Share

LIMA

Author: Kurisinasan
last update Last Updated: 2025-05-19 11:44:47

Lima belas menit mobil mereka menyusuri jalan berliku dan menanjak yang diapit oleh pepohonan tinggi sebelum akhirnya tiba di kompleks pemakaman keluarga Wiyasa Nawasena. Ketiganya terdiam mengamati areal luas tenang dan asri yang membentang di hadapan mereka. Bulir-bulir embun yang bertengger di ujung rerumputan serta aroma tanah lembab menyambut mereka ketika pintu mobil terbuka.

Raynar keluar lebih dulu, melangkah hati-hati saat menemani ibunya berjalan. Zora menjejakkan kaki dengan langkah keraguan sambil menggendong bayinya. Wajahnya memucat dengan tatapan nanar ke sekitarnya.

Kompleks pemakaman itu tak benar-benar sunyi. Gemerisik dedaunan yang tertiup angin, kadal kecil yang bergerilya di antara rerumputan, dan beberapa jenis burung yang berkicau dari pepohonan menjadi penyeimbang eksistensi kehidupan diatas kematian.

Setelah berjalan beberapa waktu, ketiganya berhenti di depan sebuah nisan marmer yang terawat baik. Ukiran huruf-huruf dengan tinta emas berkilau karena pantulan garis-garis cahaya matahari yang lolos dari celah pepohonan rimbun. Raynar berdiri di antara ibunya, dan Zora.

“Papamu pasti senang jika bisa bertemu dengan cucunya,” kata Miriam lirih, suaranya membawa kehangatan sekaligus kesedihan. Dia menoleh ke arah Raynar, tatapan matanya melembut.

“Kau tahu,” katanya, sambil mengusap setitik debu di gaunnya, ”Mama sudah berjanji kepada papamu untuk menemaninya di sini suatu hari nanti. Tapi jujur, Mama sedang mempertimbangkannya lagi, Ray– di sini terlalu sepi, aku tidak siap mati bosan selamanya.”

Raynar tersenyum tipis, menggelengkan kepalanya. “Aku yakin Papa akan senang ditemani, Ma.”

“Mama tahu,” Miriam terkekeh, seakan hendak menipu kesedihan di balik matanya. “Tapi kurasa papamu harus menunggu sedikit lebih lama. Seseorang harus memastikan kamu berjalan lurus.” Tawa lirih Zora sesaat telah memecah khidmat di antara ibu dan anak itu, tetapi fokus Miriam tak berpaling dari Raynar.

Ia meletakkan tangan di bahu putranya. “Dia selalu bangga padamu, Ray,” bisiknya lembut. Tangan Raynar ditumpukan pada tangan Miriam yang ada di bahunya, mengakui kata-kata ibunya tanpa berucap.

Kenangan mulai muncul ke permukaan—suara ayahnya yang dalam; percakapan larut malam di ruang kerja; pelajaran yang dibagikan di taman belakang. Dia mengingat bimbingan ayahnya yang tegas namun penuh kasih, caranya berbicara tentang tanggung jawab, pentingnya integritas, dan bahaya pengkhianatan yang selalu ada dalam bisnis.

Ayah Raynar selalu mempersiapkan anak semata wayangnya untuk masa depan yang terbaik. Ia ingat suatu malam di ruang kerja, Ayahnya duduk di seberangnya. Sepasang mata ayahnya menatap tajam diantara kepulan asap rokok, tumpukan buku tua, dan segelas anggur merah.

“Nilai seorang pria diukur dari beban yang dapat ia pikul tanpa tersandung,” kata ayahnya. “Dalam namamu ada nama keluarga kita, Ray, warisan yang harus dijaga dengan sebaik-baiknya. Ingat selalu dan jadikan itu prioritasmu.”

Pada saat itu, Raynar mengangguk, menerima dengan kepatuhan yang utuh. Tapi kini, di depan makam ayahnya, kata-kata itu membebani dirinya seperti batu besar yang dirantai ke kaki dan tangannya. Apakah dia telah memenuhi harapan-harapan itu? Apakah dia telah tersandung tanpa menyadarinya?

