Lima belas menit mobil mereka menyusuri jalan berliku dan menanjak yang diapit oleh pepohonan tinggi sebelum akhirnya tiba di kompleks pemakaman keluarga Wiyasa Nawasena. Ketiganya terdiam mengamati areal luas tenang dan asri yang membentang di hadapan mereka. Bulir-bulir embun yang bertengger di ujung rerumputan serta aroma tanah lembab menyambut mereka ketika pintu mobil terbuka.
Raynar keluar lebih dulu, melangkah hati-hati saat menemani ibunya berjalan. Zora menjejakkan kaki dengan langkah keraguan sambil menggendong bayinya. Wajahnya memucat dengan tatapan nanar ke sekitarnya.
Kompleks pemakaman itu tak benar-benar sunyi. Gemerisik dedaunan yang tertiup angin, kadal kecil yang bergerilya di antara rerumputan, dan beberapa jenis burung yang berkicau dari pepohonan menjadi penyeimbang eksistensi kehidupan diatas kematian.
Setelah berjalan beberapa waktu, ketiganya berhenti di depan sebuah nisan marmer yang terawat baik. Ukiran huruf-huruf dengan tinta emas berkilau karena pantulan garis-garis cahaya matahari yang lolos dari celah pepohonan rimbun. Raynar berdiri di antara ibunya, dan Zora.
“Papamu pasti senang jika bisa bertemu dengan cucunya,” kata Miriam lirih, suaranya membawa kehangatan sekaligus kesedihan. Dia menoleh ke arah Raynar, tatapan matanya melembut.
“Kau tahu,” katanya, sambil mengusap setitik debu di gaunnya, ”Mama sudah berjanji kepada papamu untuk menemaninya di sini suatu hari nanti. Tapi jujur, Mama sedang mempertimbangkannya lagi, Ray– di sini terlalu sepi, aku tidak siap mati bosan selamanya.”
Raynar tersenyum tipis, menggelengkan kepalanya. “Aku yakin Papa akan senang ditemani, Ma.”
“Mama tahu,” Miriam terkekeh, seakan hendak menipu kesedihan di balik matanya. “Tapi kurasa papamu harus menunggu sedikit lebih lama. Seseorang harus memastikan kamu berjalan lurus.” Tawa lirih Zora sesaat telah memecah khidmat di antara ibu dan anak itu, tetapi fokus Miriam tak berpaling dari Raynar.
Ia meletakkan tangan di bahu putranya. “Dia selalu bangga padamu, Ray,” bisiknya lembut. Tangan Raynar ditumpukan pada tangan Miriam yang ada di bahunya, mengakui kata-kata ibunya tanpa berucap.
Kenangan mulai muncul ke permukaan—suara ayahnya yang dalam; percakapan larut malam di ruang kerja; pelajaran yang dibagikan di taman belakang. Dia mengingat bimbingan ayahnya yang tegas namun penuh kasih, caranya berbicara tentang tanggung jawab, pentingnya integritas, dan bahaya pengkhianatan yang selalu ada dalam bisnis.
Ayah Raynar selalu mempersiapkan anak semata wayangnya untuk masa depan yang terbaik. Ia ingat suatu malam di ruang kerja, Ayahnya duduk di seberangnya. Sepasang mata ayahnya menatap tajam diantara kepulan asap rokok, tumpukan buku tua, dan segelas anggur merah.
“Nilai seorang pria diukur dari beban yang dapat ia pikul tanpa tersandung,” kata ayahnya. “Dalam namamu ada nama keluarga kita, Ray, warisan yang harus dijaga dengan sebaik-baiknya. Ingat selalu dan jadikan itu prioritasmu.”
Pada saat itu, Raynar mengangguk, menerima dengan kepatuhan yang utuh. Tapi kini, di depan makam ayahnya, kata-kata itu membebani dirinya seperti batu besar yang dirantai ke kaki dan tangannya. Apakah dia telah memenuhi harapan-harapan itu? Apakah dia telah tersandung tanpa menyadarinya?
