Kenapa dia bisa ada di sini?
Setelah merapikan kebaya, segera aku mengamati sekeliling. Saat kuperhatikan ke bagian bawah perutku dengan lampu kilat, kedua pahaku telah berlumuran benih. Dengan cepat, aku pun tiba di hadapannya. PLAKKK!!! Tangan ini memang pantas mendarat di pipinya. “Kamu gila ya! Mana Alzian? Kamu apain dia?" Senyum nakal yang semula menyempurnakan wajah culasnya, kini berubah menjadi kerutan di dahi. Matanya membelalak, sementara bibirnya mencoba meredam amarahku,"Khalisa! Harusnya kamu nikah sama aku, bukan dia!" "Dan harusnya kamu sadar diri!" Telunjukku menempel di keningnya, baru kali ini aku bersikap garang kepada seseorang. Aku benci seperti ini. "Kamu pikir aku mau ngelakuin ini semua … sama kamu?" Dia hanya diam, matanya bergerak naik turun mencari seribu alasan. Lagi-lagi, ia mengusap pipiku dengan ibu jarinya ... lembut, halus. Dengan lembut pula, kuasingkan tangan itu. Tangan yang dulu selalu menarikku bangkit saat terjatuh, tangan yang dulu selalu menuntunku saat aku kehilangan arah. Apakah sekarang dia sedang menuntunku lagi? Aku enggak yakin. "Khalisa, dia aman, kok. Jadi kamu nggak perlu khawatir," katanya. Sumpah, sampai mati aku bakal benci banget sama cowok ini. "Mungkin tidurnya jauh lebih nyenyak dari pada tidur kita barusan." "Kamu apain dia?" Dia menunjuk ke satu tempat, "Kamu lihat sendiri, kan? Aku nggak bakal bunuh orang, Khalisa." Saat aku mendekat, Alzian tengah mendengkur seperti pesawat tempur. Aku sorot tubuhnya dengan saksama. Sekilas, memang enggak ada bekas luka ataupun tanda kekerasan. Tapi, bagaimana mungkin dia bisa melakukan ini? "Dia, kenapa?" tanyaku. "Kamu nggak bakal paham. Jadi percuma juga aku jelasin." Dia mendekat sambil memegangi bahunya yang masih berdarah akibat tembakannya sendiri. Harusnya tadi kubiarkan saja dia mati, bukan? Sial. "Terus lampu-lampu ini?" Mataku tertuju ke lorong di luar kamar yang sedikit bisa kulihat dari sini. Gelap. Sunyi. Enggak terdengar satu pun suara sama sekali. Padahal ini malam pesta, seharusnya semua orang berhamburan saat lampu mati seperti ini. Aku menatapnya, "Ke mana semua orang? Apa, sih, yang sebenarnya kamu mau? Heran deh, kamu siapa sebenarnya. Kamu bikin aku takut tahu, gak? Apa perlu aku telepon polisi!" Dia masih santai memegangi bahunya yang terluka sambil tersenyum, "Telepon aja, Khal. Kalau itu bikin kamu merasa aman. Silakan!" Aku tekan nomor 110 di layar, sialnya, aku baru sadar kalau bar sinyal di layar HP-ku kosong. Jadi, apa pun yang kulakukan, tetap percuma. Heksa masih diam di sana, memperhatikan dahiku yang mulai berkeringat. "Lagian, rumahmu ini udah di jaga sama lebih dari 30 personil pasukan khusus," katanya sambil jalan mendekatiku. "Khalisa, semua bakal baik-baik aja ... Percaya deh sama aku ... Dan please ... Kasih aku kesempatan." "Kesempatan buat apa?" gumamku, sedikit gemetar. Antara takut, marah, dan kesal. "Buat buktiin ... Kalau apa yang selama ini kamu yakinin tentang aku itu salah." Dia condongkan tubuhnya, mendekapku. Telinga kami saling bersentuhan di atas bahu dan dia melanjutkan, "Aku sayang banget sama kamu, Khalisa." Buru-buru aku mundur selangkah, tetapi tangannya masih erat melingkar di punggungku. Kami sama-sama memutar wajah hingga akhirnya bibir kami pun kembali bertemu. HPku terjatuh, cahayanya menyilaukan dan menyorot wajah kami berdua. Kulingkarkan tanganku di pinggang Heksa, mencoba menikmati momen ini, sayangnya aku enggak mendapatkannya. Tanpa sadar kulihat di sana, Alzian masih terkapar menantikanku. Enggak berlangsung lama setelah ciuman terakhir, Heksa menghilang lagi begitu saja. Cuma meninggalkan satu kalimat, “Jaga diri baik-baik, Khalisa!” Sudah … begitu saja cara kami berpisah lagi. Entah kali ini dia pergi ke mana. Yang terakhir kali ku dengar cuma decit sepatunya yang tergesa-gesa, disusul