Zora melangkah maju lalu berdiri tenang dengan kepala tertunduk di samping anaknya. “Beliau pasti orang yang luar biasa. Raynar berbicara tentangnya dengan penuh hormat.” Miriam memiringkan kepalanya, menatap Zora dalam diam, mencerna ucapan dan nada bicara Zora serta memperhatikan gerak-geriknya yang terlembut sekalipun.

Raynar juga tak bergeming. Ia larut dalam pikirannya sendiri. Beban tak terucapkan sebagai seorang pewaris keluarga bergelayut di pundaknya. Ia merasa belum pantas disandingkan dengan figur ayahnya. Lalu sekilas, Raynar seakan melihat wajah ayahnya tersenyum, ekspresi meneduhkan yang lahir dari wajah persegi itu–entah bagaimana, membuat Raynar haru sekaligus lega. Ia lalu menyudahi keheningannya, tak ingin larut terlalu dalam di kubangan kenangan.

***

Sebelum keluar dari areal pemakaman, Miriam meminta Zora untuk duduk di sampingnya di kursi penumpang belakang. Dan, selama sepuluh menit lebih setelahnya, hanya irama piano klasik yang bersuara dari audio mobil. Hingga kemudian, "Zora," Miriam memulai, nadanya tegas dan datar. "Kamu belum menceritakan tentang orang tuamu. Apa mereka dalam keadaan baik?"

Bibir Zora membentuk senyuman manis yang terlatih baik. "Ah iya, Tante benar. Mama dalam keadaan sehat, tapi… Papa–" Ia berhenti sejenak, ekspresinya berubah menjadi keprihatinan dramatis yang dirancang sempurna. "Papa sakit keras sejak beberapa bulan lalu. Jujur ini masa-masa sulit keluarga kami."

Miriam mengangguk, mengerutkan dahi. "Aku ikut sedih mendengarnya. Pak Daryata dikenal sebagai orang yang tangguh. Jadi, sekarang kamu yang mengurus bisnis keluarga?"

Senyum Zora mengembang, "Ya, saya mengambil kendali penuh atas operasi perusahaan." Tanpa disadari, suaranya menjadi lebih nyaring dan bangga. Ia menegakkan posisi duduknya, "Ini sangat menantang bagi saya, tapi saya berhasil memimpin perusahaan kami menuju kesuksesan."

Raynar melirik Zora dari spion tengah. Nada bicaranya lebih terasa seperti kepongahan daripada kepercayaan diri. Miriam yang duduk di samping Zora membiarkan senyum tipis di bibirnya.

"Mengesankan," kata Miriam, suaranya halus. Ia berdeham sebelum melanjutkan. "Mamamu pasti merasa tenang karena kamu sanggup memikul tanggung jawab yang begitu besar. Devi Elina selalu ingin keluarganya sukses dan bahagia."

Nama itu mendarat seperti batu besar di dasar sumur yang kering. Zora terdiam, lehernya menegang dan tanpa disadari genggaman pada bayinya mengencang. Raynar menoleh pada ibunya, tergelitik olek rasa ingin tahu. "Devi Elina? Siapa itu, Ma?"

Senyum Miriam tidak goyah, meski matanya berbinar karena geli. "Oh, hanya kenangan masa lalu. Devi Elina Wardhani, istri pertama ayah mertuamu. Wanita yang luar biasa. Sungguh malang, ia meninggal dalam kecelakaan tragis tujuh tahun lalu."

Raynar hanya mengangguk, memilih untuk tidak melanjutkan pertanyaan berikutnya yang sebenarnya sudah sampai di lidahnya Di sisi lain, Zora merasakan rasa dingin di tubuhnya membuatnya beku. Miriam lalu melanjutkan dengan suara lembut, bermaksud mengusir ketegangan Zora.

Well, manusia selalu punya cara untuk bergerak maju, bukan begitu? Bahkan seringkali membawa kita ke tempat-tempat yang tidak kita duga.”

