Malam itu, pelita minyak bergoyang pelan tertiup angin yang menyusup dari celah jendela kayu. Cahaya kuningnya menari di dinding, menciptakan bayangan yang bergerak seakan hidup. Aroma minyak kelapa terbakar bercampur dengan bau kayu tua, membuat ruang rahasia yang mendadak menjadi ruang belajar istana itu terasa hangat namun juga sunyi penuh rahasia.
Alesha duduk bersila di atas tikar pandan, lututnya mulai pegal namun ia tak bergeming. Rambut hitamnya terurai sedikit acak, sebagian menutupi pipinya yang mulai pucat karena kantuk. Namun matanya—meski dihiasi lingkar hitam tipis—masih berkilat penuh semangat. Di hadapannya terbentang lembaran lontar dengan goresan-goresan tinta pekat, huruf-huruf kaku yang masih goyah bentuknya, hasil perjuangan tangannya. Tak jauh darinya, Arya Wuruk duduk dengan tenang. Tubuhnya tegap meski hanya bersandar ringan pada tiang kayu. Pandangan matanya tajam, mengikuti setiap gerakan Alesha dengan kesabaran seorang guru sekaligus rasa ingin tahu seorang pemuda. Ia, sang raja muda yang terbiasa menerima sanjungan karena kecerdasannya, malam itu justru menemukan dirinya kagum pada kegigihan seorang asing yang penuh teka-teki. “Ini… a-ka-ra…” suara Alesha terdengar pelan, terbata, sambil menunjuk huruf yang baru saja ia goreskan. Tangannya sedikit gemetar, tapi senyumnya merekah kecil. Arya mengangguk. “Śatyam. Iṅih akṣara ka.” (Benar. Ini huruf ka.) Nada suaranya rendah, berwibawa, tapi bibirnya terangkat tipis seolah menahan senyum. Alesha mengerjap, merasa hatinya dipenuhi rasa bangga. Ia lalu melirik sekeliling ruangan. Pandangannya jatuh pada sebuah kendi tanah liat di sudut ruangan. Jemarinya menunjuk benda itu. “Itu… apa namanya?” “Kendi,” jawab Arya singkat. “Oh… sama. Masih sama dengan di masa depan,” gumam Alesha lirih, seakan berbicara pada dirinya sendiri. Ia buru-buru menuliskan aksara Kawi untuk kata itu, goresannya miring dan tak sempurna. Lalu ia menunjuk tikar pandan yang menjadi alas mereka. “Tikar.” Alesha mengangguk lagi, matanya berbinar. “Ternyata banyak yang sama dengan bahasa yang kukenal.” Ia menirukan pelafalan Arya, meski lidahnya kaku dan beberapa kali salah nada. Namun setiap kali ia berhasil, wajahnya berbinar seperti anak kecil yang menemukan harta karun. Bahkan ketika ia berhasil membaca ulang kata-kata itu dengan lancar, ia meloncat kecil hingga lantai kayu berderit. “Aku bisa! Aku bisa!” serunya penuh kemenangan, tangannya terkepal ke udara. Arya menahan tawa. Pemandangan itu asing baginya—seorang gadis yang tak mengenal tata krama istana, namun keberaniannya justru memikat. Lalu, tanpa sadar, Alesha berlari kecil ke arahnya dan memeluknya erat. Tubuh Arya menegang seketika. Matanya melebar. Hangat tubuh Alesha menembus kain pakaian, membuat detak jantungnya berdegup tak karuan. Ia tak pernah dipeluk seperti itu. Bukan oleh rakyat, bukan oleh bangsawan, bahkan bukan oleh keluarga. Pelukan itu begitu jujur, begitu tiba-tiba. Alesha baru tersadar setelah beberapa detik. Matanya membesar, wajahnya merona merah, jantungnya berdebar panik. Ia buru-buru melepaskan pelukan itu, tubuhnya mundur terburu-buru. Bibirnya bergerak, nyaris berbisik, “Maaf… aku… aku tidak sengaja—” Keheningan jatuh. Hanya suara pelita yang berkelip-kelip, seperti ikut menyaksikan sesuatu yang tak seharusnya. Arya menunduk sesaat, lalu mengangkat tangannya. Jemarinya menyentuh bahu Alesha. Sentuhan itu lembut namun tegas. Ia tidak menolak. Justru, perlahan, ia menarik Alesha kembali ke dalam pelukannya—kali ini dengan kesadaran penuh. Alesha terkejut. Tubuhnya kaku sejenak. Tapi ia bisa mendengar detak jantung Arya—keras, cepat, tak kalah kacau dari miliknya sendiri. Nafas mereka beradu di antara jarak yang begitu