suara tembakan dari luar rumah. Saat lampu kembali menyala, aku berkeliling, membereskan barang-barang yang sempat terjatuh dari meja, lalu menuju kamar mandi untuk membasuh tubuhku. Sepanjang lantai, kulihat ceceran darah mewarnainya. Rupanya kami sama-sama berdarah malam ini. Bedanya … dia terluka di bahu, sementara aku ... di pangkal paha. Sial. Ketika ingin memastikan keluarga baruku di ruang pesta, terdengar rintihan Alzian, "Eh ... Arghh ... Kha—Khalisa!" Aku pun menolehnya. Dia hanya menggenggam kepalanya, "Ada apa ini? Tadi aku mau matiin lampu kamar, terus kayak ada yang gigit di leher, terus—" "Ada rampok!" potongku, cepat-cepat menuju pintu. "Kalau kamu masih di situ aja, ya enggak mungkin tahu apa yang terjadi. Ayo, buruan!" Di ruang tamu, semua orang menutup hidung mereka dengan kerah baju. Asap pekat mengepul di udara, memaksaku memejamkan mata. Perih dan baunya menyengat. "Ada apa ini?" jeritku. Aku terus berlari, berusaha keluar dari rumah ini. Asap yang kian pekat mulai membuat napasku sesak. Tiba-tiba seseorang menarik tanganku dan menuntunku ke depan, ke tempat di mana Hapsari bersama para kerabat lainnya berkumpul. "Pa, ini ada apa, sih, sebenarnya?" tanyaku, sambil menatap bergantian antara pria berpakaian serba hitam dan Sahar, papa mertuaku yang berusaha menyembunyikan kecemasannya. "Enggak apa-apa, kok. Kamu tenang aja," sahut Papa. Aku tertunduk lesu, berusaha mempercayai kalimat itu. Tapi, semakin mataku menyapu barisan pria-pria kekar bersenjata yang mengepung kami, jujur saja, cuma ketakutan yang tersisa. Kenapa begitu banyak peristiwa aneh di malam pertamaku? "Maaf, Boss. Tapi cuma ini yang bisa kami temukan di dekat parkiran. Mereka udah kabur Boss." "Hemm. Coba sini lihat!" ucap Papa sambil memeriksanya dengan jijik. Refleks, aku menutup mulut dengan kedua tangan. Gawat, itu celana dalamku. "Tolong simpan di Lab. Nanti kita cek identitasnya dari cairan yang nempel di celana dalam itu!" Lanjut Papa dengan nada serius. "Terus, bilangin yang lain, perketat keamanan di sekitar rumah! Jangan ada yang tidur, paham?" "Siap, Boss!" Serentak, semua pengawal menundukkan kepala, lalu membubarkan diri satu per satu. Sementara aku hanya mematung di tempat.୨ৎ A L Z I A Nજ⁀➴ Setahun kemudian... Aku sama Khalisa masuk ke Brine & Barrel malam sebelum musim turis dimulai di Pecang. Tempatnya ramai banget, seperti biasa. Khalisa tertawa waktu lihat banyak minuman Khalisa Takes Flight mejeng di meja-meja. “Kenapa, Marlin?” tanyaku saat dia menyodorkan minuman favoritnya Khalisa, Melting Heart, terus geser ke arah dia. Habis itu, dia tuangkan juga punyaku, No Stout for You. “Enggak apa-apa, aku baru aja balik dari Bandung, naik penerbangan pagi buta. Capek banget.” “Oh iya, liburan cewek-cewek, ya? Kedengaran seru,” kata Khalisa. Aku lingkarkan tangan ke bahu Khalisa dan menarik dia makin dekat. “Enggak lebih seru dari liburan sama aku plus minuman warna-warni pakai payung kecil, kan?” Kita baru saja balik dari Bali. Bisa dibilang, kita lebih sering di kamar daripada di pantai. Itu bulan madu kedua kita, dan ya ... worth it banget. Kita memutuskan buat bikin pesta pernikahan sebelum musim turis. Melihat tempat ini penuh beg
✎ᝰ. ──୨ৎ────୨ৎ── Aku lakuin itu. Dan rasanya lebih nyakitin dari apa pun yang pernah aku rasain. Aku ninggalin Alzian pagi ini, dengan alasan yang enggak masuk akal banget. “Aku sudah enggak bahagia” Aku pengecut. Tapi aku tahu, kalau aku enggak bisa kasih dia anak, kita pasti bakal hancur suatu hari nanti. Aku pernah lihat, gimana program Fertilitas ngehacurin pernikahan Papa sama Mama. Dan hatiku enggak bakal sanggup melihat itu terjadi di antara aku dan Alzian. Waktu aku pergi, aku yakinin ke diri aku sendiri kalau aku kuat buat ngelepasin dia. Bahkan saat aku sudah sampai bawah gunung dan mulai ragu. Aku butuh kekuatan penuh buat enggak balik ke rumah itu lagi, ke pelukannya. Alzian udah cukup sering kehilangan orang dalam hidupnya, apalagi setelah Mamanya meninggal. Da
