Share

SATU

Author: Kurisinasan
last update Last Updated: 2025-03-25 12:50:32

Kediaman megah keluarga Wardhani berdiri sebagai wujud kerja keras dua generasi yang tak tergoyahkan. Taman luas yang selalu asri serta nuansa arsitektur yang kuat adalah sebuah pernyataan bisu dari warisan pemiliknya. Desau angin sore itu membawa aroma melati yang sedang mekar ke segala penjuru, sementara aliran air terjun bergemericik mengalir ke kolam koi.

Di bawah bayang-bayang kemegahan itu, Rinjani Wardhani duduk di pelataran, memangku buku sketsa dan asyik berkreasi. Pensilnya menari dengan presisi menelusuri pola desain pakaian yang seakan menentang kekakuan dunia yang ia huni.

Suara langkah kaki yang mendekat membuyarkan fokusnya. Ia tidak perlu mendongak untuk mengetahui siapa orang itu. Ritme yang teratur dan berat di setiap langkah menandakan ayahnya, Daryata Wardhani, berjalan menghampirinya. Kehadirannya sendiri mengubah suasana di sekelilingnya.

“Papa tidak paham kenapa kamu bersikeras dengan hobi ini.” Suara ayahnya tenang tapi penuh ketidaksetujuan. Ia lalu duduk di samping Rinjani, mengembuskan napas dalam sembari bersandar. Meskipun posturnya terlihat santai, ada ketegangan yang nyata dari cara telunjuknya yang mengetuk-ngetuk pelan sandaran tangan.

Rinjani seakan tak peduli, pensilnya masih bergerak di atas kertas. Ketenangan sore itu perlahan menguap, berganti dengan beban argumen yang telah dilatihnya selama bertahun-tahun.

“Ini bukan hobi, Pa, ini karir yang aku pilih.” Ia berhenti selama dua hembusan napas agar kalimat berikutnya terdengar tetap tenang. “Desain-desain ini sudah mendapatkan pengakuan. Aku membangunnya dari awal, dan aku tahu ini bisa lebih jauh lagi.” Matanya melirik ke arah Daryata yang tertawa lembut. Bagi Rinjani, suara itu terkesan meremehkan, bagai pisau berbalut perban kasa.

Daryata memiringkan kepala lalu menatap putrinya dengan campuran rasa geli dan kekesalan. “Kamu tahu, Rin, kakekmu menaruh semua hidupnya di perusahaan ini. Papa pun begitu, dan sekarang aku sudah tua. Sudah waktunya tongkat estafet ini berpindah tangan. Perusahaan ini perlu kamu, dan ini tanggung jawabmu. Darahmu adalah darah keluarga ini.”

Buku sketsa itu ditutupnya, lalu ia letakkan pada meja rotan pendek di sampingnya. Kalimat-kalimat Daryata tadi seakan meletakkan seluruh beban harapan di pundak Rinjani, beban yang justru selama ini ia hindari.

“Bisa dan mau itu dua hal yang berbeda, Pa,” Kedua mata Rinjani memerah, emosinya mengalir menjadi air mata, tapi ia berusaha untuk meredamnya sekuat mungkin. Ia menatap ke depan dengan pandangan kosong.

“Aku tidak punya minat untuk masuk dalam bisnis keluarga. Peleburan baja tak sama sekali tak menggugah seleraku. Lagipula, bukankah Papa sudah menyiapkan Zora bertahun-tahun untuk itu? Biar saja dia yang mengurusnya.”

Ekspresi Daryata menggelap seiring rahangnya yang mengencang, dan ia tahu kalimat selanjutnya akan menjadi upaya terakhirnya untuk mengimbangi argumen putrinya.

“Zora memang punya potensi, tapi dia tidak setajam kamu. Dan, Mamamu pasti kecewa melihatmu terus menyia-nyiakan bakat untuk hal remeh seperti ini.”

“Mama? Beraninya papa menyinggung mama dalam hal ini,” pikirnya. Kalimat terakhir ayahnya menjadi sebuah pukulan telak ke ulu hati, yang tidak Rinjani kira sebelumnya, dan tak pantas diucapkan ayahnya. Bendungan emosinya jebol. Ia berdiri perlahan sambil menegakkan tubuh menghadap ayahnya.

“Mama selalu ingin aku bahagia,” katanya, suaranya mantap dengan nada menantang. “Dan aku bahagia dengan apa yang aku lakukan. Aku ini Rinjani, bukan Papa, bukan Zora. Biarkan aku menjadi diriku sendiri.” Entah sejak kapan air matanya pertama kali menetes, pada akhir kalimat, Rinjani hanya bisa mengeringkan mata dan pipinya.

