Share

Akankah Zahwa?

HATI ALINA (2)

_________________

"Ning Alin," tepukan tangan di pundak Alina membuat dia tersadar dari lamunan panjangnya.

Seluruh jamaah santri putri penduduk bait Al-Hikmah sedari tadi sudah berdiri menunggu Alina mulai memimpin sholat Dhuhur.

"Astaghfirullah," gumam Alina lirih.

Zahwa menatap heran pada istri putra Kyai Fuad yang mereka panggil Gus Alif itu.

Ya, gadis dengan usia dua tahun di bawah Alina itu memberanikan diri membangunkan sang pemimpin dari lamunan panjangnya. Pasalnya, Zahwa adalah badal (pengganti) dari Alina ketika ada sesuatu yang mendesak.

Rakaat pertama berjalan dengan lancar, meskipun pikiran Alina berkelana jauh membayangkan hadirnya madu dalam rumah tangga yang sudah dia bangun sejak 4 tahun silam.

Rakaat kedua, pikiran Alina mengacaukan bacaan surah pendek yang sedang Alina lantunkan. Tepukan punggung tangan di atas telapak tangan seorang santri yang tak lain adalah Zahwa, membuat Alina kembali tersadar. Hingga wanita itu memilih meninggalkan tempat imam dan membiarkan Zahwa maju untuk menggantikan dirinya.

Musholla bait Al-Hikmah memiliki dua pintu masuk. Satu terletak di samping sebagai pintu para santri memasuki mushollah, dan satu lagi terletak di depan, tepat di samping tempat imam berdiri. Alina membuka pintu depan secara perlahan setelah memastikan Zahwa melanjutkan aktifitas sholat Dhuhur para santri.

Dalam hati dia berpikir, apa Zahwa pula yang akan menggantikan dirinya menjadi ratu di hati Alif. 

Alina beristighfar, dan menggelengkan kepalanya mengusir pikiran buruk. Sejak percakapan sensitif yang dilakukan oleh mertua dan suaminya, pikiran Alina selalu menjadi buruk jika melihat wanita lain yang adabnya pun begitu baik.

Dia berjalan cepat menuju musholla pribadi ndalem. Alina mengadukan setiap masalah yang ada pada Sang Pemilik Kehidupan. Tangis Alina pecah mengingat begitu sakitnya permintaan Kyai Fuad pada Alif--suaminya.

Bukan hanya sekali, doa untuk menjadi ibu sudah menjadi doa wajib bagi Alina sehari-hari.

___________________

Suara nadzam para santri putra dari masjid utama, terdengar hingga ke kamar Alina. Sayup-sayup wanita muda itu terbangun dari tidurnya. Alif sudah terbangun lebih dulu, untuk pertama kalinya, Alina tidak mengikuti jamaah shubuh bersama sang suami.

Sejak pukul setengah empat dini hari, Alif berusaha membangunkan sang istri. Namun Alina mengatakan ingin istirahat sejenak, kepalanya terasa begitu pusing. Bagaimana tidak, semalaman dia memikirkan masalah yang mendera rumah tangganya. Seorang anak yang dinanti-nanti tidak kunjung hadir, padahal pesantren sang mertua membutuhkan seorang penerus setelah Alif.

Seorang penerus yang akan dia gembleng sejak kecil. Namun apalah daya, Allah ternyata ingin menguji rumah tangga Alif dan Alina.

"Kamu sakit, Nak?" Bu Nyai Fatma memasuki kamar Alina setelah mengetuk pintu dan mendapati sang menantu tengah mendaras kitab kuningnya.

"Maaf, Umi. Hanya sedikit pening saja," ucap Alina merasa sungkan.

"Apa kamu sedang banyak pikiran? Lihat, kantung matamu begitu terlihat!" kata Bu Nyai Fatma mencemaskan sang menantu.

Alina hanya menggeleng dan tersenyum samar menanggapi pertanyaan Bu Nyai Fatma. Dia merasa bimbang, apakah dia akan menceritakan kegundahan hatinya atau menyimpannya seorang diri.

"Ceritakan sama, Umi." Bu Nyai Fatma merengkuh tubuh Alina dalam dekapannya.

