Alesha Naraya menatap layar komputernya dengan mata merah yang hampir tak berkedip. Jam digital di sudut monitor menunjukkan pukul 23:48, namun otaknya masih dipaksa bekerja seperti mesin tanpa henti. Di layar terpampang angka-angka, grafik, dan dokumen klien multinasional—semuanya sensitif, semuanya rahasia, semuanya bernilai miliaran.
Tangannya gemetar saat memegang mouse. Napasnya memburu. Ia tahu: dalam pekerjaannya sebagai auditor di salah satu Big 4, tak ada ruang untuk kesalahan sekecil apa pun. Tapi malam itu, sebuah kealpaan sepele berubah menjadi bencana. Satu klik. Satu lampiran. Satu email salah alamat. Dan seluruh hidupnya runtuh. Notifikasi demi notifikasi masuk beruntun—bunyi “ting!” menusuk telinga. Email dari Legal Department, pesan dari atasannya yang berisi tanda tanya bertubi-tubi, telepon yang bergetar tak henti di meja. Dunia seperti menutup dirinya rapat-rapat, menekan dari segala arah. “Tidak… tidak mungkin… Aku… aku salah kirim?” bisiknya dengan suara parau. Ia membuka folder, memeriksa ulang, tapi semuanya sudah terlambat. File rahasia klien terpenting perusahaan sudah melayang ke alamat luar. Perutnya mual, tangannya berkeringat dingin, jantungnya seakan meledak di dalam dada. Seolah ruangan berputar, ia menjatuhkan tubuhnya di kursi, kedua tangan menutupi wajah. “Aku bodoh… terlalu bodoh…” air mata panas membasahi jemarinya. Di luar, Surabay berkilau dengan lampu-lampu gedung tinggi. Tapi di dalam dirinya, hanya ada kegelapan. Ia bisa mendengar bisikan-bisikan—seperti suara bayangan: Kau selesai. Kariermu tamat. Hidupmu hancur. Semua orang akan tahu kau pecundang. Lalu datang rasa putus asa yang tak bisa lagi ditahan. Dadanya sesak, seakan langit runtuh. Ia berbisik, entah kepada siapa: “Tuhaaan… kalau mesin waktu benar-benar ada… aku mohon, bawa aku ke masa lalu. Biar aku mulai lagi..” Ia bukan orang religius. Agnostik. Tapi malam itu, doa yang tercekat di kerongkongannya keluar seperti jeritan terakhir seseorang yang tenggelam. Tanpa sadar, ia bangkit dari kursi. Langkahnya gontai menuju pintu apartemen kecilnya. Hujan rintik menyambutnya di luar. Malam basah. Udara asin dari laut yang tak jauh dari sana seakan memanggil. Alesha berjalan, membawa sekantong plastik berisi botol-botol alkohol yang baru ia beli di minimarket 24 jam. Satu demi satu ia teguk, hingga rasa pahit dan panas bercampur di tenggorokannya. Kepalanya mulai berputar, pandangannya kabur. Dunia seperti ditutupi kabut tebal. Tapi langkahnya tak berhenti. Kakinya membawanya menuju batu-batu hitam di tepi pantai. Ombak malam berdebur, memecah keheningan dengan suara berat dan purba. Ia berdiri di ujung bebatuan, tubuhnya terhuyung. Botol kosong tergelincir dari tangannya, jatuh ke laut. Lalu… langkahnya salah. Kakinya terpeleset di batu licin, dan seketika tubuhnya terhempas. Byuurrr! Air laut yang dingin menusuk tubuhnya seperti seribu jarum. Alesha berusaha menendang, menggerakkan tangannya, tapi tubuhnya berat. Alkohol mengikat kesadarannya. Gelombang menariknya lebih dalam. Ia mencoba berteriak, tapi air memenuhi mulutnya. Gelap. Sunyi. Lalu—ia merasakan sesuatu. Pusaran aneh, dingin tapi juga hangat, menyedot tubuhnya ke dalam kegelapan yang tak masuk akal. Seperti pintu tak terlihat terbuka di dasar laut. Ia mencoba melawan, tapi kekuatan itu jauh lebih besar. Sebelum kesadarannya lenyap, Alesha sempat berbisik dalam hati: Apakah ini kematian? --- Ketika matanya terbuka lagi, ia tidak mencium bau laut asin, tidak mendengar deru ombak. Yang terdengar justru suara