Pertanyaan dan pernyataan Miriam tidak hanya asal bicara. Zora yakin calon mertuanya itu sedang memperhatikan, mempelajari, dan menunggu. Miriam merasakan satu hal yang pasti, Zora menyembunyikan sesuatu.

Zora memaksakan tawa kecil, meski suaranya bergetar. “Ya, Tante, selalu ada cara untuk bergerak maju.” Miriam tidak menanggapi, perhatiannya kini beralih pada cucu lelakinya. Ia mengusap lembut pipi cucu lelakinya itu dengan tangannya. “Dia sungguh menggemaskan,” Suara Miriam ringan namun tatapannya bertahan cukup lama untuk membuat Zora gelisah. “Aku harap anak ini tumbuh dengan karakter kakeknya yang sangat dikagumi.”

Miriam menghela napas lalu menggeser badannya sedikit menjauh. “Berbicara soal melangkah maju, apa kalian sudah memutuskan tempat pernikahan?”

Raynar ragu-ragu sebelum menjawab. “Aku sebenarnya juga ingin bertanya soal itu, Ma. Aku tahu Mama pasti punya pertimbangan sendiri, dan aku mau tahu. Di mana menurutmu sebaiknya pesta pernikahan itu dilangsungkan? Dan, juga, apa ada hal khusus yang ingin Mama hadirkan?” Sebelum Miriam sempat menjawab,

Raynar kembali menambahkan. “Ray ingin Mama merasa pernikahan ini bukan hanya tentang aku dan Zora, tapi juga perayaan keluarga. Dan, itu termasuk Mama.”

Miriam begitu tersentuh dengan ucapan putranya. Hal ini memaksa Miriam berada dalam posisi yang sulit–jika dia menolak, dia akan terlihat tidak sopan. Jika dia menerima, dia berkomitmen, setidaknya secara lahiriah, pada persatuan.

Miriam berdeham lalu menegakkan posisi duduknya untuk membeli detik-detik berharga baginya berpikir.

“Jika kau bersikeras, menurutku aula utama kita adalah tempat ideal. Papamu sangat suka aula itu. Tempat itu juga menjadi saksi bisu banyak persekutuan besar dengan para petinggi negara dan kolega-kolega penting kita. Tentu saja, meskipun sebagian besar berakhir dengan keberuntungan, ada juga yang berakhir dengan tragedi. Mari kita lihat di kategori mana tempat kalian berada.”

Raynar yang paham dengan gaya bicara ibunya kemudian tertawa kecil sambil menggelengkan kepalanya. “Mama selalu bisa membuat sebuah acara terasa... bersejarah, Ma. Pernikahan kami takkan masuk dalam kategori bencana.”

Well, itu semua tergantung dari siapa yang kau undang, Ray,” jawabnya dengan mata menerawang. Sejenak kemudian, Miriam tersenyum.

“Mama juga akan mengundang beberapa teman baik dari Prancis, lebih baik mereka menikmati sampanye di rumah kita yang nyaman daripada harus menghabiskan waktu berjam-jam terjebak di kemacetan.”

Dalam diamnya, Zora–sebagai pengamat yang lihai– berusaha mengimbangi permainan. Miriam memilih kata-katanya dengan teliti, selalu ada arti lain dari setiap ucapannya. Zora tahu permainan ini dengan baik-dia telah memainkannya dengan anggota dewan, investor, bahkan saingannya. Tapi ini kasus yang berbeda. Ini adalah keluarga. Dan pertarungan keluarga dilakukan dengan senjata yang lebih tenang dan tersembunyi dibalik kata-kata.

“Aku setuju, Tante. Aula itu sepertinya tempat yang sempurna. Tempat ini sudah ada selama beberapa generasi. Melalui perdamaian, melalui perang, masa ketika orang-orang mengira telah mengamankan tempat mereka–hanya untuk menyaksikan bahwa sejarah memiliki rencana lain.”

Zora mungkin tersenyum sopan, tapi pesannya jelas: ia mengingatkan bahwa kekuasaan tidak pernah abadi. Raynar yang menangkap ketegangan yang terjadi, memberi isyarat lembut bagi ibunya untuk meredakan suasana.

