Sebuah aula berkilauan seperti permata malam itu. Lampu gantung kristal di ketinggian memantulkan cahaya keemasan lembut di atas lantai marmer. Meja-meja dibalut dengan linen gading halus susun bunga anggrek dan mawar, wanginya berbaur dengan aroma hidangan adiboga. Sebuah kuartet dawai di sudut ruangan mengalunkan melodi lembut, menyatu mudah dengan riuh rendahnya percakapan dan tawa yang mengisi ruangan.
Raynar Wiyasa Nawasena berdiri di salah satu sisi ruangan dengan segelas sampanye yang belum tersentuh bibirnya. Dua bulan yang lalu, kemegahan perayaan malam ini sama sekali tidak tercantum dalam agendanya, bahkan tidak dalam mimpi terliarnya sekalipun. Seharusnya ini membuat dirinya bangga, namun ia justru merasakan kehampaan yang janggal.
Tatapannya mengikuti Zora yang bergerak lincah melewati kerumunan, gaunnya yang berkilauan dan tawa lepasnya saat menyambut para tamu. Pikiran Raynar kembali pada malam di klub Royal Ravelle - wanita yang diingatnya bukanlah sosok yang dipoles dan penuh perhitungan. Malam itu terasa spontan, mentah, namun sungguh memikat. Namun, Raynar nyaris tak merasakan semua itu pada wanita cantik yang kini menjadi istri sahnya.
"Raynar, sayang," terdengar suara yang bercampur dengan kegembiraan dan perhatian. Miriam, ibunya, muncul di sampingnya, setenang biasanya. "Apa kamu hanya mau menatap pesta pernikahanmu sendiri sepanjang malam?"
Dia berhasil tersenyum. “Hanya...mencoba merangkai ulang semuanya, Ma.”
"Hmm," Miriam menatap langsung ke arah Zora, yang kini sedang bercakap-cakap dengan sekelompok tamu. "Dia memainkan perannya dengan baik, ya?"
Alis Raynar sedikit berkerut. "Maksud Mama?"
"Bukan apa-apa, sayang." Ibunya mengangkat bahu, namun sudut bibirnya menunjukkan arti lain. "Hanya saja, selalu menarik melihat seseorang begitu mahir beradaptasi."
Sebelum Raynar sempat menjawab, Miriam memalingkan fokusnya. Di seberang ruangan, lima wanita berpakaian elegan bercakap-cakap dalam bahasa Prancis yang hidup, suara mereka mengalun di tengah semarak pesta.
“Aku akan menemui mereka,” kata Miriam tanpa menoleh kepada putranya. Miriam menghampiri sahabat lamanya, Colette, dengan pelukan hangat, kedua wanita ini saling bertukar ciuman di kedua pipi seperti kebiasaan mereka. “Ma chère Colette, toujours élégante,” Miriam berdecak, mengagumi busana sutra emas Colette yang menawan dalam balutan syal bulu berwarna putih bersih. “Kalau saja kita bisa meminjam sedikit mood Paris, mungkin kita tak perlu bersusah payah membawa keanggunan ke kota ini.”
Anting-anting berlian Colette berayun berkilauan saat ia tertawa. “Ah, tapi Miriam, kamu sudah melakukannya dengan sangat baik. WN Group telah menjadi pusat perhatian di Asia. Sekarang, tantangan yang sesungguhnya dimulai.”
Colette lalu menunjuk Marie-Ann Dunhill di seberangnya lalu memperkenalkannya kepada Miriam. Sosok berpengaruh di balik Paris Fashion Week itu mengangkat gelasnya. “Saya cukup penasaran–bagaimana tepatnya rencana Anda menghadapi pasar Eropa?”
Mata Miriam berbinar penuh kegembiraan saat mengaduk sampanye. “Dengan keanggunan, ketepatan, dan beberapa teman yang tepat, tentunya.” Miriam melemparkan lirikan dan senyum manis kepada Marie-Ann, “Dan seperti biasa, Paris tumbuh subur karena disrupsi, bukan begitu?”
Alis Marie-Ann terangkat melengkung sempurna. Senyum di bibir tipisnya siap meluncurkan tanggapan tegas dan menantang. “Paris tumbuh subur karena kesempurnaan. Jika Anda membawa itu, takkan ada hambatan dari kami.”
