MasukHening memenuhi kamar. Hanya suara obor yang menari di sudut ruangan, membentuk bayangan gelap yang bergerak perlahan di dinding kayu jati yang megah. Detak jantung Alesha terdengar nyaring di telinganya sendiri, seolah setiap denyut menegaskan ketidaknyataannya. Dunia yang ia kenal—listrik, kendaraan, gedung tinggi, ponsel—tiba-tiba lenyap. Digantikan oleh kayu, obor, dan suara gamelan yang samar dari kejauhan.
Alesha menarik napas dalam-dalam. Ia lahir dan tumbuh di Jakarta, bukan Surabaya. Meski tinggal di Surabaya bertahun-tahun, bahasa Jawa yang ia dengar sehari-hari hanyalah sekadar percakapan teman atau sopan santun ringan. Tidak pernah ia belajar bahasa Jawa secara mendalam. Dan ini—di abad ke-14 Majapahti—bahasa yang digunakan Arya Wuruk jelas berbeda, klasik, dan asing. Ia mencoba menenangkan diri, memutar otaknya mencari ingatan tentang bahasa yang pernah ia dengar. Setiap kata yang muncul hanya samar dan terputus-putus. Dengan suara bergetar, ia mulai mencoba: “Mmm… Sasih? Kaping? Dina?” gumamnya, hati berdebar menunggu reaksi. Arya Wuruk menatapnya dengan alis sedikit terangkat, matanya menyorot tajam namun lembut, mencoba menangkap maksud gadis ini. Ada keheningan yang menegangkan, seolah waktu berhenti. Sesaat, ia menebak maksud Alesha—gadis ini ingin mengetahui hari, bulan, dan bulan kalender saat ini. Akhirnya Arya menjawab dengan nada resmi, hampir seperti membaca laporan kerajaan: “Ing dina Budha, Wuku Sinta, Sasih Sura, Warsa Saka 1280.” Alesha menelan ludah, matanya melebar. Kata-kata itu bukan hanya asing, tapi membawa sensasi aneh—seolah menembus ruang dan waktu. Angka 1280, Sasih Sura… ia mencoba memahami, membayangkan kalender dan sistem waktu yang sama sekali berbeda dari yang ia kenal. Dunia modernnya, dengan tanggal Masehi dan kalender digital, terasa begitu jauh dan rapuh dibanding sistem kompleks ini. Ia merasakan kepanikan kembali menyala di dadanya. Jika benar ini abad 14, semua yang ia kenal hanyalah ingatan masa depan. Semua rencana, semua ambisi, bahkan kesalahan fatal yang ingin ia perbaiki… kini tampak begitu kecil dibanding kenyataan di depannya. Arya, di sisi lain, tetap menatapnya dengan ketenangan yang membuat Alesha hampir iri. Matanya lembut tapi tegas, seolah mencoba menyampaikan bahwa gadis ini aman di sisinya—meski dunia yang mereka bagi begitu berbeda. Ada ketegangan halus di udara, antara rasa penasaran, takut, dan kekaguman yang sulit dijelaskan. “Jadi… aku… benar-benar di sini?” gumam Alesha pada dirinya sendiri, jari-jari gemetar memegang gulungan lontar di meja. Ia ingin memeriksa tulisan-tulisan itu lagi, menyentuh aksara yang tak pernah disentuh orang modern mana pun, berharap bisa menemukan petunjuk, atau sekadar bukti bahwa ini nyata. Alesha pun mulai mencoba menerima kenyataan. Otak auditornya yang logis tidak membiarkan ia berlama-lama meratapi nasib. Ia mulai berpikir, “Apa yang harus kulakukan sekarang?” Matanya menatap pakaiannya yang kotor, noda tanah masih menempel di lengan dan rambutnya. “Aku… mau mandi… Air? Banyu?” tanyanya sambil menunjuk baju dan rambutnya, mencoba mengekspresikan maksudnya dengan bahasa tubuh agar Arya mengerti. Arya Wuruk mengangguk perlahan, seolah memahami maksudnya. Ia membawa Alesha menuju kamar mandi pribadinya—sebuah semi-outdoor paviliun kecil tersembunyi di sayap bangsal raja, dikelilingi tirai sutra tipis. Suara air menetes dari bak batu terdengar menenangkan, angin malam masuk melalui celah jendela bambu. Alesha terkejut. Kamar mandi itu tidak seperti yang ia bayangkan di abad modern—tidak ada shower, tidak ada kran—hanya bak batu besar yang menampung air jernih. Arya menyerahkan sebuah kain panjang, mirip sarung dari batik sederhana, yang bisa ia gunakan untuk menutupi diri. Arya Wuruk sempat menahan napas ketika melihat Alesha melilitkan kain sederhana itu di tubuhnya. Kain itu terlalu tipis, hanya menutupi sebagian lekuk tubuh yang tetap terlihat samar di bawah cahaya obor. Ia menundukkan wajah, mencoba menahan diri. Namun, matanya tetap saja sesekali melirik, terjebak antara rasa ingin tahu