Tangan Daryata mencengkeram sandaran kursi, buku-buku jarinya memutih. Dia bangkit perlahan, menjulang tinggi di atas Rinjani. Meski sudah berusia lebih dari enam puluh tahun, tubuhnya masih tegap menjulang.

“Kekanak-kanakan kamu! Apa kau pikir bisnis ini hanya untuk kebanggaanku? Ini warisan kakekmu untuk keluarga kita, untukmu dan keturunan keluarga Wardhani berikutnya. Reputasi kita, kenyamanan yang kita nikmati, kita menjaganya dengan kerja keras, dengan konsistensi, bukan mimpi sesaat seperti desain-desainmu itu.”

Kekesalan Rinjani meluap. “Kenapa sulit sekali untuk Papa bisa sadar jika kita punya bakat dan jalan yang berbeda?”

“Cukup!” Suara itu tegas, tak ada lagi perdebatan. “Kita lihat saja bagaimana kamu hancur oleh keegoisanmu sendiri.”

Rinjani menatapnya sejenak, tangannya gemetar sambil mendekap buku sketsanya di dada. Tanpa berkata apa-apa lagi, ia berbalik dan berjalan masuk menuju rumah, langkah kakinya sesekali berdecit di lantai granit. Rumah besar itu seperti menahan napas, hanya menyisakan suara gemericik air di kejauhan.

***

Malam harinya, Rinjani duduk bersila di atas tempat tidur, mencoba kembali fokus dengan tenggelam dalam desain-desain pakaian di buku sketsa. Pensil dalam genggamannya menari lincah, tapi pikiran Rinjani jauh dari itu; kusut, terkurung oleh gema kata-kata tajam ayahnya.

Ketukan di pintu kamar membuat gerak tangannya berhenti. Rinjani tak mengharapkan siapapun datang dalam situasi seperti sekarang, tapi bibirnya terlanjur berucap, “Masuk.” Ia menghela napas sembari menyibak sebagian rambut yang menghalangi pandangannya. Zora melintas dari balik pintu, tampak ceria dan tersenyum manis.

“Hei, Rin,” katanya dengan suara yang meneteskan kehangatan.

“Kenapa, Ra?” sahutnya tanpa basa-basi sambil bersandar di kepala ranjang. Zora meletakkan tangan di dadanya sebagai tanda tersinggung. “Apa itu cara bicara dengan kakakmu? Aku datang dengan damai, hanya karena melihatmu terlihat sangat kesal tadi.”

“Aku baik-baik saja,” Rinjani meletakkan buku sketsanya di kasur. Dengan gerak anggun yang penuh pertimbangan, Zora menyeberangi ruangan. “Papa memang terlalu keras. Dia terjebak dengan cara-cara lamanya. Kamu seharusnya tahu itu.”

Mata Rinjani menyipit, menatap tajam untuk menyelidiki adanya motif tersembunyi di raut wajah Zora. Karena sekalipun apa yang dikatakannya benar, Rinjani tidak merasa yakin yang diucapkannya tulus atau tipu muslihat semata. Bukan hal yang sulit bagi Zora untuk merasakan keraguan Rinjani. “Kamu terlihat penat, Rin. Di antara desain-desain dan urusanmu dengan Papa, kamu hampir tak ada waktu untuk menghibur dirimu sendiri.”

Melihat Rinjani masih tak bergeming. Zora tersenyum dan mendekat. “Tidak ada salahnya untuk sedikit bersenang-senang. Malam ini perayaan hari jadi klub Royal Ravelle. Dan coba tebak, aku punya dua undangan…buat kita,” katanya berbisik genit sambil mengibaskan dua amplop elegan berwarna hitam dan bertabur glitter keemasan. Kening Rinjani berkerut, menatap mata Zora dengan serius. “Klub malam? Jelas itu bukan tempatku.”

Zora tertawa kecil. “Oh, ayolah! Sekarang kamu terdengar seperti Papa. Luangkan waktu malam ini saja untuk sesuatu yang berbeda. Siapa tahu kau akan mendapat inspirasi baru, atau…bertemu beberapa orang yang menghargai ide-idemu. Stress? Campakkan!” Zora meyakinkan dengan antusias.

Rinjani terdiam mempertimbangkan ide itu. Ia tak pernah pergi ke klub malam sebelumnya. Tapi, khususnya saat ini, keluar dari suasana rumah yang mencekik membuat ide itu terdengar sangat menggoda.