Setelah menyesap sampanye dari gelas tingginya, tatapan Marie-Ann kembali pada Miriam. “Jadi, katakan pada kami, Miriam, apakah ekspansi ini akan membawa kesenian yang nyata, atau tak lebih dari taktik invasi korporat?”
Miriam tergelak kecil lalu meletakkan satu telapak di dadanya. Ia balik menatap Marie-Ann dengan serius. "Oh, Anda melukai saya. Saya lupa kapan terakhir kali saya dikaitkan dengan hal yang remeh."
Sarkasme khas Miriam itu mengundang gelak tawa yang lain. Lalu ia melanjutkan. "Kami akan menggemparkan Paris seperti invasi alien ke bumi."
Marie-Ann dan Colette saling bertukar pandang sebelum keduanya tertawa kecil.
“Ah, Miriam, Anda tidak berubah sedikit pun. Ambisius, brilian, dan sedikit berbahaya,” kelakar Colette.
Miriam tersenyum tersipu dan berbisik ke tengah kelompok, "Bahaya adalah bumbu rahasianya."
Tawa kembali pecah di antara mereka, menjadi sebuah simbol komitmen dukungan tanpa tinta dan kertas. Paris akan menjadi tonggak WN Group di pasar Eropa–hal yang pasti terjadi ketika para pemikir terbaiknya sudah bersulang mendukung keberhasilannya.
***
Sementara itu, dua lelaki sedang duduk berhadapan di satu ruang tertutup. Raynar duduk di seberang pamannya, Hasta Wiyasa Nawasena, adik lelaki ayahnya yang bijaksana–tipe orang yang tak perlu meninggikan suara untuk mengendalikan situasi. Ia seorang pejabat tinggi negara sekaligus penasehat utama WN Group.
Raynar mengembuskan napas, membenamkan rokok di asbak sebelum berbicara. "Mama minta aku menyampaikan saran tentang istriku, Zora. Mama pikir sebaiknya kita tidak melibatkannya dalam kegiatan perusahaan–apapun itu."
Hasta sedikit memiringkan kepala. "Miriam dan nalurinya,” dia merenung, dahi tuanya berkerut. “Bagaimana menurutmu? Dan apa yang sebenarnya terjadi antara Miriam dan Zora?"
Raynar bersandar ke belakang, menatap langsung kepada pria tua di hadapannya. "Tadinya kukira tak lebih dari humor gelap khas Mama, Paman. Tapi ketika Mama ingin aku memberi tahu Paman, aku tahu itu bukan sekadar selera humornya."
Hasta menyandarkan dagu di atas kepalan kedua tangannya, matanya menyipit sebelum kemudian bersuara. “Ya, begitu Mamamu. Intuisi luar biasa untuk melihat di balik tirai. Dengar, tak ada masalah buatku tentang saran itu asal kau setuju."
Raynar mengangguk, meski beban tanggung jawab masih terasa berat di pundaknya. Hasta berdiri, membetulkan kancing jasnya.
“Aku akan luruskan soal ini dengan Mamamu. Kamu tak perlu khawatir. Ia menepuk bahu Raynar. “Malam ini kamu adalah pengantin pria. Dan lenyap dari perayaanmu sendiri bukanlah penampilan terbaik.”
Raynar tergelak hampa.
***
Di salah satu sisi aula, Zora mendapat perhatian dari sekelompok influencer terkenal, dua bintang film papan atas, salah satu penyanyi favoritnya, dan seorang jurnalis tabloid yang tampak nyaman dengan penampilan eksentriknya. Percakapan mereka dipenuhi dengan gumaman geli, tawa yang tepat waktu, dan sesekali ada drama dari para aktor.
Zora terlihat menikmati suasana itu, gerak-geriknya luwes, suaranya membawa kehangatan dan kepercayaan diri yang pas. Citra, di sisinya, meneguk anggur dipenuhi nuansa kebanggaan. Ruangan itu dipenuhi tamu-tamu penting, dan inilah lingkaran yang selalu ia bayangkan sebagai tempat putrinya berada–glamor, berpengaruh, dan pusat perhatian.
Miriam, yang masih terlibat dalam obrolan ringan dengan teman dan kolega-kolega barunya dari Prancis, melirik ke arah mereka. Bibirnya bergerak-gerak sedikit karena geli.
“Lihatlah bagaimana sekelompok orang yang pandai berakting berkumpul dan menertawakan ketenaran yang dibungkus kemunafikan,” pikirnya, sambil mengaduk-aduk sampanye di gelasnya.