“Sebaiknya kita bicarakan hal ini nanti, Ma. Sebaiknya Mama tak terlalu banyak membebani pikiran.”

Tak ada lagi kata-kata yang terucap dari ketiganya. Hanya alunan musik instrumental dan rengekan bayi yang sesekali mengisi keheningan suasana. Meskipun begitu, arus ketegangan tetap mengalir, seakan ada sebuah pertarungan halus yang membuat Zora gelisah.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Love, Lies, and The Price of Desire   TIGA PULUH DELAPAN

    Lantai 32 Menara Wiyasa Nawasena Group nampak lengang. Raynar berdiri menghadap jendela kaca yang memperlihatkan panorama ibukota Muliakarta di siang hari. Gedung-gedung pencakar langit berkilauan di bawah terik matahari. Ia baru saja menyelesaikan panggilan konferensi dengan para calon investor baru dari luar negeri ketika pintu ruangannya diketuk."Masuk," perintahnya tanpa menoleh.Suara langkah kaki tergesa-gesa mendekatinya. "Maaf mengganggu, Pak." Asisten pribadinya berdiri dengan raut wajah tegang. "Ada telepon penting dari rumah."Raynar berbalik, alisnya terangkat."Kepala rumah tangga baru saja mengabarkan." Asistennya menelan ludah. "Tuan muda tidak ada di rumah. Mereka sudah mencari ke seluruh penjuru rumah sejak satu jam yang lalu."Raynar membeku. "Apa? Zethra?""Terakhir kali tuan muda ada di kamarnya sepulang sekolah. Saat makan siang diantar ke kamarnya, ia tidak ada."Raynar merasakan aliran dingin menjalar di sepanjang tulang belakangnya. Ia meraih ponselnya dari at

  • Love, Lies, and The Price of Desire   TIGA PULUH TUJUH

    Hari senin siang itu membawa kehangatan lembab khas musim penghujan di Muliakarta. Rinjani Wardhani baru saja tiba di Sweet Spot Coffee yang menawarkan kesejukan dari teriknya matahari. Ia mengenakan rok pensil warna arang yang dipadukan dengan blus sutra berwarna krem–sederhana namun tetap elegan.Rambut hitamnya disanggul rendah ke belakang, memperlihatkan sepasang anting-anting mutiara kecil yang menangkap cahaya saat ia bergerak. Ia memilih meja sudut dengan tempat duduk yang nyaman untuk enam orang, menata buku sketsa dan tabletnya sebelum memesan segelas iced café latte.Sejenak ia tersenyum mengenang “perbaikan” yang dilakukan Aruna sambil menata kertas-kertas itu dengan rapi di atas meja. Untung saja semua desain cadangan dalam buku sketsa itu bisa dipulihkan secara sempurna.Gusti dan Rhea menerobos pintu masuk berikutnya. Rhea langsung menuju meja dimana Rinjani duduk, sementara Gusti berbelok ke meja pemesanan.“Kau baru saja datang, Rin? Mana Lila? Kupikir dia sudah di sin

  • Love, Lies, and The Price of Desire   TIGA PULUH ENAM

    Di luar, tetes-tetes pertama hujan mulai turun, mengetuk jendela seakan menghitung mundur pelaksanaan rencana besar di pikiran Raynar. Setiap langkahnya harus dilakukan dengan tepat. Setelah selesai, ia menutup laptopnya lalu beranjak menuju meja kecil dengan membawa gelas kosongnya. Ia telah mendapatkan pelajaran penting dari kasus ini--pola pikir dan sikap seorang pemimpin besar.Raynar menuang whiskey setinggi dua jari dan menenggaknya habis dalam sekali minum, seakan hendak merayakan kepercayaan dirinya dalam membuktikan bahwa ia layak menyandang nama besar Wiyasa Nawasena. Liquid amber membakar tenggorokannya, meninggalkan sensasi jejak hangat yang menyebar hingga ke dada.Malam harinya, rembulan tinggi menggantung di atas Taman Kota Muliakarta. Angin mendesau di antara pepohonan, membawa suara keramaian lalu lintas Minggu malam di kejauhan. Aroma tanah basah dari hujan sore bercampur dengan wangi bunga melati yang mekar di sepanjang pagar taman. Tempat yang ramai dikunjungi kelu