Air mata Alin, panggilan dari para keluarga atau para santri biasanya memanggilnya dengan sebutan Neng Alin itu, menderas, luruh bersama dekapan sayang Bu Nyai Fatma.

"Menangislah, Nak. Jika sudah tenang, ceritakan semua sama Umi." Ucap lembut Bu Nyai Fatma.

Tangis Alin terdengar semakin menyayat. Bahunya bergetar hebat menahan sesenggukan. Tidak terasa, mata Bu Nyai Fatma pun turut basah melihat menantu satu-satunya menangis begitu pilu.

Dalam benak Bu Nyai Fatma muncul berbagai pertanyaan yang berkelebatan. Siapa gerangan yang menyakiti hati menantunya hingga Alina Tazkiyah, wanita yang terkenal dengan kegigihan dan ketegasan itu terlihat begitu rapuh saat ini.

Hingga beberapa menit, Alina menghentikan tangisnya. Bu Nyai Fatma mengusap lembut pipi Alina yang membekas air mata.

"Apa kamu bertengkar dengan Alif, Lin?" tanya Bu Nyai Fatma hati-hati.

"Mboten Mi, kami baik-baik saja," jelas Alin.

"Lalu kenapa kamu menangis? Apa rindu Abah Nashor? Besok biar Alif mengantarkan kamu berkunjung kesana, memang sudah lama kamu tidak menemui Abah Nashor," ujar sang mertua dengan membelai lembut puncuk kepala Alina.

"Mungkin lain kali saja, Mi. Jadwal pesantren sangat padat, sebentar lagi para santri akan menjalani mid tes, Alina ndak bisa meninggalkan kewajiban pada mereka," elak Alina mencari alasan.

"Serahkan pada Zahwa, bukankah dia badalmu? Tenangkan pikiranmu, nak!" pinta Bu Nyai Fatma. 

Mendengar nama Zahwa membuat hati Alina terasa nyeri. Entah mengapa, tiba-tiba Alina merasa begitu rendah telah membenci Zahwa tanpa alasan yang jelas. Padahal sebelum ucapan Kyai Fuad tempo hari tentang memberikannya seorang madu, Alina dan Zahwa sudah seperti sahabat karib. Meskipun notabenenya Zahwa hanyalah seorang santri dari anak tukang becak di Jawa Tengah.

Tapi kecerdasan Zahwa membuat Alina begitu kagum dengan perempuan 22 tahun itu. Dan kecerdasan itu pula yang kini membuat Alina takut, bagaimana jika Kyai Fuad mencoba menjodohkan Zahwa dengan suaminya. 

Alina beristighfar berkali-kali. Entah darimana datangnya persepsi buruk itu. Yang jelas bagi Alina, Zahwa adalah ancaman yang masih samar untuk kelanjutan hubungan rumah tangganya.

"Bagaimana menurut Umi tentang Zahwa?" tanya Alina tiba-tiba, membuat Bu Nyai Fatma mencoba mencerna ucapan sang menantu.

"Bagaimana apanya, Lin?" tanya balik Bu Nyai Fatma.

"Apa dia gadis yang cocok untuk dijadikan menantu seorang Kyai?" tanya Alina hati-hati.

"Terlepas dari garis keturunan yang ada, bagi Umi, perempuan dengan kecerdasan dan kesopanan seperti yang Zahwa miliki, mampu membuat dia layak dijadikan menantu oleh siapa saja, bahkan Kyai sekalipun. Kenapa kamu bertanya demikian?" jelas Bu Nyai Fatma dengan perasaan heran.

Lagi, hati Alina menciut mendengar penuturan Bu Nyai Fatma yang memuji Zahwa di hadapannya. Entah, Alina merasa dirinya kalah kali ini. Dia telah kalah melawan firasat buruk dalam benaknya.

"Ndak apa-apa, Umi. Alin hanya ingin tau saja bagaimana pendapat Umi tentang Zahwa," elak Alina dengan senyum tipis.

"Aneh kamu ini!" celetuk Bu Nyai Fatma dengan kembali merengkuh sang menantu dalam pelukannya.

Kini Bu Nyai Fatma mulai mengerti, jika Alina, sang menantu tengah memendam kecemburuan terhadap Zahwa, entah apa yang menjadi alasan Alin, istri Kyai Fuad itu pun belum mengetahui secara jelas.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status