Masuk3 tahun yang lalu..
Hutan di barat Majapahti masih diselimuti kabut tipis ketika Raja Arya Wuruk menarik tali busurnya. Jantungnya berdegup dengan tenang, matanya menyipit menembus semak. Di hadapannya, seekor rusa jantan muda menunduk, sibuk merumput tanpa menyadari maut sudah menantinya. Swiiisshh! Anak panah melesat dan menancap tepat di leher rusa itu. Hewan malang itu meringkik singkat, tubuhnya terhuyung, lalu jatuh terguling di tanah basah. Senyum tipis tersungging di wajah Arya. Perburuan selalu memberinya kepuasan—bukan sekadar hiburan seorang raja, tapi juga latihan kendali diri. Ia lebih memilih berburu ditemani seorang pengawal setia daripada rombongan besar yang ribut. Rendra, pengawal pribadinya, sengaja ditinggalkan menunggu di sanggar perburuan agar tak mengganggu momen tenangnya. Arya melangkah mendekati rusa yang masih sekarat, napasnya berembus berat, kabut hutan mengelilinginya. Tapi tiba-tiba ia berhenti. Alisnya berkerut. Di tanah lembap, sekitar dua puluh langkah dari tempat rusa rebah, ia melihat sesuatu yang aneh—sosok tubuh manusia, tergeletak tanpa gerak. Rambut hitam panjang terurai kusut menutupi wajahnya. Pakaian yang melekat tampak asing, terlalu ketat, terlalu aneh untuk ukuran busana mana pun yang pernah ia lihat di negerinya. Arya menajamkan pandangan. Dari lekuk tubuhnya, ia bisa memastikan sosok itu seorang wanita. Dada yang membusung jelas, meski terbalut kain tipis yang menempel erat. Sementara di bagian bawah tubuhnya, hanya selembar kain pendek ketat menutupi paha—vulgar, tidak sopan, tak pernah ada perempuan di Majapahti berpakaian seperti itu. Arya mengembuskan napas panjang, setengah tak percaya. 'Apakah ini jelmaan dewa… atau kutukan hutan?' gumamnya pelan. Ia berlutut, tangannya ragu menyibakkan rambut kusut dari wajah wanita itu. Dan seketika napasnya tercekat. Paras itu—begitu indah, tak seperti wajah perempuan bangsawan atau rakyatnya. Kulitnya pucat dan halus, seakan tak pernah tersentuh matahari. Garis hidungnya tegas, bibirnya mungil, dan mata tertutup rapat dengan bulu lentik panjang. Wanita asing ini jelas berasal dari ras atau negeri yang berbeda. Tapi yang paling mengganggu hati Arya bukanlah keanehannya. Melainkan kenyataan bahwa di balik tubuhnya yang tampak lemah tak berdaya, wajahnya memancarkan keteduhan yang aneh—seolah kehadirannya sudah ditakdirkan untuk mengusik sang raja. Arya menelan ludah, menyadari ia terlalu lama menatap. Ia segera meraih tubuh itu, mengangkatnya dengan kedua tangan. Ringan, tapi hangat. Wanita itu masih hidup, meski napasnya tersengal lemah. Dengan langkah mantap, Arya membawa sosok asing itu menuju sanggar perburuan yang berdiri di tepi hutan. Sebuah pondok kayu beratap ilalang, tempat ia biasa beristirahat setelah berburu. Ketika pintu kayu sanggar berderit terbuka, Rendra—pengawal setianya—terperangah. “Gusti Prabu… itu…” suaranya tercekat, matanya membesar menatap raja yang masuk sambil menggendong seorang perempuan. Yang lebih mengejutkan baginya adalah cara sang raja memanggul tubuh itu: seperti seorang petani membawa karung beras, dengan satu tangan menutupi bagian bokong wanita tersebut agar tidak terlihat terlalu vulgar. Kain pendek asing yang melekat di tubuhnya nyaris tidak menutup apa pun. Rendra hanya bisa berdiri kaku, jantungnya berdetak tak karuan. Belum pernah ia melihat rajanya membawa pulang hasil buruan seaneh ini. “Gusti Prabu… apa yan paduka anambut? (Gusti Prabu… apa yang Paduka bawa?)” tanyanya dengan dahi mengernyit. Tatapannya jatuh pada pakaian aneh yang melekat pada tubuh perempuan itu. “Busana nira… tan patut sanget. Apa ta ia… wanita lacur? (Busananya… sungguh tak pantas. Apakah ia… seorang wanita lacur?)” Arya menatap sekilas pada