Zora melangkah maju lalu berdiri tenang dengan kepala tertunduk di samping anaknya. “Beliau pasti orang yang luar biasa. Raynar berbicara tentangnya dengan penuh hormat.” Miriam memiringkan kepalanya, menatap Zora dalam diam, mencerna ucapan dan nada bicara Zora serta memperhatikan gerak-geriknya yang terlembut sekalipun.
Raynar juga tak bergeming. Ia larut dalam pikirannya sendiri. Beban tak terucapkan sebagai seorang pewaris keluarga bergelayut di pundaknya. Ia merasa belum pantas disandingkan dengan figur ayahnya. Lalu sekilas, Raynar seakan melihat wajah ayahnya tersenyum, ekspresi meneduhkan yang lahir dari wajah persegi itu–entah bagaimana, membuat Raynar haru sekaligus lega. Ia lalu menyudahi keheningannya, tak ingin larut terlalu dalam di kubangan kenangan.
***
Sebelum keluar dari areal pemakaman, Miriam meminta Zora untuk duduk di sampingnya di kursi penumpang belakang. Dan, selama sepuluh menit lebih setelahnya, hanya irama piano klasik yang bersuara dari audio mobil. Hingga kemudian, "Zora," Miriam memulai, nadanya tegas dan datar. "Kamu belum menceritakan tentang orang tuamu. Apa mereka dalam keadaan baik?"
Bibir Zora membentuk senyuman manis yang terlatih baik. "Ah iya, Tante benar. Mama dalam keadaan sehat, tapi… Papa–" Ia berhenti sejenak, ekspresinya berubah menjadi keprihatinan dramatis yang dirancang sempurna. "Papa sakit keras sejak beberapa bulan lalu. Jujur ini masa-masa sulit keluarga kami."
Miriam mengangguk, mengerutkan dahi. "Aku ikut sedih mendengarnya. Pak Daryata dikenal sebagai orang yang tangguh. Jadi, sekarang kamu yang mengurus bisnis keluarga?"
Senyum Zora mengembang, "Ya, saya mengambil kendali penuh atas operasi perusahaan." Tanpa disadari, suaranya menjadi lebih nyaring dan bangga. Ia menegakkan posisi duduknya, "Ini sangat menantang bagi saya, tapi saya berhasil memimpin perusahaan kami menuju kesuksesan."
Raynar melirik Zora dari spion tengah. Nada bicaranya lebih terasa seperti kepongahan daripada kepercayaan diri. Miriam yang duduk di samping Zora membiarkan senyum tipis di bibirnya.
"Mengesankan," kata Miriam, suaranya halus. Ia berdeham sebelum melanjutkan. "Mamamu pasti merasa tenang karena kamu sanggup memikul tanggung jawab yang begitu besar. Devi Elina selalu ingin keluarganya sukses dan bahagia."
Nama itu mendarat seperti batu besar di dasar sumur yang kering. Zora terdiam, lehernya menegang dan tanpa disadari genggaman pada bayinya mengencang. Raynar menoleh pada ibunya, tergelitik olek rasa ingin tahu. "Devi Elina? Siapa itu, Ma?"
Senyum Miriam tidak goyah, meski matanya berbinar karena geli. "Oh, hanya kenangan masa lalu. Devi Elina Wardhani, istri pertama ayah mertuamu. Wanita yang luar biasa. Sungguh malang, ia meninggal dalam kecelakaan tragis tujuh tahun lalu."
Raynar hanya mengangguk, memilih untuk tidak melanjutkan pertanyaan berikutnya yang sebenarnya sudah sampai di lidahnya Di sisi lain, Zora merasakan rasa dingin di tubuhnya membuatnya beku. Miriam lalu melanjutkan dengan suara lembut, bermaksud mengusir ketegangan Zora.