Dengan senyum keraguan, Rinjani akhirnya memutuskan. “Oke, kenapa tidak? Aku akan coba sekali ini.” Senyum Zora melebar. “Nah, begitu! Bersiaplah sejam lagi. Kenakan gaunmu yang memukau. Kita berkilau malam ini!”

***

Klub mewah Royal Ravelle bagai permata di jantung kota, fasadnya mencerminkan mahakarya arsitektur kaca dan cahaya. Di dalam, klub itu adalah dunia glamor. Lampu-lampu gantung kristal berkedip genit ke seluruh penjuru ruangan, menghasilkan pola-pola bias memukau di dinding. Dengung percakapan berpadu dengan dentuman musik yang mantap menghentak, menghadirkan sensasi khas klub malam. Para pelayan berseragam meliuk-liuk di tengah kerumunan, diantara tebaran aroma parfum-parfum mahal, menyeimbangkan nampan-nampan berisi minuman dan hors d'oeuvres.

Rinjani berjalan masuk ke dalam klub dengan anggun dan tenang, tak jauh di belakang Zora. Ia mengenakan gaun hasil rancangannya sendiri, terusan berwarna hijau zamrud tanpa bahu dengan tebaran batu amethyst halus itu sungguh serasi menunjang posturnya yang semampai. Beberapa pasang mata mengamatinya, tapi ia tetap fokus pada Zora, yang berjalan ke sebuah meja.

Suasana klub Royal Ravelle perlahan menelanjangi rasa enggan yang membalut dirinya tadi. Para pengunjungnya adalah para elit di ibukota provinsi Muliakarta. Di sebuah meja besar, beberapa lelaki setengah baya tampak berbincang seru satu sama lain. Satu tangan memegang gelas berisi whiskey dan tangan yang lain memeluk wanita di sampingnya atau menjepit cerutu. Para selebriti dan sosialita pun berkumpul di kelompok mereka. Beberapa dari mereka bergantian untuk berpose selfie di depan logo ‘RR’ besar berwarna violet dengan garis tepi berwarna perak. Kesemuanya itu menjadi cerminan gaya hidup di klub Royal Ravelle malam ini.

“Tidak terlalu buruk ‘kan? Kau akan suka disini,” kata Zora. Mereka lalu duduk di salah satu meja undangan yang dekat dengan lantai dansa. Rinjani hanya mengangguk kecil dan menanggapi ringan, “Ya, ini…mengesankan.”

Keduanya menyaksikan pesta berlangsung. Seorang disk jockey tampil, memainkan irama yang lebih menghentak. Beberapa orang segera bergerak menambah semarak lantai dansa. Zora lalu mencondongkan badan ke arah Rinjani.

“Tunggu disini ya, aku akan mengambil minuman. Siapa tahu akan ada temanku yang mau bergabung dengan kita.” Rinjani melihat saudara tirinya itu lincah bergerak melewati kerumunan orang menuju bar. Sementara orang lain sibuk mencurahkan energinya, Rinjani hanya ingin bersandar sambil selayang pandang dari satu orang ke orang yang lain.

Tak lama berselang, Zora kembali membawa dua gelas koktail, dan meletakkan satu di depan Rinjani.

“Ini dia. Mari bersulang!” katanya sambil mengangkat gelas.

“Untuk apa?” Rinjani bertanya sedikit sinis.

“Ikatan persaudaraan.” Zora tersenyum lalu mendentingkan gelas mereka.

Zora minum sembari melihat ke sekitar, mencoba mengenali orang-orang yang di sekitarnya. Rinjani membiarkan dirinya bersantai, menikmati rasa koktail yang melekat di lidahnya. Setelah beberapa saat, Zora kembali berdiri.

“Sepertinya aku melihat beberapa teman di lantai dansa. Aku akan bergabung dengan mereka. Kau ikut tidak?” Rinjani melambaikan tangan. “Silakan saja. Aku akan ke bar sebelah sana.” Zora ragu-ragu sejenak. Lalu, ia tersenyum kemudian menghilang dalam kerumunan.

Rinjani minum dengan perlahan, berusaha berdamai dengan pikirannya yang tidak lebih sepi dibandingkan suasana klub. Diiringi musik terus berdentum dan menghentak, tanpa sadar dirinya sedikit bergoyang mengikuti irama. Lalu, sebuah sensasi aneh mulai menyelimutinya.

Jari-jari Rinjani mencengkeram tepian meja saat ruangan itu tampak miring. Beberapa kali ia mengerjapkan mata dengan cepat, mencoba menghilangkan kabut yang menyelimuti pandangannya. Dari lantai dansa, diam-diam Zora memperhatikan dengan bibir tersenyum. Ia berbisik kepada seorang pria di sampingnya, yang lalu mengangguk sebelum pergi menerobos kerumunan.