pengawalnya, lalu menggeleng pelan. “Tan, dudu makana. Aku manggihaken ia gumelêmpang ing wanapringga, caket rusā ya kang wus kapanaheku. Wajah nira… kulit nira… tan sami ri wong janapada kita. Durung natêpi aku mirsani wanita makathah iki ring bhumi Majapahti. (Bukan. Aku menemukannya tergeletak di hutan, dekat rusa yang tadi kutumbangkan. Wajahnya… kulitnya… berbeda dari rakyat kita. Aku belum pernah melihat perempuan seperti ini di tanah Majapahti).” Rendra semakin heran, matanya menyapu kain pendek yang nyaris tak menutup apa pun. “Yadyan mangkana, saka ning endi asal nira? Apa ta ia mata-mata nagara sabrang? (Kalau begitu, dari mana asalnya? Apa ia mata-mata negeri seberang?)” Arya menunduk, menatap wajah pucat yang masih terlelap di lengannya. Hening beberapa saat, sebelum ia berkata lirih, “Tan weruh aku. Nanging ia tan wanita lumrah. Wonten prakara sanès… béda sanget.(Entahlah. Tapi ia bukan perempuan sembarangan. Ada sesuatu yang… berbeda.)” Rendra masih hendak bertanya lebih jauh, ketika tiba-tiba tubuh wanita itu bergerak. Kelopak matanya bergetar, perlahan terbuka. Seberkas cahaya bening menyingkap mata asing yang belum pernah mereka lihat sebelumnya. Wanita itu terdiam sesaat, lalu menatap sekeliling dengan panik. Begitu matanya jatuh pada sosok Arya dan Rendra yang berdiri menjulang dalam pakaian kebesaran kerajaan, ia langsung berteriak kencang. “Aaaaahhh!” Jeritan itu memecah kesunyian hutan, membuat burung-burung berhamburan dari pepohonan.Rendra, dengan napas terengah-engah dan jantung berdebar kencang, berlari secepat mungkin melewati koridor Istana. Langkahnya terhenti di depan pintu kamar pribadi Raja Arya Wuruk, di mana ia tahu Rajanya sedang bersama Mahapatih. Ia mengetuk pintu dengan tergesa-gesa, mengabaikan etika dan jam istirahat malam.Pintu terbuka. Arya Wuruk berdiri di sana, hanya mengenakan kain sarung yang diikatkan di pinggang, rambutnya sedikit acak-acakan. Di belakangnya, Alesha (masih dalam pakaian tidurnya) mengintip."Ada apa kau Rendra? Wajahmu pucat sekali, seperti melihat mayat bangkit dari kematian," tanya Arya, nada suaranya tajam karena terganggu.Rendra membungkuk, berusaha mengatur napas, suaranya tercekat karena panik."Ampun Paduka Raja! Ampun Mahapatih!" Rendra segera berlutut di ambang pintu. "Hamba... hamba baru saja berpapasan dengan Kebo Iwa."Alesha dan Arya langsung bertukar pandang yang dipenuhi ketakutan. Ketenangan mereka setelah insiden di pelabuhan seketika hancur."Apa?! Baga
Sore hari di Istana Wilwatikta memancarkan keindahan yang tenang. Bayangan dari arsitektur bata merah membentang panjang di halaman. Kebo Iwa, setelah beristirahat sejenak, memutuskan untuk mengikuti tawaran Raja Arya. Ia keluar dari kompleks tamu dan berjalan santai menyusuri taman-taman Istana yang asri, dan kemudian memberanikan diri melangkah keluar dari gerbang utama.Di luar tembok Istana, kehidupan di ibu kota Trowulan berdenyut. Kebo Iwa berjalan di antara kedai dan pasar kecil. Ia mendengarkan pembicaraan warga, ingin memahami bagaimana sesungguhnya Majapahit di mata rakyatnya. Hampir di setiap pembicaraan yang ia dengar, ada nada pujian yang tulus untuk Raja Arya Wuruk."Panen tahun ini berlimpah berkat saluran air Raja!""Raja kita sungguh bijaksana, dia memastikan tidak ada yang kelaparan.""Bahkan Mahapatih Gaja Mada kita pun hebat, meski wajahnya tertutup, otaknya tak tertandingi."Kebo Iwa menyimak semuanya. Ia mencari Lestari, tetapi ia hanya menemukan kesejahteraan da
