  • Look At Me!    96. Tetaplah Begini, Jangan Berubah

    Suara gemericik air mengalir terasa menenangkan jiwa. Desau tiupan angin membuat daun-daun beradu, berguguran di sekitar batang pohon yang besar. Di antara suara alam terdengar tawa dan celotehan gadis kecil di pinggir kolam yang cukup luas, bersama seorang anak yang mulai beranjak remaja. "Om, itu! Goyang! Lihat! Om, dapat lagi!!" Teriakan kegirangan terdengar memecah di antara suara alam yang sejuk. Anak lelaki di sisi gadis yang berteriak gembira itu dengan cepat menarik pancingnya dan benar, ikan mujair lumayan besar tersangkut pada mata kail. "Keren!! Om pintar juga memancing!" Gadis kecil dengan ekor kuda di belakang kepalanya itu melompat-lompat dengan senyum lebar. Dia cepat mengambil kaleng tempat menaruh hasil pancingan mereka.Lalu dengan senyum masih di bibirnya, gadis kecil itu berlari kecil menuju pondok tidak jauh dari kolam pemancingan. Di pondok bambu, duduk sepasang pasutri yang sedang menikmati indahnya alam di sekitar mereka.

  • Look At Me!    95. Hidup Itu Misteri

    Adimasta dan Clarissa kembali ke rumah sakit demi mendengar kabar kepergian Lena. Sungguh mengejutkan, ternyata Lena bahkan lebih cepat pergi dari yang dokter perkirakan. Mama Lena menangis hampir tak bisa berhenti. Begitu pula adik Lena.Lena yang ceria dan penuh semangat, tidak akan ada lagi. Senyum lebar dan tingkahnya yang lincah tidak akan terlihat lagi. Meskipun Adimasta tidak begitu dekat dengan Lena, tetap dia merasa sedih juga dengan kejadian ini. Clarissa bahkan ikut menitikkan air mata melihat ibu dan anak yang menangis karena kehilangan satu anggota keluarga mereka. Apalagi ayah Lena bekerja di luar pulau. Masih perlu menunggu sekian jam untuk bisa datang dan memeluk anak serta istrinya yang sedang berduka. Buatnya pasti juga sangat berat. Berpisah sekian lama, jarang bisa bersama, harus mendapat kabar putrinya meninggal. "Tuhan kenapa ga sembuhin kakak, Ma? Kenapa kakak diambil kayak gini?" Tangisan pilu gadis remaja itu menyayat hati.

  • Look At Me!    94. Pergi dengan Hati Bersih

    Senyum tipis muncul di bibir Lena yang sedikit kering. Dia memandang Clarissa. "Memang benar, ada sesuatu yang kita perjuangkan belum tentu juga akan kita dapatkan. Sakit, kecewa, pasti. Cuma, seperti mama bilang, aku harus punya hati bersih." Lena melanjutkan kalimatnya. Clarissa masih duduk di tempatnya, memandang pada Lena yang bicara dengan suara lebih lemah. "Hidupku akan segera berakhir. Kenapa ... aku harus meninggalkan semua ... dengan luka? Aku mau pergi dengan ... hati bersih." Makin lirih dan pelan kalimat itu keluar dari bibir Lena. "Lena?" Clarissa menyentuh lengan Lena. Kuatir karena suara gadis itu makin jauh, matanya makin redup. "Aku hanya ngantuk ..." ucap Lena. Dia pejamkan matanya. Clarissa menarik nafas lega, Lena terpengaruh obat yang dia minum. Clarissa bangun dari kursinya, berjalan perlahan meninggalkan ruangan itu. Di depan kamar, Adimasta dan mama Lena sedang berbincang. Adimasta menoleh ke arah Clari

  • Look At Me!    93. Pertemuan yang Menegangkan

    Ponsel Adimasta kembali berdering. Mama Lena terus mencoba menghubungi dia. Mata Adimasta juga masih memandang Clarissa. Dia kembali kuatir kalau Clarissa akan mengeluarkan tanduk di kepalanya. "Terima, Di. Pasti penting." Clarissa berkata, tenang, tidak ada marah di sana. "Oh, oke." Adimasta pun menerima telpon dari mama Lena. Suara wanita setengah baya itu cemas, bahkan hampir menangis. Adimasta terkejut. Lena drop, masuk ke rumah sakit. Sejak semalam terus saja minta Adimasta datang. Clarissa memperhatikan Adimasta yang wajahnya berubah tegang."Kenapa, Di?" tanya Clarissa. Dia juga penasaran apa kabar yang Adimasta dapat. Adimasta melihat ke arah Clarissa, tapi belum menjawab, masih mendengar suara dari ponselnya. Clarissa menunggu, hingga Adimasta selesai berbicara dengan mama Lena. "Lena sakit lagi?" tanya Clarissa. Adimasta mengangguk. "Iya. Dia masuk rumah sakit. Dia ingin ketemu aku." Adimasta mengatakan itu tetap

  • Look At Me!    92. Peluk Aku, Jangan Lepaskan

    Tangan Adimasta masih sedikit gemetar. Dia pegang kuat kedua tangan Clarissa seakan tidak mau ditinggal sendiri. Dia memandang Clarissa dengan wajah yang sulit digambarkan. "Adi ..." Clarissa mencoba mencari kesasadaran dari tatapan bola mata Adimasta yang campur aduk. "Aku ingat. Aku ingat semuanya ..." Tangis Adimasta mulai terdengar. Dia raih Clarissa dan memeluknya erat. Debaran jantung Clarissa melonjak. Adimasta ingat semuanya? Benarkah? Clarissa masih belum yakin. Adimasta terus saja menangis. Belum pernah Clarissa melihat seorang pria menangis sampai seperti ini. Pelan, Clarissa usap punggung Adimasta, tidak ingin mengatakan apapun. Dia akan tunggu hingga Adimasta tenang, lalu mereka bisa kembali bicara. Sementara di kepala Adimasta, semua kisah muncul dengan jelas. Runtut, semua yang berlubang mulai tertutup. Semua kembali pada tempatnya. Adimasta melepas pelukannya dan memandang Clarissa. Masih campur aduk di dalam hatinya. Seb

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status