Share

4 - Dihadapan Sang Raja

Author: Dualismdiary
last update Last Updated: 2025-09-02 22:04:02

Sore itu, cahaya matahari menembus celah pepohonan hutan yang rapat, menorehkan garis-garis keemasan di lantai tanah berdebu. Udara lembap beraroma tanah basah, bercampur dengan bau asap kayu dari obor yang menyala di depan gubuk sederhana itu. Suasana begitu asing, menekan, seakan waktu sendiri berhenti di tempat itu.

Alesha tersentak bangun dengan tubuh kotor berdebu. Refleks, ia menjerit saat melihat dua laki-laki berdiri di ambang pintu. Suaranya memantul di dinding bambu, membuat burung-burung kecil yang bertengger di dahan terbang terbirit.

Jantungnya berdetak kencang. Pandangannya terhenti pada dua sosok lelaki itu—keduanya mengenakan kain panjang dengan motif rumit, ikat kepala yang terlipat rapi, serta keris yang terselip di pinggang. Bukan pakaian modern, bukan pula sesuatu yang bisa ia lihat sehari-hari.

Apa ini? Pentas seni? Atau… festival budaya? Atau syuting film sejarah? pikir Alesha kalut. Ia refleks bangkit, setengah duduk dengan tangan menopang tubuhnya.

Sosok lelaki yang berdiri paling depan melangkah perlahan mendekat. Sorot matanya tajam tapi teduh, penuh wibawa. Langkahnya tenang, namun setiap gerakannya membuat Alesha merasa terdesak. Ia membuka suara, suaranya lantang tapi asing di telinga Alesha:

“Tenanglah! Sapa sira? Saka pundi asalmu?”

(Tenanglah! Kamu siapa? Dan dari mana asalmu?)

Alesha membeku. Kata-kata itu terdengar seperti mantra dari buku sejarah, tak ia pahami. Ia mengernyit, keringat dingin mulai merembes dari pelipisnya.

“A-apa…? Aku tidak mengerti…” bisiknya, lalu suaranya meninggi, penuh panik.

“Kalian siapa?! Kenapa aku ada di sini?! Kalian yang bawa aku, ya?! Dimana ini?!”

Namun bukannya jawaban, kedua lelaki itu justru saling berpandangan. Rendra, lelaki muda dengan sorot mata tajam tapi lebih gelisah, berbisik pelan kepada sosok berwibawa di depannya, masih dengan bahasa kuno:

“Mungkinkah dheweke saking nagara sabrang? Mungkin bae dheweke maos basa Melaya?”

(Mungkinkah dia dari negeri seberang? Mungkin saja dia barusan berbahasa Melaya?)

Arya Wuruk—demikian sosok itu dipanggil—mengernyit, matanya menyipit penuh perhitungan. Ia menimbang-nimbang, lalu menjawab dengan tenang, tetap dalam bahasa kuno:

“Bukan. Ucapane beda sanget saking basa Melaya. Nanging… aku bakal nyobi nganggo basa iku.”

(Bukan. Ucapannya sangat berbeda dari bahasa Melayu. Tapi… aku akan coba memakainya.)

Alesha hanya bisa memelototi mereka, rasa takut bercampur bingung makin menguasai tubuhnya. Nafasnya memburu, jemarinya mencengkeram kain bajunya sendiri. Bahasa apa yang mereka pakai? Kenapa aku tidak mengerti satu pun?

Arya Wuruk menarik napas, lalu mencoba berbicara dalam bahasa Melayu kuno abad ke-14, lidahnya agak kaku namun jelas.

“Siapa kamu? Siapa namamu? Dan dari mana asalmu?”

Alesha terperanjat. Untuk pertama kalinya, ia menangkap maksud perkataan itu, meski terdengar aneh dan kaku. Ia terdiam sejenak, matanya berkaca-kaca, lalu menjawab terbata.

“A-aku… Alesha. Aku dari Surabay. Ini… ini sebenarnya di mana?”

Dalam hati, ia mencoba meyakinkan dirinya. Mungkin aku tersesat waktu mabuk… Mungkin aku masuk terlalu jauh ke hutan… Mereka ini apa? Suku pedalaman, kayak Baduy?

Lelaki itu menatapnya lama, lalu menjawab pelan dengan bahasa Melaya kuno.

“Aku Arya Wuruk. Kamu berada di tanah Majapahti, di hutan perbatasan Wilwatita.”

Nama itu menusuk telinga Alesha. Tubuhnya menegang, wajahnya tampak kaget. Arya Wuruk? Majapahit?

Meski selama sekolah dulu ia tak begitu menyukai sejarah, ingatan samar tentang nama besar raja Majapahit masih ada di kepalanya. Tak tahan, ia refleks tertawa getir.

“Hahaha… lucu banget. Jadi kalian lagi bercanda, ya? Serius? Arya Wuruk? Raja Majapahti? Ayolah… aku nggak punya waktu buat main-main begini.”

