Share

ENAM

Penulis: Kurisinasan
last update Terakhir Diperbarui: 2025-05-19 11:44:53

Sebuah aula berkilauan seperti permata malam itu. Lampu gantung kristal di ketinggian memantulkan cahaya keemasan lembut di atas lantai marmer. Meja-meja dibalut dengan linen gading halus susun bunga anggrek dan mawar, wanginya berbaur dengan aroma hidangan adiboga. Sebuah kuartet dawai di sudut ruangan mengalunkan melodi lembut, menyatu mudah dengan riuh rendahnya percakapan dan tawa yang mengisi ruangan.

Raynar Wiyasa Nawasena berdiri di salah satu sisi ruangan dengan segelas sampanye yang belum tersentuh bibirnya. Dua bulan yang lalu, kemegahan perayaan malam ini sama sekali tidak tercantum dalam agendanya, bahkan tidak dalam mimpi terliarnya sekalipun. Seharusnya ini membuat dirinya bangga, namun ia justru merasakan kehampaan yang janggal.

Tatapannya mengikuti Zora yang bergerak lincah melewati kerumunan, gaunnya yang berkilauan dan tawa lepasnya saat menyambut para tamu. Pikiran Raynar kembali pada malam di klub Royal Ravelle - wanita yang diingatnya bukanlah sosok yang dipoles dan penuh perhitungan. Malam itu terasa spontan, mentah, namun sungguh memikat. Namun, Raynar nyaris tak merasakan semua itu pada wanita cantik yang kini menjadi istri sahnya.

"Raynar, sayang," terdengar suara yang bercampur dengan kegembiraan dan perhatian. Miriam, ibunya, muncul di sampingnya, setenang biasanya. "Apa kamu hanya mau menatap pesta pernikahanmu sendiri sepanjang malam?"

Dia berhasil tersenyum. “Hanya...mencoba merangkai ulang semuanya, Ma.”

"Hmm," Miriam menatap langsung ke arah Zora, yang kini sedang bercakap-cakap dengan sekelompok tamu. "Dia memainkan perannya dengan baik, ya?"

Alis Raynar sedikit berkerut. "Maksud Mama?"

"Bukan apa-apa, sayang." Ibunya mengangkat bahu, namun sudut bibirnya menunjukkan arti lain. "Hanya saja, selalu menarik melihat seseorang begitu mahir beradaptasi."

Sebelum Raynar sempat menjawab, Miriam memalingkan fokusnya. Di seberang ruangan, lima wanita berpakaian elegan bercakap-cakap dalam bahasa Prancis yang hidup, suara mereka mengalun di tengah semarak pesta.

“Aku akan menemui mereka,” kata Miriam tanpa menoleh kepada putranya. Miriam menghampiri sahabat lamanya, Colette, dengan pelukan hangat, kedua wanita ini saling bertukar ciuman di kedua pipi seperti kebiasaan mereka. “Ma chère Colette, toujours élégante,” Miriam berdecak, mengagumi busana sutra emas Colette yang menawan dalam balutan syal bulu berwarna putih bersih. “Kalau saja kita bisa meminjam sedikit mood Paris, mungkin kita tak perlu bersusah payah membawa keanggunan ke kota ini.”

Anting-anting berlian Colette berayun berkilauan saat ia tertawa. “Ah, tapi Miriam, kamu sudah melakukannya dengan sangat baik. WN Group telah menjadi pusat perhatian di Asia. Sekarang, tantangan yang sesungguhnya dimulai.”

Colette lalu menunjuk Marie-Ann Dunhill di seberangnya lalu memperkenalkannya kepada Miriam. Sosok berpengaruh di balik Paris Fashion Week itu mengangkat gelasnya. “Saya cukup penasaran–bagaimana tepatnya rencana Anda menghadapi pasar Eropa?”

Mata Miriam berbinar penuh kegembiraan saat mengaduk sampanye. “Dengan keanggunan, ketepatan, dan beberapa teman yang tepat, tentunya.” Miriam melemparkan lirikan dan senyum manis kepada Marie-Ann, “Dan seperti biasa, Paris tumbuh subur karena disrupsi, bukan begitu?”

Alis Marie-Ann terangkat melengkung sempurna. Senyum di bibir tipisnya siap meluncurkan tanggapan tegas dan menantang. “Paris tumbuh subur karena kesempurnaan. Jika Anda membawa itu, takkan ada hambatan dari kami.”

Setelah menyesap sampanye dari gelas tingginya, tatapan Marie-Ann kembali pada Miriam. “Jadi, katakan pada kami, Miriam, apakah ekspansi ini akan membawa kesenian yang nyata, atau tak lebih dari taktik invasi korporat?”

