MasukHari pertama Alana memulai aktifitas barunya sebagai karyawan di Cullen Corp. Mengenakan celana panjang navy, blouse putih dan outer berwarna senada dengan celana.
"Semangat, kamu pasti bisa!" Ucap Ayra. Ya, di hari pertamanya ini Alana diantarkan oleh Ayra. Bukan Alana yang meminta, tetapi Ayralah yang memaksa untuk mengantarkan. Menarik nafasnya dalam-dalam lalu menghembuskanya kembali. Mengangkat kedua tanganya dengan jari-jari yang dikepal. "Semangat!" "Aku turun ya, Kak. Dan kakak hati-hati di jalan!" Pesan Alana. "Siap!" Jawabnya. Alana melangkahkan kakinya masuk ke dalam gedung yang menjulang tinggi ini. Dia tersenyum pada karyawan lain yang sepertinya mereka pun baru tiba. Wanita cantik ini memang terbilang ramah dan sopan. Memasuki lift yang akan membawanya ke lantai dimana tim marketing bekerja. Alana tiba di lantai tujuannya, kini dia merasa bingung karena harus mencari kubikelnya. "Hai, kamu Alana?" Tanya seorang wanita yang ntah dari mana asalnya ini. Alana tersenyum dengan kepala yang dianggukkan. "Aku Clara" ucapnya seraya menjulurkan tangannya dan disambut hangat oleh Alana. "Ayok, kubikel kamu ada di samping aku" lanjutnya seraya berjalan dan diikuti oleh Alana. "Ini meja kamu" tunjuknya pada meja yang berada di samping kanan Clara. "Terimakasih, Clara. Aku sedikit bingung mencarinya tadi" Clara tersenyum. "It's ok. Kalau kamu merasa bingung jangan sungkan tanyakan saja padaku, ok!" ucapan Clara membuat Alana merasa hangat, karena di tempat baru ini dia bisa bertemu dengan seseorang yang asing namun terasa begitu nyaman. Clara mengenal Alana dari Bu Loren. Beliau adalah ketua tim marketing. Dia sudah memberitahu Clara mengenai karyawan baru yang tak lain adalah Alana. "Thank's, Clara!" Clara mengacungkan ibu jarinya seraya mengedipkan satu matanya. Sementara itu di ruangan berbeda ada karyawan baru pula seperti Alana, hanya saja berbeda jabatan. "Kamu John karyawan magang kan?" Tanya kepala OB. "Iya, Pak" "Saya akan terangkan bagaimana pekerjaan OB, dengarkan baik-baik" kata kepala OB Pak Rian. Pak Rian menjelaskan bagaimana pekerjaan OB kepada John, mulai dari pagi hari apa yang harus dikerjakan terlebih dahulu, lalu siang hingga sore hari apa saja yang harus para OB kerjakan. "Saat siang hari menjelang istirahat, kamu coba tanyakan pada para karyawan di lantai tempat kamu bekerja nanti mereka ingin makan siang apa. Biasanya mereka meminta kita untuk membelikan makan siang dan nanti kalau kamu beruntung mereka akan memberikan tips untuk kamu. Sekalian kamu pun beli makan siang untukmu, jangan hanya kamu belikan untuk para karyawan saja. Karena kita bekerja menggunakan tenaga, jadi jangan sampai kamu menahan lapar karena itu tidak baik untuk kesehatan. Bisa dimengerti, John?" Tanya Pak Rian memastikan. Terlihat dari ucapannya sepertinya Pak Rian ini tipe penanggung jawab yang bertanggung jawab, tidak semena-mena terhadap