Share

MADU UNTUK ALINA
MADU UNTUK ALINA
Author: Maulina Fikriyah

Rencana Kyai Fuad

HATI ALINA (1)

_________________

"Pertimbangkan lagi saran Abah, Lif." 

Samar Alina mendengar percakapan Kyai Fuad dengan Alif--suaminya di Gazebo yang terletak di depan ndalem (rumah kyai).

"Kita butuh penerus untuk pondok pesantren yang sudah Abah besarkan dengan almarhum kakekmu," sambung Kyai Fuad sementara Alif masih diam. "Abah dan Umi sudah bersabar menanti keturunan dari Alina, tapi sampai 4 tahun lamanya, penantian kami sepertinya harus berhenti sampai disini," ucap Kyai Fuad lagi.

Alina yang hendak menyuguhkan dua cangkir kopi menghentikan langkahnya di balik tembok pembatas gazebo.

Perempuan itu meremas ujung jilbabnya dengan kuat. Dia tau kemana arah pembicaraan sang mertua meskipun hanya mendengar beberapa penggal kalimat saja.

"Alif tidak mampu jika harus menyakiti hati Alina, Bah!" 

Ucapan Alif berhasil membuat air mata Alina menetes kian deras. Dia menutup mulutnya dengan satu tangan, agar isakannya tidak sampai terdengar oleh Kyai Fuad dan suaminya.

"Lalu apa kamu mampu menyakiti hati Abah dan Umi, Lif? Kamu siap jika Pesantren kita tidak memiliki penerus?" cecar Abah Fuad.

"Bah, mungkin kita perlu bersabar lebih lama lagi. Alif tidak masalah dengan itu, lagipula rahim Alina tidak bermasalah, Allah memang belum menitipkan benih di rahim istriku, Alif mohon, bersabarlah menanti sang cucu sedikit lama lagi," mohon Alif pada sang ayah.

Kyai Fuad menunduk dengan mata berembun. Dalam hatinya yang terdalam, dia pun tidak ingin melukai sang menantu yang notabenenya adalah Putri dari sahabat karibnya sendiri. 

Kyai Nashor, ayah Alina adalah pemilik pesantren tersohor yang terletak di Jawa Timur.

Apalagi kelembutan Alina sudah menjadi candu bagi sang mertua. Kyai Fuad dan Bu Nyai Fatma sudah Alina perlakukan seperti orang tua sendiri. 

"Bagaimana jika Abah lebih dulu berpulang sebelum penantian yang kamu janjikan terwujud?" tanya Kyai Fuad dengan mata berkaca-kaca.

"Jangan bicara mendahului takdir, Bah. Abah lebih mengerti hukum dalam ajaran Islam, tidak perlu Alif ajari, bukan?" ucap sang anak jengah.

"Lihat Abah, Nak! Usia Abah dan Umi sudah tidak muda lagi. Kami ingin menimang cucu darimu, satu-satunya penerus Pesantren kita," Kyai Fuad berbicara dengan suara lemah.

"Lalu apa Abah tega melihat Alif menyakiti istri sebaik Alina?!" Alif menatap nanar ke arah Kyai Fuad.

Dua cangkir kopi di atas nampan yang Alina bawa sedikit bergetar. Rasa nyeri menjalari ulu hatinya. Meskipun Alina tau, Kyai Fuad dan suaminya tidak setega itu melukai dirinya. Namun Alina membenarkan ucapan sang mertua, bagaimana jika Kyai Fuad atau Bu Nyai Fatma lebih dulu menghadap sang Pencipta sebelum hadirnya bayi kecil dari rahim Alina.

Perempuan berusia 24 tahun itu mengusap air matanya cepat. Jangan sampai dua manusia yang sangat dia hormati mencurigainya, sebab sedari tadi Alina tak kunjung datang menghidangkan minuman.

Alina menarik nafas kuat dan menghembuskannya perlahan. Dia berusaha keras agar jangan sampai terbawa perasaan hingga lupa pada unggah-ungguh yang sudah orang tuanya ajarkan sedari kecil.

"Assalamualaikum," ucap Alina berdiri di samping Gazebo.

Kyai Fuad dan Alif terperanjat. Ekor mata mereka saling lirik, keduanya merasa gelisah takut Alina mendengar percakapan yang begitu menyentil hati seorang wanita.

"Bah, Gus!" panggil Alina pelan.

Kyai Fuad dan Alif kembali tersadar dan buru-buru menyunggingkan senyum tipis.

"Waalaikumsalam," jawab keduanya serempak.

"Ngapunten kalau Alina lama, tadi diajak ngobrol sama Mbok Yati," ucap Alina beralasan.