Ia berdiri, menepuk-nepuk bajunya yang kotor, berusaha mengembalikan akal sehatnya. Debu tanah berjatuhan dari pakaiannya, rambutnya pun kusut penuh tanah kering. Ia menghela napas, mencoba menenangkan diri.

“Sudahlah… aku pergi saja cari jalan pulang sendiri. Sejauh apapun aku mabuk semalam, nggak mungkin sampai beda kota.” Ia bergumam, lebih seperti bicara pada dirinya sendiri.

Namun ketika ia melangkah keluar, tangan kuat menahan pergelangannya. Arya Wuruk menatapnya tajam, suara beratnya menahan langkah Alesha.

“Kamu pikir, ke mana kamu mau pergi?” ucapnya dalam bahasa Melaya kuno.

Alesha meronta.

“Lepaskaan! Apa yang kau lakukan?!” jeritnya.

Namun tenaga lelaki itu jauh di luar kemampuannya. Ia hanya bisa meronta sia-sia. Arya Wuruk, dengan wajah dingin penuh wibawa, memberi kode singkat pada Rendra. Rendra segera melangkah cepat menyiapkan seekor kuda hitam besar yang ditambatkan di luar gubuk.

Alesha makin panik. Matanya melebar, tubuhnya gemetar. Namun sebelum sempat ia melawan lebih jauh, Arya Wuruk mengangkat tubuhnya begitu saja seolah tanpa beban, lalu menggendongnya naik ke atas pelana kuda.

“Aku bilang lepaskaaaan!!!” jerit Alesha, suara tangisnya pecah. Tapi jeritannya hanya bergema di dalam hutan sore itu, bercampur dengan suara jangkrik yang mulai ramai.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Non Sayyi
jarang banget ada buku time travel ke masa lampau kerajaan Indonesia apalagi ini abad 14 kereeen
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • MAHAPATIH DARI MASA DEPAN : Dark Romance di Istana Majapahti   64 – Papan Tanah dan Bayangan Perang

    Siang itu, di balairung istana Wilwatikta, suasana masih dipenuhi para abdi yang mondar-mandir menyiapkan laporan. Raja Arya Wuruk duduk di singgasananya, matanya tajam namun menyimpan kelelahan yang tidak pernah ia tunjukkan pada rakyat.Rendra, pengawal pribadinya, maju dengan langkah cepat lalu berlutut. “Paduka… hari ini adalah ujian terakhir pemilihan Pamong Muda di alun-alun Kotaraja. Apakah Paduka hendak menyaksikannya?”Arya terdiam sejenak, jemarinya mengetuk sandaran singgasana. Sorot matanya tajam, menyimpan bara yang kian hari makin menyala sejak kepergian Alesha. “Ya,” jawabnya lirih tapi tegas. “Aku ingin menyaksikannya sendiri. Ujian terakhir ini akan menentukan siapa yang pantas mengurus tanah dan rakyatku.”Dengan pengawalan terbatas, Arya pun bersiap menuju alun-alun.Alun-alun Kotaraja – Tahap 3 Ujian StrategiSuara gong tiga kali menggema. Para peserta berbaris rapi, jumlahnya kini hanya empat puluh orang. Panitia mengumumkan aturan tahap akhir:“Ujian strategi i

  • MAHAPATIH DARI MASA DEPAN : Dark Romance di Istana Majapahti   63 – Bara di Balairung

    Balairung istana Wilwatikta pagi itu dipenuhi cahaya matahari yang menembus jendela-jendela kayu berukir. Namun di dalam ruangan megah itu, udara terasa dingin, berat oleh aura murka yang tertahan.Rendra melangkah masuk, diikuti dua orang bayaran yang wajahnya kusut penuh debu perjalanan. Dengan langkah cepat Rendra mendekat, menunduk hormat, lalu berbisik lirih, “Paduka… sudah lebih dari sepekan kami mencari. Pasar-pasar, pelabuhan, pos pajak, rumah singgah, hingga ke desa-desa terdekat… tidak ada tanda-tanda Nimas Alesha. Seakan ia lenyap begitu saja.”Arya yang mendengarnya langsung menghentikan pembicaraan dewan. Tangannya mengepal erat di atas lengan kursi singgasana. Senyum tipis yang tadi ia pertahankan hilang, berganti garis wajah kaku menahan amarah.“Tidak ada… tanda… sama sekali?” suaranya rendah, tapi bergetar menahan bara.Salah satu orang bayaran menunduk makin dalam. “Ampun, Paduka. Kami bahkan menanyakan dengan membawa sketsa wajah yang dibuat jurukambar. Tidak seoran

  • MAHAPATIH DARI MASA DEPAN : Dark Romance di Istana Majapahti   62 – Tahap Kedua: Ketahanan Fisik