୨ৎ K H A L I S A જ⁀➴Aku mengeluh pelan waktu dengar ada yang mengetok pintu. Hal terakhir yang harus aku hadapi hari ini ya dua orang itu. Aku sayang banget sama Connie dan Shaenette, tapi semoga saja bukan mereka.Aku matikan TV dan buka pintu. Betapa shock-nya aku saat lihat siapa yang berdiri di sana.Mama.Dia ulurkan tangan dengan ekspresi pahit. "Boleh masuk?" tanya dia.Aku buka jalan dan minggir. Dia sudah jauh-jauh dari Jogja."Ya udah, masuk aja."Aku balik ke sofa dan duduk, menunggu dia ikut duduk juga.Dia malah duduk di kursi depanku, terus taruh satu buku di tengah meja.Aku menatapnya, dan dia mengangguk. Ya, itu jurnal yang sudah lama aku cari."Gimana bisa Mama—"Dia angkat tangan. "Maaf, Khalisa. Mama pikir Mama bisa ngelindungin kamu dengan nyimpan itu. Setelah kamu kecelakaan, Mama masuk kamar kamu buat ambil baju yang mau Mama cuci. Ketemu buku ini ... dan ya, Ma
Enggak ada rencana, sih. Jadi memang agak sedikit berantakan, tapi semoga saat momennya tiba, aku tahu harus berbuat apa. Aku enggak mau melibatkan saudara-saudara cewekku buat persiapan ini.Tapi aku mau Khalisa tahu, walaupun banyak hal yang lagi dipertaruhkan, aku tetap memilih dia. Dan dia juga memilih aku.“Kok semuanya lagi di rumah, sih?” gumamku, saat melihat mobil-mobil di garasi.Mobil semua keluarga.Aku keluar dan dengar ada suara ramai-ramai di halaman belakang, jadi aku ikuti sumber suaranya dan menemukan Danny, Almorris, sama Luno lagi main di belakang bareng sekumpulan anak anjing di kandang kecil.“Kalian mau bisnis anjing, nih?” tanyaku.Luno menengok ke arahku. “Enggak lah, itu anaknya Popol. Dia baru punya anak,” jawab dia sambil senyum.Aku lupa kalau anjing Labrador kuningnya sempat menghamili anjing tetangga. Pemilik si anjing betina enggak mau mengurusi anak-anaknya dan bilang begitu anak-anaknya
୨ৎ A L Z I A N જ⁀➴Aku pelan-pelan geser dari Khalisa, meninggalkan dia di kasur. Terus aku pakai celana training. Setelah itu, jalan ke dapur, ambil Bir.Sudah malam banget, hampir tengah malam. Aku turun ke tempat api unggun. Setelah menyalakan apinya, aku duduk di kursi, menikmati Bir sambil bengong.Jujur saja, aku enggak pernah merasa seputus asa ini dalam hidupku. Rasanya mirip banget waktu aku melihat Papa mencoba menyelamatkan Mama dari ganasnya ombak teluk. Dan ekspresi panik di wajahnya saat sadar dia enggak bisa berbuat apa-apa.Sekarang, wanita yang aku cinta lagi berduka karena peluang dia buat punya anak.Aku mengerti maksud dia. Teman kerjaku, Nick, pernah cerita soal itu. Mahal, makan waktu, dan bikin emosi naik turun. Tapi aku percaya kita bisa jalani ini berdua.Dan setidaknya sekarang aku tahu kenapa dia meninggalkan aku. Itu bikin semuanya lebih mudah diterima ketimbang kalau dia pergi gara-gara cowok lain.
Aku mengangguk pelan. " Yakin.""Emang enggak bisa cari cara lain, ya?"Aku tatap dia lurus. "Dokter tadi itu cara lainnya. Dia lihat hasil yang sama kayak Dr. Agnes. Dan itu alasan aku ninggalin kamu, Alzian. Karena aku ngerasa enggak bisa kasih kamu keturunan. Aku terima kalau sekarang kamu mau ninggalin aku. Aku enggak bisa kasih hal yang kamu pinginin."Dia diam."Jadi sekarang ... kamu mau ninggalin aku lagi?""Aku cuma pingin kamu punya kehidupan yang kamu mimpiin. Kehidupan yang pantas kamu dapetin.""Hidup yang aku mau tuh kamu, Khalisa. Cuma kamu."Aku mengeluh, terus menutup muka pakai bantal. Aku ingin banget teriak, tapi aku tahan."Tapi aku tahu kamu pingin punya keluarga besar. Kamu udah sering bilang gitu dari dulu.""Kamu tadi bilang masih ada opsi pakai fertilitas, kan? Masih ada harapan.""Kamu tahu enggak, itu mahalnya kayak gimana? Dan kemungkinan berhasilnya kecil banget. B