Dengan sedikit putaran kepala, Miriam kembali kepada Colette, lalu dengan mudah lebur kembali dalam percakapan, seolah-olah tidak ada yang mengalihkan perhatiannya untuk sesaat.
Hasta dan Raynar telah kembali ke aula utama dan segera menghampiri sekelompok tamu bersetelan tuksedo. Raynar menghentikan seorang pelayan untuk mengambil segelas scotch dari nampan. Salah satu dari tamu, seorang Komisaris Besar Kepolisian, memperhatikan apa yang dilakukan oleh Raynar.
"Malam masih panjang, Tuan Muda, Anda juga masih harus berdansa dengan mempelai wanita," kelakarnya sambil tertawa kecil. Setelah mengangkat gelas, Raynar menenggak sebagian isinya.
"Tak perlu khawatir, pak, saya tetap akan berdansa dengan mempelai wanita. Saya pastikan malam ini takkan berakhir dengan sirene dan pita kuning."
Komisaris itu tergelak hingga perut buncitnya berayun naik-turun. "Oh, astaga, saya tahu persis dari mana kamu mendapatkan selera humor itu, Ray."
Kata-katanya mengundang tawa yang lain, mencairkan suasana. Raynar merespons dengan senyuman tipis dan sekali lagi menyesap scotch dari gelasnya, membiarkan percakapan mengalir di sekelilingnya.
Dari sudut matanya, Raynar melihat Citra bergerak melewati kerumunan orang, dengan segelas anggur di tangan, menuju ke lingkaran tamu istimewa yang mengelilingi ibunya. Postur tubuhnya tegap, namun ada kesan tergesa-gesa dalam langkahnya.
"Miriam." Sapaannya hangat, hampir terlalu hangat, saat Citra berhenti hanya selangkah di belakangnya. Miriam tidak perlu menoleh untuk mengenali suara itu.
"Citra." Miriam balas menyapa dengan senyuman kecil dan nada yang ringan. 'Kamu terlihat sangat berseri. Sungguh, potret seorang ibu yang merasa bangga." Citra kembali tersenyum tipis, meski jari-jarinya melingkar sedikit lebih erat di tangkai gelasnya.
"Terima kasih, besan," katanya dengan halus, tatapannya menyapu lingkaran tamu sebelum kembali menatap Miriam. "Apa aku layak diperkenalkan kepada teman-teman di sini?"
Mata Miriam menyipit penuh pengertian, ia meluangkan waktu untuk menjawab, seakan menikmati tekanan momen tersebut.
"Tentu saja tidak," kata Miriam, nadanya manis, hampir memanjakan. "Tapi sayangnya, mereka baru saja akan keluar–menjauh dari polusi suara di sini."
Miriam berbicara dalam bahasa Prancis yang fasih, menginstruksikan para tamunya untuk menikmati ketenangan di halaman belakang dekat kolam renang, dan meyakinkan mereka bahwa ia akan bergabung secepatnya. Tak sekalipun Miriam menyebut nama Citra.
“Besan, kamu selalu menawan. Kamu pasti bangga dengan Raynar.” Citra memulai perbincangan sambil melihat tamu-tamu kehormatan Miriam melangkah pergi. Sejenak mata Citra terpejam dan rahangnya mengencang.
"Oh, itu tak perlu kau katakan," jawab Miriam, mata tajamnya sedikit menyipit. "Putrimu… dia.. Luar biasa."
"Memang," kata Citra mantap. "Zora adalah segalanya yang bisa Raynar harapkan."
Miriam memiringkan kepala, senyumnya melebar. "Pasti melegakan sekali melihat semua usahamu membuahkan hasil, terutama setelah semua yang telah dilalui keluarga Wardhani."
Senyum Citra tersendat beberapa detik sebelum akhirnya terkembang.
"Seorang ibu akan melakukan apa yang terbaik untuk anak-anaknya, kau pasti paham itu,” jawabnya dengan lancar.
“Tentu saja. Tentu aku paham,” jawabnya sambil mengangkat gelas. “Bahkan beberapa ibu, dari yang kudengar, melakukan hal-hal luar biasa demi keluarga mereka; pengorbanan, bisikan-bisikan, skandal...” Miriam membiarkan kalimatnya mengambang selama beberapa saat, “Kau juga tentu tahu itu, bukan?”