    Gong besar ditabuh sekali lagi, nadanya menggetarkan dada para peserta. Di alun-alun Kotaraja, kerumunan rakyat sudah semakin padat. Mereka ingin menyaksikan bagaimana para calon pamong muda ditempa dalam ujian ketahanan fisik.Seorang panitia berseragam prajurit maju, suaranya lantang, “Tahap kedua akan menguji tiga hal: ketepatan memanah, kekuatan mengangkat beban, dan keperkasaan dalam duel tanpa senjata. Nilai akhir akan diambil dari akumulasi ketiganya. Dari seratus peserta yang tersisa, sepuluh akan digugurkan di tahap ini.”Sorak-sorai terdengar dari para penonton, sebagian bahkan berseru menyebut nama-nama calon pamong dari desa mereka.Ujian MemanahBarisan peserta ditarik maju satu per satu. Sasaran berupa lingkaran dari anyaman rotan dipasang pada jarak tertentu.Ketika giliran Gundra, pemuda tinggi besar dengan dada bidang dan tangan kekar, panitia memberikan busur padanya. Dengan penuh percaya diri ia menarik tali busur. Anak panah melesat, menancap cukup dekat dengan lin

  • MAHAPATIH DARI MASA DEPAN : Dark Romance di Istana Majapahti   61 – Bara Dalam Sunyi

    Balairung sudah sepi. Para rakryan satu per satu pamit setelah rapat panjang mengenai tanah pembagian untuk rakyat miskin. Lampu minyak masih menyala redup di sudut ruangan, bayang-bayang api menari di dinding batu. Hanya tinggal Raja Arya Wuruk yang duduk di singgasana, tegak, seakan tubuhnya terbuat dari baja.Namun genggamannya pada gulungan lontar itu bergetar.Ia membuka sekali lagi—meski ia sudah membaca berulang kali sejak siang. Tulisan Alesha, rapi, tegas, penuh perasaan. Kata-kata itu menghantam dadanya, seakan setiap kalimat adalah pisau yang ditancapkan perlahan."Aku sangat berterimakasih dipertemukan denganmu… jangan khawatir, jangan mencariku… aku akan baik-baik saja…"Arya menutup mata rapat-rapat. Rahangnya mengeras. Dari luar, ia tampak tenang, bahkan dingin, tapi di dalam kepalanya ribuan suara berteriak.'Kau bilang jangan kucari? Bagaimana bisa aku diam, Lesha?Kau pikir aku mampu duduk tenang di istana ini, sementara entah di mana kau berada, sendirian, tanpa per

  • MAHAPATIH DARI MASA DEPAN : Dark Romance di Istana Majapahti   60 – Luka yang Disembunyikan

    Langkah Dharmadyaksa terhenti tepat di hadapan Alesha. Suasana alun-alun yang semula riuh oleh peserta yang sibuk menulis kini serasa terhenti hanya pada satu titik: di hadapan sosok berjubah panjang dengan wajah tertutup kain hitam.Tatapan mata tua itu menusuk, dalam dan penuh selidik. Suaranya tenang, namun membawa wibawa yang membuat bulu kuduk siapa pun berdiri.“Anak muda…” ucapnya perlahan, “Mengapa engkau menutup wajahmu seperti itu? Dan mengapa engkau memakai jubah panjang di bawah terik matahari? Tidakkah engkau merasa gerah?”Seketika, napas Alesha tercekat. Dalam hati ia berteriak:Gerah sekali! Rasanya aku bisa meleleh di balik kain ini. Di negeri tropis seperti ini, siapa yang tahan memakai jubah panjang?Namun ia tahu, kata-kata itu tak boleh keluar dari mulutnya. Wajahnya tetap menunduk, dadanya naik-turun menahan gugup. Ia berusaha mengatur suara, menurunkannya agar lebih berat dan maskulin, seperti suara seorang lelaki dewasa.“Wajah dan badan saya penuh bekas luka y

  • MAHAPATIH DARI MASA DEPAN : Dark Romance di Istana Majapahti   59 – Dentang Gong di Kotaraja

    Alun-alun Kotaraja pagi itu berubah menjadi lautan manusia. Langit cerah, matahari baru setengah meninggi, tapi panasnya sudah terasa menusuk kulit. Ratusan orang dari berbagai daerah tumpah ruah: calon Pamong Muda, prajurit pengawal, para pejabat, pedagang kecil yang membuka lapak darurat di pinggiran, hingga rakyat jelata yang datang sekadar menonton. Alesha berdiri di antara kerumunan, mengenakan pakaian samarannya: kain sederhana yang lusuh, wajah penuh bekas luka-luka palsu yang dibuat Samudra, lengan yang dibalut kain seolah habis bertempur. Samudra dan Mahadeva berada tak jauh di sisinya, seolah hanya pengawal atau kawan seperjalanan. Hanya mereka bertiga yang tahu siapa sebenarnya “lelaki asing” bernama Jaya itu. Dentuman gong menggetarkan dada, disusul genderang besar yang dipukul bertalu-talu. Semua suara pasar mendadak senyap, berganti tatapan serius ribuan pasang mata ke arah panggung utama. Dari sisi kanan, barisan pejabat tinggi kerajaan memasuki alun-alun. Paling dep

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status