serangga hutan dan desau angin. Di atasnya, bukan langit-langit apartemen. Tapi atap daun kelapa kering yang dianyam rapi. Cahaya matahari samar menembus celahnya, membuat bayangan bergerak di wajahnya. Alesha terdiam. Otaknya masih berputar. Tubuhnya terasa lemah, basah, tapi hangat. Lalu terdengar suara. Berat, berwibawa, namun penuh rasa ingin tahu. Deg. Alesha memaksa kepalanya menoleh. Dan di sanalah—dua sosok pria berdiri tak jauh dari tempat tidurnya. Yang pertama, tinggi, tegap, kulitnya sawo matang, tubuhnya kokoh seperti patung hidup. Wajahnya maskulin dengan tatapan tajam, mengenakan kain kebesaran berwarna gelap dan ikat kepala khas bangsawan. Yang kedua, sedikit lebih muda, bersenjata keris, tubuhnya lentur tapi kuat, jelas seorang pengawal. Alesha menahan napas. Tubuhnya menegang. Jantungnya berdegup keras, mencoba memahami apa yang sedang ia lihat. Dan tanpa bisa dikendalikan, ia berteriak kaget: “Aaaaaaahhhhhh!” Suara jeritannya mengguncang udara, membuat burung-burung di luar beterbangan. Dua pria itu sontak terkejut. Tatapan keduanya kini hanya tertuju padanya.Siang itu, di balairung istana Wilwatikta, suasana masih dipenuhi para abdi yang mondar-mandir menyiapkan laporan. Raja Arya Wuruk duduk di singgasananya, matanya tajam namun menyimpan kelelahan yang tidak pernah ia tunjukkan pada rakyat.Rendra, pengawal pribadinya, maju dengan langkah cepat lalu berlutut. “Paduka… hari ini adalah ujian terakhir pemilihan Pamong Muda di alun-alun Kotaraja. Apakah Paduka hendak menyaksikannya?”Arya terdiam sejenak, jemarinya mengetuk sandaran singgasana. Sorot matanya tajam, menyimpan bara yang kian hari makin menyala sejak kepergian Alesha. “Ya,” jawabnya lirih tapi tegas. “Aku ingin menyaksikannya sendiri. Ujian terakhir ini akan menentukan siapa yang pantas mengurus tanah dan rakyatku.”Dengan pengawalan terbatas, Arya pun bersiap menuju alun-alun.Alun-alun Kotaraja – Tahap 3 Ujian StrategiSuara gong tiga kali menggema. Para peserta berbaris rapi, jumlahnya kini hanya empat puluh orang. Panitia mengumumkan aturan tahap akhir:“Ujian strategi i
Balairung istana Wilwatikta pagi itu dipenuhi cahaya matahari yang menembus jendela-jendela kayu berukir. Namun di dalam ruangan megah itu, udara terasa dingin, berat oleh aura murka yang tertahan.Rendra melangkah masuk, diikuti dua orang bayaran yang wajahnya kusut penuh debu perjalanan. Dengan langkah cepat Rendra mendekat, menunduk hormat, lalu berbisik lirih, “Paduka… sudah lebih dari sepekan kami mencari. Pasar-pasar, pelabuhan, pos pajak, rumah singgah, hingga ke desa-desa terdekat… tidak ada tanda-tanda Nimas Alesha. Seakan ia lenyap begitu saja.”Arya yang mendengarnya langsung menghentikan pembicaraan dewan. Tangannya mengepal erat di atas lengan kursi singgasana. Senyum tipis yang tadi ia pertahankan hilang, berganti garis wajah kaku menahan amarah.“Tidak ada… tanda… sama sekali?” suaranya rendah, tapi bergetar menahan bara.Salah satu orang bayaran menunduk makin dalam. “Ampun, Paduka. Kami bahkan menanyakan dengan membawa sketsa wajah yang dibuat jurukambar. Tidak seoran