“Well, manusia selalu punya cara untuk bergerak maju, bukan begitu? Bahkan seringkali membawa kita ke tempat-tempat yang tidak kita duga.”
Pertanyaan dan pernyataan Miriam tidak hanya asal bicara. Zora yakin calon mertuanya itu sedang memperhatikan, mempelajari, dan menunggu. Miriam merasakan satu hal yang pasti, Zora menyembunyikan sesuatu.
Zora memaksakan tawa kecil, meski suaranya bergetar. “Ya, Tante, selalu ada cara untuk bergerak maju.” Miriam tidak menanggapi, perhatiannya kini beralih pada cucu lelakinya. Ia mengusap lembut pipi cucu lelakinya itu dengan tangannya. “Dia sungguh menggemaskan,” Suara Miriam ringan namun tatapannya bertahan cukup lama untuk membuat Zora gelisah. “Aku harap anak ini tumbuh dengan karakter kakeknya yang sangat dikagumi.”
Miriam menghela napas lalu menggeser badannya sedikit menjauh. “Berbicara soal melangkah maju, apa kalian sudah memutuskan tempat pernikahan?”
Raynar ragu-ragu sebelum menjawab. “Aku sebenarnya juga ingin bertanya soal itu, Ma. Aku tahu Mama pasti punya pertimbangan sendiri, dan aku mau tahu. Di mana menurutmu sebaiknya pesta pernikahan itu dilangsungkan? Dan, juga, apa ada hal khusus yang ingin Mama hadirkan?” Sebelum Miriam sempat menjawab,
Raynar kembali menambahkan. “Ray ingin Mama merasa pernikahan ini bukan hanya tentang aku dan Zora, tapi juga perayaan keluarga. Dan, itu termasuk Mama.”
Miriam begitu tersentuh dengan ucapan putranya. Hal ini memaksa Miriam berada dalam posisi yang sulit–jika dia menolak, dia akan terlihat tidak sopan. Jika dia menerima, dia berkomitmen, setidaknya secara lahiriah, pada persatuan.
Miriam berdeham lalu menegakkan posisi duduknya untuk membeli detik-detik berharga baginya berpikir.
“Jika kau bersikeras, menurutku aula utama kita adalah tempat ideal. Papamu sangat suka aula itu. Tempat itu juga menjadi saksi bisu banyak persekutuan besar dengan para petinggi negara dan kolega-kolega penting kita. Tentu saja, meskipun sebagian besar berakhir dengan keberuntungan, ada juga yang berakhir dengan tragedi. Mari kita lihat di kategori mana tempat kalian berada.”
Raynar yang paham dengan gaya bicara ibunya kemudian tertawa kecil sambil menggelengkan kepalanya. “Mama selalu bisa membuat sebuah acara terasa... bersejarah, Ma. Pernikahan kami takkan masuk dalam kategori bencana.”
“Well, itu semua tergantung dari siapa yang kau undang, Ray,” jawabnya dengan mata menerawang. Sejenak kemudian, Miriam tersenyum.
“Mama juga akan mengundang beberapa teman baik dari Prancis, lebih baik mereka menikmati sampanye di rumah kita yang nyaman daripada harus menghabiskan waktu berjam-jam terjebak di kemacetan.”
Dalam diamnya, Zora–sebagai pengamat yang lihai– berusaha mengimbangi permainan. Miriam memilih kata-katanya dengan teliti, selalu ada arti lain dari setiap ucapannya. Zora tahu permainan ini dengan baik-dia telah memainkannya dengan anggota dewan, investor, bahkan saingannya. Tapi ini kasus yang berbeda. Ini adalah keluarga. Dan pertarungan keluarga dilakukan dengan senjata yang lebih tenang dan tersembunyi dibalik kata-kata.
“Aku setuju, Tante. Aula itu sepertinya tempat yang sempurna. Tempat ini sudah ada selama beberapa generasi. Melalui perdamaian, melalui perang, masa ketika orang-orang mengira telah mengamankan tempat mereka–hanya untuk menyaksikan bahwa sejarah memiliki rencana lain.”