Perjalanan dari pelabuhan ke Istana Wilwatikta terasa mencekam. Kebo Iwa menunggangi kuda di belakang Arya Wuruk dan Mahapatih Gaja Mada, matanya terus mengamati setiap detail ibu kota Majapahit—dari arsitektur bata merah yang megah hingga keteraturan prajurit yang berbaris di jalanan. Pikirannya dipenuhi kekacauan. Ia datang mencari Lestari, tetapi yang ia temukan adalah Raja dan Mahapatihnya, dan ia masih belum bisa melepaskan perasaan aneh bahwa mata Mahapatih itu terasa sangat familiar.Setibanya di Istana, Kebo Iwa segera dibawa ke kompleks khusus tamu kerajaan. Itu adalah bilik mewah, dilengkapi perabotan kayu jati ukir, yang membuat penginapan terbaik di Bali terlihat sederhana.Kebo Iwa meletakkan buntalan kain lusuh yang berisi beberapa pakaian dan perbekalannya di lantai kamar tamu itu. Ia merasakan kehangatan keramahan Majapahit, tetapi di saat yang sama, ia merasakan udara tipis di lehernya. Ia tahu, ia sedang berada di sarang musuh."Tuan Patih," ujar Arya Wuruk dengan se
"ASTAGA, ARYA! Ada Kebo Iwa! Lihatlah di arah sana, di kerumunan dekat tiang bendera! Dia ada di Wilwatikta!" bisik Alesha, suaranya tercekat di balik penutup kain Mahapatih Gaja Mada.Rahang Arya Wuruk sempat mengeras hebat. Ini bukan hanya kejutan; ini adalah tindakan yang setara dengan invasi rahasia. Kebo Iwa datang tanpa diundang, tanpa utusan, dan tanpa jaminan keselamatan. Arya merasakan darahnya mendidih, tetapi ia segera mengendalikan diri. Sebagai seorang Raja, ia harus bertindak dengan perhitungan, bukan emosi."Maka kita harus menyambutnya," ucap Arya, suaranya tenang namun mengandung ancaman tersembunyi. "Kita harus menyambutnya sebagai Raja dan Mahapatih dengan baik."Arya menoleh kepada Laksamana Nala. "Laksamana Nala, uji coba kapal kita lakukan di lain waktu. Sekarang aku ada urusan mendadak dan harus menyambut seorang tamu yang sangat penting," ujar Arya, menunjuk sekilas ke arah kerumunan. "Kita harus menyambut Patih Bali, Kebo Iwa."Laksamana Nala agak terkejut. Ia
Kebo Iwa berjalan menyusuri pelabuhan, kakinya yang besar menginjak tanah Jawa, merasakan atmosfer Majapahit yang sangat berbeda dari Bali. Matanya terus waspada, mengamati kapal-kapal dagang yang padat dan prajurit berseragam di mana-mana. Ia mencari penginapan, namun langkahnya terhenti oleh desas-desus yang menyebar cepat di antara para buruh pelabuhan."Lihat! Di sana! Kapal Jung Jawa! Kabarnya Raja Arya Wuruk dan Mahapatih Gaja Mada sendiri yang datang melihatnya!""Mahapatih Gaja Mada? Yang terkenal sakti itu?""Iya! Mereka sedang berada di atas kapal besar yang baru selesai itu!"Mendengar nama Arya Wuruk dan Mahapatih Gaja Mada, rasa ingin tahu Kebo Iwa, yang memang seorang Panglima Perang, langsung memuncak. Ia penasaran ingin melihat secara langsung wajah Raja yang kebijaksanaannya dipuji-puji oleh Lestari, dan ingin tahu seperti apa sosok Mahapatih yang memimpin Majapahit menuju kejayaan.Kebo Iwa bergegas mengikuti arah desas-desus. Ia harus menembus kerumunan warga dan pr
Beberapa bulan telah berlalu sejak kepulangan Alesha dari Bali dan ledakan kecemburuan yang hampir membakar kamar Raja. Hubungan mereka kembali harmonis, diwarnai strategi politik yang kini difokuskan pada pemanfaatan kelemahan Kebo Iwa dan negosiasi diplomatik yang hati-hati dengan Pajajaran (yang kini ditangani langsung oleh Alesha, tentu saja).Pagi yang cerah itu, saat Arya Wuruk dan Mahapatih Gaja Mada (Alesha) sedang membahas logistik pangan untuk ekspedisi berikutnya, Laksamana Nala tiba-tiba menghadap. Wajahnya yang biasanya tenang, kini dipenuhi senyum puas dan bangga."Paduka Raja, Mahapatih," lapor Laksamana Nala, membungkuk dalam. "Hamba datang membawa kabar sukacita. Kapal agung itu... Kapal yang Paduka perintahkan dengan desain khusus dari Mahapatih, telah selesai dibuat."Mendengar berita itu, Arya dan Alesha sontak bangkit dari duduk mereka. Rasa lelah, ketegangan politik, dan drama pribadi seketika sirna, digantikan oleh antusiasme murni."Sudah selesai?" tanya Arya,