Citra tertawa tanpa suara. “Ya… Mungkin saja,” jawabnya singkat.
Miriam menahan senyumnya. “Ya, beberapa buku terkadang punya beberapa halaman yang sobek…dan hilang.” Ekspresinya tenang saat mengangkat gelasnya. "Ah, rupanya minuman ini membuatku melantur. Mari kita bersulang, untuk kebahagiaan keluarga?"
"Ya.... Tentu, untuk kebahagiaan keluarga." Citra mendentingkan gelas mereka dengan genggaman kaku pada gelas anggurnya.
Dari sudutnya, Raynar menyaksikan interaksi antara ibu dan mertuanya. Ia biasanya tak menghiraukan para wanita yang sedang berbincang, tapi kali ini, hal itu menggelisahkannya. Ada sorotan yang khas di mata Miriam yang mengisyaratkan lebih dari sekadar percakapan ramah tamah.
Saat musik mengalun, Zora menyelipkan lengannya di lengan Raynar, suaranya hangat namun terlatih.
“Ray, para tamu ingin kita berdansa.” Raynar mengangguk, lalu menuntun Zora ke tengah ruangan. Irama orkestra mendikte langkah mereka, gerakan yang mudah namun penuh perasaan.
Zora menebarkan senyuman berseri, sentuhannya begitu ringan di bahunya–namun Raynar merasa ada yang salah dengan dirinya. Aroma parfumnya tidak cocok. Cara Zora memeluknya, berbeda. Bahkan senyumnya, meskipun tampak indah, tidak bisa menjangkau matanya.
Raynar memaksa dirinya untuk membalas ekspresi itu, namun tubuhnya mengkhianatinya, kaku dan gelisah. Tepuk tangan dan tawa bergemuruh menjadi suara yang tidak berarti. Keringatnya bukan karena lelah, melainkan dari beban keraguan yang tak terucapkan, pertarungan antara logika dan intuisi yang menekan kerongkongannya.
Saat nada terakhir memudar dan para tamu bersorak, Raynar nyaris tidak mendengarnya. Miriam memperhatikan dengan kejelian matanya, dan menangkap jelas kegelisahan putranya.
Sebuah Mall di sudut persimpangan jalan menjulang dengan fasad berpola geometris heksagonal dilatari cahaya LED yang menegaskan kesan futuristik. Mobil impor yang berjajar di deretan slot parkir khusus seakan melengkapi keistimewaannya. Di dalam Mall, pendar cahaya lampu gantung dan permukaan keramik mengkilap pada bangunan tujuh lantai itu.Ketika ketiganya melangkah masuk, sambutan aroma bunga segar yang lembut dari pengharum ruangan menyambut mereka. Tak seberapa jauh berjalan menyusuri koridor lantai satu, mereka tiba di sebuah restoran yang khusus menyajikan masakan bercitarasa lokal.Rinjani menuju ke ke salah satu meja yang terbuat dari ukiran sebongkah kayu panjang, melewati beberapa pengunjung yang sedang berbincang sembari menikmati santapan mereka. Bibi Sari menatap Rinjani yang sedang membalik-balik buku menu dan Aruna yang duduk di sebelahnya, yang asyik melihat foto-foto sekolahnya di brosur.“Rin, bagaimana kabar Lila?”“Dia masih seceria dulu, Bi. Karirnya menanjak pes
“Rin! Kamu di mana?” Suara Lila terdengar di telepon, lebih seperti menahan luapan kegembiraan dari sekedar bertanya. “Masih ingat pekerjaan yang kutawarkan?” Taksi itu melewati jalan berlubang, dan Rinjani menahan diri dengan berpegang pada pintu dan es krim di sendok yang digenggam putrinya melompat.“Ah! Es krimku,” keluh Aruna. Rinjani mengelus rambut putrinya lalu tersenyum padanya.“Ya, Lila, kenapa?” Satu tangan Rinjani sibuk mengambil beberapa helai tissue dari tasnya, lalu menunduk untuk membersihkan noda-noda es krim yang berserak.“Tenggat waktunya berubah.” Suara Lila meninggi. “Dua hari. Hanya itu waktu yang aku punya. Aku perlu kamu, Rin. Tolong jangan bilang tidak.” Rinjani seketika duduk terdiam. Tissue bernoda es krim itu masih dipegangnya. Dari jendela taksi, ia menatap kosong hamparan gedung-gedung tinggi yang tak berujung.“Dua hari? Tapi itu–aku harus me–”“Ingat kompetisi desain dulu? Tahun terakhir? Ya Tuhan, Rin, itu hasil karyamu. Aku hanya bisa melihatmu berk