Rinjani merasa perlu udara segar, atau setidaknya tempat yang lebih sepi untuk menenangkan diri. Kakinya terasa lunglai saat ia berdiri dan setiap langkah terasa lebih berat dari langkah sebelumnya.

Tanpa tahu seberapa jauh melangkah, Rinjani menemukan kamar kecil yang nampak lengang, hanya seseorang yang sedang berdiri di depan wastafel. Pria itu melihat Rinjani, mengamati sosoknya yang goyah.

“Kamu tidak apa-apa?” tanyanya, pura-pura khawatir. Rinjani melangkah mundur, tapi gerakannya terlalu lamban. “Tak apa, aku tidak apa-apa,” gumamnya, sedikit gemetar.

Pria itu menyeringai. “Sepertinya tidak.” Dia meraih lengan Rinjani lalu mendorongnya mundur hingga tersandar ke dinding.

Kepanikan menjalari dada, tetapi tubuhnya sulit bekerja sama. Pria itu terus mencengkeram dan mendekat. Dari balik pintu yang terbuka, Zora berdiri, tersenyum puas. Ia mengangkat ponsel dan mulai mengambil foto. “Mati kau sekarang,” bisiknya. Tiba-tiba, dari ujung matanya ia melihat sekelebat bayangan dari arah belakang, dan dengan cepat Zora pergi dari sana.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Related chapters

  • Love, Lies, and The Price of Desire   DUA

    Pintu kamar mandi terbuka dengan hentakan yang membuat ubin bergetar. Cahaya koridor menyusup masuk, memproyeksikan bayangan panjang seorang pria jangkung yang memenuhi ambang pintu. Wajahnya tersembunyi dalam siluet gelap, namun postur tubuhnya menegaskan otoritas yang tak perlu diucapkan.Raynar Wiyasa Nawasena melangkah masuk—Langkah terukurnya bertentangan dengan aroma alkohol yang samar dari pakaiannya. Dua pengawal berjas hitam mengikuti di belakangnya, siap untuk apa pun.Matanya menyipit ketika memindai ruangan, lalu terkunci pada pemandangan di hadapannya. Rahangnya mengeras, urat di lehernya menonjol. Ketika ia berbicara, suaranya rendah dan dingin seperti es yang retak."Aku tak mau lihat yang seperti ini."Tanpa penekanan khusus, kata-kata itu cukup mengisi ruangan dengan ancaman. Kedua pengawalnya bergerak seketika—sebuah koreografi yang sering mereka lakukan. Satu pukulan mendarat di tengkuk penyerang Rinjani, membuat pria itu terhuyung,kemudian pengawal kedua mencengke

    Last Updated : 2025-03-25
  • Love, Lies, and The Price of Desire   TIGA

    Matahari pagi merayap di atas perbukitan hijau yang subur, memandikan sawah dengan cahaya keemasan saat Rinjani menjemur pakaian yang masih basah. Sembilan bulan telah berlalu sejak ia tiba di rumah sederhana yang jauh dari kota ini, disambut oleh pelukan tanpa syarat dari Bibi Sari.Kurang tidur setelah melewati malam yang gelisah, Rinjani menyeka keringat di dahinya. Minggu-minggu pertama di desa, ia selalu tersentak bangun saat mendengar kokok ayam dan tikus-tikus yang berlarian. Kini, ritme kehidupan pedesaan telah melekat di kulitnya.Tiga minggu kemudian, Rinjani mengepalkan tangan di atas bak cuci piring, muntah-muntah. Tidak ada yang keluar-dia tidak bisa menahan diri untuk tidak sarapan selama berhari-hari. Ia menyiramkan air ke wajahnya dan mencengkeram pinggiran meja, sebuah kecurigaan yang tak bisa ia abaikan.Bibi Sari masuk membawa sekeranjang sayur, menjatuhkannya ketika melihat wajah pucat Rinjani.“Bi,” bisik Rinjani, air matanya berlinang. “Kayaknya aku hamil.”Kehen