Miriam tergelak kecil lalu meletakkan satu telapak di dadanya. Ia balik menatap Marie-Ann dengan serius. "Oh, Anda melukai saya. Saya lupa kapan terakhir kali saya dikaitkan dengan hal yang remeh."

Sarkasme khas Miriam itu mengundang gelak tawa yang lain. Lalu ia melanjutkan. "Kami akan menggemparkan Paris seperti invasi alien ke bumi."

Marie-Ann dan Colette saling bertukar pandang sebelum keduanya tertawa kecil.

“Ah, Miriam, Anda tidak berubah sedikit pun. Ambisius, brilian, dan sedikit berbahaya,” kelakar Colette.

Miriam tersenyum tersipu dan berbisik ke tengah kelompok, "Bahaya adalah bumbu rahasianya."

Tawa kembali pecah di antara mereka, menjadi sebuah simbol komitmen dukungan tanpa tinta dan kertas. Paris akan menjadi tonggak WN Group di pasar Eropa–hal yang pasti terjadi ketika para pemikir terbaiknya sudah bersulang mendukung keberhasilannya.

***

Sementara itu, dua lelaki sedang duduk berhadapan di satu ruang tertutup. Raynar duduk di seberang pamannya, Hasta Wiyasa Nawasena, adik lelaki ayahnya yang bijaksana–tipe orang yang tak perlu meninggikan suara untuk mengendalikan situasi. Ia seorang pejabat tinggi negara sekaligus penasehat utama WN Group.

Raynar mengembuskan napas, membenamkan rokok di asbak sebelum berbicara. "Mama minta aku menyampaikan saran tentang istriku, Zora. Mama pikir sebaiknya kita tidak melibatkannya dalam kegiatan perusahaan–apapun itu."

Hasta sedikit memiringkan kepala. "Miriam dan nalurinya,” dia merenung, dahi tuanya berkerut. “Bagaimana menurutmu? Dan apa yang sebenarnya terjadi antara Miriam dan Zora?"

Raynar bersandar ke belakang, menatap langsung kepada pria tua di hadapannya. "Tadinya kukira tak lebih dari humor gelap khas Mama, Paman. Tapi ketika Mama ingin aku memberi tahu Paman, aku tahu itu bukan sekadar selera humornya."

Hasta menyandarkan dagu di atas kepalan kedua tangannya, matanya menyipit sebelum kemudian bersuara. “Ya, begitu Mamamu. Intuisi luar biasa untuk melihat di balik tirai. Dengar, tak ada masalah buatku tentang saran itu asal kau setuju."

Raynar mengangguk, meski beban tanggung jawab masih terasa berat di pundaknya. Hasta berdiri, membetulkan kancing jasnya.

“Aku akan luruskan soal ini dengan Mamamu. Kamu tak perlu khawatir. Ia menepuk bahu Raynar. “Malam ini kamu adalah pengantin pria. Dan lenyap dari perayaanmu sendiri bukanlah penampilan terbaik.”

Raynar tergelak hampa.

***

Di salah satu sisi aula, Zora mendapat perhatian dari sekelompok influencer terkenal, dua bintang film papan atas, salah satu penyanyi favoritnya, dan seorang jurnalis tabloid yang tampak nyaman dengan penampilan eksentriknya. Percakapan mereka dipenuhi dengan gumaman geli, tawa yang tepat waktu, dan sesekali ada drama dari para aktor.

Zora terlihat menikmati suasana itu, gerak-geriknya luwes, suaranya membawa kehangatan dan kepercayaan diri yang pas. Citra, di sisinya, meneguk anggur dipenuhi nuansa kebanggaan. Ruangan itu dipenuhi tamu-tamu penting, dan inilah lingkaran yang selalu ia bayangkan sebagai tempat putrinya berada–glamor, berpengaruh, dan pusat perhatian.

Miriam, yang masih terlibat dalam obrolan ringan dengan teman dan kolega-kolega barunya dari Prancis, melirik ke arah mereka. Bibirnya bergerak-gerak sedikit karena geli.

“Lihatlah bagaimana sekelompok orang yang pandai berakting berkumpul dan menertawakan ketenaran yang dibungkus kemunafikan,” pikirnya, sambil mengaduk-aduk sampanye di gelasnya.

Dengan sedikit putaran kepala, Miriam kembali kepada Colette, lalu dengan mudah lebur kembali dalam percakapan, seolah-olah tidak ada yang mengalihkan perhatiannya untuk sesaat.