bawahannya. Tetapi, masih tetap harus dipantau bagaimana kinerja pria paruh baya ini. John menganggukan kepalanya tanda dia mengerti atas apa yang atasannya ini jelaskan. "Siap, saya mengerti, Pak!" Pak Rian mengangguk-anggukan kepalanya. "Bagus, kalau begitu kerjakan pekerjaan pagi ini dengan benar" sambungnya. "Dion, Dion!" Panggil Pak Rian. "Iya, Pak" sahutnya. "Ini Dion, dia teman kamu hari ini di lantai 15. Dion, hari ini kamu bersama John dia OB baru, jadi sekalian kamu kasih tahu dia" titah Pak Rian. Dion menatap sekilas pada John lalu menganggukan kepalanya. "Ayok!" Ajak Dion lalu diikuti oleh John. Kedua pria yang terlihat seumuran ini berjalan menuju tangga darurat. Namun tiba-tiba John menghentikan langkahnya kala melihat Dion membuka pintu tangga darurat. "Kita mau ke lantai 15 kan?" Tanya John yang membuat langkah Dion terhenti lalu membalikan badannya. "Iya" jawabnya nampak tak bersemangat. "Lalu, kenapa kita masuk ke tangga darurat?" Tanyanya kembali. Dion menarik nafasnya sejenak lalu menghembuskannya kembali. "Lo berharap kita naik lift?" Tunjuk Dion pada lift yang tampak terlihat sepi. John pun mengangguk. "Ya, gunanya lift untuk mengantarkan kita ke lantai atas kan?" Gelengan kepala, Dion tunjukan. "Kita sebagai OB, jika mau naik ke lantai atas meskipun itu lantai CEO paling atas, ya, kita harus melalui tangga darurat ini. Tidak ada OB yang masuk lift dengan enaknya tinggal pencet-pencet dan tring sampai di lantai tujuan" jelas Dion yang membuat kening John mengkerut. "Aturan dari mana itu?" Tanya John yang sedikit merasa kesal. "Aturan dari ataslah" sahut Dion. Memang benar dari atas hanya saja John sedikit masih belum bisa mencernanya. "Maksudnya, Presiden Direktur pemilik perusahaan ini, Pak Harist?" Lagi-lagi Dion menggelengkan kepalanya. "Bukan" "Lalu siapa?" "Manager perusahaan ini" jawab Dion, "nanti gue tujukin orangnya kalau ketemu, kebetulan kita akan ke lantai 15, biasanya dia ada di sana" "Manager perusahaan di lantai 15. Ngapain dia, bukankah ruangan manager ada di lantai 18?" Heran John. Namun Dion yang lebih merasa heran. "Bagaimana lo tahu kalau Manager ada di lantai 18?" Bingung Dion karena John karyawan baru di sini. John sedikit kebingungan untuk menjawab pertanyaan Dion. "Em, itu apa tadi gue dikasih tahu Pak Rian ruangan para petinggi di kantor ini ada di lantai mana aja" alibinya dan tentu saja Dion percaya dengan hal itu. "Oh begitu. Ya udah, ayok kita cepat naik, biar cepat selesai pekerjaan pagi ini" ajak Dion. John memejamkan matanya sesaat lalu menghembuskan nafasnya kasar. "Orang gila mana yang membuat aturan payah ini. Membawa ember, sapu, pel-an dan masih harus naik tangga!" Gerutunya namun dia tetap menaiki setiap anak tangga yang ada. "Lantai 15 masih di ujung langit kalau lewat tangga gini!" Gumamnya. ** "Alana, proposal yang Bu Loren minta sudah selesai?" Tanya Clara. "Sedikit lagi" "Ok, jangan sampai kamu