    Last Updated : 2025-03-25
  • Love, Lies, and The Price of Desire   EMPAT

    Suara jangkrik dan binatang kecil lain bermusik di kejauhan, menemani rembulan yang berjingkat di atas perbukitan. Rinjani berbaring dekat kedua bayi kembarnya. Jemari bayi perempuannya bergerak-gerak, bermain dengan selimut, sementara bayi lelakinya tidur dengan pulas, dadanya naik turun dengan irama yang teratur.Rinjani tersenyum tipis, beban di pikirannya tersapu oleh harapan akan kedua bayinya. Kedua makhluk mungil itu kini menjadi pondasi hidupnya, alasan kuat baginya untuk meredam semua penolakan dan bisikan ambisinya. Dalam kehidupan sederhana bersama Bibi Sari di desa, ia telah menemukan pelipur lara. Mimpinya tentang karir sebagai perancang busana kelas dunia menjadi gema dari dunia lain yang melemah seiring waktu.Tidak satu pun dari mereka yang mengira jika keheningan malam itu akan berubah drastis. Zora mengamati rumah itu dari kejauhan, matanya yang tajam tertuju pada jendela yang remang-remang. Dia menyesuaikan tudung mantelnya, melindungi wajahnya dari cahaya bulan. Du

    Last Updated : 2025-03-25
  • Love, Lies, and The Price of Desire   LIMA

    Panel kaca besar dengan dekorasi minimalis berbalut warna-warna pastel alami yang hangat di ruang tamu kediaman megah Wiyasa Nawasena memancarkan keanggunan yang tenang. Zora duduk dengan tenang di salah satu kursi kulit berlengan, sambil memeluk Zethra dalam pelukannya. Tiga hari telah berlalu sejak Zora menemui Raynar.Hari ini Raynar mengundangnya datang ke kediaman keluarga Wiyasa Nawasena. Senyum Zora merekah dengan pasti ketika mendengar kabar itu melalui panggilan telepon. Ia mempersiapkan diri dengan berpakaian pantas untuk undangan itu. Kombinasi atasan berwarna champagne dari wol lembut dan rok selutut berwarna khaki menyampaikan kesan membumi yang bersahaja, dipasangkan dengan kalung dan sepasang anting mutiara untuk melekatkan kesan keanggunan. Setiap gerakannya dilakukan dengan hati-hati, talenta terbesar yang dimiliki Zora dan telah ia latih berkali-kali dalam pikirannya.Raynar memasuki ruang tamu, kehadirannya nampak tegas meskipun dalam penampilan yang santai, kemeja

    Last Updated : 2025-03-26
  • Love, Lies, and The Price of Desire   ENAM

    Selama lima belas menit mobil itu menyusuri jalan berliku dan menanjak yang diapit oleh pepohonan tinggi sebelum akhirnya mereka tiba di kompleks pemakaman keluarga Wiyasa Nawasena. Areal luas membentang di hadapan mereka, tenang dan asri. Titik embun menempel di ujung rerumputan, dan aroma samar bunga-bunga segar berbaur dengan aroma tanah yang lembab.Raynar keluar lebih dulu, melangkah dengan hati-hati saat menemani ibunya berjalan. Zora, yang biasanya percaya diri, berjalan menggendong bayinya dengan langkah keraguan, wajahnya memucat dengan tatapan nanar ke sekitarnya seakan tempat itu tak layak baginya.Kompleks pemakaman itu tak benar-benar sunyi. Gemerisik dedaunan yang tertiup angin, kadal kecil yang bergerilya di antara rerumputan, dan beberapa jenis burung yang berkicau dari pepohonan menjadi penyeimbang, eksistensi kehidupan diatas kematian.Setelah berjalan beberapa waktu, ketiganya berhenti di depan sebuah nisan marmer yang terawat baik. Ukiran huruf-huruf dengan tinta e

    Last Updated : 2025-03-26
  • Love, Lies, and The Price of Desire   TUJUH

    Sebuah aula berkilauan seperti permata hidup malam itu. Lampu gantung kristal di ketinggian memantulkan cahaya keemasan lembut di atas lantai marmer. Meja-meja dibalut dengan linen gading halus susun bunga anggrek dan mawar, wanginya berbaur dengan aroma hidangan adiboga. Sebuah kuartet dawai di sudut ruangan mengalunkan melodi lembut, dengan mudah menyatu dengan riuh rendahnya percakapan dan tawa yang memenuhi ruangan.Raynar Wiyasa Nawasena berdiri di salah satu sisi ruangan dengan segelas sampanye yang belum tersentuh bibirnya. Dua bulan yang lalu, kemegahan perayaan malam ini sama sekali tidak tercantum dalam agendanya, bahkan tidak dalam mimpi terliarnya sekalipun. Seharusnya ini membuat dirinya bangga, namun ia justru merasakan kehampaan yang janggal.Tatapannya mengikuti Zora, wanita cantik yang kini menjadi istri sahnya, bergerak lincah melewati kerumunan, gaunnya yang berkilauan dan tawa lepasnya saat menyambut para tamu. Bagi orang lain yang hadir disana, Zora mungkin tampak