dekat, hangat, ragu, namun tak terelakkan. Arya menunduk, suaranya nyaris berbisik, berat dan rendah. “Mamĕluk,” ucapnya. Alesha menatapnya bingung. Ia tidak tahu arti kata itu. Namun cara Arya menyebutnya, tekanan pada suku katanya, getaran rendah di dadanya, ditambah eratnya pelukan yang semakin menguat—semua itu cukup untuk membuatnya paham tanpa perlu terjemahan. Jantung keduanya berpacu tak terkendali. Dalam malam yang sunyi, di antara lontar, tinta, dan cahaya pelita, mereka tidak hanya sedang belajar huruf-huruf baru. Mereka tengah belajar bahasa lain—bahasa tanpa aksara, tanpa suara, hanya lewat tubuh dan rasa. Waktu seolah berhenti. Degup jantung menjadi satu-satunya musik yang terdengar. Di luar, jangkrik bersahut-sahutan, seakan menambah irama pada malam yang semakin dalam. Di dalam ruangan itu, dua jiwa muda terikat dalam bahasa hati—bahasa yang berani muncul, meski mereka sendiri tak tahu ke mana akan membawanya. Dan di balik keheningan, ada sesuatu yang berdenyut: rasa yang tumbuh, rahasia yang tak terucap, serta bayangan takdir yang mungkin tak pernah mereka duga. Namun tiba-tiba… Tap… tap… tap… Suara langkah kaki terdengar mendekat dari lorong luar. Berat, teratur, seperti sepatu kulit pengawal yang berpatroli malam. Alesha dan Arya sontak terdiam. Pelita bergetar, seolah tahu rahasia yang bisa terbongkar kapan saja. Mereka belum sempat saling melepaskan pelukan ketika suara langkah itu semakin dekat—tepat menuju pintu ruangan.Siang itu, di balairung istana Wilwatikta, suasana masih dipenuhi para abdi yang mondar-mandir menyiapkan laporan. Raja Arya Wuruk duduk di singgasananya, matanya tajam namun menyimpan kelelahan yang tidak pernah ia tunjukkan pada rakyat.Rendra, pengawal pribadinya, maju dengan langkah cepat lalu berlutut. “Paduka… hari ini adalah ujian terakhir pemilihan Pamong Muda di alun-alun Kotaraja. Apakah Paduka hendak menyaksikannya?”Arya terdiam sejenak, jemarinya mengetuk sandaran singgasana. Sorot matanya tajam, menyimpan bara yang kian hari makin menyala sejak kepergian Alesha. “Ya,” jawabnya lirih tapi tegas. “Aku ingin menyaksikannya sendiri. Ujian terakhir ini akan menentukan siapa yang pantas mengurus tanah dan rakyatku.”Dengan pengawalan terbatas, Arya pun bersiap menuju alun-alun.Alun-alun Kotaraja – Tahap 3 Ujian StrategiSuara gong tiga kali menggema. Para peserta berbaris rapi, jumlahnya kini hanya empat puluh orang. Panitia mengumumkan aturan tahap akhir:“Ujian strategi i
Balairung istana Wilwatikta pagi itu dipenuhi cahaya matahari yang menembus jendela-jendela kayu berukir. Namun di dalam ruangan megah itu, udara terasa dingin, berat oleh aura murka yang tertahan.Rendra melangkah masuk, diikuti dua orang bayaran yang wajahnya kusut penuh debu perjalanan. Dengan langkah cepat Rendra mendekat, menunduk hormat, lalu berbisik lirih, “Paduka… sudah lebih dari sepekan kami mencari. Pasar-pasar, pelabuhan, pos pajak, rumah singgah, hingga ke desa-desa terdekat… tidak ada tanda-tanda Nimas Alesha. Seakan ia lenyap begitu saja.”Arya yang mendengarnya langsung menghentikan pembicaraan dewan. Tangannya mengepal erat di atas lengan kursi singgasana. Senyum tipis yang tadi ia pertahankan hilang, berganti garis wajah kaku menahan amarah.“Tidak ada… tanda… sama sekali?” suaranya rendah, tapi bergetar menahan bara.Salah satu orang bayaran menunduk makin dalam. “Ampun, Paduka. Kami bahkan menanyakan dengan membawa sketsa wajah yang dibuat jurukambar. Tidak seoran