Hasta dan Raynar telah kembali ke aula utama dan segera menghampiri sekelompok tamu bersetelan tuksedo. Raynar menghentikan seorang pelayan untuk mengambil segelas scotch dari nampan. Salah satu dari tamu, seorang Komisaris Besar Kepolisian, memperhatikan apa yang dilakukan oleh Raynar.

"Malam masih panjang, Tuan Muda, Anda juga masih harus berdansa dengan mempelai wanita," kelakarnya sambil tertawa kecil. Setelah mengangkat gelas, Raynar menenggak sebagian isinya.

"Tak perlu khawatir, pak, saya tetap akan berdansa dengan mempelai wanita. Saya pastikan malam ini takkan berakhir dengan sirene dan pita kuning."

Komisaris itu tergelak hingga perut buncitnya berayun naik-turun. "Oh, astaga, saya tahu persis dari mana kamu mendapatkan selera humor itu, Ray."

Kata-katanya mengundang tawa yang lain, mencairkan suasana. Raynar merespons dengan senyuman tipis dan sekali lagi menyesap scotch dari gelasnya, membiarkan percakapan mengalir di sekelilingnya.

Dari sudut matanya, Raynar melihat Citra bergerak melewati kerumunan orang, dengan segelas anggur di tangan, menuju ke lingkaran tamu istimewa yang mengelilingi ibunya. Postur tubuhnya tegap, namun ada kesan tergesa-gesa dalam langkahnya.

"Miriam." Sapaannya hangat, hampir terlalu hangat, saat Citra berhenti hanya selangkah di belakangnya. Miriam tidak perlu menoleh untuk mengenali suara itu.

"Citra." Miriam balas menyapa dengan senyuman kecil dan nada yang ringan. 'Kamu terlihat sangat berseri. Sungguh, potret seorang ibu yang merasa bangga." Citra kembali tersenyum tipis, meski jari-jarinya melingkar sedikit lebih erat di tangkai gelasnya.

"Terima kasih, besan," katanya dengan halus, tatapannya menyapu lingkaran tamu sebelum kembali menatap Miriam. "Apa aku layak diperkenalkan kepada teman-teman di sini?"

Mata Miriam menyipit penuh pengertian, ia meluangkan waktu untuk menjawab, seakan menikmati tekanan momen tersebut.

"Tentu saja tidak," kata Miriam, nadanya manis, hampir memanjakan. "Tapi sayangnya, mereka baru saja akan keluar–menjauh dari polusi suara di sini."

Miriam berbicara dalam bahasa Prancis yang fasih, menginstruksikan para tamunya untuk menikmati ketenangan di halaman belakang dekat kolam renang, dan meyakinkan mereka bahwa ia akan bergabung secepatnya. Tak sekalipun Miriam menyebut nama Citra.

“Besan, kamu selalu menawan. Kamu pasti bangga dengan Raynar.” Citra memulai perbincangan sambil melihat tamu-tamu kehormatan Miriam melangkah pergi. Sejenak mata Citra terpejam dan rahangnya mengencang.

"Oh, itu tak perlu kau katakan," jawab Miriam, mata tajamnya sedikit menyipit. "Putrimu… dia.. Luar biasa."

"Memang," kata Citra mantap. "Zora adalah segalanya yang bisa Raynar harapkan."

Miriam memiringkan kepala, senyumnya melebar. "Pasti melegakan sekali melihat semua usahamu membuahkan hasil, terutama setelah semua yang telah dilalui keluarga Wardhani."

Senyum Citra tersendat beberapa detik sebelum akhirnya terkembang.

"Seorang ibu akan melakukan apa yang terbaik untuk anak-anaknya, kau pasti paham itu,” jawabnya dengan lancar.

“Tentu saja. Tentu aku paham,” jawabnya sambil mengangkat gelas. “Bahkan beberapa ibu, dari yang kudengar, melakukan hal-hal luar biasa demi keluarga mereka; pengorbanan, bisikan-bisikan, skandal...” Miriam membiarkan kalimatnya mengambang selama beberapa saat, “Kau juga tentu tahu itu, bukan?”

Citra tertawa tanpa suara. “Ya… Mungkin saja,” jawabnya singkat.

Miriam menahan senyumnya. “Ya, beberapa buku terkadang punya beberapa halaman yang sobek…dan hilang.” Ekspresinya tenang saat mengangkat gelasnya. "Ah, rupanya minuman ini membuatku melantur. Mari kita bersulang, untuk kebahagiaan keluarga?"

"Ya.... Tentu, untuk kebahagiaan keluarga." Citra mendentingkan gelas mereka dengan genggaman kaku pada gelas anggurnya.