    Last Updated : 2025-03-28
  • Love, Lies, and The Price of Desire   DELAPAN

    Dengung mesin jahit diiringi irama tap-tap-tap gunting di atas meja kerja memenuhi sebuah ruangan. Sinar matahari masuk melalui jendela rumah membentuk garisan-garisan tebal. Gulungan kain berwarna abu-abu dan biru tua berjajar di dinding, dan beberapa orang duduk di meja mereka; memotong, menjahit, dan menyetrika baju seragam.Empat tahun yang lalu, di atas tanah ini, sebuah rumah telah terbakar habis. Namun kini, jejak kebakaran itu telah lenyap sepenuhnya, berganti menjadi sebuah industri kecil produk konveksi. Di salah satu sudut tempat itu Rinjani Wardhani berdiri dengan spidol di tangan dan sepasang penyuara tanpa kabel tersemat di telinga. Rambut panjangnya diikat bergaya kuncir kuda tinggi, dan berayun-ayun ketika kepalanya bergerak mengikuti irama lagu Unstoppable yang terlantun.Rinjani mengenakan kaos longgar dan celana jeans dengan balutan apron berwarna hitam sepanjang lutut. Penampilan yang disesuaikan dengan pekerjaannya, perpaduan seimbang antara kenyamanan dan keanggu

    Last Updated : 2025-03-28
  • Love, Lies, and The Price of Desire   SEMBILAN

    Sebuah kereta meluncur masuk ke Stasiun Muliakarta, roda-rodanya berdecit pelan saat mengerem. Para penumpang bergegas melintas, dengung suara mereka berbaur dengan pengumuman dari pengeras suara. Besarnya stasiun ini seakan menelan segalanya, mulai dari langit-langitnya yang menjulang tinggi hingga arus manusia yang tak henti-hentinya bergerak ke segala arah.Rinjani Wardhani melangkah turun ke peron, satu tangannya menggenggam erat tangan Aruna sementara yang satunya lagi menarik koper besar beroda. Mata lebar gadis kecil itu memandang ke sekitar, mencoba menangkap pemandangan dan keriuhan suasana. Jari-jari kecilnya menggenggam erat tangan Rinjani, langkahnya ragu-ragu.“Mama,” bisik Aruna, suaranya nyaris tak terdengar di tengah hiruk-pikuk, ”Mengapa di sini begitu bising? Apakah kita tersesat?”Rinjani tertawa kecil mendengarnya, lalu berlutut sejajar dengan putrinya, menyibak kepangan rambut yang tersangkut di wajah Aruna. Senyumnya tenang dan meyakinkan.“Tidak, sayang, kita ti

    Last Updated : 2025-03-29

Latest chapter

  • Love, Lies, and The Price of Desire   TIGA PULUH

    Awan mendung yang bergelayut di cakrawala Muliakarta pagi ini nampak kontras dengan keceriaan seorang lelaki muda. Rawindra membetulkan kaca spion tengah mobilnya ketika berhenti di salah satu lampu merah perempatan besar, senyuman tipis tersungging di bibirnya. Di kursi penumpang terdapat sebuah portofolio kulit yang penuh dengan foto-foto permata - zamrud, safir, rubi - yang dikatalogkan dengan teliti. Setiap batu mewakili potensi untuk bisnis istrinya.“Delapan bulan menikah, dan sudah membangun sesuatu bersama,” gumamnya, membayangkan tanggapan antusias Lila Anindya terhadap sampelnya. Salah satu pemimpin tim rancangan busana ingin melihat kemungkinan untuk bekerjasama, berbicara tentang penyematan permata pada rancangannya, tentu saja itu membuat Rawindra dan istrinya gembira. Sebuah kolaborasi yang dapat menempatkan bisnis permata istrinya di peta strategis, dan yang lebih penting bagi Rawindra adalah kebanggan pribadi sebagai suami atas kontribusi terhada

