LOGINMalam sudah larut ketika Nira masih menatap layar laptopnya di ruangan kecil tempatnya bekerja. Semua orang sudah pulang sejak sejam lalu, tapi pikirannya tak berhenti berputar. Bukan karena laporan yang belum selesai, tapi karena Raka.
Sejak kejadian di ruang rapat sore tadi — ketika Raka menatapnya lama tanpa bicara apa-apa — jantungnya tak mau tenang. Tatapan itu... tajam tapi juga penuh sesuatu yang sulit dijelaskan. Nira menutup laptopnya perlahan, menarik napas panjang. Ia berjalan menuju lift, tapi langkahnya terhenti ketika melihat lampu di ruang direktur masih menyala. Raka masih di sana. Ia sempat ragu. Haruskah ia menyapa? Atau pura-pura tak melihat? Namun sebelum sempat memutuskan, suara berat itu terdengar dari balik pintu kaca. > “Masuk saja kalau memang dari tadi menatap, Nira.” Suara itu membuat tubuhnya membeku. Raka tidak melihat ke arah pintu, tapi entah bagaimana ia tahu Nira berdiri di sana. Dengan langkah gugup, Nira mendorong pintu dan masuk. Aroma kopi hitam memenuhi ruangan — aroma yang sama seperti dulu, aroma yang selalu menenangkan sekaligus menyakitkan. Raka duduk di balik meja, lengan kemejanya tergulung, memperlihatkan urat di lengannya. Tatapan dinginnya tak banyak berubah, tapi ada lelah di sana — lelah yang entah karena pekerjaan atau karena sesuatu yang lebih dalam. > “Masih lembur?” tanyanya tanpa menatap. > “Iya, sedikit lagi selesai.” “Bagus. Kamu selalu rajin, dari dulu juga begitu.” Nada suaranya datar, tapi kalimat terakhir itu membuat dada Nira terasa sesak. “Dari dulu juga begitu.” Kalimat sederhana, tapi penuh kenangan. > “Kamu masih suka kopi hitam?” tanya Raka tiba-tiba. “Sudah jarang,” jawab Nira pelan. “Sekarang lebih suka yang manis.” Raka tersenyum tipis — senyum yang jarang sekali muncul di wajahnya kini. > “Manis, ya… padahal dulu kamu bilang nggak suka yang manis, karena hidupmu sudah cukup pahit.” Nira terdiam. Kata-kata itu seperti peluru yang menembus balik kenangan lama. Ia masih ingat hari itu — lima tahun lalu — saat ia meninggalkan Raka di bawah hujan tanpa sempat menjelaskan apapun. > “Raka…” suara Nira bergetar. “Kamu masih marah?” Raka akhirnya mendongak. Matanya tajam, tapi kali ini tak ada kebencian di sana — hanya luka yang tak sempat disembuhkan. > “Marah?” Ia tertawa lirih. “Kalau aku marah, mungkin aku sudah nggak akan biarkan kamu kerja di sini. Tapi aku cuma... belum bisa lupa.” Ruangan mendadak terasa sempit. Nira ingin bicara, menjelaskan, mengatakan semua hal yang ia pendam selama ini. Tapi lidahnya kelu. Ia tahu, belum saatnya. > “Maaf, Raka.” > “Jangan minta maaf, Nira. Cuma… jangan buat aku berharap lagi.” Hening. Hanya suara detik jam yang terdengar, perlahan memecah kesunyian di antara dua hati yang belum sembuh. Nira menunduk. Air matanya hampir jatuh, tapi ia tahan. > “Aku nggak akan buat kamu berharap,” katanya pelan. “Tapi aku juga nggak bisa pura-pura kalau aku sudah lupa.” Raka menatapnya lama — kali ini lebih lembut, seperti ada sesuatu yang hampir runtuh di balik dinding dinginnya. > “Pulanglah. Sudah malam,” ujarnya akhirnya. “Kamu juga.” Nira melangkah keluar, menutup pintu perlahan. Begitu ia sampai di lift, air matanya benar-benar jatuh. Yang paling menyakitkan bukanlah perpisahan lima tahun lalu, tapi kenyataan bahwa mereka masih saling mencintai — dan tak tahu harus bagaimana. ---Hujan telah reda, tapi aroma tanah basah masih menggantung di udara.Gudang tempat Nira dan Raka berlindung kini dipenuhi keheningan, hanya suara sirene polisi dari kejauhan yang samar-samar terdengar.Raka duduk di hadapan Nira, tubuhnya basah kuyup, napasnya berat.Tangannya sedikit gemetar saat mencoba menyalakan korek dan menyalakan lampu darurat kecil di pojok ruangan.Cahaya oranye redup menyorot wajah mereka yang lelah — dua orang yang pernah saling mencintai, kini diikat oleh masa lalu yang mereka sendiri tak pahami sepenuhnya.Nira memeluk lututnya, menatap Raka dengan pandangan campuran antara takut, marah, dan rindu.Ia sudah lelah menebak-nebak, lelah menunggu kejujuran yang tak kunjung datang.“Sekarang jelaskan semuanya, Raka,” ucapnya datar. “Dari awal.”Raka menatapnya lama, lalu mengangguk pelan.“Oke. Kamu berhak tahu semuanya.”Ia menarik napas panjang.“Tiga tahun lalu, sebelum kamu pergi, perusahaan ayahmu—PT Sagara—sedang dalam tahap merger dengan perusahaan temp