Gong besar ditabuh sekali lagi, nadanya menggetarkan dada para peserta. Di alun-alun Kotaraja, kerumunan rakyat sudah semakin padat. Mereka ingin menyaksikan bagaimana para calon pamong muda ditempa dalam ujian ketahanan fisik.Seorang panitia berseragam prajurit maju, suaranya lantang, “Tahap kedua akan menguji tiga hal: ketepatan memanah, kekuatan mengangkat beban, dan keperkasaan dalam duel tanpa senjata. Nilai akhir akan diambil dari akumulasi ketiganya. Dari seratus peserta yang tersisa, sepuluh akan digugurkan di tahap ini.”Sorak-sorai terdengar dari para penonton, sebagian bahkan berseru menyebut nama-nama calon pamong dari desa mereka.Ujian MemanahBarisan peserta ditarik maju satu per satu. Sasaran berupa lingkaran dari anyaman rotan dipasang pada jarak tertentu.Ketika giliran Gundra, pemuda tinggi besar dengan dada bidang dan tangan kekar, panitia memberikan busur padanya. Dengan penuh percaya diri ia menarik tali busur. Anak panah melesat, menancap cukup dekat dengan lin
Balairung sudah sepi. Para rakryan satu per satu pamit setelah rapat panjang mengenai tanah pembagian untuk rakyat miskin. Lampu minyak masih menyala redup di sudut ruangan, bayang-bayang api menari di dinding batu. Hanya tinggal Raja Arya Wuruk yang duduk di singgasana, tegak, seakan tubuhnya terbuat dari baja.Namun genggamannya pada gulungan lontar itu bergetar.Ia membuka sekali lagi—meski ia sudah membaca berulang kali sejak siang. Tulisan Alesha, rapi, tegas, penuh perasaan. Kata-kata itu menghantam dadanya, seakan setiap kalimat adalah pisau yang ditancapkan perlahan."Aku sangat berterimakasih dipertemukan denganmu… jangan khawatir, jangan mencariku… aku akan baik-baik saja…"Arya menutup mata rapat-rapat. Rahangnya mengeras. Dari luar, ia tampak tenang, bahkan dingin, tapi di dalam kepalanya ribuan suara berteriak.'Kau bilang jangan kucari? Bagaimana bisa aku diam, Lesha?Kau pikir aku mampu duduk tenang di istana ini, sementara entah di mana kau berada, sendirian, tanpa per
Langkah Dharmadyaksa terhenti tepat di hadapan Alesha. Suasana alun-alun yang semula riuh oleh peserta yang sibuk menulis kini serasa terhenti hanya pada satu titik: di hadapan sosok berjubah panjang dengan wajah tertutup kain hitam.Tatapan mata tua itu menusuk, dalam dan penuh selidik. Suaranya tenang, namun membawa wibawa yang membuat bulu kuduk siapa pun berdiri.“Anak muda…” ucapnya perlahan, “Mengapa engkau menutup wajahmu seperti itu? Dan mengapa engkau memakai jubah panjang di bawah terik matahari? Tidakkah engkau merasa gerah?”Seketika, napas Alesha tercekat. Dalam hati ia berteriak:Gerah sekali! Rasanya aku bisa meleleh di balik kain ini. Di negeri tropis seperti ini, siapa yang tahan memakai jubah panjang?Namun ia tahu, kata-kata itu tak boleh keluar dari mulutnya. Wajahnya tetap menunduk, dadanya naik-turun menahan gugup. Ia berusaha mengatur suara, menurunkannya agar lebih berat dan maskulin, seperti suara seorang lelaki dewasa.“Wajah dan badan saya penuh bekas luka y
Alun-alun Kotaraja pagi itu berubah menjadi lautan manusia. Langit cerah, matahari baru setengah meninggi, tapi panasnya sudah terasa menusuk kulit. Ratusan orang dari berbagai daerah tumpah ruah: calon Pamong Muda, prajurit pengawal, para pejabat, pedagang kecil yang membuka lapak darurat di pinggiran, hingga rakyat jelata yang datang sekadar menonton. Alesha berdiri di antara kerumunan, mengenakan pakaian samarannya: kain sederhana yang lusuh, wajah penuh bekas luka-luka palsu yang dibuat Samudra, lengan yang dibalut kain seolah habis bertempur. Samudra dan Mahadeva berada tak jauh di sisinya, seolah hanya pengawal atau kawan seperjalanan. Hanya mereka bertiga yang tahu siapa sebenarnya “lelaki asing” bernama Jaya itu. Dentuman gong menggetarkan dada, disusul genderang besar yang dipukul bertalu-talu. Semua suara pasar mendadak senyap, berganti tatapan serius ribuan pasang mata ke arah panggung utama. Dari sisi kanan, barisan pejabat tinggi kerajaan memasuki alun-alun. Paling dep