telat kirim emailnya, meskipun baik tetapi jika soal pekerjaan Bu Loren akan sangat tegas sekali" kata Clara memberitahu Alana sifat Bu Loren agar teman barunya ini tidak terkena semprot oleh sang penanggung jawab tim marketing. Mereka kembali disibukan dengan pekerjaan masing-masing, tak terasa waktu pun sudah menunjukkan pukul 11.45 dan itu sudah mendekati waktu istirahat makan siang. "Mau makan apa?" Tanya Clara kembali. "Enaknya makan apa ya?" Tanya kembali Alana, karena jujur saja dia masih merasa bingung untuk makan siang dengan apa, ini tempat baru untuknya. "Em, kamu suka soto?" Tanya Clara dan diangguki oleh Alana. "Bagaimana kalau kita makan soto saja. Sepertinya segar" saran Clara. "Boleh juga. Jadi, beli dimana?" "Kita minta tolong OB untuk belikan. Sebentar lagi ada yang kesini, jadi kerjakan saja pekerjaan kamu yang belum selesai selagi menunggu makanan nanti" "Oh, baiklah" jawab Alana dengan anggukan kepalanya."Kamu akan sangat terkejut kalau kakak sebutkan namanya?" Alana dengan setia masih terdiam mendengarkan Ayra, dia penasaran sekali dengan nama si pria. Pria mana yang sudah membuat Ayra jatuh cinta. "Shayne!! "Kakak jatuh cinta pada Shayne, Al!" Serunya seraya melompat kegirangan. Sungguh tidak bisa dipungkiri rasa bahagianya. Deg.... Namun Alana menampakkan ekspresi yang suliat diartikan. Seketika tubuhnya membeku, otaknya mendadak menghitam, hatinya mencelos begitu saja. Apakah Alana salah dengar, atau Ayra yang salah menyebutkan nama pria. "Kakak jatuh cinta pada Shayne!" Serunya kembali dan itu sudah cukup untuk meyakinkan rungu Alana, bahwa dia tidak salah mendengar. Mendadak sekali kedua matanya berembun, dia lirikan bola matanya kesembarang arah, agar cairan yang sudah mulai menumpuk di pelupuk matanya tidak meluncur. "Al, kamu kenapa?" Tanya Ayra kala melihat reaksi Alana yang diam saja. Lantas Alana pun tersadar, lalu mencoba menarik kedua sudut bibirnya.
Setelah dari ruangan Shayne, kini Alana kembali berkutat dengan segudang pekerjaannya. Berkas-berkas yang menggunung, serta berbagai laporan yang harus dia kerjakan. Namun sedari tadi pula, temannya ini tak henti hentinya terus bertanya mengenai apa yang terjadi dengan Shayne, kenapa dia bisa begitu berubah. Alana memilih untuk tidak menjawabnya, sungguh Clara mendadak menjadi seorang wartawan, yang terus menerus mengajukan pertanyaan pada Alana. Tanpa terasa waktu pun sudah menunjukkan pukul 17.30, sudah waktunya bagi mereka untuk pulang ke rumah. Alana merenggangkan ototnya terlebih dahulu, dengan mengangkat kedua tangannya ke atas. Setelahnya dia pun merapihkan barang-barangnya di atas meja, memasukkannya ke dalam tas. "Ra, udah beres?" Terlihat Clara tengah memasukkan barang-barangnya ke dalam tas. "Udah.. ayok!" Keduanya pun melangkahkan kaki menuju lift. Clara tak lagi banyak bertanya, sepertinya wanita itu pun kelelahan efek dari pekerjaannya yang menumpuk tadi.