Langit mendung sore hari itu membuat siluet halus seorang wanita dan anak perempuan yang berjalan melintasi pohon-pohon palem tinggi di sebuah jalanan beton kompleks perumahan elit. Langkah kaki mereka melewati sebuah rumah berdinding bata teracota lapuk yang nyaris tersembunyi di balik rimbunnya bunga bugenvil.Seorang wanita tua berdiri di beranda rumahnya dengan gunting taman di tangan. Rambut peraknya yang ikal berkilau memantulkan sinar matahari terakhir sore itu ketika langit tertutup kelamnya awan gelap. Dari balik kacamata besarnya, mata wanita itu menyipit dan badannya setengah membungkuk, berusaha mengenali dua sosok yang melintasi jalanan depan rumahnya.“Rinjani?” Wanita tua itu memanggil dengan nada terkejut yang ramah ketika berhasil mengenali. Rinjani terkejut lalu menoleh. “Bu Sofia? Hai!” Senyumnya seketika merekah dan sebelah tangannya melambai. “Sudah lama sekali.”Bu Sofia meletakkan guntingnya dan menanggalkan apron, lalu bergegas menyusuri jalan setapak menuju ge
Mesin-mesin diesel berdengung mengiringi kemeriahan sebuah pasar malam, suasana yang membungkus Rinjani dan Aruna seperti pelukan yang akrab. Lampion-lampion bergoyang lembut di atas kepala mereka, memancarkan warna keemasan di jalanan berbatu yang dipenuhi kios-kios. Para pedagang bersahutan, suara mereka berbaur dengan desisan tusuk sate, bunyi kipas angin yang berputar, dan tawa anak-anak.Rinjani takjub akan pemandangan yang semarak itu. Persis seperti yang ia ingat dari masa kecilnya, Tenda-tenda bercahaya dengan aneka suara dan aroma. Namun pemandangan itu kini memiliki makna baru. Ia melirik ke arah Aruna, yang matanya yang lebar melesat dari satu kios ke kios lainnya, tangannya yang kecil menggenggam erat tangan Rinjani. Ini adalah malam pertama bagi Aruna berada di ibukota, dan Rinjani ingin putrinya bersenang-senang agar ia merasa betah.“Mama, bolehkah aku makan itu?” Suara Aruna penuh dengan kegembiraan saat ia menunjuk ke arah seorang pedagang yang memintal gulali warna-w
Sebuah kereta meluncur masuk ke Stasiun Muliakarta, roda-rodanya berdecit pelan saat mengerem. Para penumpang bergegas melintas, dengung suara mereka berbaur dengan pengumuman dari pengeras suara.Rinjani melangkah turun ke peron, satu tangannya menggenggam erat tangan Aruna sementara yang satunya lagi menarik koper besar beroda. Mata lebar gadis kecil itu memandang ke sekitar, mencoba menangkap pemandangan dan keriuhan suasana. Jari-jari kecilnya menggenggam erat tangan Rinjani, langkahnya ragu-ragu.“Mama,” bisik Aruna, suaranya nyaris tak terdengar di tengah hiruk-pikuk, ”Kenapa di sini bising sekali? Apa kita tersesat?”Rinjani tertawa kecil mendengarnya, lalu berlutut sejajar dengan putrinya, menyibak kepangan rambut yang tersangkut di wajah Aruna. Senyumnya tenang dan meyakinkan.“Tidak, sayang, kita tidak tersesat. Ini kota yang besar–lebih banyak orang daripada di desa kita. Tapi Aruna tak perlu khawatir asal selalu dekat Mama, oke? Yuk!”Aruna mengangguk perlahan, genggamanny