Dari sudutnya, Raynar menyaksikan interaksi antara ibu dan mertuanya. Ia biasanya tak menghiraukan para wanita yang sedang berbincang, tapi kali ini, hal itu menggelisahkannya. Ada sorotan yang khas di mata Miriam yang mengisyaratkan lebih dari sekadar percakapan ramah tamah.

Saat musik mengalun, Zora menyelipkan lengannya di lengan Raynar, suaranya hangat namun terlatih.

“Ray, para tamu ingin kita berdansa.” Raynar mengangguk, lalu menuntun Zora ke tengah ruangan. Irama orkestra mendikte langkah mereka, gerakan yang mudah namun penuh perasaan.

Zora menebarkan senyuman berseri, sentuhannya begitu ringan di bahunya–namun Raynar merasa ada yang salah dengan dirinya. Aroma parfumnya tidak cocok. Cara Zora memeluknya, berbeda. Bahkan senyumnya, meskipun tampak indah, tidak bisa menjangkau matanya.

Raynar memaksa dirinya untuk membalas ekspresi itu, namun tubuhnya mengkhianatinya, kaku dan gelisah. Tepuk tangan dan tawa bergemuruh menjadi suara yang tidak berarti. Keringatnya bukan karena lelah, melainkan dari beban keraguan yang tak terucapkan, pertarungan antara logika dan intuisi yang menekan kerongkongannya.

Saat nada terakhir memudar dan para tamu bersorak, Raynar nyaris tidak mendengarnya. Miriam memperhatikan dengan kejelian matanya, dan menangkap jelas kegelisahan putranya.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Love, Lies, and The Price of Desire   TIGA PULUH DELAPAN

    Lantai 32 Menara Wiyasa Nawasena Group nampak lengang. Raynar berdiri menghadap jendela kaca yang memperlihatkan panorama ibukota Muliakarta di siang hari. Gedung-gedung pencakar langit berkilauan di bawah terik matahari. Ia baru saja menyelesaikan panggilan konferensi dengan para calon investor baru dari luar negeri ketika pintu ruangannya diketuk."Masuk," perintahnya tanpa menoleh.Suara langkah kaki tergesa-gesa mendekatinya. "Maaf mengganggu, Pak." Asisten pribadinya berdiri dengan raut wajah tegang. "Ada telepon penting dari rumah."Raynar berbalik, alisnya terangkat."Kepala rumah tangga baru saja mengabarkan." Asistennya menelan ludah. "Tuan muda tidak ada di rumah. Mereka sudah mencari ke seluruh penjuru rumah sejak satu jam yang lalu."Raynar membeku. "Apa? Zethra?""Terakhir kali tuan muda ada di kamarnya sepulang sekolah. Saat makan siang diantar ke kamarnya, ia tidak ada."Raynar merasakan aliran dingin menjalar di sepanjang tulang belakangnya. Ia meraih ponselnya dari at

  • Love, Lies, and The Price of Desire   TIGA PULUH TUJUH

    Hari senin siang itu membawa kehangatan lembab khas musim penghujan di Muliakarta. Rinjani Wardhani baru saja tiba di Sweet Spot Coffee yang menawarkan kesejukan dari teriknya matahari. Ia mengenakan rok pensil warna arang yang dipadukan dengan blus sutra berwarna krem–sederhana namun tetap elegan.Rambut hitamnya disanggul rendah ke belakang, memperlihatkan sepasang anting-anting mutiara kecil yang menangkap cahaya saat ia bergerak. Ia memilih meja sudut dengan tempat duduk yang nyaman untuk enam orang, menata buku sketsa dan tabletnya sebelum memesan segelas iced café latte.Sejenak ia tersenyum mengenang “perbaikan” yang dilakukan Aruna sambil menata kertas-kertas itu dengan rapi di atas meja. Untung saja semua desain cadangan dalam buku sketsa itu bisa dipulihkan secara sempurna.Gusti dan Rhea menerobos pintu masuk berikutnya. Rhea langsung menuju meja dimana Rinjani duduk, sementara Gusti berbelok ke meja pemesanan.“Kau baru saja datang, Rin? Mana Lila? Kupikir dia sudah di sin