Zora mungkin tersenyum sopan, tapi pesannya jelas: ia mengingatkan bahwa kekuasaan tidak pernah abadi. Raynar yang menangkap ketegangan yang terjadi, memberi isyarat lembut bagi ibunya untuk meredakan suasana.
“Sebaiknya kita bicarakan hal ini nanti, Ma. Sebaiknya Mama tak terlalu banyak membebani pikiran.”
Tak ada lagi kata-kata yang terucap dari ketiganya. Hanya alunan musik instrumental dan rengekan bayi yang sesekali mengisi keheningan suasana. Meskipun begitu, arus ketegangan tetap mengalir, seakan ada sebuah pertarungan halus yang membuat Zora gelisah.
Sebuah Mall di sudut persimpangan jalan menjulang dengan fasad berpola geometris heksagonal dilatari cahaya LED yang menegaskan kesan futuristik. Mobil impor yang berjajar di deretan slot parkir khusus seakan melengkapi keistimewaannya. Di dalam Mall, pendar cahaya lampu gantung dan permukaan keramik mengkilap pada bangunan tujuh lantai itu.Ketika ketiganya melangkah masuk, sambutan aroma bunga segar yang lembut dari pengharum ruangan menyambut mereka. Tak seberapa jauh berjalan menyusuri koridor lantai satu, mereka tiba di sebuah restoran yang khusus menyajikan masakan bercitarasa lokal.Rinjani menuju ke ke salah satu meja yang terbuat dari ukiran sebongkah kayu panjang, melewati beberapa pengunjung yang sedang berbincang sembari menikmati santapan mereka. Bibi Sari menatap Rinjani yang sedang membalik-balik buku menu dan Aruna yang duduk di sebelahnya, yang asyik melihat foto-foto sekolahnya di brosur.“Rin, bagaimana kabar Lila?”“Dia masih seceria dulu, Bi. Karirnya menanjak pes
“Rin! Kamu di mana?” Suara Lila terdengar di telepon, lebih seperti menahan luapan kegembiraan dari sekedar bertanya. “Masih ingat pekerjaan yang kutawarkan?” Taksi itu melewati jalan berlubang, dan Rinjani menahan diri dengan berpegang pada pintu dan es krim di sendok yang digenggam putrinya melompat.“Ah! Es krimku,” keluh Aruna. Rinjani mengelus rambut putrinya lalu tersenyum padanya.“Ya, Lila, kenapa?” Satu tangan Rinjani sibuk mengambil beberapa helai tissue dari tasnya, lalu menunduk untuk membersihkan noda-noda es krim yang berserak.“Tenggat waktunya berubah.” Suara Lila meninggi. “Dua hari. Hanya itu waktu yang aku punya. Aku perlu kamu, Rin. Tolong jangan bilang tidak.” Rinjani seketika duduk terdiam. Tissue bernoda es krim itu masih dipegangnya. Dari jendela taksi, ia menatap kosong hamparan gedung-gedung tinggi yang tak berujung.“Dua hari? Tapi itu–aku harus me–”“Ingat kompetisi desain dulu? Tahun terakhir? Ya Tuhan, Rin, itu hasil karyamu. Aku hanya bisa melihatmu berk
Langit mendung sore hari itu membuat siluet halus seorang wanita dan anak perempuan yang berjalan melintasi pohon-pohon palem tinggi di sebuah jalanan beton kompleks perumahan elit. Langkah kaki mereka melewati sebuah rumah berdinding bata teracota lapuk yang nyaris tersembunyi di balik rimbunnya bunga bugenvil.Seorang wanita tua berdiri di beranda rumahnya dengan gunting taman di tangan. Rambut peraknya yang ikal berkilau memantulkan sinar matahari terakhir sore itu ketika langit tertutup kelamnya awan gelap. Dari balik kacamata besarnya, mata wanita itu menyipit dan badannya setengah membungkuk, berusaha mengenali dua sosok yang melintasi jalanan depan rumahnya.“Rinjani?” Wanita tua itu memanggil dengan nada terkejut yang ramah ketika berhasil mengenali. Rinjani terkejut lalu menoleh. “Bu Sofia? Hai!” Senyumnya seketika merekah dan sebelah tangannya melambai. “Sudah lama sekali.”Bu Sofia meletakkan guntingnya dan menanggalkan apron, lalu bergegas menyusuri jalan setapak menuju ge