Dengung mesin jahit diiringi irama tap-tap-tap gunting di atas meja kerja memenuhi sebuah ruangan. Sinar matahari masuk melalui jendela rumah membentuk garisan-garisan tebal. Gulungan kain berwarna abu-abu dan biru tua berjajar di dinding, dan beberapa orang duduk di meja mereka; memotong, menjahit, dan menyetrika baju seragam.Empat tahun yang lalu, di atas tanah ini, sebuah rumah telah terbakar habis. Kini, jejak kebakaran itu telah sepenuhnya lenyap dan berganti menjadi sebuah industri kecil produk konveksi.Di salah satu sudut tempat itu Rinjani Wardhani berdiri dengan spidol di tangan dan sepasang penyuara tanpa kabel tersemat di telinga. Rambut panjangnya diikat bergaya kuncir kuda tinggi, dan berayun-ayun ketika kepalanya bergerak mengikuti irama lagu Unstoppable yang terlantun.Rinjani mengenakan kaos longgar dan celana jeans dengan balutan apron berwarna hitam sepanjang lutut. Penampilan yang disesuaikan dengan pekerjaannya, perpaduan seimbang antara kenyamanan dan keanggunan
Sebuah aula berkilauan seperti permata malam itu. Lampu gantung kristal di ketinggian memantulkan cahaya keemasan lembut di atas lantai marmer. Meja-meja dibalut dengan linen gading halus susun bunga anggrek dan mawar, wanginya berbaur dengan aroma hidangan adiboga. Sebuah kuartet dawai di sudut ruangan mengalunkan melodi lembut, menyatu mudah dengan riuh rendahnya percakapan dan tawa yang mengisi ruangan.Raynar Wiyasa Nawasena berdiri di salah satu sisi ruangan dengan segelas sampanye yang belum tersentuh bibirnya. Dua bulan yang lalu, kemegahan perayaan malam ini sama sekali tidak tercantum dalam agendanya, bahkan tidak dalam mimpi terliarnya sekalipun. Seharusnya ini membuat dirinya bangga, namun ia justru merasakan kehampaan yang janggal.Tatapannya mengikuti Zora yang bergerak lincah melewati kerumunan, gaunnya yang berkilauan dan tawa lepasnya saat menyambut para tamu. Pikiran Raynar kembali pada malam di klub Royal Ravelle - wanita yang diingatnya bukanlah sosok yang dipoles d
Lima belas menit mobil mereka menyusuri jalan berliku dan menanjak yang diapit oleh pepohonan tinggi sebelum akhirnya tiba di kompleks pemakaman keluarga Wiyasa Nawasena. Ketiganya terdiam mengamati areal luas tenang dan asri yang membentang di hadapan mereka. Bulir-bulir embun yang bertengger di ujung rerumputan serta aroma tanah lembab menyambut mereka ketika pintu mobil terbuka.Raynar keluar lebih dulu, melangkah hati-hati saat menemani ibunya berjalan. Zora menjejakkan kaki dengan langkah keraguan sambil menggendong bayinya. Wajahnya memucat dengan tatapan nanar ke sekitarnya.Kompleks pemakaman itu tak benar-benar sunyi. Gemerisik dedaunan yang tertiup angin, kadal kecil yang bergerilya di antara rerumputan, dan beberapa jenis burung yang berkicau dari pepohonan menjadi penyeimbang eksistensi kehidupan diatas kematian.Setelah berjalan beberapa waktu, ketiganya berhenti di depan sebuah nisan marmer yang terawat baik. Ukiran huruf-huruf dengan tinta emas berkilau karena pantulan
Panel kaca besar dengan dekorasi minimalis berbalut kombinasi warna pastel hangat di ruang tamu kediaman Wiyasa Nawasena memancarkan kesan keanggunan yang mewah. Zora duduk dengan tenang di salah satu kursi kulit berlengan, sambil memeluk bayi lelakinya.Tiga hari telah berlalu sejak Zora menemui Raynar. Hari ini Raynar mengundangnya datang ke kediaman keluarga Wiyasa Nawasena. Senyum Zora merekah ketika mendengar kabar itu melalui panggilan telepon. Ia mempersiapkan diri dengan berpakaian pantas untuk undangan itu. Kombinasi atasan berwarna champagne berbahan wol lembut dan rok selutut warna khaki menyampaikan kesan bersahaja. Sementara kalung dan sepasang anting mutiara melekatkan kesan anggun. Zora bergerak dengan hati-hati, cerminan talenta terbesar yang dimiliki Zora dan telah dilatih berkali-kali dalam pikirannya.Raynar memasuki ruang tamu, kehadirannya nampak tegas meskipun dalam penampilan santai, kemeja biru langit sederhana dengan lengan tergulung.“Selamat pagi.” Raynar me