Gong besar ditabuh sekali lagi, nadanya menggetarkan dada para peserta. Di alun-alun Kotaraja, kerumunan rakyat sudah semakin padat. Mereka ingin menyaksikan bagaimana para calon pamong muda ditempa dalam ujian ketahanan fisik.Seorang panitia berseragam prajurit maju, suaranya lantang, “Tahap kedua akan menguji tiga hal: ketepatan memanah, kekuatan mengangkat beban, dan keperkasaan dalam duel tanpa senjata. Nilai akhir akan diambil dari akumulasi ketiganya. Dari seratus peserta yang tersisa, sepuluh akan digugurkan di tahap ini.”Sorak-sorai terdengar dari para penonton, sebagian bahkan berseru menyebut nama-nama calon pamong dari desa mereka.Ujian MemanahBarisan peserta ditarik maju satu per satu. Sasaran berupa lingkaran dari anyaman rotan dipasang pada jarak tertentu.Ketika giliran Gundra, pemuda tinggi besar dengan dada bidang dan tangan kekar, panitia memberikan busur padanya. Dengan penuh percaya diri ia menarik tali busur. Anak panah melesat, menancap cukup dekat dengan lin
Balairung sudah sepi. Para rakryan satu per satu pamit setelah rapat panjang mengenai tanah pembagian untuk rakyat miskin. Lampu minyak masih menyala redup di sudut ruangan, bayang-bayang api menari di dinding batu. Hanya tinggal Raja Arya Wuruk yang duduk di singgasana, tegak, seakan tubuhnya terbuat dari baja.Namun genggamannya pada gulungan lontar itu bergetar.Ia membuka sekali lagi—meski ia sudah membaca berulang kali sejak siang. Tulisan Alesha, rapi, tegas, penuh perasaan. Kata-kata itu menghantam dadanya, seakan setiap kalimat adalah pisau yang ditancapkan perlahan."Aku sangat berterimakasih dipertemukan denganmu… jangan khawatir, jangan mencariku… aku akan baik-baik saja…"Arya menutup mata rapat-rapat. Rahangnya mengeras. Dari luar, ia tampak tenang, bahkan dingin, tapi di dalam kepalanya ribuan suara berteriak.'Kau bilang jangan kucari? Bagaimana bisa aku diam, Lesha?Kau pikir aku mampu duduk tenang di istana ini, sementara entah di mana kau berada, sendirian, tanpa per
Langkah Dharmadyaksa terhenti tepat di hadapan Alesha. Suasana alun-alun yang semula riuh oleh peserta yang sibuk menulis kini serasa terhenti hanya pada satu titik: di hadapan sosok berjubah panjang dengan wajah tertutup kain hitam.Tatapan mata tua itu menusuk, dalam dan penuh selidik. Suaranya tenang, namun membawa wibawa yang membuat bulu kuduk siapa pun berdiri.“Anak muda…” ucapnya perlahan, “Mengapa engkau menutup wajahmu seperti itu? Dan mengapa engkau memakai jubah panjang di bawah terik matahari? Tidakkah engkau merasa gerah?”Seketika, napas Alesha tercekat. Dalam hati ia berteriak:Gerah sekali! Rasanya aku bisa meleleh di balik kain ini. Di negeri tropis seperti ini, siapa yang tahan memakai jubah panjang?Namun ia tahu, kata-kata itu tak boleh keluar dari mulutnya. Wajahnya tetap menunduk, dadanya naik-turun menahan gugup. Ia berusaha mengatur suara, menurunkannya agar lebih berat dan maskulin, seperti suara seorang lelaki dewasa.“Wajah dan badan saya penuh bekas luka y
Alun-alun Kotaraja pagi itu berubah menjadi lautan manusia. Langit cerah, matahari baru setengah meninggi, tapi panasnya sudah terasa menusuk kulit. Ratusan orang dari berbagai daerah tumpah ruah: calon Pamong Muda, prajurit pengawal, para pejabat, pedagang kecil yang membuka lapak darurat di pinggiran, hingga rakyat jelata yang datang sekadar menonton. Alesha berdiri di antara kerumunan, mengenakan pakaian samarannya: kain sederhana yang lusuh, wajah penuh bekas luka-luka palsu yang dibuat Samudra, lengan yang dibalut kain seolah habis bertempur. Samudra dan Mahadeva berada tak jauh di sisinya, seolah hanya pengawal atau kawan seperjalanan. Hanya mereka bertiga yang tahu siapa sebenarnya “lelaki asing” bernama Jaya itu. Dentuman gong menggetarkan dada, disusul genderang besar yang dipukul bertalu-talu. Semua suara pasar mendadak senyap, berganti tatapan serius ribuan pasang mata ke arah panggung utama. Dari sisi kanan, barisan pejabat tinggi kerajaan memasuki alun-alun. Paling dep