Hujan belum juga berhenti sejak sore kemarin.Kota Jakarta tampak seperti tenggelam di bawah langit abu-abu yang murung, seolah ikut menanggung beban rahasia yang kini membelit hidup Nira.Ia menatap layar laptop di meja kamarnya, matanya menelusuri satu nama yang terus muncul dalam setiap berkas lama:Alena Rahmadani.Semakin ia gali, semakin jelas kalau semua jejak masalah perusahaan ayahnya mengarah ke sana. Tapi yang aneh — di laporan terakhir, nama Alena tiba-tiba hilang, seperti dihapus dengan sengaja.Hilang tanpa alasan.Dan tanggal penghapusan itu sama dengan hari Raka mundur dari jabatan lamanya tiga tahun lalu.Nira menyandarkan tubuhnya ke kursi.“Apa semuanya saling terhubung?” bisiknya pada diri sendiri.Ia tahu satu hal pasti — kalau ia ingin tahu kebenaran, ia tak bisa lagi hanya menunggu Raka bicara. Ia harus mencari tahu sendiri.Pagi harinya, Nira menyelinap masuk ke gedung perusahaan tempat Raka bekerja.Ia memakai pakaian kasual, rambut diikat sederhana, dan menge
Pagi itu, langit Jakarta tampak muram, seolah ikut menyimpan rahasia yang belum sempat diungkap malam tadi.Nira terbangun di sofa apartemen Raka. Ia mengerjap pelan, menyadari posisi dirinya — masih di sana, dengan laptop yang terbuka di meja, penuh dokumen keuangan yang mereka pelajari semalam.Kepalanya berdenyut ringan, tapi bukan karena kurang tidur.Yang lebih sakit adalah pikirannya — memutar ulang kata-kata Raka tadi malam.“Ayahmu yang menyuruh aku menjauh.”Kalimat itu seperti racun yang pelan-pelan menyusup ke jantungnya.Ia tahu Raka tidak berbohong. Tapi menerima kenyataan itu tetap sulit. Bagaimana mungkin ayahnya sendiri menjadi penyebab kehancuran mereka?Suara pintu apartemen terbuka memotong pikirannya.Raka baru kembali, masih mengenakan kemeja putih yang kini agak basah karena hujan. Tangannya membawa dua gelas kopi.“Pagi,” sapanya datar, meletakkan salah satu gelas di depan Nira. “Kopi hitam tanpa gula. Masih suka yang itu, kan?”Nira menatapnya sebentar, lalu te
Keheningan di ruang itu terasa memekakkan.Suara hujan yang tadi terdengar samar kini berubah menjadi deras, seolah langit ikut menjerit bersama perasaan mereka.Raka masih berdiri di tempatnya, matanya menatap kosong ke arah layar laptop yang kini menampilkan berkas audit.Nama itu jelas tertera di sana: Raka Adinata — tanda tangan, inisial, dan nomor rekening yang terhubung dengan transaksi ilegal.Nira menatapnya tanpa kata.Semua yang baru saja ia dengar tentang ayahnya, tentang alasan Raka menjauh… kini terasa seperti pecahan kaca yang menancap di dadanya.Ia ingin percaya bahwa Raka tidak bersalah. Tapi bukti di depannya berbicara lain.“Aku bisa jelasin,” ucap Raka akhirnya. Suaranya berat, hampir bergetar.“Tolong jangan langsung percaya isi laporan itu.”Nira melipat tangannya di dada, mencoba menahan gejolak dalam dirinya. “Kamu pikir aku nggak mau percaya? Aku mau, Raka. Tapi semua ini—” ia menunjuk layar komputer, “
Suara hujan mengguyur kaca kantor malam itu. Lantai delapan yang biasanya ramai kini hanya menyisakan suara ketikan lembut dan detak jarum jam yang terasa terlalu keras di telinga Nira.Tangannya berhenti di atas keyboard, menatap layar monitor yang menampilkan laporan keuangan — file yang beberapa minggu terakhir menjadi beban pikirannya.Ada sesuatu yang janggal.Kolom pengeluaran proyek ekspor tahun lalu, angka-angka itu... tidak masuk akal.Dan semakin dalam ia telusuri, semakin jelas bahwa laporan itu dipalsukan.“Nira.”Suara berat itu datang dari belakang, membuat jantungnya hampir berhenti.Raka berdiri di ambang pintu ruangannya, jasnya sedikit basah, wajahnya tajam menatap arah Nira.“Masih di sini?” tanyanya dingin.Nira buru-buru berdiri, mencoba menyembunyikan layar komputernya. “Tadi saya cuma—menyelesaikan laporan, Pak.”Tatapan Raka menurun, lalu berhenti tepat pada dokumen yang terbuka. Sekilas saja cu
Hening.Suara langkah Raka terdengar jelas di ruangan yang setengah gelap itu. Setiap langkahnya membuat jantung Nira berdetak lebih cepat.> “Runtuh apa, Nira?”Nada suaranya dalam dan tenang, tapi dinginnya menusuk seperti es yang menempel di kulit.Nira menelan ludah. Tangannya refleks menutup laptop di hadapannya. “Kamu belum pulang, Pak?”Raka tidak menjawab. Ia berjalan mendekat perlahan, menatapnya tajam.> “Aku tanya sekali lagi,” katanya pelan, tapi tegas. “Apa yang kamu sembunyikan?”Nira memalingkan wajah. “Nggak ada.”> “Nira.”Sekali lagi suara itu memanggil, kali ini lebih rendah, tapi mengandung ancaman.“Tadi aku dengar kamu bilang soal ‘runtuh’. Tentang siapa?”> “Aku cuma ngomong sendiri, Pak. Lagi stres.”> “Jangan bohong.”Raka menatapnya lama. Tatapan itu bukan lagi sekadar tatapan atasan ke bawahan — itu tatapan seor