  • Love, Lies, and The Price of Desire   TIGA PULUH LIMA

    Dua hari kemudian, Sweet Spot Café kembali menjadi tempat pertemuan Lila dan Raynar sore itu. Suara percakapan para pengunjung lain dan desis mesin espresso yang sesekali terdengar menciptakan latar belakang yang nyaman untuk pertemuan mereka.Raynar tiba tepat pukul enam. Ia mengenakan jaket hitam panjang yang menyembunyikan kemeja biru tua dibaliknya. Beberapa pengunjung melirik, mengenali CEO muda Wiyasa Nawasena Group, sebelum dengan sopan kembali ke percakapan mereka.Raynar melihat Lila di meja pojok. Rambut hitamnya dikuncir ke belakang, sedang membuat sketsa di atas tablet dengan satu tangan sementara tangan lainnya menggenggam iced matcha latte yang baru saja ia seruput.“Multitasking yang sulit berubah,” kata Raynar sambil mendekat, senyum kecil tersungging di bibirnya.Lila mendongak. Dengan gerak cepat ia meletakkan pena tabletnya. Rona merah merona di pipinya, kontras dengan penampilannya yang tenang.“Kebiasaan lama.” Lila tersenyum kikuk sambil menunjuk kursi di seberan

  • Love, Lies, and The Price of Desire   TIGA PULUH EMPAT

    Lila dan Rinjani saling bertukar tatapan penuh harap.“Tidak semua, tapi setidaknya–” Rhea berhenti, meringis pada sebuah halaman yang berkilauan. “Tekanan dari krayon merusak beberapa detail, dan lem glitter ini–”“Tapi ini sesuatu,” kata Lila, merasakan secercah harapan.Gusti kembali ke meja, menyeimbangkan piring yang dibawanya.“Aku putuskan untuk makan sehat,” katanya sambil kembali duduk. “Jadi kupilih telur dadar gosong yang tebal dengan topping putih telur kocok.” Ia menunjuk pada brownies besar yang diberi topping es krim vanila.Rinjani sontak terkekeh. Suaranya kecil tapi bisa mencairkan ketegangan yang membelit dadanya. Lila menggelengkan kepala, sebuah senyum enggan terbersit di bibirnya. Bahkan ekspresi serius Rhea pun sedikit retak.“Cuma kamu, Gus,” sahut Lila, ”yang bisa bercanda di saat seperti ini.”“Hey, apa jadin

  • Love, Lies, and The Price of Desire   TIGA PULUH TIGA

    Rinjani memasukkan kunci ke dalam pintu apartemennya dengan tenang. Beban hari ini menekan pundaknya, tapi satu harapan masih tersisa. Ia mendorong pintu dan melangkah masuk.Aroma tipis melati dari pengharum ruangan kesukaan Bibi Sari menyambut kedatangannya. Apartemen itu sunyi, kecuali dengungan lembut pendingin ruangan dan suara anak-anak bermain di taman bermain terbuka.Rinjani melepas sepatu hak tingginya dan langsung menuju kamar tidurnya. Kakinya melangkah tak bersuara di lantai kayu. Pintunya terbuka sebagian, dan ia mendorongnya lebih lebar, langsung menuju laci bawah meja rias tempat ia menaruh buku sketsa itu.Ia berlutut, membuka laci itu. Kosong.“Tidak,” bisiknya, jari-jarinya panik mencari-cari isi laci. “Tidak, tidak.”Ia kembali duduk di atas tumitnya, menoleh ke kanan-kiri. Apakah ia telah memindahkannya? Apa sebenarnya ia tak menyimpan buku itu di laci?Rinjani memejamkan matanya. Lalu, ia berdiri, bergerak menuju lemari, lalu ke rak di atas meja, mencari setiap t

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status