dan rasa hormat. Baginya, Alesha berbeda dari semua perempuan yang pernah ia lihat. Bukan hanya wajahnya yang elok, tapi juga sorot matanya—ada keteguhan yang tak dimiliki wanita-wanita istana yang biasanya tunduk patuh. Sebagai lelaki, darahnya bergolak. Sebagai raja, ia tahu ia harus menjaga wibawa. Tapi di hadapan Alesha, batas itu menjadi tipis. Ia merasakan sesuatu yang asing: keinginan untuk melindungi, sekaligus godaan yang tak semestinya dimiliki seorang penguasa. Arya Wuruk menggenggam kendi lebih erat, berusaha menyalurkan gejolak hatinya pada gerakan sederhana—menuangkan air, mengoleskan lidah buaya dengan tenang, menepuk rambut dengan lembut. Semua dilakukan seakan-akan itu hanyalah ritual biasa. Namun di balik wajah dingin dan tatapan tegasnya, dada sang raja berdegup lebih cepat dari biasanya. Tubuh Alesha kaku, cemas. Ia belum terbiasa dengan suasana ini, apalagi dengan pengawasan seorang raja yang masih terasa asing. Arya memegang kendi berisi air, memiringkannya perlahan ke tubuhnya. Setiap tetes jatuh dengan ritme tenang, hangat, dan menenangkan—seperti ritual yang penuh perhatian. Saat lidah buaya dihaluskan, Arya mulai mengoleskan gel itu ke rambutnya. Tangan lelaki itu kuat tapi lembut, bergerak dari akar hingga ujung rambut, mengikuti ritme yang biasa abdi dalem lakukan untuknya. Aroma segar lidah buaya bercampur wangi kayu dan sutra memenuhi paviliun kecil itu. Raja hanya menatapnya dengan mata, menilai kenyamanannya. Tidak ada kata-kata, tidak ada senyum berlebihan—hanya perhatian yang penuh makna, seolah seluruh dunia berhenti sejenak di ruangan kecil itu. Setelah rambutnya bersih, Arya membilas sisa gel dengan air dari kendi, menepuk lembut rambutnya dengan kain halus. Alesha menatapnya sebentar, menyadari bahwa di balik wajah dingin dan maskulin itu, tersimpan perhatian tulus—perlindungan yang membuatnya merasa sedikit lebih aman, meski dunia di sekitarnya tetap asing dan menakutkan. Alesha menghela napas, mencoba menyerap keheningan yang menenangkan, dan perlahan mulai menerima kenyataan: ia harus belajar bertahan, menemukan cara hidup di abad 14, dan—jika mungkin—mencari jalan kembali ke masa depan.Rendra, dengan napas terengah-engah dan jantung berdebar kencang, berlari secepat mungkin melewati koridor Istana. Langkahnya terhenti di depan pintu kamar pribadi Raja Arya Wuruk, di mana ia tahu Rajanya sedang bersama Mahapatih. Ia mengetuk pintu dengan tergesa-gesa, mengabaikan etika dan jam istirahat malam.Pintu terbuka. Arya Wuruk berdiri di sana, hanya mengenakan kain sarung yang diikatkan di pinggang, rambutnya sedikit acak-acakan. Di belakangnya, Alesha (masih dalam pakaian tidurnya) mengintip."Ada apa kau Rendra? Wajahmu pucat sekali, seperti melihat mayat bangkit dari kematian," tanya Arya, nada suaranya tajam karena terganggu.Rendra membungkuk, berusaha mengatur napas, suaranya tercekat karena panik."Ampun Paduka Raja! Ampun Mahapatih!" Rendra segera berlutut di ambang pintu. "Hamba... hamba baru saja berpapasan dengan Kebo Iwa."Alesha dan Arya langsung bertukar pandang yang dipenuhi ketakutan. Ketenangan mereka setelah insiden di pelabuhan seketika hancur."Apa?! Baga
Sore hari di Istana Wilwatikta memancarkan keindahan yang tenang. Bayangan dari arsitektur bata merah membentang panjang di halaman. Kebo Iwa, setelah beristirahat sejenak, memutuskan untuk mengikuti tawaran Raja Arya. Ia keluar dari kompleks tamu dan berjalan santai menyusuri taman-taman Istana yang asri, dan kemudian memberanikan diri melangkah keluar dari gerbang utama.Di luar tembok Istana, kehidupan di ibu kota Trowulan berdenyut. Kebo Iwa berjalan di antara kedai dan pasar kecil. Ia mendengarkan pembicaraan warga, ingin memahami bagaimana sesungguhnya Majapahit di mata rakyatnya. Hampir di setiap pembicaraan yang ia dengar, ada nada pujian yang tulus untuk Raja Arya Wuruk."Panen tahun ini berlimpah berkat saluran air Raja!""Raja kita sungguh bijaksana, dia memastikan tidak ada yang kelaparan.""Bahkan Mahapatih Gaja Mada kita pun hebat, meski wajahnya tertutup, otaknya tak tertandingi."Kebo Iwa menyimak semuanya. Ia mencari Lestari, tetapi ia hanya menemukan kesejahteraan da
