LOGINSore itu, cahaya matahari menembus celah pepohonan hutan yang rapat, menorehkan garis-garis keemasan di lantai tanah berdebu. Udara lembap beraroma tanah basah, bercampur dengan bau asap kayu dari obor yang menyala di depan gubuk sederhana itu. Suasana begitu asing, menekan, seakan waktu sendiri berhenti di tempat itu.
Alesha tersentak bangun dengan tubuh kotor berdebu. Refleks, ia menjerit saat melihat dua laki-laki berdiri di ambang pintu. Suaranya memantul di dinding bambu, membuat burung-burung kecil yang bertengger di dahan terbang terbirit. Jantungnya berdetak kencang. Pandangannya terhenti pada dua sosok lelaki itu—keduanya mengenakan kain panjang dengan motif rumit, ikat kepala yang terlipat rapi, serta keris yang terselip di pinggang. Bukan pakaian modern, bukan pula sesuatu yang bisa ia lihat sehari-hari. Apa ini? Pentas seni? Atau… festival budaya? Atau syuting film sejarah? pikir Alesha kalut. Ia refleks bangkit, setengah duduk dengan tangan menopang tubuhnya. Sosok lelaki yang berdiri paling depan melangkah perlahan mendekat. Sorot matanya tajam tapi teduh, penuh wibawa. Langkahnya tenang, namun setiap gerakannya membuat Alesha merasa terdesak. Ia membuka suara, suaranya lantang tapi asing di telinga Alesha: “Tenanglah! Sapa sira? Saka pundi asalmu?” (Tenanglah! Kamu siapa? Dan dari mana asalmu?) Alesha membeku. Kata-kata itu terdengar seperti mantra dari buku sejarah, tak ia pahami. Ia mengernyit, keringat dingin mulai merembes dari pelipisnya. “A-apa…? Aku tidak mengerti…” bisiknya, lalu suaranya meninggi, penuh panik. “Kalian siapa?! Kenapa aku ada di sini?! Kalian yang bawa aku, ya?! Dimana ini?!” Namun bukannya jawaban, kedua lelaki itu justru saling berpandangan. Rendra, lelaki muda dengan sorot mata tajam tapi lebih gelisah, berbisik pelan kepada sosok berwibawa di depannya, masih dengan bahasa kuno: “Mungkinkah dheweke saking nagara sabrang? Mungkin bae dheweke maos basa Melaya?” (Mungkinkah dia dari negeri seberang? Mungkin saja dia barusan berbahasa Melaya?) Arya Wuruk—demikian sosok itu dipanggil—mengernyit, matanya menyipit penuh perhitungan. Ia menimbang-nimbang, lalu menjawab dengan tenang, tetap dalam bahasa kuno: “Bukan. Ucapane beda sanget saking basa Melaya. Nanging… aku bakal nyobi nganggo basa iku.” (Bukan. Ucapannya sangat berbeda dari bahasa Melayu. Tapi… aku akan coba memakainya.) Alesha hanya bisa memelototi mereka, rasa takut bercampur bingung makin menguasai tubuhnya. Nafasnya memburu, jemarinya mencengkeram kain bajunya sendiri. Bahasa apa yang mereka pakai? Kenapa aku tidak mengerti satu pun? Arya Wuruk menarik napas, lalu mencoba berbicara dalam bahasa Melayu kuno abad ke-14, lidahnya agak kaku namun jelas. “Siapa kamu? Siapa namamu? Dan dari mana asalmu?” Alesha terperanjat. Untuk pertama kalinya, ia menangkap maksud perkataan itu, meski terdengar aneh dan kaku. Ia terdiam sejenak, matanya berkaca-kaca, lalu menjawab terbata. “A-aku… Alesha. Aku dari Surabay. Ini… ini sebenarnya di mana?” Dalam hati, ia mencoba meyakinkan dirinya. Mungkin aku tersesat waktu mabuk… Mungkin aku masuk terlalu jauh ke hutan… Mereka ini apa? Suku pedalaman, kayak Baduy? Lelaki itu menatapnya lama, lalu menjawab pelan dengan bahasa Melaya kuno. “Aku Arya Wuruk. Kamu berada di tanah Majapahti, di hutan perbatasan Wilwatita.” Nama itu menusuk telinga Alesha. Tubuhnya menegang, wajahnya tampak kaget. Arya Wuruk? Majapahit? Meski selama sekolah dulu ia tak begitu menyukai sejarah, ingatan samar tentang nama besar raja Majapahit masih ada di kepalanya. Tak tahan, ia refleks tertawa getir. “Hahaha… lucu banget. Jadi kalian lagi bercanda, ya? Serius? Arya Wuruk? Raja