  • Love, Lies, and The Price of Desire   DUA PULUH SEMBILAN

    Beberapa menit yang lalu, Vivian telah memindai kantor pusat WN Group seakan baru pertama kali melihatnya. Matanya berkelana pada staf kantor yang melakukan rutinitas mereka, petugas keamanan berjaga di pos-pos tertentu, termasuk posisi-posisi kamera CCTV di sepanjang rute perjalanannya masuk ke studio.Kini, Vivian bersandar di jendela besar ruang studionya. Hiruk pikuk jalanan ibukota Muliakarta bermandikan warna keemasan lembut matahari pagi, membentang dari bawah lantai dua belas kantor pusat WN Group. Ia merasa berbeda, bukan hanya karena udara terasa lebih segar atau karena kopinya terasa lebih aromatik. Mata Vivian menatap hari ini dengan optimisme, dimana hal-hal akan berjalan sesuai keinginannya.Kuku telunjuknya mengetuk-ngetuk cangkir keramik saat ia memandangi gambar latar layar ponselnya–sebuah tulisan terpampang di sana: “If nothing goes right, goes left.” Ia terdiam sejenak, membiarkan kata-kata itu mengendap di benak

  • Love, Lies, and The Price of Desire   DUA PULUH DELAPAN

    Malam di ibukota menyebarkan hawa sejuk seiring lalu lintas yang berangsur-angsur lengang. Rinjani dan Lila melangkah meninggalkan Sweet Spot Cafe. Lampu jalan menyinari trotoar dengan cahaya temaram kekuningan, sementara angin melagukan gemerisik dedaunan di sepanjang jalan. Mereka melintasi minimarket di sudut jalan."Hei, kau ada waktu?" tanya Rinjani tiba-tiba, menoleh ke arah Lila di sampingnya.Lila mengangkat alis. "Tentu. Kenapa?""Aku teringat membeli cokelat dan es krim untuk Aruna. Seharusnya aku membelinya tadi, tapi telepon itu terlalu mendesak."Rinjani telah menggenggam keranjang belanja saat selesai bicara.Lila tersenyum. "Tak masalah. Aku juga akan melihat-lihat."Keduanya santai menyusuri lorong-lorong. Rinjani memilih beberapa batang cokelat dan satu kotak es krim, sementara Lila mengambil sebungkus permen penyegar mulut untuk dirinya sendiri."Aruna pasti akan senang." Lila berkomentar lirih dari belakang melihat semua yang Rinjani beli di meja kasir.Rinjani terg

  • Love, Lies, and The Price of Desire   DUA PULUH TUJUH

    Cahaya pagi yang menembus panel kaca di studio desain lantai dua belas kantor pusat WN Group seakan membelah ruang itu dengan siluet-siluet. Ruangan itu nampak rapi, namun sejuknya pendingin ruangan tak bisa meredakan ketegangan mereka yang ada di dalamnya.Vivian duduk seperti ratu di atas singgasana, postur tubuhnya menampilkan ketenangan dominan. Tepi bibirnya mengerucut saat mengamati wajah ketiga rekannya. Ia baru saja mengumumkan bahwa mereka kehilangan dukungan dari Aditya, sang direktur pemasaran, dan membiarkan keheningan meregang sebelum akhirnya berbicara.“Beberapa orang memang pandai, tapi tidak sanggup dengan tekanan. Sangat ironis.” Napas Vivian berhembus lambat.Fayra, yang bertumpu di salah satu sandaran tangan kursi, meregangkan kaki lalu memiringkan kepalanya. Ia mencerna beratnya kata-kata itu.“Mungkin seharusnya begini.” Suaranya lirih, sambil memintal benang yang terl

  • Love, Lies, and The Price of Desire   DUA PULUH ENAM

    Dari teras griya tawangnya, Miriam Wiyasa Nawasena menggenggam cangkir porselen di antara jari-jarinya, membiarkan kehangatan teh earl grey meresap ke dalam kulitnya. Udara pagi terasa segar, dan Paris selalu menjadi kota impian Miriam–elegan dalam ekspresi dan sarat ketenangan, mirip dirinya. Miriam menemukan kenyamanan di saat-saat seperti ini, di mana keindahan dan kendali terjalin dengan mulus.Pagi ini situasi sedikit berbeda. Miriam menyesap teh earl grey sementara matanya menatap cakrawala kota, mengembara di sekeliling menara Eiffel dan American Cathedral yang tak jauh dari tempat ia duduk. Semalam, Raynar telah menghubunginya, mengabarkan hal penting yang harus segera ia tindak lanjuti.Lila Anindya. Miriam selalu benar tentang gadis itu. Ambisius, cerdas, dan memiliki kompas moral yang membedakannya dari para lintah di industri mereka. Lila melaporkan sebuah konspirasi yang mengancam untuk menodai kompetisi desain yang tel