  • Love, Lies, and The Price of Desire   TIGA PULUH ENAM

    Di luar, tetes-tetes pertama hujan mulai turun, mengetuk jendela seakan menghitung mundur pelaksanaan rencana besar di pikiran Raynar. Setiap langkahnya harus dilakukan dengan tepat. Setelah selesai, ia menutup laptopnya lalu beranjak menuju meja kecil dengan membawa gelas kosongnya. Ia telah mendapatkan pelajaran penting dari kasus ini--pola pikir dan sikap seorang pemimpin besar.Raynar menuang whiskey setinggi dua jari dan menenggaknya habis dalam sekali minum, seakan hendak merayakan kepercayaan dirinya dalam membuktikan bahwa ia layak menyandang nama besar Wiyasa Nawasena. Liquid amber membakar tenggorokannya, meninggalkan sensasi jejak hangat yang menyebar hingga ke dada.Malam harinya, rembulan tinggi menggantung di atas Taman Kota Muliakarta. Angin mendesau di antara pepohonan, membawa suara keramaian lalu lintas Minggu malam di kejauhan. Aroma tanah basah dari hujan sore bercampur dengan wangi bunga melati yang mekar di sepanjang pagar taman. Tempat yang ramai dikunjungi kelu

  • Love, Lies, and The Price of Desire   TIGA PULUH LIMA

    Dua hari kemudian, Sweet Spot Café kembali menjadi tempat pertemuan Lila dan Raynar sore itu. Suara percakapan para pengunjung lain dan desis mesin espresso yang sesekali terdengar menciptakan latar belakang yang nyaman untuk pertemuan mereka.Raynar tiba tepat pukul enam. Ia mengenakan jaket hitam panjang yang menyembunyikan kemeja biru tua dibaliknya. Beberapa pengunjung melirik, mengenali CEO muda Wiyasa Nawasena Group, sebelum dengan sopan kembali ke percakapan mereka.Raynar melihat Lila di meja pojok. Rambut hitamnya dikuncir ke belakang, sedang membuat sketsa di atas tablet dengan satu tangan sementara tangan lainnya menggenggam iced matcha latte yang baru saja ia seruput.“Multitasking yang sulit berubah,” kata Raynar sambil mendekat, senyum kecil tersungging di bibirnya.Lila mendongak. Dengan gerak cepat ia meletakkan pena tabletnya. Rona merah merona di pipinya, kontras dengan penampilannya yang tenang.“Kebiasaan lama.” Lila tersenyum kikuk sambil menunjuk kursi di seberan

  • Love, Lies, and The Price of Desire   TIGA PULUH EMPAT

    Lila dan Rinjani saling bertukar tatapan penuh harap.“Tidak semua, tapi setidaknya–” Rhea berhenti, meringis pada sebuah halaman yang berkilauan. “Tekanan dari krayon merusak beberapa detail, dan lem glitter ini–”“Tapi ini sesuatu,” kata Lila, merasakan secercah harapan.Gusti kembali ke meja, menyeimbangkan piring yang dibawanya.“Aku putuskan untuk makan sehat,” katanya sambil kembali duduk. “Jadi kupilih telur dadar gosong yang tebal dengan topping putih telur kocok.” Ia menunjuk pada brownies besar yang diberi topping es krim vanila.Rinjani sontak terkekeh. Suaranya kecil tapi bisa mencairkan ketegangan yang membelit dadanya. Lila menggelengkan kepala, sebuah senyum enggan terbersit di bibirnya. Bahkan ekspresi serius Rhea pun sedikit retak.“Cuma kamu, Gus,” sahut Lila, ”yang bisa bercanda di saat seperti ini.”“Hey, apa jadin

  • Love, Lies, and The Price of Desire   TIGA PULUH TIGA

    Rinjani memasukkan kunci ke dalam pintu apartemennya dengan tenang. Beban hari ini menekan pundaknya, tapi satu harapan masih tersisa. Ia mendorong pintu dan melangkah masuk.Aroma tipis melati dari pengharum ruangan kesukaan Bibi Sari menyambut kedatangannya. Apartemen itu sunyi, kecuali dengungan lembut pendingin ruangan dan suara anak-anak bermain di taman bermain terbuka.Rinjani melepas sepatu hak tingginya dan langsung menuju kamar tidurnya. Kakinya melangkah tak bersuara di lantai kayu. Pintunya terbuka sebagian, dan ia mendorongnya lebih lebar, langsung menuju laci bawah meja rias tempat ia menaruh buku sketsa itu.Ia berlutut, membuka laci itu. Kosong.“Tidak,” bisiknya, jari-jarinya panik mencari-cari isi laci. “Tidak, tidak.”Ia kembali duduk di atas tumitnya, menoleh ke kanan-kiri. Apakah ia telah memindahkannya? Apa sebenarnya ia tak menyimpan buku itu di laci?Rinjani memejamkan matanya. Lalu, ia berdiri, bergerak menuju lemari, lalu ke rak di atas meja, mencari setiap t

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status