Majapahti? Ayolah… aku nggak punya waktu buat main-main begini.” Ia berdiri, menepuk-nepuk bajunya yang kotor, berusaha mengembalikan akal sehatnya. Debu tanah berjatuhan dari pakaiannya, rambutnya pun kusut penuh tanah kering. Ia menghela napas, mencoba menenangkan diri. “Sudahlah… aku pergi saja cari jalan pulang sendiri. Sejauh apapun aku mabuk semalam, nggak mungkin sampai beda kota.” Ia bergumam, lebih seperti bicara pada dirinya sendiri. Namun ketika ia melangkah keluar, tangan kuat menahan pergelangannya. Arya Wuruk menatapnya tajam, suara beratnya menahan langkah Alesha. “Kamu pikir, ke mana kamu mau pergi?” ucapnya dalam bahasa Melaya kuno. Alesha meronta. “Lepaskaan! Apa yang kau lakukan?!” jeritnya. Namun tenaga lelaki itu jauh di luar kemampuannya. Ia hanya bisa meronta sia-sia. Arya Wuruk, dengan wajah dingin penuh wibawa, memberi kode singkat pada Rendra. Rendra segera melangkah cepat menyiapkan seekor kuda hitam besar yang ditambatkan di luar gubuk. Alesha makin panik. Matanya melebar, tubuhnya gemetar. Namun sebelum sempat ia melawan lebih jauh, Arya Wuruk mengangkat tubuhnya begitu saja seolah tanpa beban, lalu menggendongnya naik ke atas pelana kuda. “Aku bilang lepaskaaaan!!!” jerit Alesha, suara tangisnya pecah. Tapi jeritannya hanya bergema di dalam hutan sore itu, bercampur dengan suara jangkrik yang mulai ramai.Rendra, dengan napas terengah-engah dan jantung berdebar kencang, berlari secepat mungkin melewati koridor Istana. Langkahnya terhenti di depan pintu kamar pribadi Raja Arya Wuruk, di mana ia tahu Rajanya sedang bersama Mahapatih. Ia mengetuk pintu dengan tergesa-gesa, mengabaikan etika dan jam istirahat malam.Pintu terbuka. Arya Wuruk berdiri di sana, hanya mengenakan kain sarung yang diikatkan di pinggang, rambutnya sedikit acak-acakan. Di belakangnya, Alesha (masih dalam pakaian tidurnya) mengintip."Ada apa kau Rendra? Wajahmu pucat sekali, seperti melihat mayat bangkit dari kematian," tanya Arya, nada suaranya tajam karena terganggu.Rendra membungkuk, berusaha mengatur napas, suaranya tercekat karena panik."Ampun Paduka Raja! Ampun Mahapatih!" Rendra segera berlutut di ambang pintu. "Hamba... hamba baru saja berpapasan dengan Kebo Iwa."Alesha dan Arya langsung bertukar pandang yang dipenuhi ketakutan. Ketenangan mereka setelah insiden di pelabuhan seketika hancur."Apa?! Baga
Sore hari di Istana Wilwatikta memancarkan keindahan yang tenang. Bayangan dari arsitektur bata merah membentang panjang di halaman. Kebo Iwa, setelah beristirahat sejenak, memutuskan untuk mengikuti tawaran Raja Arya. Ia keluar dari kompleks tamu dan berjalan santai menyusuri taman-taman Istana yang asri, dan kemudian memberanikan diri melangkah keluar dari gerbang utama.Di luar tembok Istana, kehidupan di ibu kota Trowulan berdenyut. Kebo Iwa berjalan di antara kedai dan pasar kecil. Ia mendengarkan pembicaraan warga, ingin memahami bagaimana sesungguhnya Majapahit di mata rakyatnya. Hampir di setiap pembicaraan yang ia dengar, ada nada pujian yang tulus untuk Raja Arya Wuruk."Panen tahun ini berlimpah berkat saluran air Raja!""Raja kita sungguh bijaksana, dia memastikan tidak ada yang kelaparan.""Bahkan Mahapatih Gaja Mada kita pun hebat, meski wajahnya tertutup, otaknya tak tertandingi."Kebo Iwa menyimak semuanya. Ia mencari Lestari, tetapi ia hanya menemukan kesejahteraan da