"Jadi, seseorang yang anda maksud itu, mereka?" Tanya Shayne pada Ezra. Ezra tersenyum. "Bukan, lebih tepatnya Alana. Dia teman terdekat saya sejak kita kecil" jawab Ezra membuat kobaran api dalam hatinya menyala. "Oh, seperti itu" malasnya. "Apa anda biasa makan bersama karyawan seperti ini?" Heran Ezra, karena seorang CEO jarang sekali mau berbaur dengan karyawannya, di kantin perusahaan lagi. Bukankah bisa saja, pria itu pergi keluar mencari restoran mahal, atau memesan makanan dan menikmatinya di ruangan sendiri. "Saya ingin makan siang bersama kekasih saya" Sontak saja jawaban Shayne membuat Alana tersedak makanannya. Wanita yang tengah anteng menikmati makan siangnya itu pun harus merasakan tenggorokannya memanas dengan matanya yang mengeluarkan air mata, karena tersedak pasta yang sedang dia nikmati. Uhuk.. uhuk.. Refleks Ezra dan Shayne berkata. "Kamu tidak apa-apa?" Keduanya lantas saling memandang satu sama lain. Clara dengan cekatan memberikan minumannya pa
"Tim.. hari ini saya akan memperkenalkan kalian dengan seseorang yang akan menjadi bagian dari tim kita. Beliau akan membantuk kita dalam mempromosikan produk terbaru dari Cullen" ucap Loren di hadapan tim Marketing. Mereka lantas bertanya-tanya, siapa yang akan menjadi bagian dari tim mereka. "Apakah kali ini aktor tenama?" Tebak Gladis. Loren sedikit mengangguk. "Untuk menjawab pertanyaan Gladis, saya akan panggilkan seseorang yang akan menjadi bagian dari tim kita dan juga Cullen" "Silakan masuk" seru Loren oada seseorang yang sudah berada di ruangannya. Seorang pria tampan yang menjadi idola banyak kaum hawa pun keluar dari ruangan Loren. Membuat para wanita terpesona, terkecuali Alana, dia merasa terkejut kala melihat seseorang yang dia kenali berada disini. Keningnya berkerut. "Ezra!" Serunya tanpa suara. Sementara Clara, dia sudah merasa kegirangan sendiri, karena idolanya kini menjadi teman satu timnya. "Oh my god!" Ucapnya tak percaya. "Perkenalkan, saya Ez
"Syukurlah, kondisi kamu sudah membaik" ucap Shayne kala mereka keluar dari ruang dokter yang memeriksa kondisi Ayra. Ya.. mereka baru saja selesai dengan jadwal kontrol Ayra. Sesuai janjinya, dia akan menemani Ayra sebagai bentuk rasa tanggung jawabnya. Ayra hanya tersenyum menaggapinya. Namun dalam hatinya dia merasa sedih, karena kini bearti Shayne tidak akan datang untuk menjenguknya kembali ke rumah. "Terimakasih ya, sudah mau nemenin aku kontrol" "Sama-sama" "Em.. Shayne, apa kamu sibuk hari ini?" Tanyanya pelan. Shayne menggelengkan kepalanya. "Kenapa?" "Bisa kita, makan siang dulu?" Pintanya. Shayne terlihat seolah berpikir, detik selanjutnya dia pun mengangguk. Membuat Ayra tersenyum padanya. Pria itu mengajak Ayra makan di restoran ternama di Ibu Kota. Jangan tanyakan bagaimana kondisi hati Ayra saat ini, dia merasa amat senang sekali, seolah banyak bungan bermekaran disana. Seorang waiters menghampiri meja keduanya, lalu memberikan buku menu untuk merek
"Dia sudah mau membuka suaranya?" Tanya Shayne begitu turun dari mobilnya. Kacamata hitam masih bertengger di hidungnya, tak lupa kedua tangan yang ia selipkan dalam saku celananya. Arlo menganggukkan kepalanya. "Dia ingin bertemu denganmu" Shayne pun melangkahkan kakinya masuk ke dalam sebuah bangunan yang orang pikir dari luar ini adalah sebuah pabrik. Derap langkah kaki Shayne begitu menggeman Si pria yang berada di dalam pun menegakkan kepalanya, dengan kondisi tangan dan kaki masih terikat. Shayne menatapnya dengan dingin, tak ada belas kasih di dalamnya. "Lo gak sentuh dia kan?" Tanyanya begitu melihat Shayne berada di hadapannya. Shayne mengedikkan bahunya. "Tergantung lo!" Terlihat dadanya naik turun. Dia tidak bisa membiarkan Shayne menyentuh adiknya. "Apa yang akan gue dapetin kalau gue mengatakan semuanya?" "Semua tergantung sama lo!" Lagi-lagi ucapan Shayne membuat pria itu terdiam. "Mario. Pemiliki PT AR, dia yang udah bayar gue buat hancurin lo, buat