Perjalanan dari pelabuhan ke Istana Wilwatikta terasa mencekam. Kebo Iwa menunggangi kuda di belakang Arya Wuruk dan Mahapatih Gaja Mada, matanya terus mengamati setiap detail ibu kota Majapahit—dari arsitektur bata merah yang megah hingga keteraturan prajurit yang berbaris di jalanan. Pikirannya dipenuhi kekacauan. Ia datang mencari Lestari, tetapi yang ia temukan adalah Raja dan Mahapatihnya, dan ia masih belum bisa melepaskan perasaan aneh bahwa mata Mahapatih itu terasa sangat familiar.Setibanya di Istana, Kebo Iwa segera dibawa ke kompleks khusus tamu kerajaan. Itu adalah bilik mewah, dilengkapi perabotan kayu jati ukir, yang membuat penginapan terbaik di Bali terlihat sederhana.Kebo Iwa meletakkan buntalan kain lusuh yang berisi beberapa pakaian dan perbekalannya di lantai kamar tamu itu. Ia merasakan kehangatan keramahan Majapahit, tetapi di saat yang sama, ia merasakan udara tipis di lehernya. Ia tahu, ia sedang berada di sarang musuh."Tuan Patih," ujar Arya Wuruk dengan se
"ASTAGA, ARYA! Ada Kebo Iwa! Lihatlah di arah sana, di kerumunan dekat tiang bendera! Dia ada di Wilwatikta!" bisik Alesha, suaranya tercekat di balik penutup kain Mahapatih Gaja Mada.Rahang Arya Wuruk sempat mengeras hebat. Ini bukan hanya kejutan; ini adalah tindakan yang setara dengan invasi rahasia. Kebo Iwa datang tanpa diundang, tanpa utusan, dan tanpa jaminan keselamatan. Arya merasakan darahnya mendidih, tetapi ia segera mengendalikan diri. Sebagai seorang Raja, ia harus bertindak dengan perhitungan, bukan emosi."Maka kita harus menyambutnya," ucap Arya, suaranya tenang namun mengandung ancaman tersembunyi. "Kita harus menyambutnya sebagai Raja dan Mahapatih dengan baik."Arya menoleh kepada Laksamana Nala. "Laksamana Nala, uji coba kapal kita lakukan di lain waktu. Sekarang aku ada urusan mendadak dan harus menyambut seorang tamu yang sangat penting," ujar Arya, menunjuk sekilas ke arah kerumunan. "Kita harus menyambut Patih Bali, Kebo Iwa."Laksamana Nala agak terkejut. Ia
Kebo Iwa berjalan menyusuri pelabuhan, kakinya yang besar menginjak tanah Jawa, merasakan atmosfer Majapahit yang sangat berbeda dari Bali. Matanya terus waspada, mengamati kapal-kapal dagang yang padat dan prajurit berseragam di mana-mana. Ia mencari penginapan, namun langkahnya terhenti oleh desas-desus yang menyebar cepat di antara para buruh pelabuhan."Lihat! Di sana! Kapal Jung Jawa! Kabarnya Raja Arya Wuruk dan Mahapatih Gaja Mada sendiri yang datang melihatnya!""Mahapatih Gaja Mada? Yang terkenal sakti itu?""Iya! Mereka sedang berada di atas kapal besar yang baru selesai itu!"Mendengar nama Arya Wuruk dan Mahapatih Gaja Mada, rasa ingin tahu Kebo Iwa, yang memang seorang Panglima Perang, langsung memuncak. Ia penasaran ingin melihat secara langsung wajah Raja yang kebijaksanaannya dipuji-puji oleh Lestari, dan ingin tahu seperti apa sosok Mahapatih yang memimpin Majapahit menuju kejayaan.Kebo Iwa bergegas mengikuti arah desas-desus. Ia harus menembus kerumunan warga dan pr
Beberapa bulan telah berlalu sejak kepulangan Alesha dari Bali dan ledakan kecemburuan yang hampir membakar kamar Raja. Hubungan mereka kembali harmonis, diwarnai strategi politik yang kini difokuskan pada pemanfaatan kelemahan Kebo Iwa dan negosiasi diplomatik yang hati-hati dengan Pajajaran (yang kini ditangani langsung oleh Alesha, tentu saja).Pagi yang cerah itu, saat Arya Wuruk dan Mahapatih Gaja Mada (Alesha) sedang membahas logistik pangan untuk ekspedisi berikutnya, Laksamana Nala tiba-tiba menghadap. Wajahnya yang biasanya tenang, kini dipenuhi senyum puas dan bangga."Paduka Raja, Mahapatih," lapor Laksamana Nala, membungkuk dalam. "Hamba datang membawa kabar sukacita. Kapal agung itu... Kapal yang Paduka perintahkan dengan desain khusus dari Mahapatih, telah selesai dibuat."Mendengar berita itu, Arya dan Alesha sontak bangkit dari duduk mereka. Rasa lelah, ketegangan politik, dan drama pribadi seketika sirna, digantikan oleh antusiasme murni."Sudah selesai?" tanya Arya,