Mbok Yati adalah salah satu wanita paruh baya yang membantu urusan perdapuran di kediaman Kyai Fuad.

"Ndak papa, nduk. Sini duduk di sebelah Abah," ucap Kyai Fuad dengan menggeser duduknya.

Hati Alina berdegup kencang. Kedua tangannya sudah basah dan berkeringat dingin. Dia membayangkan bagaimana jika Abah Fuad berbicara langsung pada Alina karena tidak mendapat respon yang baik dari anaknya-- Alif.

Untuk pertama kalinya Alina duduk di samping sang mertua dengan perasaan gelisah. Jika biasanya dia akan tersenyum ceria bila berdekatan dengan orang-orang yang dia sayangi, kali ini rupanya berbeda. Ucapan Kyai Fuad sudah membuat jarak di hati Alina.

"Besok, kamu ikut program hamil di Rumah Sakit Bani Hasyim, ya?" pinta sang mertua.

Netra Alina menatap Alif dengan tatapan meminta pendapat, dan dibalas anggukan lemah oleh sang suami.

"Insyaallah, Bah. Tapi jika Allah masih ingin menguji Alina dengan tidak kunjung hadirnya benih di rahim saya, apa tindakan Abah selanjutnya?" tanya Alina ragu.

Kyai Fuad menarik nafas kuat dan menghembuskan perlahan. Ditatapnya sang menantu dengan perasaan bersalah yang kian berkecamuk. 

Dulu, Kyai Fuad lah yang meminta perjodohan ini dilakukan. Mengingat betapa lembut perangai Alina sedari dia kecil bahkan hingga kini sudah berstatus menjadi menantu di kediaman Kyai Fuad.

Alif menyembunyikan kegelisahan yang menyergap hatinya. 

"Apa kamu siap mendengarnya, Lin?" tanya Kyai Fuad dan dibalas anggukan pasrah oleh Alina.

"Insyaallah, saya siap, Bah. Selagi hal yang Abah katakan nanti bisa Alina terima dengan ikhlas, insyaallah akan Alina lakukan," kata Alina menahan tangisnya dengan semakin kuat.

Alif membuang mukanya kasar. Lelaki itu yakin, Alina telah mendengar semua percakapannya bersama sang Abah.

"Bah, sudah masuk waktu dhuhur, lebih baik kita lanjutkan pembicaraan ini lain kali, ijinkan Alif dan Alina berusaha lebih keras lagi untuk mengikuti program hamil nantinya," sela Alif cepat sebelum Kyai Fuad berhasil membuka mulutnya.

Bagaimanapun, Alif tidak sampai hati mengatakan apa rencana Kyai Fuad kedepannya. Hati Alina begitu Alif cintai dengan cinta yang sebenarnya cinta. Jangankan memberikan Alina madu, membayangkan menikah lagi bahkan tidak pernah terbesit di pikiran Alif.

Kyai Fuad mengangguk lemah dan beranjak meninggalkan gazebo, meninggalkan Alina dengan rasa penasaran yang memuncak. Alina ingin tau, apa Kyai Fuad benar-benar mengatakan ingin memberikan madu untuk Alina, atau mertuanya itu akan mencari alasan yang lain. 

Alif mengamit jemari Alina untuk mengajaknya pergi meninggalkan tempat mereka duduk saat ini. Alina menepis kasar tangan Alif hingga membuat sang suami terperanjat.

"Astaghfirullah," ucap Alina kemudian, "Maafkan saya, Gus. Saya tidak bermaksud demikian, tadi benar-benar refleks karena kaget tiba-tiba tangan saya ada yang menggenggam," bela Alina dan dibalas senyuman tipis oleh Alif.

Alif percaya setiap ucapan istrinya, karena wanita itu memang begitu jujur dan tidak pernah berbohong sekalipun kepada suaminya. Alif berpikir, mungkin Alina sedang terjebak dengan permainan perasaan di hatinya hingga membuat dia merasa kaget ketika Alif mengamit jemarinya yang lentik.

"Kita kembali ke ndalem, ya Lin?" tawar Alif.

"Enggih, monggo panjenengan lebih dulu kembali ke ndalem! Saya mau langsung ke bait Al-Hikmah, karena dhuhur ini ada jadwal menjadi imam disana, assalamualaikum," ucap Alina dengan mencium punggung tangan Alif.

Alina berjalan terburu-buru menjauhi Alif yang terdiam di Gazebo sendirian. Hati Alif seperti teremas begitu sakit melihat perubahan istrinya yang seolah ingin menjauh darinya.

Bersambung

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status