Perjalanan dari pelabuhan ke Istana Wilwatikta terasa mencekam. Kebo Iwa menunggangi kuda di belakang Arya Wuruk dan Mahapatih Gaja Mada, matanya terus mengamati setiap detail ibu kota Majapahit—dari arsitektur bata merah yang megah hingga keteraturan prajurit yang berbaris di jalanan. Pikirannya dipenuhi kekacauan. Ia datang mencari Lestari, tetapi yang ia temukan adalah Raja dan Mahapatihnya, dan ia masih belum bisa melepaskan perasaan aneh bahwa mata Mahapatih itu terasa sangat familiar.Setibanya di Istana, Kebo Iwa segera dibawa ke kompleks khusus tamu kerajaan. Itu adalah bilik mewah, dilengkapi perabotan kayu jati ukir, yang membuat penginapan terbaik di Bali terlihat sederhana.Kebo Iwa meletakkan buntalan kain lusuh yang berisi beberapa pakaian dan perbekalannya di lantai kamar tamu itu. Ia merasakan kehangatan keramahan Majapahit, tetapi di saat yang sama, ia merasakan udara tipis di lehernya. Ia tahu, ia sedang berada di sarang musuh."Tuan Patih," ujar Arya Wuruk dengan se
"ASTAGA, ARYA! Ada Kebo Iwa! Lihatlah di arah sana, di kerumunan dekat tiang bendera! Dia ada di Wilwatikta!" bisik Alesha, suaranya tercekat di balik penutup kain Mahapatih Gaja Mada.Rahang Arya Wuruk sempat mengeras hebat. Ini bukan hanya kejutan; ini adalah tindakan yang setara dengan invasi rahasia. Kebo Iwa datang tanpa diundang, tanpa utusan, dan tanpa jaminan keselamatan. Arya merasakan darahnya mendidih, tetapi ia segera mengendalikan diri. Sebagai seorang Raja, ia harus bertindak dengan perhitungan, bukan emosi."Maka kita harus menyambutnya," ucap Arya, suaranya tenang namun mengandung ancaman tersembunyi. "Kita harus menyambutnya sebagai Raja dan Mahapatih dengan baik."Arya menoleh kepada Laksamana Nala. "Laksamana Nala, uji coba kapal kita lakukan di lain waktu. Sekarang aku ada urusan mendadak dan harus menyambut seorang tamu yang sangat penting," ujar Arya, menunjuk sekilas ke arah kerumunan. "Kita harus menyambut Patih Bali, Kebo Iwa."Laksamana Nala agak terkejut. Ia
Kebo Iwa berjalan menyusuri pelabuhan, kakinya yang besar menginjak tanah Jawa, merasakan atmosfer Majapahit yang sangat berbeda dari Bali. Matanya terus waspada, mengamati kapal-kapal dagang yang padat dan prajurit berseragam di mana-mana. Ia mencari penginapan, namun langkahnya terhenti oleh desas-desus yang menyebar cepat di antara para buruh pelabuhan."Lihat! Di sana! Kapal Jung Jawa! Kabarnya Raja Arya Wuruk dan Mahapatih Gaja Mada sendiri yang datang melihatnya!""Mahapatih Gaja Mada? Yang terkenal sakti itu?""Iya! Mereka sedang berada di atas kapal besar yang baru selesai itu!"Mendengar nama Arya Wuruk dan Mahapatih Gaja Mada, rasa ingin tahu Kebo Iwa, yang memang seorang Panglima Perang, langsung memuncak. Ia penasaran ingin melihat secara langsung wajah Raja yang kebijaksanaannya dipuji-puji oleh Lestari, dan ingin tahu seperti apa sosok Mahapatih yang memimpin Majapahit menuju kejayaan.Kebo Iwa bergegas mengikuti arah desas-desus. Ia harus menembus kerumunan warga dan pr
Beberapa bulan telah berlalu sejak kepulangan Alesha dari Bali dan ledakan kecemburuan yang hampir membakar kamar Raja. Hubungan mereka kembali harmonis, diwarnai strategi politik yang kini difokuskan pada pemanfaatan kelemahan Kebo Iwa dan negosiasi diplomatik yang hati-hati dengan Pajajaran (yang kini ditangani langsung oleh Alesha, tentu saja).Pagi yang cerah itu, saat Arya Wuruk dan Mahapatih Gaja Mada (Alesha) sedang membahas logistik pangan untuk ekspedisi berikutnya, Laksamana Nala tiba-tiba menghadap. Wajahnya yang biasanya tenang, kini dipenuhi senyum puas dan bangga."Paduka Raja, Mahapatih," lapor Laksamana Nala, membungkuk dalam. "Hamba datang membawa kabar sukacita. Kapal agung itu... Kapal yang Paduka perintahkan dengan desain khusus dari Mahapatih, telah selesai dibuat."Mendengar berita itu, Arya dan Alesha sontak bangkit dari duduk mereka. Rasa lelah, ketegangan politik, dan drama pribadi seketika sirna, digantikan oleh antusiasme murni."Sudah selesai?" tanya Arya,