  • Love, Lies, and The Price of Desire   DUA PULUH LIMA

    Selama berhari-hari, Lila telah melatih momen ini dalam pikirannya-membayangkan setiap hasil yang mungkin terjadi, setiap variasi responsnya. Namun kini, berdiri di hadapannya, dengan beban bertahun-tahun yang menekan dadanya, semua kata-kata yang telah dilatih itu berserakan seperti debu.Raynar menatapnya penuh harap. Lila menelan ludah dengan keras, jari-jarinya mengepal di sisi tubuhnya. Kemudian, hampir tidak terdengar seperti bisikan, dia akhirnya mengatakannya.“Aku selalu menyukaimu, Ray.”Kata-kata itu membuat bibirnya gemetar, terasa berat karena emosi yang telah terpendam selama bertahun-tahun. Ia mencoba melunakkan pengakuannya, memaksakan sebuah senyuman, tapi kelu. “Sejak aku menumpahkan kopi di jaketmu.”Lila tertawa kecil, berharap Raynar akan tertawa, bahwa ia akan mengingat momen kecil itu dengan penuh cinta seperti dirinya.Tapi Raynar tak tertawa.

  • Love, Lies, and The Price of Desire   DUA PULUH EMPAT

    Kampus Universitas Pragya Dharma di ibukota Muliakarta pagi itu penuh dengan energi semester baru. Hiruk pikuk para mahasiswa yang saling bertukar cerita tentang pengalaman liburan dan persiapan mereka untuk semester mendatang menjadi pemandangan menarik, terutama bagi Lila Anindya.Di tengah keramaian, ia berjalan menyusuri koridor-koridor kampus, mendekap buku-buku di dada, dan berbincang bersama dua orang temannya, Trista dan Fiona.Sebagai penerima beasiswa, Lila sadar bahwa dibalik keistimewaannya di universitas bergengsi ini, ia memikul tanggung jawab dua kali lebih besar yang menuntut kesempurnaan langkahnya.Lalu, dalam satu momen yang kikuk, sesuatu terjadi.Sebuah tabrakan pada lengan kirinya membuat tubuh Lila terguncang. Benturan itu membuat tutup cangkir kopinya terlepas dan isinya terciprat ke blazer biru tua milik seseorang. Hawa panas yang tajam merembes ke dalam sweternya, dan aroma biji kopi yang dipanggang merebak di udara.Sial! pria di hadapannya yang sangat menco

  • Love, Lies, and The Price of Desire   DUA PULUH TIGA

    Purnama jingga menggantung rendah di atas cakrawala ibukota, menawarkan hangat pada kelelahan seisi kota. Di balik jendela ruang tamu apartemennya, Aruna larut dalam kegiatan menggambar, sementara Bibi Sari sibuk merapikan perabotan dapur.“Bagaimana pekerjaanmu, Rin? Apa ada masalah hari ini?”Rinjani menangkap kekhawatiran dari pertanyaan itu saat mengeringkan tubuhnya di kamar mandi.“Baik, Bi. Masalah pasti ada, tapi sejauh ini kami bisa mengatasinya.” Bibi Sari mendengarkan Rinjani dari antara uap air ketika ia menyeduh dua cangkir teh untuk mereka.“Kami berhasil membuat desain untuk kompetisi yang diadakan perusahaan. Kemajuan yang cukup baik sejauh ini.” Beberapa saat kemudian, ia keluar.Setelah selesai, Bibi Sari lalu duduk di dekat jendela. Tangannya meraih sebuah jarum rajut dan benang sambil tersenyum penuh pengertian.“Kamu selalu pandai sejak kecil, Rin. Tap

  • Love, Lies, and The Price of Desire   DUA PULUH DUA

    “Sepertinya kita dalam masalah besar.”Gusti menggigit pelan bibirnya, lalu mencodongkan badan ke meja gambar. Matanya terpaku pada foto-foto konsep desain yang Rhea ambil dari studio Vivian. Paduan warnanya sungguh sesuai dengan siluetnya yang tajam, dan yang paling mencemaskan—desain itu tampak seperti sesuatu yang berpotensi tinggi untuk viral di majalah mode bergengsi.“Kupikir begitu,” komentar Rhea, ekspresi skeptisnya melembut menjadi kekaguman yang enggan. “Ini... trendi, Lila. Mereka tidak main-main.” Rhea menoleh pada pemimpin timnya.Lila bersandar di kursinya, ekspresinya tetap datar—terlalu datar. Seolah-olah jika ia membiarkan pikirannya meresap terlalu dalam, ia akan mulai mengagumi pesaingnya sendiri. Jari-jarinya mengetuk-ngetuk ujung ponsel dengan ritme pelan. Matanya sekilas menoleh ke arah Rinjani.Di sampingnya, Rinjani masih men

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status