Mesin-mesin diesel berdengung mengiringi kemeriahan sebuah pasar malam, suasana yang membungkus Rinjani dan Aruna seperti pelukan yang akrab. Lampion-lampion bergoyang lembut di atas kepala mereka, memancarkan warna keemasan di jalanan berbatu yang dipenuhi kios-kios. Para pedagang bersahutan, suara mereka berbaur dengan desisan tusuk sate, bunyi kipas angin yang berputar, dan tawa anak-anak.Rinjani takjub akan pemandangan yang semarak itu. Persis seperti yang ia ingat dari masa kecilnya, Tenda-tenda bercahaya dengan aneka suara dan aroma. Namun pemandangan itu kini memiliki makna baru. Ia melirik ke arah Aruna, yang matanya yang lebar melesat dari satu kios ke kios lainnya, tangannya yang kecil menggenggam erat tangan Rinjani. Ini adalah malam pertama bagi Aruna berada di ibukota, dan Rinjani ingin putrinya bersenang-senang agar ia merasa betah.“Mama, bolehkah aku makan itu?” Suara Aruna penuh dengan kegembiraan saat ia menunjuk ke arah seorang pedagang yang memintal gulali warna-w
Sebuah kereta meluncur masuk ke Stasiun Muliakarta, roda-rodanya berdecit pelan saat mengerem. Para penumpang bergegas melintas, dengung suara mereka berbaur dengan pengumuman dari pengeras suara.Rinjani melangkah turun ke peron, satu tangannya menggenggam erat tangan Aruna sementara yang satunya lagi menarik koper besar beroda. Mata lebar gadis kecil itu memandang ke sekitar, mencoba menangkap pemandangan dan keriuhan suasana. Jari-jari kecilnya menggenggam erat tangan Rinjani, langkahnya ragu-ragu.“Mama,” bisik Aruna, suaranya nyaris tak terdengar di tengah hiruk-pikuk, ”Kenapa di sini bising sekali? Apa kita tersesat?”Rinjani tertawa kecil mendengarnya, lalu berlutut sejajar dengan putrinya, menyibak kepangan rambut yang tersangkut di wajah Aruna. Senyumnya tenang dan meyakinkan.“Tidak, sayang, kita tidak tersesat. Ini kota yang besar–lebih banyak orang daripada di desa kita. Tapi Aruna tak perlu khawatir asal selalu dekat Mama, oke? Yuk!”Aruna mengangguk perlahan, genggamanny
Dengung mesin jahit diiringi irama tap-tap-tap gunting di atas meja kerja memenuhi sebuah ruangan. Sinar matahari masuk melalui jendela rumah membentuk garisan-garisan tebal. Gulungan kain berwarna abu-abu dan biru tua berjajar di dinding, dan beberapa orang duduk di meja mereka; memotong, menjahit, dan menyetrika baju seragam.Empat tahun yang lalu, di atas tanah ini, sebuah rumah telah terbakar habis. Kini, jejak kebakaran itu telah sepenuhnya lenyap dan berganti menjadi sebuah industri kecil produk konveksi.Di salah satu sudut tempat itu Rinjani Wardhani berdiri dengan spidol di tangan dan sepasang penyuara tanpa kabel tersemat di telinga. Rambut panjangnya diikat bergaya kuncir kuda tinggi, dan berayun-ayun ketika kepalanya bergerak mengikuti irama lagu Unstoppable yang terlantun.Rinjani mengenakan kaos longgar dan celana jeans dengan balutan apron berwarna hitam sepanjang lutut. Penampilan yang disesuaikan dengan pekerjaannya, perpaduan seimbang antara kenyamanan dan keanggunan
Sebuah aula berkilauan seperti permata malam itu. Lampu gantung kristal di ketinggian memantulkan cahaya keemasan lembut di atas lantai marmer. Meja-meja dibalut dengan linen gading halus susun bunga anggrek dan mawar, wanginya berbaur dengan aroma hidangan adiboga. Sebuah kuartet dawai di sudut ruangan mengalunkan melodi lembut, menyatu mudah dengan riuh rendahnya percakapan dan tawa yang mengisi ruangan.Raynar Wiyasa Nawasena berdiri di salah satu sisi ruangan dengan segelas sampanye yang belum tersentuh bibirnya. Dua bulan yang lalu, kemegahan perayaan malam ini sama sekali tidak tercantum dalam agendanya, bahkan tidak dalam mimpi terliarnya sekalipun. Seharusnya ini membuat dirinya bangga, namun ia justru merasakan kehampaan yang janggal.Tatapannya mengikuti Zora yang bergerak lincah melewati kerumunan, gaunnya yang berkilauan dan tawa lepasnya saat menyambut para tamu. Pikiran Raynar kembali pada malam di klub Royal Ravelle - wanita yang diingatnya bukanlah sosok yang dipoles d
Lima belas menit mobil mereka menyusuri jalan berliku dan menanjak yang diapit oleh pepohonan tinggi sebelum akhirnya tiba di kompleks pemakaman keluarga Wiyasa Nawasena. Ketiganya terdiam mengamati areal luas tenang dan asri yang membentang di hadapan mereka. Bulir-bulir embun yang bertengger di ujung rerumputan serta aroma tanah lembab menyambut mereka ketika pintu mobil terbuka.Raynar keluar lebih dulu, melangkah hati-hati saat menemani ibunya berjalan. Zora menjejakkan kaki dengan langkah keraguan sambil menggendong bayinya. Wajahnya memucat dengan tatapan nanar ke sekitarnya.Kompleks pemakaman itu tak benar-benar sunyi. Gemerisik dedaunan yang tertiup angin, kadal kecil yang bergerilya di antara rerumputan, dan beberapa jenis burung yang berkicau dari pepohonan menjadi penyeimbang eksistensi kehidupan diatas kematian.Setelah berjalan beberapa waktu, ketiganya berhenti di depan sebuah nisan marmer yang terawat baik. Ukiran huruf-huruf dengan tinta emas berkilau karena pantulan
Panel kaca besar dengan dekorasi minimalis berbalut kombinasi warna pastel hangat di ruang tamu kediaman Wiyasa Nawasena memancarkan kesan keanggunan yang mewah. Zora duduk dengan tenang di salah satu kursi kulit berlengan, sambil memeluk bayi lelakinya.Tiga hari telah berlalu sejak Zora menemui Raynar. Hari ini Raynar mengundangnya datang ke kediaman keluarga Wiyasa Nawasena. Senyum Zora merekah ketika mendengar kabar itu melalui panggilan telepon. Ia mempersiapkan diri dengan berpakaian pantas untuk undangan itu. Kombinasi atasan berwarna champagne berbahan wol lembut dan rok selutut warna khaki menyampaikan kesan bersahaja. Sementara kalung dan sepasang anting mutiara melekatkan kesan anggun. Zora bergerak dengan hati-hati, cerminan talenta terbesar yang dimiliki Zora dan telah dilatih berkali-kali dalam pikirannya.Raynar memasuki ruang tamu, kehadirannya nampak tegas meskipun dalam penampilan santai, kemeja biru langit sederhana dengan lengan tergulung.“Selamat pagi.” Raynar me